Label

Rabu, 11 Juli 2012

“Pencarian ke dalam Diri”, Meramu Percikan Pemikiran dan Permenungan I Gde Samba




Oleh : Wayan Sunarta *


Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang ditulis dalam bahasa Sanskerta oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Terdiri dari 18 kitab, atau Astadasaparwa, yakni Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mosalaparwa, Mahaprastanikaparwa, Swargarohana parwa. Inti kisah Mahabharata adalah konflik Pandawa dengan sepupunya Korawa dalam memperebutkan hak atas kerajaan Astina, yang mencapai klimaksnya pada peristiwa perang Bharatayudha di Kurusetra, yang berlangsung selama 18 hari.

Joged



Cerpen: Wayan Sunarta


Berita tentang pementasan joged bumbung telah tersebar ke seluruh pelosok Desa Wanagiri. Begitu cepat seperti hembusan angin. Masyarakat di Wanagiri memang selalu haus dengan hiburan. Mereka tidak sabar menunggu pementasan itu. Apalagi sekehe atau grup joged yang pentas berasal dari Desa Tiyingbuluh yang memang terkenal dengan para penarinya yang berani mempertontonkan gerakan-gerakan erotis. Gerakan-gerakan sensual itulah yang sangat digemari para penonton, terutama kaum lelakinya.

Dekonstruksi Kesadaran Indentitas Bali




Oleh I Wayan Suyadnya

Judul Buku:  Bali Antah Berantah: Refleksi di Dunia Hampa Makna Pariwisata
Penulis: I Ngurah Suryawan
Penerbit: Intrans Institute Malang
Tahun Terbit: November 2010
Jumlah halaman: 235 + XVIII

Buku karya I Ngurah Suryawan “Bali Antah Berantah: Refleksi di Dunia Hampa Makna Pariwisata”  adalah sebuah studi refleksi dari kasus-kasus yang terjadi di Bali khususnya dan di tempat lain umumnya. Dalam buku ini, dengan ketajaman naratifnya, Suryawan menguraikan bagaimana masyarakat Bali kian hari demi hari tergusur secara sosial, ekonomi dan kultural dari tanah leluhurnya. Tanah yang dianggap sebagai sebuah bentuk ikatan sosial dan budaya, yang bernilai spritual tergadaikan begitu saja untuk mendukung program pembangunan pariwisata dan pemuasan gaya hidup. Suryawan melukiskan peristiwa ini dengan sebuah dialog bisu antara “I Ketut Pugeg” (gambaran kultural manusia Bali di persimpangan jalan) dengan gemerlapnya dunia pariwisata (h.2-3). Dalam dialog tersebut, buku ini memperlihatkan kepada kita bahwa dalam suatu masyarakat akan selalu ada ruang “abu-abu”.Ruang yang selama ini kurang dipahami oleh orang luar, barangkali pemerintah dan investor pariwisata.

Tanah Terjepit, Manusia Bali Menjerit



Oleh I Ngurah Suryawan

Meski bukan hal baru, kisah ironi tanah-tanah Bali yang dilalap investor terasa sangat menyesakkan. Kali ini dengan “menjual mimpi” megahnya pariwisata, 80% tanah di pesisir pantai di Kabupaten Tabanan dikuasai investor (Bali Post, 1 Juli 2009). Terbuai dengan mimpi-mimpi glamour pariwisata, rakyat dan pejabat menjual tanahnya dengan harapan bisa mendapatkan tetesan madu pariwisata. Tapi apa lacur, tanah sudah terjual, mimpi mendapatkan kesejahteraan dari pariwisata hanyalah isapan jempol.

Subaltern dan Gerakan Sejarah (Baru) Bangsa Papua




oleh I Ngurah Suryawan 
Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
Program Doktor (S3) Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ngurahsuryawan@gmail.com


“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun ada orang yang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”
(Pdt. I. S Kijne tentang masa depan rakyat Papua Barat di Wasior Manokwari, 25 Oktober 1925)

Spirit Kajian Budaya Bali



oleh I Ngurah Suryawan

Kajian Budaya Bali salah satunya berkembang melalui “tangan dingin” dan determinasi intelektual plus perjuangan–yang kemudian menjadi “monumen intelektual”—dari (alm) Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, ”bapak studi kebudayaan Bali”. Monumen intelektual yang dimaksud adalah beroperasinya Program Magister Kajian Budaya pada tahun 1996 dan Doktor Kajian Budaya pada tahun 2001 di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Bagi saya, hadirnya program studi kajian budaya di universitas tertua di Bali ini lebih daripada sekadar monumen. Program studi kajian budaya di universitas tertua di Bali ini menjadi ruang mediasi gerakan sosial dan intelektual Bali untuk mewacanakan kebudayaannya secara terbuka dan kritis. (Alm) Prof. Bagus seolah meletakkan pondasi studi kritik kebudayaan Bali yang (mungkin) diimpikannya untuk sebuah gerakan intelektual Bali yang memikirkan Bali tidak “ke dalam” dan esensialistik namun terbuka, kritis, dan dinamis dalam membaca relasi-relasi kebudayaan, kekuasaan, dan konteks kuasa kapital global yang mencengkram Bali. 

SISI DIBALIK BALI: Politik Identitas, Kekerasan dan Interkoneksi Global


oleh I Ngurah Suryawan


Di Bali, antropolog juga bisa diuangkan lewat industri pariwisata. Kalau di zaman kolonial orang asing datang ke Bali untuk transaksi rempah-rempah dan budak, di zaman modern mereka datang membeli komoditas yang disebut kebudayaan dan para antropolog bisa menjadi juragannya. Di Bali, untuk menyambut kedatangan sang pembawa devisa, berjamurlah sekolah pariwisata maupun perguruan tinggi yang menawarkan kurikulum “kebudayaan” yang dibidani oleh insan-insan akademis. Di sinilah terletak benang kusut diskursif antara pengetahuan, takhta, dan uang.
(Degung Santikarma, “Pentas Antropologi Indonesia”, Kompas 7 Juli 2004)

Politik Ruang Pasar dan Perjuangan Mama-Mama Papua




oleh I Ngurah Suryawan
Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua, Papua Barat.
Program Doktor (S3) Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ngurahsuryawan@gmail.com


ABSTRAK
Masyarakat tempatan di Papua bisa dikatakan menjadi daerah di garis depan (frontier) pertemuan kekuatan-kekuatan kapital global dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan sumber daya manusia. Persaingan memperebutkan akses ekonomi politik menjadi tak terhindarkan. Ketegangan (kekalahan) orang lokal Papua dengan para migran dalam merebut akses ekonomi sering disebut sebagai salah pemantik marginalisasi orang lokal Papua di tanahnya sendiri.

Politik Ruang dan Siasat Kebudayaan



Oleh I Ngurah Suryawan

”Kami selama ini tidak main-main mengembangkan pariwisata di daerah kami. Dasarnya tetap pariwisata budaya dan agama. Jika itu hilang, apa yang akan kami jual,” kata Bupati Karangasem, Wayan Geredeg saat ditanya pengembangan pariwisata di wilayahnya (Kompas, 1 April 2009). Konteks yang diungkapkan oleh Wayan Geredeg adalah respon daerahnya terhadap kajian RTRW (Rancangan Tata Ruang dan Wilayah) yang berusaha untuk memetakan, salah satunya adalah daerah mana saja yang bisa dimasuki dan diubah melalui investasi pariwisata. Pengembangan “daerah-daerah baru” pariwisata melalui investasi di kabupaten-kabupaten sebisanya mengacu pada pariwisata kerakyatan. Dasarnya tentu saja pariwisata berbasis budaya dan agama di satu sisi, dan mengundang investasi untuk menggerakkan pariwisata dan kesejahteraan rakyat di sisi lain.

Politik Ritual Kematian



oleh I Ngurah Suryawan

Sebuah keluarga besar berpakaian adat ringan tampak merangsek masuk ke sebuah gang kecil di pinggiran Kota Denpasar. Mereka adalah si bapak, istri, anak, menantu dan 3 cucunya bergegas menuju sebuah rumah di ujung gang. Di depan rumah, jejeran motor telah memenuhi sebagian ruas gang yang memang jauh dari luas. Beberapa orang yang juga berpakaian adat ringan duduk-duduk mengumpul dan ada beberapa orang yang bercengkrama. Mereka semua menunggu giliran untuk meluasang, nunas baos pada Jero Balian Tapakan di rumah itu. Ritual ini adalah untuk bertanya kepada balian, dukun, untuk berkomunikasi tentang berbagai hal kepada leluhur. Ruh para leluhur inilah yang akan merasuki Jero Balian Tapakan sehingga para pe-nunas baos akan bisa bertanya apapun kepada leluhurnya.

Mau Kemana Kajian Budaya Bali?



Oleh: I Ngurah Suryawan

Belum lama ini, pada Maret 2009, pergolakan politik kebudayaan Bali sempat dihangatkan melalui perdebatan Gde Jayakumara dan Nyoman Darma Putra plus Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana (Unud). Pemicu perdebatan tersebut adalah kritik “pedas plus tendensius” Gde Jayakumara terhadap buku terbaru Nyoman Darma Putra, Bali dalam Kuasa Politik (2008). Selain persoalan notulensi kebudayaan dari perspektif jurnalis, ambisi membuat narasi besar kebudayaan Bali dari buku Nyoman Darma Putra yang dikritik Gde Jayakumara—yang dianggap pantas dibaca kemudian dilupakan—poin paling memerahkan telinga bagi yang merasa dikritik sudah pasti adalah pernyataan Gde Jayakumara, yang salah satunya menyebutkan akademisi-akademisi tua di Program Magister Kajian Budaya Unud seperti pikun-pikunan, mengigau dalam memberikan kuliah. Yang selalu melihat fenomena sosial, politik budaya di Bali hanya sebatas bentuk, fungsi, dan makna (Sarad 107 Maret 2009 hlm. 49).

Mambesak dan Spirit Kehidupan Bangsa Papua: Sebuah Refleksi


I Ngurah Suryawan
Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
Program Doktor (S3) Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ngurahsuryawan@gmail.com


“Kita bernyanyi untuk hidup dahulu, sekarang dan nanti” (Mambesak)


Dalam sebuah pertemuan budaya di Kota Manokwari, Papua Barat pada akhir November 2010, saya merasakan ada kerinduan dari para pegiat seni dan budaya akan sebuah kebangkitan kembali kebudayaan Bangsa Papua. Hanya dengan seni dan budayalah orang Papua bisa menegakkan identitasnya. Kesan yang saya rasakan dalam pertemuan tersebut, jati diri orang Papua terletak pada ekspresi seni dan budaya, yang sayang sekali sering diputarbalikkan sebagai “politik” dan pemberontakan.

“Historiografi Kambing Hitam”



Oleh I Ngurah Suryawan


Bambang Purwanto, sejarawan Universitas Gadjah Mada dalam kata pengantarnya di buku Kathrine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam (2008) mengemukakan ide yang bernas dan tajam dalam konteks historiografi Indonesia dan perdebatannya hingga kini. Dengan mengambil titik pijak pada historiografi sebelum dan saat Orde Baru, ia mengandaikan bahwa penulisan sejarah di Indonesia selalu membangunan ingatan massa dengan saling membenturkan dua elemen ideologi yang berbeda untuk merangkai “kuasa sejarahnya” masing-masing.

Gemuruh Politik dan Suara-Suara Tersisih di Desa Pakraman




oleh I Ngurah Suryawan


Wayan Marda, seorang lelaki setengah baya, di sebuah desa utara Pulau Bali sungguh terpukul. Bergetar dan pilu ia menyaksikan mayat ayahnya, lelaki renta yang dekat di hatinya, terbaring di jalan dua tahun lalu pada suatu hari di pertengahan bulan Agustus. Sementara ratusan masyarakat, yang tidak lain adalah krama (warga), saudaranya, berteriak penuh caci maki menghujat ayahnya. Kerumunan warga tersebut “menghukum” ayah Wayan Marda karena dianggap egois, tidak ikut menunaikan kewajiban menjadi krama desa pakraman. Ia biasa mendongkel keputusan rapat desa, melakukan aksi perlawanan terhadap keputusan tersebut dengan membangkang dan memilih jalan “lain” dari suara mayoritas.

Dibawah Bayang Kejora: Catatan Awal Gerakan Sosial Papua 1999-2000




oleh I Ngurah Suryawan

John Rimbiak, pembela hak-hak asasi manusia Papua dan salah satu putra terbaik yang dimiliki bangsa Papua mengistilahkan rakyat Papua mengalami jiwa yang patah untuk menggambarkan bagaimana isi hati, harkat, dan jati diri rakyat Papua untuk membebaskan dirinya telah dirampas oleh berbagai tindakan kekerasan terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan negara dan kekuasaannya (baca: Indonesia). Mereka mengalami “Jiwa yang Patah” (hilang percaya diri, frustrasi, apatis, mengendapkan dendam dan  kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita). Secara sosial rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama lain. Suatu kenyataan yang, selain berbagai faktor lainnya, juga melatar-belakangi mengapa rakyat Papua dewasa ini menuntut untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Baliseering, Modernisasi , dan Gerakan Intelektual Hindu 1920-an.



oleh: I Ngurah Suryawan

Salah satu politik kebudayaan kolonial (Belanda) dalam membentuk Bali adalah Baliseering. Yang menjadi landasan utama dalam politik kebudayaan ini adalah penemuan dan penggalian keaslian dan otentisitas budaya Bali. Dalam politik kebudayaan Baliseering, Picard (2006) menuliskan tujuannya bukanlah melindungi kebudayaan Bali yang ada, melainkan memulihkan apa yang disangka oleh mereka (rezim kolonial Belanda) merupakan keadaan aslinya. Politik kebudayaan ini tidak hanya sekadar mencoba melindungi orang Bali dari pengaruh-pengaruh luar, para orientalis dan pejabat Belanda di pulau itu mengajarkan pula bagaimana menjadi orang Bali yang sebenarnya: itulah tujuan dari kebijakan yang dikenal dengan nama baliseering atau ‘Balinisasi” yang diterapkan pada tahun 1920-an.

Bali, Pascakolonial, dan Subaltern



Oleh I Ngurah Suryawan

Dalam melihat pergolakan politik kebudayaan Bali, konteks pascakolonial sangat penting diajukan untuk melihat Bali bukan sebuah warisan yang steril dari relasi kuasa. Bingkai pascakolonial memberikan perspektif bagaimana melihat negara bekas jajahan dari pembongkaran warisan praktik kolonisasi. Warisan praktik kolonisasi telah membadan dan tercermin dalam praktik kehidupan di negari jajahan, bahkan diadopsi oleh masyarakat terjajah untuk mempraktikkan kolonisasi sesama mereka. Warisan praktik kolonisasi inilah yang coba untuk dibongkar oleh perspektif pascakolonial.

Bali 1960-an: Sebuah Catatan Ekonomi Politik Kekerasan



oleh I Ngurah Suryawan

Setelah rezim kolonial Belanda meninggalkan jejak-jejak kolonisasinya, Bali sebagai sebuah pulau kecil menggeliat menuju pergolakan penting yang menentukan perjalanan sejarahnya. Menginjak tahun 1950-an, banyaknya partai-partai yang berebut kekuasaan, ditambah dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, Bali dilanda sebuah masa kegelapan dalam sejarahnya. Kemiskinan dan tragedi alam letusan Gunung Agung menyebabkan ribuan manusia Bali jatuh kondisi terburuk. Ditengah kemiskinan dan kelaparan itu, ketegangan politik dalam perebutan kekuasaan lokal di Bali—yang paling keras antara PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia)—semakin memuncak. Perseteruan politik dan keterpurukan kondisi ekonomi Bali menjadi tema-tema penting tahun 1950-1960-an di Bali. 

Apa Kabar Intelektual (Hindu) Bali?




oleh I Ngurah Suryawan


Jauh dari bernas saya kira peran intelektual Bali di kancah nasional selama ini. Kegundahan ini saya pendam dari dulu. Terus terang, saya kadang-kadng iri melihat begitu lihai dan dinamisnya “dunia persilatan” intelektual di negeri ini, dan hanya minim sekali—untuk tidak mengatakan tidak sama sekali—melibatkan warna dan pikiran dari intelektual Bali, atau lebih tepatnya intelektual Hindu Bali. Segudang pertanyaan muncul, tapi yang membuat saya penasaran adalah kenapa bisa demikian adanya?

Antropologi Reflektif dan Manusia Bali di Garis Depan


 oleh I Ngurah Suryawan *)

(dimuat di Bali Post Minggu, 2 Januari 2011)

Interkoneksi global membentangkan wilayah-wilayah yang praktis hampir semuanya terjamah oleh kuasa modal global. Dalam konteks itulah kearifan lokal kebudayaan yang dibayangkan mungkin hanya sekadar romantisasi semata. Seluruh wilayah kini telah tersambung dalam interkoneksi global yang mempertemukan masyarakat tempatan dengan jejaring eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia tepat di depan mata. Dalam kondisi itulah terdapat fragmen-fragmen kisah manusia untuk mementaskan siasat, resistensi, memanfaatkan peluang ekonomi politik sekaligus bernegosiasi.

Antropologi Gerakan Sosial Bangsa Papua: Sebuah Pemikiran


oleh I Ngurah Suryawan 

Lingkaran kekerasan di “tanah yang diberkati”, Tanah Papua, mencerminkan kompleksitas persoalan yang serius di daerah timur Indonesia ini.  Tragedi kekerasan hadir silih berganti dibarengi dengan resistensi perjuangan status sejarah politik Papua, macetnya jargon “pemberdayaan masyarakat Papua” dari pemerintah, baku tipu akibat “gula-gula” otonomi khusus (otsus) Papua, dan semakin terpinggirkannya masyarakat Papua di tengah interkoneksi kuasa kapital global yang mencengkram bumi cenderawasih ini. 

Agama, Ritual, dan Kuasa




oleh I Ngurah Suryawan

Ritus, ritual, upacara adalah agama dalam tindakan untuk mencari jalan keselamatan (salvation). Keselamatan adalah tujuan dari kehidupan beragama dan juga dari serangkain ritual yang dilakukan oleh agama-agama. Agama praksis yang terdapat dalam ritual menjadi cermin dari serangkaian aktivitas pendukung ritus tersebut. Ritual, upacara, dan ritus-ritus yang dilakukan pemeluk agama pasti mempunyai mitos tertentu. Selain itu, dalam ritual terdapat hubungan erat antara mitos, suatu dongeng suci dari suatu bangsa dengan aktivitas ritual, tingkah laku moral, organisasi sosial, bahkan aktivitas politik suatu masyarakat (Dhafamony, 1995; Suhardi, 2009: 12).

Selasa, 10 Juli 2012

Spirit dan (Praktik) Politik Kajian Budaya



Oleh I Ngurah Suryawan


“...Cultural studies adalah satu teori yang dibangun oleh para pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoritis sebagai praktik politik. Di sini, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa”
(Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik, 2004).


Kajian budaya (cultural studies) muncul menawarkan sebuah perspektif baru untuk memberikan makna
pada suara-suara perlawanan dan gugatan dari kelompok pinggiran. Berusaha untuk mengkritik kelompok dan budaya dominan (hegemonik), cultural studies (CS) sebagai praktik intelektual melepaskan dirinya dari kemandekan ilmu-ilmu sosial untuk menangkap fenomena-fenomena antah berantah, suara-suara keseharian yang sering dinggap “bukan budaya”. CS memfokuskan diri pada hubungan antara relasi-relasi sosial dengan makna-makna. Berbeda dengan "kritik kebudayaan" yang memandang kebudayaan sebagai bidang seni, estetika, dan nilai-nilai moral/kreatif, kajian budaya berusaha mencari penjelasan perbedaan kebudayaan dan praktek kebudayaan tidak dengan menunjuk nilai-nilai intrinsik dan abadi (how good?), tetapi dengan menunjuk seluruh peta relasi sosial (in whose interest?).

Satgas Parpol dan Pentas Kekerasan



oleh I Ngurah Suryawan


Artikel ini adalah ringkasan dari paper saya yang dipresentasikan pada Seminar Internasional ke-10 di Kampoeng Percik Salatiga, 28-31 Juli 2009. Seminar internasional kali ini mengambil tema tentang “Representasi Kepentingan Rakyat pada Pemilu 2009”.

Pendahuluan

James T Siegel dalam Pejahat Gaya (Orde) Baru, Eksplorasi Politik dan Kriminalitas (1998) mengungkapkan, dalam sejarah kekerasan di Indonesia, seringkali meninggalkan momok dan “hantu” yang terus membayangi. Pasca tragedi kekerasan, selalu diciptakan bagaimana kekerasan menjadi bagian yang tidak terpisah dari pembentukan bangsa ini. Para kriminal, jagoan lokal dan kelompok organisasi massa selalu memperhitungkan “wajah-wajah” yang mirip dengan mereka untuk mereproduksi kekerasan menjadi sebuah lingkaran tanpa henti. Para kriminalitas dalam sejarah kekerasan terbentuk untuk menunjukkan pergolakan ide politik dan nasionalisme Indonesia. Dalam setiap fase, ide tentang kriminalitas dan kekerasan selalu beriringan dengan rezim ketakutan, teror, ancaman yang membayangi citra (image) “wajah” orang Indonesia sendiri. Ideologi ancaman dan ketakutan melalui “komunisme” “penjahat dan penembak misterius” dan “organisasi tanpa bentuk” saat rezim otoritarian Orde Baru berkuasa setidaknya menjelaskan hal ini.

Pamarisudha Karipubhaya dan Atma Papa: Ritual dan (Politik) Kematian



Oleh I Ngurah Suryawan

Pergolakan Bali pasca bom 2002 dan 2005 menyita berbagai macam persoalan. Selain keterpurukan secara ekonomi pasca bom 2002, “bom sosial” berupa ketegangan sosial antara masyarakat (Hindu) Bali dengan para pendatang. Namun dalam catatan Darma Putra (2003), sehari setelah ledakan bom di Legian, tepatnya mulai pukul 07.00 wita, tokoh masyarakat dan pimpinan dari berbagai agama dan lembaga swadaya masyarakat, seperti tanpa dikomando berkumpul di Kantor Gubernur Bali. Dari pertemuan itu, mereka mengeluarkan imbauan sejuk agar masyarakat menjaga kedamaian, tidak terpancing provokasi. Mereka juga mengutuk pengeboman tetapi meminta masyarakat agar waspada dan menjauhi tindakan anarkhis.

Manusia Bali Antah Berantah, Sebuah Refleksi




oleh I Ngurah Suryawan

Ketut Pugeg (65) berjalan menepi saat mobil BMW biru tepat berada dibelakangnya. Si pengendara mobil membuka kaca pintu. Seorang lelaki bule berkacamata hitam menengok dan memandangi Pugeg dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Tidak ada senyum dari si bule, begitu juga dengan Pugeg. Hanya sepintas, mata mereka saling pandang, kemudian mobil melaju meninggalkan Pugeg. Badan Pugeg yang mulai ringkih kembali berjalan menyusuri sebuah jalan di kawasan Kelurahan Kerobokan, Kabupaten Badung. Hanya diselimuti kaos putih polos kusam, menyelipkan sebuah arit di punggungnya, Pugeg berhenti di sebuah lahan penuh rumbut. “Dumun nike tanah tiange gus, mangkin sampun beli bule. Mangkin kanggeang tiang ngerereh maman sampi driki” ujarnya sambil menunjuk bangunan villa mewah di sebelah lahan penuh rumput (Dulu itu tanah saya, tapi sekarang sudah dibeli oleh bule. Sekarang saya hanya di tanah ini mencari rumpun untuk makan sapi).

Komunis, Separatis, Teroris




Oleh I Ngurah Suryawan
Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA)
Manokwari, Papua Barat


Saat saya memulai studi tentang Tragedi 1965 di Bali tahun 2002, saya masih ingat sekali dua cerita berbeda yang saya temukakan saat ngerembug, ngobrol-ngobrol di sebuah warung di sebuah desa di ujung barat Pulau Bali. Cerita pertama adalah ocehan seorang tetua desa, yang saya kira adalah salah satu orang terpandang di desa, tentang sebuah keluarga yang juga tetangga sebelah rumahnya. Keluarga ini kini menjadi salah satu keluarga yang ”maju”, disegani karena hampir sebagian besar anggota keluarganya ”sukses”. Ada yang menjadi dokter, dosen, pengusaha property sukses bahkan ada diantaranya yang menjadi arsitek yang bekerja di sebuah negara bagian di Amerika.

Kepalsuan Ritual




 Oleh I Ngurah Suryawan

Seorang teman masa kuliah dari utara Pulau Bali membawa cerita menyesakkan pertengahan tahun 2010. Berikut ini kisahnya.

Sebut saja namanya Made, adalah cucu seorang tokoh masyarakat paling disegani di desanya. Kakeknya almarhum adalah seorang tokoh veteran yang dikenal membidani lahirnya awig-awig (aturan desa). Kakeknya terkenal sekali dengan tutur bahasa Bali halus yang Made saja bisa tebengong-bengong mendengarnya, sambil bingung memikirkan apa artinya. Singkat cerita, kakek Made adalah orang yang berpengaruh dengan sederetan jasa-jasanya.

Kelas Menengah Bali dan Mimpi Otentisitas Budaya




oleh I Ngurah Suryawan

Perubahan kebudayaan yang menimpa Bali kini adalah sebuah proses relasi yang panjang dan kompleks. Salah satu momen penting itu adalah sentuhan-sentuhannya dengan kebudayaan “Indonesia” yang menawarkan Bali sebuah janji manis nan membuai bernama pariwisata. Mendiskusikan Bali sebagai suatu yang otentik dan eksklusif menjadi salah kaprah ketika waktu justru membuktikan Bali bisa bertahan karena pengaruhnya dengan “Indonesia” dan dunia global.

Kaum Subaltern Bali



oleh I Ngurah Suryawan
(Opini Harian Bali Tribune, 9 Mei 2012)

I Wayan Tapa, seorang lelaki setengah baya, di sebuah desa utara Pulau Bali sungguh terpukul. Bergetar dan pilu ia menyaksikan mayat ayahnya, lelaki renta yang dekat di hatinya, terbaring di jalan empat tahun lalu pada suatu hari di pertengahan bulan Agustus 2008. Sementara ratusan masyarakat, yang tidak lain adalah krama (warga), saudaranya sendiri, berteriak penuh caci maki menghujat ayahnya. Kerumunan warga tersebut “menghukum” ayah Wayan Tapa karena dianggap egois, tidak ikut menunaikan kewajiban menjadi krama desa pakraman, tanah tempat kelahirannya sendiri. Ia biasa mendongkel keputusan rapat desa, melakukan aksi perlawanan terhadap keputusan tersebut dengan membangkang dan memilih jalan “lain” dari suara mayoritas.

Bara di Bali Utara



oleh I Ngurah Suryawan

Kabupaten Buleleng di utara Pulau Bali dikenal dengan “bumi panas” karena kekerasan dan keberingasan menjadi keakrabanan sehari-hari. Pasca reformasi 1998, tensi politik di Buleleng meningkat tajam dengan rentetan tragedi kekerasan hingga menelan korban tewas. Ketegangan dan kekerasan politik lokal tersebut melibatkan pendukung partai politik dari PDIP dan Partai Golkar.

Antropologi Reflektif dan Manusia Bali di Garis Depan


 oleh I Ngurah Suryawan *)

(dimuat di Bali Post Minggu, 2 Januari 2011)

Interkoneksi global membentangkan wilayah-wilayah yang praktis hampir semuanya terjamah oleh kuasa modal global. Dalam konteks itulah kearifan lokal kebudayaan yang dibayangkan mungkin hanya sekadar romantisasi semata. Seluruh wilayah kini telah tersambung dalam interkoneksi global yang mempertemukan masyarakat tempatan dengan jejaring eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia tepat di depan mata. Dalam kondisi itulah terdapat fragmen-fragmen kisah manusia untuk mementaskan siasat, resistensi, memanfaatkan peluang ekonomi politik sekaligus bernegosiasi.

Antropologi, Sejarah, dan Suara-suara Senyap



oleh I Ngurah Suryawan


Wayan Marda, seorang lelaki setengah baya, di sebuah desa utara Bali sungguh terpukul. Bergetar dan pilu ia menyaksikan mayat ayahnya, lelaki renta yang dekat di hatinya, terbaring di jalan. Sementara ratusan masyarakat, yang tidak lain adalah krama (warga), saudaranya, berteriak penuh caci maki menghujat ayahnya. Kerumunan warga tersebut “menghukum” ayah Wayan Marda karena dianggap egois, tidak ikut menunaikan kewajiban menjadi krama desa pakraman (warga desa adat). Ia biasa mendongkel keputusan rapat desa, melakukan aksi perlawanan terhadap keputusan tersebut dengan membangkang dan memilih jalan “lain”, daripada suara mayoritas.

Spirit Kajian Budaya Bali



oleh I Ngurah Suryawan


Kajian Budaya Bali salah satunya berkembang melalui “tangan dingin” dan determinasi intelektual plus perjuangan–yang kemudian menjadi “monumen intelektual”—dari (alm) Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, ”bapak studi kebudayaan Bali”. Monumen intelektual yang dimaksud adalah beroperasinya Program Magister Kajian Budaya pada tahun 1996 dan Doktor Kajian Budaya pada tahun 2001 di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Bagi saya, hadirnya program studi kajian budaya di universitas tertua di Bali ini lebih daripada sekadar monumen. Program studi kajian budaya di universitas tertua di Bali ini menjadi ruang mediasi gerakan sosial dan intelektual Bali untuk mewacanakan kebudayaannya secara terbuka dan kritis. (Alm) Prof. Bagus seolah meletakkan pondasi studi kritik kebudayaan Bali yang (mungkin) diimpikannya untuk sebuah gerakan intelektual Bali yang memikirkan Bali tidak “ke dalam” dan esensialistik namun terbuka, kritis, dan dinamis dalam membaca relasi-relasi kebudayaan, kekuasaan, dan konteks kuasa kapital global yang mencengkram Bali. 

Senin, 09 Juli 2012

Senjata Antropologi




Oleh I Ngurah Suryawan


Sebuah buku yang mengesankan, karya Urvashi Butalia berjudul Sisi Balik Senyap, The Other Side of Silence (2002) memberikan banyak inspirasi. Sebuah karya “subyektif” yang jujur, dan sudah pasti terdapat keberpihakan penulisnya dalam menuturkan ingatan kepedihan, kegetiran dan pergulatan manusia dalam tragedi Pemisahan India dan Pakistan.

Kritik Mati bila Bali "Koh Ngomong"



Oleh: Wayan Sunarta


“Ede ngaden awak bisa, depang anake ngadanin.” Artinya, jangan mengira diri pintar, biarkan orang lain yang menilai.

Orang-orang Bali yang mengalami masa kanak-kanak di bawah tahun 1980-an pasti pernah mendengar kutipan tembang sekar alit ini. Tembang yang mengandung muatan nilai-nilai rendah hati ini merupakan tembang wajib yang diajarkan di sekolah dasar di Bali. Tembang sederhana ini sekarang hampir hilang dari pendengaran anak-anak Bali, digantikan lagu-lagu anak-anak modern.

Tradisi Metuakan di Karangasem




Oleh: Wayan Sunarta


(orang-orang tua metuakan di sebuah warung di Karangasem)
Pada sebuah sore yang indah, di sebuah warung tuak di Karangasem, sekelompok orang tua duduk melingkar beralaskan tikar. Di tengah-tengah lingkaran terhidang lima botol tuak, sate babi, lawar dan camilan lainnya. Sambil meneguk tuak, mereka tampak asyik bercengkerama tentang padi-padi yang mulai panen, tentang kesibukan para caleg mengobral janji-janji membela rakyat jelata, tentang situasi desa, dan sebagainya.

Di Bawah Lindungan Ida Bhatara Arak Api



Oleh : Wayan Sunarta


(proses membuat arak di Merita, Karangasem, Bali)
Ni Nyoman Noti (50) dengan sabar meniup bara di dalam tungku, perapian dari tanah liat, untuk menjaga api agar tetap menyala. Lebih dari tiga jam dia menjerang atau merebus tuak dalam belek, kaleng bekas tempat minyak goreng, yang tampak hitam dan kusam terbungkus jelaga. Di depan, tidak jauh dari belek, tampak jerigen besar yang juga telah kusam. Sebentang pengantang, buluh bambu sepanjang satu setengah meter, menghubungkan lubang belek yang tertutup rapat dengan lubang jerigen besar.

Antropologi yang “Memanusiakan Manusia”, Sebuah Refleksi



 Oleh I Ngurah Suryawan

Salah satu misi etis dan moral dari ilmu antropologi adalah merekognisi nilai-nilai kemanusiaan dalam kerja-kerja etnografinya dalam komunitas masyarakat. Kerja ilmu antropologi pada dasarnya adalah memahami sang liyan, the others, subyek penelitian dan proses pembentukan kebudayaan sebuah komunitas. Namun perdebatan paradigma antropologi sangat dinamis, seperti juga perkembangan ilmu ini yang terus-menerus tanpa henti mencari identitasnya. Namun ada satu hal yang disepakati adalah persoalan metodenya yaitu kerja lapangan yang panjang dengan obsesi memahami sang liyan tadi, subyek penelitian pada komunitas masyarakat yang ditelitinya. Namun siapa sang liyan dan apa itu kebudayaan perdebatan yang terjadi dalam antropologi terus-menerus berlangsung silih berganti.

PRAKTEK JUAL BELI JIN: REALITAS-REALITAS SEMU MASYARAKAT KONSUMER


 
(SEBUAH REFLEKSI PEMIKIRAN WACANA POST-SPIRITUAL YANG DIWARNAI DENGAN MISTISISME, OKULTISME, DAN TAKHAYUL)



oleh Bram Setiawan (mahasiswa Antropologi Udayana, angkatan 2008)


Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita                 
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa                  

Ebiet G. Ade (Berita Kepada Kawan)

                                   
Roda zaman menggilas kita
Terseret tertatih-tatih
Sungguh hidup terus diburu berpacu dengan waktu
Tak ada yang dapat menolong selain yang di sana
Tak ada tempat yang membantu selain yang di sana
Dialah Tuhan…

Ebiet G. Ade (Menjaring Matahari)


Untaian lirik lagu di atas bisa menjadi sebuah perenungan tentang realitas keseharian masyarakat modern, ketika dunia dikuasai oleh citra, gagasan dan objek yang merupakan refleksi hasrat manusia dengan bagaimana kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi mempunyai berbagai dampak klinis, khususnya dalam menciptakan berbagai problem psikopatologis dan kejiwaan pada individu-individu yang terlibat di dalamnya, telah banyak dilakukan studi mengenai hal tersebut. Dalam hal ini, perbincangan mengenai kegilaan dalam konteks perkembangan kapitalisme, lebih pada wacana budayanya meskipun berbagai terminologi klinis digunakan di sini sebagai landasan perbincangan. Kegilaan, dalam hal ini, tidak dilihat sebagai fenomena individu, tetapi sebagai fenomena yang inhern di dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Kegilaan di sini lebih dipandang sebagai sebuah “metafora kultural”, untuk menjelaskan berbagai kondisi kegilaan masyarakat (kapitalis) dan kebudayaan (kapitalisme), dengan berbagai dimensi, bentuk, dan karakteristiknya.

Minggu, 08 Juli 2012

Meng-etnografi-kan Bali Lewat Superman Is Dead




oleh DEGUNG SANTIKARMA


Gambaran antropologis ”tradisional” tentang Bali berawal dari kehidupan masyarakat desa, dengan ritme kehidupan petani, sawah, penggembala, subak, dan ritus keagamaan. Bali dilukiskan sebagai masyarakat yang homogen, asli, unik, alamiah, dan tak terjamah oleh pengaruh luar.

Karena kebijakan ”politik etis” Belanda, Bali dikarantina sebagai ”kawasan khusus” yang perlu dilindungi dari pengaruh luar, umpamanya pengaruh dari agama besar dunia, Islam dan Kristen. Menurut mereka, Bali dianggap satu-satunya Pulau Hindu yang masih eksis, tak berubah, sebagai bukti peninggalan peradaban besar Nusantara setelah Jawa mengalami arus gencar islamisasi. Lalu rezim pascakolonial menjual Bali sebagai daerah tujuan wisata, citra ketakberubahan Bali dilestarikan dan dilanjutkan sampai sekarang dengan bungkusan baru disebut ”Ajeg Bali”. Genealogi ”Ajeg Bali” menunjukkan suatu ”bukti diri” bagaimana disiplin antropologi, bikinan kaum penjajah tanpa diperiksa, diteruskan begitu saja oleh rezim pascakolonial.

(Renungan) Selamat Jalan Pak Cliff...

 oleh : Degung Santikarma

 
Ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Institute for Advanced Study, saya merasa bagai masuk ke sebuah "kandang macan" yang memompa denyut jantung deg-degan. Di sinilah sarang empunya ilmuwan berkumpul, tempat Albert Einstein, ahli matematika Kurt Godel, dan pembuat bom atom Robert Oppenheimer pernah berkantor.

Lembaga ini terletak di Princeton, New Jersey, di sebuah kampus yang luas dan sepi, dikelilingi hamparan pepohonan serta silih berganti kicauan burung dan gerombolan kijang yang haus lalu-lalang di dekat danau kecil.

Saat saya naik tangga ke lantai tiga, ruang tempat para ilmuwan sosial bermarkas, suasana menjadi semakin intimidatif, seolah-olah memasuki areal sakral pertapaan para pendekar dalam film kungfu. Di sepanjang lorong sempit, tertera deretan nama-nama di pintu—anehnya tanpa embel-embel gelar profesor-doktor yang membangunkan bulu kuduk seperti di Indonesia.

(Esai) Gemerlap Ritual: Ambiguitas dan Kekuasaan

oleh I Ngurah Suryawan


Ritual ngaben bagi keluarga yang ditinggalkan belum tentu berlangsung lancar. Banyak orang-orang Bali yang terkena musibah kematian harus tertimpa tangga bersitegang untuk mendapatkan setra (kuburan) untuk ngaben. Tidak tanggung-tanggung kemarahan warga ditunjukkan dengan menggeletakkan jasad di tengah jalan atau bahkan menghadang warga yang “bermasalah” untuk menguburkan atau meng-ngaben-kan jasad di setra. Lemparan batu dan umpatan pada sesama krama (warga) satu desa tidak sulit dilakukan karena dianggap telah melanggar awig-awig dan tidak memenuhi kewajiban sebagai krama adat. Saya sempat berada di tengah-tengah sebuah keluarga di sebuah desa kecil di Bali yang disepekang (dikucilkan) dan mempunyai musibah kematian tapi dihadang penguburannya oleh krama (warga) adat. Setra (kuburan) dipagari dengan batang-batang pohon dan puluhan krama melempari rumah warga yang dikucilkan. Setelah dikepung beberapa jam dan aparat kepolisian dating, akhirnya keluarga ini memilih untuk menguburkan jasad salah satu anggota keluarganya di setra desa tetangga. Proses itupun berlangsung selama berhari-hari dan dalam suasana yang menegangkan.

Sabtu, 07 Juli 2012

Refleksi 50 tahun Jurusan Antropologi Univ. Udayana



Kerabat, sangat tepat hari ini diadakan sebuah sarasehan untuk 50 tahun Jurusan Antropologi. Tulisan ini saya buat karena kecintaanku sebagai alumni atau “bekas” mahasiswa Antropologi Udayana yang akhirnya membuatku memperoleh gelar sarjana dari almamater ini.

Saya berpikir, mengembangkan sebuah jurusan di universitas selalu terletak kepada tujuan buat apa jurusan itu dibuat. Umur yang tidak lagi muda, waktunya kita bertanya, apa perlu Jurusan Antropologi Udayana ini dibuat maju sejajar dengan universitas lain yang memiliki jurusan sama, atau seperti ini saja, atau bahkan dimundurkan. Jawabannya terletak kepada pengelola jurusan dan alumni jurusan ini. Harapan saya jurusan ini menjadi sebuah jurusan yang layak menjadi pilihan pertama ketika ingin kuliah mengambil jurusan. 

PUISI UNTUK IKA



-Renungan HUT emas antropologi udayana-

hari ini, di tangga ke lima puluh
benih dan nafas antropologi
senantiasa tumbuh di sini
jiwa antropologi menyatukan kita,
mengikat kita dalam kekerabatan
yang hangat

jiwa antropologi adalah kita
kitalah yang memberinya bara, nafas dan makna
di tengah carut marut berbangsa dan bernegara