Oleh: Diah Dharmapatni
Seluruh masyarakat Indonesia tentu mengenal istilah
gotong royong. Dalam masyarakat Bali sikap gotong royong tercermin dalam
tradisi Nguopin. Tradisi nguopin berarti saling membantu keluarga
yang sedang mengadakan kegiatan atau upacara keagamaan. Tradisi saling membantu
ini dilakukan oleh kaum wanita dalam suatu lingkungan Banjar. Bantuan yang
diberikan berupa tenaga untuk membuat upakara atau banten yang akan digunakan
pada saat upacara berlangsung. Seperti upacara
perkawinan, upacara potong gigi, odalan di Sanggah/Merajan, dan lain-lain.
Tradisi
Nguopin hampir sama dengan Ngayah. Bedanya nguopin berada dalam skala yang lebih kecil, di lingkungan rumah
atau keluarga. Sedangkan ngayah
berada dalam skala lebih besar seperti di Pura (www.putuinten.multiply.com,
6/5,2010). Istilah lainnya yang juga hampir sama yaitu tradisi Mebat. Tradisi ini dilakukan oleh kaum laki-laki. Bentuk
kegiatannya adalah membuat makanan tradisional, seperti sate lilit, lawar, babi
guling, ayam panggang, dan lain-lain.
Tradisi nguopin yang masih
eksis hingga sekarang memang beralasan. Umat Hindu di Bali menggunakan upakara dalam jumlah yang tidak sedikit pada setiap
upacara. Keluarga yang akan melakukan upacara tersebut pasti akan kewalahan. Tradisi
nguopin ini sangat membantu ketika
ada keluarga yang akan mengadakan upacara tertentu. Sama halnya dengan makna yang
tersirat dalam peribahasa “Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing”. Pekerjaan
yang berat tentu akan terasa lebih ringan bila dikerjakan bersama-sama.
Selain
itu, tradisi ini terus dilakukan karena ada upaya balas budi. Bila sebelumnya
pernah dibantu, maka giliran yang bersangkutan membantu keluarga yang
mengadakan upacara tertentu. Hal ini dapat dikaitkan dengan salah satu prinsip yang dikemukakan oleh seorang ahli ekonomi Karl
Polanyi, yaitu resiprositas. Menurut
penganut aliran substantivis ini prinsip resiprositas merupakan prinsip dalam
sistem ekonomi yang paling tua. Prinsip tersebut dikembangkan dengan meninjau proses
sejarah ekonomi (Koentjaraningrat, Vol. II, 1990: 185).
Resiprositas
merupakan transaksi antara dua pihak di mana barang atau jasa dipertukarkan (Haviland,
Jilid 2, terj., Soekadijo, 1993: 50). Transaksi
tidak selalu berarti menggunakan uang. Prinsip resiprositas dalam tradisi nguopin ini menggunakan tenaga dan
keahlian membuat upakara atau banten. Prinsip ini juga mengedepankan usaha
bantu – membantu dalam pelaksanaannya. Produksi berupa upakara atau banten ini
pun tujuannya hanya untuk memenuhi kebutuhan upacara semata, tidak untuk
diperjualbelikan.
Motif lainnya yaitu untuk memenuhi kewajiban sosial pada
masyarakat tertentu. Tradisi yang telah diwariskan secara turun – temurun ini
menghasilkan suatu kebiasaan. Transaksi dan tukar – menukar tidak terjadi pada
waktu yang bersamaan. Namun, dalam jangka waktu yang
tidak dapat diperkirakan.
Dengan adanya tradisi ini, kewajiban
upakara yang harus diselesaikan dapat dipenuhi. Tentu saja dalam waktu yang
jauh lebih singkat dibandingkan mengerjakannya seorang diri. Tak hanya itu, hubungan antarkeluarga dan antartetangga
akan semakin erat. Pertemuan yang terjadi dalam tradisi nguopin dapat menjadi
ajang tukar - menukar informasi. Informasi tersebut dapat berupa kabar keluarga
atau berita seputar lingkungan Banjar.
Tradisi nguopin dan juga tradisi sejenis seperti ngayah dan mebat sangat
penting dipertahankan. Tradisi ini mampu menguatkan rasa kebersamaan
antarmasyarakat. Kebersamaan memang dapat dirasakan di tempat lain, seperti
tempat bekerja. Namun, kebersamaan dalam kegiatan adat memiliki makna yang
dalam sebagai masyarakat Bali seutuhnya. Sikap
gotong royong dalam tradisi tersebut terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sehingga,
dengan melakukan tradisi nguopin dapat pula berarti mengamalkan ajaran
Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar