Label

Rabu, 22 Agustus 2012

Lebaran “Nyama Selam” Di Pegayaman



Oleh Gede Budarsa (Jurusan Antropologi, Universitas Udayana angkatan 2009)


(suasana malam takbiran di desa Pegayaman)
Nyama Selam, mungkin masih asing di telinga kita. Dua kata tersebut merupakan sebutan bagi mereka umat muslim yang sudah mengintroduksikan budaya Bali dalam kehidupannya. Dalam bahasa Bali, nyama  berarti saudara dan  Selam  berarti Islam. Jadi mereka adalah sudara kita (Orang Bali) yang beragama Islam. Nyama selam saat ini sudah diakui sebagai salah satu etnis yang mendiami pulau seribu Pura ini (sumber: BPSNT BALI, NTB, NTT). Sementara mereka menyebut kita ( Orang Bali yang Beragam Hindu) sebagai  Nyama Bali. Dari penggunaan istilah tersebut jelas bahwa sesungguhnya kita adalah saudara yang mungkin dalam beberapa hal memiliki perbedaan. Yang membedakan jelas adalah Agama.  Kenapa ini bisa terjadi? Sejarahlah jawabannya.

            Salah satu Nyama Selam yang ada di Buleleng adalah Masyarakat desa Pegayaman. Desa ini terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 450 sampai 1.200 meter di atas permukaan laut. Jarak sekitar 65 Km dari Kota Denpasar atau sekitar 9 Km dari kota Singaraja. Jalan menuju desa ini berada di jalan raya Singaraja- Denpasar sehingga kita akan mudah menemukannya. Plang menunjuk jalan dan infranstuktur jalan yang memadai akan memudahkan kita sampai di Desa yang terkenal akan hasil perkebunan cengkehnya. Desa ini terbagi menjadi 5 dusun atau Banjar yaitu Banjar Dauh Margi, Dangin Margi, Kubu, Kubu Lebah dan Amerta Sari.
            Orang Pegayaman tak ada bedanya dengan orang Bali pada umumnya. Bentuk fisik yang sama, bahasa yang sama menjadikan kita susah membedakan mereka dengan orang Bali. Bedanya adalah mereka menggunakan jilbab atau peci jika keluar desa untuk suatu keperluan. Sejarah mencatat bahwa mereka merupakan campuran dari 3 etnis yang berbeda yaitu Bali, Jawa dan Bugis. Kisah mereka berawal dari masa pemerintahan KI Barak Panji Sakti di kerajaan Buleleng pada abad ke 16. Pada saat itu, dengan pasukan Goaknya, Ki Barak Panji Sakti berhasil Mengepung Kerajaan Blambangan di Jawa Timur. Kabar kemenangan tersebut tersebar luas hingga sampai ke kerajaan Mataram yang saat itu di perintah oleh Dalem Solo. Untuk menghindari peperangan lebih lanjut, mereka akhirnya sepakat untuk melakukan genjatan senjata. Selanjutnya, Dalem Solo menghadiahi seekor Gajah beserta 8 patih dari kerajaan Mataram yang saat itu sudah beragama Islam untuk mengiringi Ki Barak Panji Sakti bertolak ke Bali.
Sesampainya di Bali, para Patih tersebut ditempatkan di sebuah tempat yang saat ini disebut Banjar Jawa. Mereka memiliki tugas untuk membantu kerajaan Buleleng dalam menghadapi kerajaan – kerajaan lain yang hendak menyerang. Benar saja, ketika kerajaan Mengwi Tabanan menyerang, merekalah yang memimpin pasuka dibantu dengan pasukan Teruna Goak. Pasukan Mengwi akhirnya berhasil digempur Mundur hingga ke Desa Benyah atau saat ini menjadi Desa Pancasari hingga ke Desa Taman Tanda, Baturiti. Berkat jasanya tersebut, para Patih dihadiahi tanah di perbatasan Buleleng- Tabanan dan dipersilahkan membuka lahan seluas – luasnya. Tempat tersebut dulunya terkenal sangat angker. Dengan keberanian dan kemampuan para patih ini, mereka berhasil membangun sebuah desa di lereng bukit itu. Selain itu berkat jasa – jasanya dalam membantu Kerajaan Buleleng seorang Gadis keturunan Raja Buleleng dihadiahkan kepada salah seorang Patih. Di sinilah mulai terjadi percampuran Budaya antara jawa (Islam) dan Bali (Hindu).
            Beberapa lama kemudian, sekita tahun 1850an, Kapal ekspedisi Raja Hasanudin dari Sulawesi yang hendak menuju Jawa dan Madura terdampar di perairan Buleleng. Sebanyak 40 pasukan Bugis tersebut menghadap secara baik – baik ke Raja Ki Barak Panji Sakti. Mereka kemudian disambut hangat oleh raja dan diberikan kebebasan untuk memilih tinggal di pesisir atau di desa pegayaman mengingat mereka beragama Islam. Sebagian memilih di pesisir karena orang Bugis terkenal sebagai penjelajah laut dan sebagian lagi memilih bergabung dengan orang Pegayaman karena alasan Agama. Itulah asal mula mereka berasal dari 3 suku yaitu Jawa, Bali dan Bugis.
            Karakter ketiga etnis sampai saat ini masih ditemukan pada diri orang Pegayaman. Jawa dengan lembut, sopan, dan bertaninya, kemudian Bali dengan adat dan rangkaian upacaranya serta Bugis dengan karakter kerasnya. Jika kita bertemu dengan Orang Pegayaman tata krama dan sopan santunya akan muncul seketika saat kita mulai berbincang. Sementara dalam beberapa kegiatan keagamaan maupun sosialnya, kita masih jumpai adat Bali – Hindunya dan sewaktu – waktu apabila dalam keadaan terdesak, watak Bugisnya muncul. Mereka tidak segan – segan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah.
            Sementara mengenai asul – usul nama desa, setidaknya ada dua versi yang bisa kita gunakan sebagai referensi. Versi pertama adalah berasal kata Gayam (bahasa Jawa) yaitu sejenis tumbuhan yang buahnya bisa kita konsumsi. Dalam bahasa Bali disebut buah gatep. Konon sebelum dibuka menjadi pemukiman, tempat tersebut banyak ditemukan pohon Gatep atau Gayam sehingga disebut desa Pegayaman. Untuk versi kedua berasal dari Keraton Surakarta, Solo. Di Keraton Solo terdapat sebuah keris yang bernama Gayam. Hal ini menandakan bahwa orang Pegayaman merupakan kerabat dari Keraton Solo. Hal ini pun sudah diakui pihak Keraton Solo melalui ekspedisi sejarah Pegayaman pada tahun 2007. Ekspedisi tersebut difasilitasi oleh Puri Buleleng. 
            Percampuran budaya Islam – Bali sudah terjadi semenjak pertama kali berdirinya desa ini sekitar abad ke 16. Percampuran oleh beberapa pihak diklaim berawal dari perkawinan campuaran antara orang Pegayaman dan  orang Bali. Percampuran ini sampai saat ini masih terlihat. Misalnya saja dalam bahasa, sampai saat ini mereka menggunakan bahasa Bali dan mengenal Sor singgih Basa Bali. Dalam penamaan, layaknya orang Bali mereka juga melekatkan Wayan untuk anak pertama, Nengah untuk anak kedua, Nyoman untuk anak ketiga dan Ketut untuk anak keempat . Hanya saja tidak ada Wayan, Nengah atau Nyoman tagel  atau yang kedua. Nama mereka hanya berakhir pada Ketut. Untuk anak ke lima, dan seterusnya tetap menggunakan nama Ketut. Selain itu, dalam beberapa hari besar Islam, mereka juga menggunakan rangkaian kegiatan layaknya orang bali. Pada hari Maulid Nabi misalnya atau mereka menyebutnya dengan muludan, rangkaian perayaannya hampir mirip dengan upacara Piodalan pada masyarakat Hindu. Rangkaiangnya bisa sampai sebulan penuh dengan puncak acara mengarak sokok base seperti gebogan lengkap dengan daun, buah dan bunganya. Arak – arakan dilakukan sepanjang desa. Selain itu pada perayaan Lebaran, kita juga jumpai budaya Balinya yang sepertinya sudah mengakar. Rangkaian ini dimulai dari Penapean, Penyajaan, Penampahan Lebaran dan Umanis Lebaran.

Penapean
Dalam Budaya Hindu Bali, tape merupakan salah satu sajian wajib pada hari – hari besar tertentu seperti Galungan dan  Kuningan. Begitu pula di Desa ini. Tape sudah menjadi sajian wajib saat Idul Fitri. Penapean ini biasanya dilakukan 3 hari sebelum Lebaran karena tape membutuhkan waktu sampai 3 hari untuk fermentasi. Tape yang mereka buat juga sama seperti yang disajikan orang Bali saat galungan yaitu Tape beras atau Tape ketan Hitam. Kegiatan Penapean biasanya dilakukan oleh ibu – ibu di rumah masing –masing. Saking pentingnya tape saat perayaan lebaran, beredar mitos bahwa apabila seorang istri tidak bisa membuat tape akan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam berumah tangga. Bahkan hingga sampai pada perceraian. Inilah sebabnya apabila pemuda ingin mencari Istri harus yang mampu membuat Tape sendiri. Namun mitos tersebut telah tenggelam dimakan kemajuan Zaman.

Penyajaan
Penyajaan dalam bahasa Indonesia berarti membuat jajan. Masyarakat Pegayaman sudah mempersiapkan segala macam jajanan yang akan disajikan saat Lebaran dua hari sebelumnya. Jajanan tersebut akan disajikan saat ada kunjungan dari sanak saudara, kerabat, tetangga dan sebagainya untuk bersilahturahmi atau dalam istilah mereka berziarah saat Lebaran. Jajanan tersebut akan disajikan di meja tamu atau di ruang tamu selama Lebaran berlangsung. Yang unik dari sederetan jajana tersebut adalah jaja Uli ketan dan dodol yang merupakan ciri khas Bali. Dua jajan ini juga merupakan jajanan yang wajib ada saat Lebaran. Biasanya kedua jajan tersebut disajikan dengan tape sebagai pelengkapnya. Selain itu juga disajikan jajanan seperti kripik, roti, jajanan kering modern lainnya. Pada jaman dulu, biasanya mereka membuat sendiri aneka jajanan tersebut. Namun di era modern ini biasanya mereka tidak sempat membuat dan mamilih untuk membelinya. Namun untuk jaja uli ketan dan dodol biasanya harus di buat sendiri. 

Penampahan
            Sehari menjelang Lebaran disebut dengan Penampahan. Dalam bahasa indonesia tampah berarti memotong daging. Layaknya orang Bali, mereka mempersiapkan daging untuk sajian saat Lebaran dilakukan sehari sebelum hari raya tersebut. Biasanya daging yang mereka gunakan adalah ayam, sapi, atau kambing sesuai dengan ajaran Islam. Untuk ayam biasanya mereka memotong sendiri di rumah masing – masing. Sementara daging kambing atau sapi mereka lakukan secara kolektif. Dengan patungan mereka membeli sapi atau kambing dan memotongnya kemudian di bagi rata sesuai dengan kesepakatan. Sesuai dengan ajaran Islam, mereka dilarang keras untuk membeli daging diluar orang muslim. Hal ini disebakan karena dalam ajaran mereka ada doa – doa tertentu yang harus dipanjatkan sebelum hewan dipotong agar mendapat restu dari Tuhan. Selain itu juga untuk meminta maaf ke hewan yang hendak dipotong sehingga daging yang dikonsumsi bisa dikatakan Halal.
            Yang unik lagi pada hari ini terlihat ketika surya mulai merapat ke kiblat. Ibu – ibu dan remaja putri mulai nampak dengan menyuun nampan besar yang ditutup dengan penutup makanan. Penutup tersebut mereka sebut dengan saab, perlengkapan orang bali saat bersembahyang. Prosesi tersebut disebut dengan ngejot. Ngejot merupakan sebuah aktivitas dimana seorang warga memberikan jajanan atau makanan kepada sanak famili, kerabat, tetangga, orang yang dihormati dan sebagainya saat hari – hari tertentu. Dalam prosesi tersebut, warga Pegayaman biasanya menyuguhkan aneka jajanan seperti dodol, jaja uli dan tape dan makanan seperti nasi lengkap dengan lauknya dan Sayur. Saat sampai di tujuan, mereka langsung menyerahkan sajian tersebut kepada warga yang dituju. Ketika hendak pulang, tuan rumah juga biasanya membalas dengan memberikan jajanan dan makanan yang sama yang ada rumah untuk diberikan kembali kepada yang orang ngejot tadi. Sebuah transaksi yang unik. Biasanya sajian tersebut digunakan untuk berbuka puasa di akhir – akhir puasa. Sebuah tradisi yang penuh dengan makna dan filosofi. Hal tersebut tak ubahnya dengan tradisi ngejot  yang dilakukan orang Bali saat hari besar umat Hindu.
            Pada malam harinya, seperti layaknya warga muslim ditempat lain, mereka juga melakukan prosesi malam Takbiran. Gema Takbir terus berkumandang sebagai lambang kemenangan kaum Muslim karena sudah mampu melewatkan puasa selama sebulan penuh. Alunan takbir yang mengumandangkan “Allah Wu Akbar” seolah sebagai lonceng pemanggil warga untuk segera berkumpul di Masjid. Setelah semua warga berkumpul, Imam Masjid memberikan arahan teknis Takbiran kepada warga. Para tetua Desa, Imam, Ustad, Ulama dan parat desa berada di barisan paling depan. Disusul dengan anak – anak serta orang tua dan para pemuda dan pemudi. Letusan kembang api dan mercon seolah menambah semaraknya malam kemenangan tersebut. Ketika bersiap berjalan, para pemuda dan anak – anak yang sudah menyiapkan obor sebelumnya langsung meyalakannya. Gema takbir terus berkumandang dari pengeras suara masjid ditambah lagi dari warga sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Sepanjang perjalanan megitari desa, kumandang tersebut tak juga reda seakan mereka dengan tulus mengagungkan nama Tuhan. Mercon dan kembang apipun terus mengiringi  perjalan suci tersebut. Yang nampak saat itu adalah kobaran api yang berasal dari obor serta mercon dan kembang api serta gema “Allah Wu Akbar”. Seketika desa tersebut yang biasanya sepi, senyap berubah menjadi semarak. Di tengah perjalanan, terlihat api besar membumbung tinggi ke angkasa. Seketika pula warga yang turut dalam rombongan terenyang. Ternyata api tersebut berasal dari salah seorang pemuda yang meyemprotkan minyak atau cairan yang mudah terbakar ke arah obor. Seketika pula api besar membumbung dari obor tersebut. Seperti itulah warga Pegayaman merayakan kemenangan di hari yang suci tersebut.
            Sesampai di Masjid, gema tersebut tak kunjung usai. Alunan mercon dan indahnya kembang api juga tak surut. Sebuah wujud kegembiraan warga menyambut hari nan fitra. Warga satu – persatu meninggalkan masjid dan kembali ke rumah masing – masing. Dari pengeras suara masjid terus berkumandang Gema takbir hingga subuh. Bahkan anak – anakpun ikut berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Terdengar dari suara yang agak serat dan agak malu – malu dari arah pengeras suara masjid. Seperti itulah warga pegayaman menyemarakkan malam takbiran sebagai wujud syukur di hari kemenangan.

Lebaran
Pagi subuh di hari Idul fitri 1 Syawal 1433, masih terdengar sura takbir Tuhan. Seolah suara mereka tak habis –habisnya semalam suntuk mengumandangkan “ Allah Wu Akbar”. Suasana mulai kembali riuk ketika mentari menampakkan diri. Seluruh warga bersiap merayakan kemenangan dengan sholat atau menurut istilah orang pegayaman Sembahyang Id dan berziarah. Seperti pada lebaran – lebaran sebelumnya, mereka melakukan Sembahyang Id pada pukul 10:00 Wita. Yang wajib melakukan sembahyang Id di masjid adalah kaum Pria sementara para wanita melakukannya secara berjamaah di rumah atau di mushola terdekat. Untuk sembahyang Id di luar masjid bisa dilakukan sebelum atau seusai sembahyang Id di Masjid.
Mendekati pukul 10:00, Imam masjid kembali mengingatkan warga melalui pengeras suara agar segera merapat ke masjid. Tentu saja dengan menggunakan Bahasa Bali Alus. Setelah warga terkumpul sebagian mulai masuk ke areal masjid dan sebagian lagi masih duduk sambil merokok di areal parkir. Biasanya mereka yang segera masuk masjid adalah para orang tua untuk mempersiapkan tempat dan menggelar sajadah tempat bersimpuh memuja Tuhan. Sementara yang menunggu di parkiran adalah pemuda. Ada yang unik ketika mereka sedang asyik menunggu. Seorang pemuda terlihat melepaskan gelang karet yang ada di tanggannya secara paksa. Sepertinya gelang yang berwarna hitam dan putih dan berjumlah lebih dari 6 tersebut sudah lama melekat di lengannya. Dengan sekuat tenaga gelang tersebut berhasil diputus dan lepas. Mungkin saja pemuda tersebut ingin berpenampilan sempurna ketika berada di Rumah Tuhan untuk bersujud memuja kebesaranNya. Dari dalam masjid terdengar kembali gema yang mengagungkan nama Tuhan dari para Imam masjid yang diikuti oleh Jemaah. Secara bergantian kebesaran Tuhan terus dikumandangkan hingga doa sembahyang Id mulai terdengar. Para pemuda yang awalnya masih bersantai, bergegas masuk ke areal masjid untuk mengikuti sembahyang Id. Dari arah berbeda datang pula para jemaah yang tergesa – gesa masuk ke masjid. Susana seketika hening ketika doa – doa sembahyang Id mulai dikumandangkan.
Sekitar 15 menit kemudian, sembahyang Id berakhir yang selanjutnya adalah penyampaian Khotbah dari ulama masjid. Awalnya para jamaah sudah diingatkan agar terus berada di masjid sebelum acara usai. Namun nampaknya sebagian pemuda tidak tertarik untuk mendengarkan khotbah dan langsung meninggalkan masjid. Sementara yang masih bertahan di sana adalah para Orang tua dan sebagian pemuda. Isi khotbah tersebut adalah esensi dari puasa selama sebulan serta makna hari kemenangan. Tak lupa Ulama menyelipkan pesan – pesan yang ada dalam ajaran Islam kepada jamaah.
Khotbahpun usai, suasana dari dalam masjid kembali riuh. Semua jemaah secara bergantian bersalaman dengan para ulama dan Imam masjid tak lupa mengucapkan mohon maaf lahir batin. Setelah silahturahmi dengan Ulama usai, mereka mulai meninggalkan masjid dan pulang ke rumah masing – masing.
Di tempat yang berbeda, warga nampak ramai berjalan menuju kuburan atau pemakamam umum di Pegayaman. Dengan berbondong – bondong bersama keluarga, mereka mulai mendekati makam kelurga yang telah mendahului menghadap Tuhan. Doa – doa diucapkan untuk mendoakan agar mendapat tempat yang layak di sisi Beliau. Tangisan serta air mata pun turut menambah khusuknya berziarah. Setelah usai doa, mereka kemudian menabur bunga dan air sebagai tanda keiklasan keluarga yang ditinggalkan. Mereka kemudian berpamitan dan jalan menuju pulang.
Di tengah perjalana, berjabat tangan dengan warga lain seolah mejadi kewajiban. Ketika bertemu dengan orang yang dikenal mereka langsung mengucapkan “ Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal Aidzin Wal Faidzin” sambil berjabat tangan. Dari arah berbeda terdengar pula “Lahir Batin, Mbok”, seolah kata tersebut sudah mewakili permohonan maaf akan kesalahan – kesalahn yang telah diperbuat. Hampir semua warga tumpah ruah di jalanan. Pihak kepolisian turut bersiaga untuk mengawal jalannya hari raya. Seperti itulah pemandangan yang terlihat di desa nan unik tersebut hingga matahari menyongsong ke barat.
Di rumah – rumah warga, keluarga, kerabat, tetangga mulai berdatangan untuk bersilaturahmi sambil berbincang – bincang. Aneka jajanan yang telah disiapkan sebelumnya disajikan di atas meja tamu. Tak lupa jaja uli ketan, dodol dan tape yang merupakan ciri khas Lebaran turut disuguhkan. Seperti itulah aktivitas mereka sampai kegelapan mulai menyusup ke desa yang Subur tersebut.  
Manis Lebaran
            Setelah usai berhari raya, keesokan harinya yang masih merupakan rangkaian lebaran, mereka sebut dengan manis Lebaran. Hal juga sudah sangat lumrah pada masyarakat Bali setelah hari raya besar usai. Di hari ini biasanya warga Pegayaman manfaatkan untuk berziarah ke sanak famili yang berada di luar desa. Sebagian mengisi hari ini dengan berlibur ke tempat rekreasi bersama keluarga. Nampak warga mulai bersiap –siap. Sebagian dengan menggunakan mobil pribadi mulai meninggal rumah dan keluar desa untuk berziarah. Sementara sebagian lagi dengan menggunakan mobil pick up secara kolektif berangkat menuju tempat rekreasi.
Tempat yang paling banyak dipilih adalah tempat wisata kolam Air Sanih yang masih berada di kawasan Buleleng. Seorang pemuda menuturkan bahwa tempat wisata tersebut dipenuhi oleh warga Pegayaman sampai- sampai ada wisatawan luar Pegayaman tidak sempat mandi, hanya mencelupkan tangan ke kolam dan bergegas meninggalkan Tempat tersebut saking penuhnya. Untuk mengurangi pengeluaran, biasanya warga membawa makanan sendiri dari rumah dan menikmatinya bersama keluarga di tempat rekreasi tersebut.

Penutup
Sebuah pengalaman yang luar biasa bisa merayakan Hari besar nan fitrah di Desa Pegayaman meski penulis bukan umat Muslim. Setidaknya kita bisa mengambil hikmah dari rangkaian hari raya tersebut bahwasanya berbeda itu sesungguhnya sangatlah indah. Kita bisa memaknai perayaan tersebut sebagai bentuk percampuran Budaya Islam – Hindu sebagai ajang untuk saling mengisi, bukan berkonflik. Toleransi merupakan kata kuncinya. Mereka sangat terbuka dan saling menghormati. Terbukti dari diterimanya penulis selama beberapa hari untuk turut serta dalam perayaan hari besar tersebut, meski berbeda keyakinan. Hal ini terjadi karena memang mereka menganggap orang bali sebagai nyama atau saudara. Jika mereka bisa seperti itu, kenapa kita tidak? 







1 komentar:

  1. biasanya klo tulisan ttg yang ginian akan di comment oleh sebagian orang Islam yang diluar Bali sebagai suksesnya dakwah Islam di negeri orang atau subhanalla tapi bagi saya orang - orang Bali punya hati, tau berterima kasih alias kampung ini ada karena juga ada hubungan timbal balik yang baik, semoga orang - orang Islam dan kita semua bisa saling belajar, bahwa berbeda itu adalah takdir Sang Hyang Widi bukanya ngebom Bali.

    Rahajeng

    BalasHapus