oleh I Ngurah Suryawan
Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari,
Papua Barat.
Program Doktor (S3) Antropologi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
ngurahsuryawan@gmail.com
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua,
sekalipun ada orang yang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat,
tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin
dirinya sendiri”
(Pdt. I. S Kijne tentang masa depan rakyat Papua Barat di
Wasior Manokwari, 25 Oktober 1925)
Dr. Benny Giay (via Yoman 2005) mengungkapkan pernyataan
yang sangat tajam. Setelah “menganeksasi” Papua Barat, Pemerintah Indonesia
memperkenalkan sejarah Indonesia dan menggiring orang Papua untuk menerima
sejarah Indonesia sebagai sejarahnya. Proses pemaksaan sejarah dimutlakkan karena
menjadi bagian dari semangat Indonesiasisasi terhadap rakyat Papua.
Sejarah rakyat Papua “dihilangkan” melalui beragam cara.
Jika rakyat Papua berbicara tentang sejarahnya dianggap separatis, berbahaya
dan patut diwaspadai. Pembersihan, penghapusan, dan peminggiran sejarah rakyat
Papua dilakukan untuk membangun konstruksi bahwa Bangsa Papua tidak mempunyai
sejarah, dan Indonesia lah yang datang sebagai mesianistik yang membawa barang
yang bernama “sejarah” bagi Bangsa Papua.
Sejak tahun 1961-1962 (mulainya pemerintahan peralihan
PBB-UNTEA) hingga pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 14 Juli-2
Agustus 1969, menjadi momen krusial perdebatan status politik terhadap Tanah
Papua. Di dalamnya terdapat silang sengkarut dan klaim sejarah yang menyesatkan
yang tidak hanya melibatkan Pemerintah Indonesia, namun juga kepentingan
internasional.
Pasca Pepera 1969 inilah proses Indonesianisasi berlangsung
kencang di Tanah Papua. Beragam program pembangunan diintrodusir dengan
meminggirkan pengalaman dan nilai-nilai sosial budaya rakyat Papua. Sistem
sentralistik dan top down menyebabkan Tanah Papua hanya menjadi objek
pembangunan, hal yang sama juga terjadi di setiap daerah di Indonesia semasa
rezim otoritarian Orde Baru berkuasa. Diskriminasi berlapis juga terjadi karena
Papua bukan hanya jauh sejarah geografis, sebagai daerah paling timur di
Indonesia, tapi juga “jauh” secara kultural.
Essay singkat ini mendiskusikan dua poin penting. Pertama,
perdebatan cara pandang dalam gerakan sosial “nasionalisme” Bangsa Papua dan kedua,
gerakan historiografi subaltern melalui buku-buku yang diterbitkan oleh
cendekiawan-cendekiawan Bangsa Papua. Menjamurnya publikasi ini menjadi semacam
bentuk perspektif pengalaman rakyat dalam kerangka besar gerakan sosial Bangsa
Papua untuk menulis sejarah bangsanya sendiri.
Kompleksitas Status Politik dan “Nasionalisme”
Kompleksitas perdebatan status politik integrasi Papua ke
dalam Negara Indonesia hingga kini menjadi perdebatan tanpa henti. Rakyat Papua
beranggapan proses integrasi dan Pepera 1969 menjadi salah satu contoh
bagaimana “manipulasi” sejarah yang dilakukan Indonesia merebut Tanah Papua,
memompa serta memaksakan nasionalisme Indonesia dan memadamkan sejarah lokal di
Papua yang penuh dengan dinamika dan heterogenitas. Indonesia memaksakan
nasionalisme yang menyatakan bahwa Papua adalah bagian dari wilayah NKRI dengan
berbagai macam upaya dari manipulasi hingga intimidasi tanpa henti hingga kini.
Klaim Indonesia terhadap Papua berdasar pada legitimasi
hukum PBB yang mengesahkan Pepera 1969 dan menyatakan Papua bergabung ke
Indonesia. Namun, pengalaman rakyat Papua dan beberapa klaim penelitian
menyebutkan pelaksanaan Pepera 1969 penuh dengan rekayasa dan intimidasi, atau
hanya sebagai lelucon.
Integrasi Papua ke Indonesia hanya sebatas integrasi
wilayah, politik, ekonomi, dan keamanan. Integrasi Papua Barat ke dalam wilayah
NKRI dilakukan melalui proses yang tidak benar dan tidak adil. Masalah Papua
ini masalah sejarah integrasi yang tidak benar. Masalah status politik rakyat
Papua yang dikhianati, diabaikan dan dihilangkan. Masalah pelanggaran HAM yang
sampai saat ini masih berlangung. Masalah kegagalan pembangunan di Tanah Papua
karena pembangunan di Tanah Papua dilaksanakan dengan curiga dan pendekatan
keamanan yang berlebihan. (Yoman, 2010: 104-105)
Bayangan akan sebuah negara Papua Barat yang merdeka sulit
untuk dipadamkan hingga kini. Saya kira jika kita jujur membuka hati terdalam
rakyat Papua, bayangan akan negara yang merdeka dan berdaulat tidak akan pernah
mati oleh apapun. Beberapa catatan sejarah menguatkan bayangan memiliki negara
sendiri ini. Pada 5 April 1961, dengan bantuan Pemerintah Belanda, telah
dibentuk sebuah dewan rakyat, Nieuw Guinea Raad, dengan memilih
orang-orang Papua duduk di parlemen untuk merancang dan melaksanakan sebuah
negara merdeka. Pada 19 Oktober 1961, Dewan Rakyat Papua ini melaksanakan
Kongres Nasional I Papua di Hollandia (kini Jayapura) dengan hasil menetapkan
lagu kebangsaan adalah “Hai Tanahku Papua”, bendera nasional adalah “Bintang
Kejora” dan nama resmi negara adalah “West Papua”. Hari kemerdekaan diputuskan
pada 1 Desember 1961.
Lebih daripada itu, “nasionalisme” Papua terkonstruksi oleh
beberapa faktor. Pertama, kekecewaan sejarah terhadap proses integrasi
ke Indonesia. Kedua, elite Papua yang merasakan persaingan dengan
pejabat-pejabat Indonesia sejak penjajahan Belanda. Ketiga, pembangunan
ekonomi dan pemerintahan yang timpang dan semakin menunjukkan perasaan berbeda
(sense of difference). Keempat, banyaknya pendatang ke Papua yang
mendominasi kehidupan ekonomi politik yang semakin memperbesar perasaan
termarginalisasi orang Papua di daerah sendiri (Chauvel 2005; Widjojo dkk,
2009: 9).
Perspektif lainnya yang saling melengkapi mengungkapkan
bahwa “nasionalisme etnik” Bangsa Papua lahir selain memang ada kesadaran akan
etnik Papua, juga karena resistensi terhadap kekuasaan rezim otoritarian Orde
Baru dan permainan relasi kekuasaan internasional terhadap Papua. Di bawah Orde
Baru, untuk pertama kali dalam sejarah, Papua mengalami suatu
kolonialisme yang bukan cuma menyerap sumber daya alam ke wilayah lain,
tapi juga memperkenalkan pembantaian manusia oleh aparat negara. Dalam
kaitan itu, ada permainan dunia internasional terhadap Papua. Yang terakhir
ini merujuk pada peranan Belanda, Indonesia, PBB dan Amerika Serikat yang
akhirnya melahirkan kompromi Perjanjian New York 1962 dan Pepera (Penentuan
Pendapat Rakyat) 1969. Amerika, dengan obsesi Perang Dingin kala itu, membantu
Presiden Soekarno menuntut hak atas Irian Barat. Indonesia yang sudah mendapat
angin ketika itu dengan bebas merekayasa dan memanipulasi Pepera 1969 dengan
memperdaya 1026 wakil Papua.
Resistensi terhadap baku tipu (tipu muslihat) itulah
yang kemudian disuarakan oleh Bangsa Papua melalui berbagai bentuk ekspresi
demonstrasi, protes, dan penulisan sejarah pengalaman dan kekerasan yang mereka
alami. Oleh negara (baca: pemerintah Indonesia), sejarah pengalaman rakyat Papua
selalu dilekatkan menjadi sebuah kata yang begitu sakti yaitu: separatis.
Segala macam ekspresi identitas ke-Papua-an selalu dikambinghitamkan menjadi
gerakan ekstrimis, pro-merdeka dan dikaitkan dengan OPM (Organisasi Papua
Merdeka). Padahal dibalik historiografi kambing hitam terhadap Papua,
sebaiknyalah kita menengok sejarah panjang Papua masuk menjadi bagian NKRI. Di
dalamnya penuh pergolakan antara Belanda dan Indonesia. Nasionalisme dan
historiografi Papua pada akhirnya adalah pentas ketegangan antara Indonesia dan
Belanda yang tidak melibatkan sama sekali rakyat Papua. Penulisan historiografi
Papua juga didominasi para nasionalisme Indonesia yang menyingkirkan
nasionalisme ke-Papua-an yang merupakan identitas politik yang dibentuk oleh
pengalaman kolonial Belanda juga dengan kepentingannya untuk mempertahankan
kekuasaannya. Identitas ke-Papua-an pada pengalaman masa kolonial inilah yang
dikonstruksi sebagai antitesis nasionalisme ke-Indonesia-an oleh rakyat
Papua.
Nasionalisme ke-Indonesia-an yang diterapkan di Papua
bernafaskan militeristik. Ini diterjemahkan melalui DOM (Daerah Operasi
Militer) maupun rangkaian panjang kekerasan dan kebiadaban yang menimpa rakyat
Papua sebagai bentuk dehumanisasi, tidak menganggap rakyat Papua sebagai manusia.
Nasionalisme Indonesia menyatakan harga mati untuk NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia). Tapi, dibalik “politik NKRI” dan nasionalisme, terkandung
nafas militerisme yang kemudian merespon protes rakyat Papua terhadap kebijakan
negara yang memarginalalkan mereka, yang membuat kitorang tra maju-maju
(kita rakyat Papua tidak maju-maju) dengan pendekatan keamanan dan kekerasan.
Beberapa kasus penyiksaan aparat terhadap rakyat Papua menjadi contoh yang
gamblang dan disaksikan publik dengan jelas. Kekerasan politik dengan
pendekatan keamanan ini justru sering diklaim oleh pihak militer sebagai usaha
mulia untuk mempertahankan keutuhan NKRI melawan kelompok separatis yang ingin
keluar dari NKRI. Historiografi Papua pada akhirnya menjadi legitimasi negara
Indonesia plus narasi heroik dan patriotik dari militer.
Gerakan Historiografi Subaltern Bangsa Papua
Pasca
reformasi 1998, pentas gugatan dan kritik “historiografi sang kuasa” menjadi
wajah segar sejarah Indonesia sekaligus juga menghentakkan sejarawan akademik
Indonesia dari tidur panjangnya. Sejarawan akademik di universitas yang selain
menjadi “tukang catat sejarah negara” juga selalu digugat kontribusinya
sosialnya dan pada pengembangan ilmu sejarah sendiri menjadi lebih beragam dan
kritis. Universitas dan sejarawan akademik yang kaku dengan sumber sejarah dan
relasinya dengan pusat-pusat kekuasaan hanya menghasilkan karya-karya akademik
yang tidak membumi dan tidak memberikan perspektif baru dalam historiografi
Indonesia.
Roosa dkk (2004) dengan mengajukan metode sejarah lisan (oral
history) menganggap telah terjadi perluasan dan pengayaan pada ilmu sejarah
sendiri. Data-data dibangun dari bawah, bukan sekadar pada arsip dan
dokumen-dokumen. Dengan demikian sejarawan menjadi membumi, tidak hanya
berkutat dengan dokumen semata. Sejarawan pada akhirnya merujuk pada masalah
sosial yang terjadi lingkungannya. Dengan demikian, melakukan historiografi
bagi sejarawan bukan hanya sekadar melaksanakan proyek penelitian, menulis
tesis atau desertasi, namun ada keharusan untuk terlibat penuh dalam masalah
moral, kultural dan politik ketika hendak menulis
sejarah.
Seiring dengan pentas gugatan “historiografi sang kuasa”, di
Papua-pun pun kini telah tumbuh subur dengan hadirnya sejarah lokal, sejarah
kekerasan, pertarungan ekonomi politik, dan nasionalisme ke-Papua-an. Berbagai
aspek terkait dengan kekerasan dan kejahatan HAM, eksploitasi sumber daya alam,
gerakan perempuan, otonomi khusus, pemekaran wilayah menjadi tema-tema kajian
sosial dan sejarah Papua.
Publikasi buku-buku menggugat status politik, sejarah
kekerasan dan diskriminasi Bangsa Papua, monografi penelitian, dan laporan
kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua menjadi beberapa bahan penting
untuk melihat gejolak rakyat Papua yang dalam proses untuk menuliskan sejarah
mereka sendiri. Karya-karya intelektual Bangsa Papua seperti Sendius Wonda,
Socratez Sofyan Yoman, Sem Kroba, Dr. Nales Tebay, Dr. Beny Giay, hingga
Ibrahim Peyon dan yang lainnya menjadikan pergolakan intelektual dan aktivisme
di tanah Papua semakin menyegarkan. Ada sesuatu yang rakyat Papua inginkan
terhadap legitimasi ke-Indonesia-an yang selama ini dilekatkan pada mereka
secara sepihak oleh nasionalisme Indonesia. Historiografi akan menjadi lebih
demokratis, beragam, dan kritis jika kita menyimak kisah-kisah, protes, dan
kepedihan rakyat Papua karena kejahatan negara di daerah kelahiran mereka
sendiri. Dengan demikian, historiografi salah satunya dengan oral history
akan membongkar kejahatan negara dalam bentuk sistematisasi kekerasan dan
pelenyapan sejarah rakyat Papua.
Saya kira, gerakan menulis sejarah sendiri ini mendapatkan
konteksnya dalam bingkai gerakan pembebasan subaltern studies dan
penciptaan “gerakan kebudayaan revolusioner” seperti diungkapkan oleh Franz
Fanon. Saya akan mencoba mendiskusikan kedua gerakan sosial ini sembari
merefeksikan konteksnya di Tanah Papua.
Subaltern studies adalah
sebuah gerakan sosial pasca kolonial di India yang bertujuan untuk menuliskan
ulang sejarah sosial budaya India. Gerakan ini memberikan ruang
sebesar-besarnya terhadap kelompok marginal, yang dikalahkan, terpinggirkan dan
“kalah” dalam narasi sejarah yang dibuat oleh kekuasaan. Gerakan subaltern
studies ini tergabung dalam kelompok intelektual India kritis yang sering
disebut dengan Subaltern Studies Group. Adalah Ranajit Guha dan Gayatri
Chakravorthy Spivak, intelektual India yang kemudian mengambil dan
mengembangkan gagasan Antonio Gramsci, seorang marxis Italia, tentang subaltern
untuk menulis ulang sejarah India. Ranajit Guha mengatakan bahwa sejarah
dominan tentang nasionalisme India tidak menyertakan kelompok-kelompok subaltern
dan kelompok-kelompok pekerja dan lapisan menengah di kota dan di desa, yaitu
rakyat. Yang dimaksud Guha dengan subaltern adalah “mereka yang bukan
elite” dan yang dimaksud elit adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi
maupun asing”. Yang asing adalah pejabat-pejabat Inggris dan para pemilik
industri, pedagang, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan misionaris. Yang
pribumi dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang beroperasi di tingkat nasional
(pengusaha feodal, pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka yang
beroperasi di tingkat lokal dan regional (anggota kelompok-kelompok dominan).
Dalam masyarakat pascakolonial, suara-suara masyarakat
tertindas dalam kelas subaltern terfragmentasi, berlapis-lapis dengan
layer-layer yang kompleks. Suara-suara subaltern tersebar dalam
subjektivitas-subjektivitas manusia dan pengalaman sejarahnya. Dalam studi
pascakolonial, identitas-identitas dan subjektivitas-subjektivitas manusia itu
berubah dan terpecah-pecah. (Loomba, 2003)
Dalam konteks gerakan sosial di Tanah Papua, saya kira
penulisan sejarah dari bawah oleh sebagian besar intelektual Papua, terkait
dengan pengalaman dan gugatan terhadap “sejarah resmi” (baca:konstruksi negara)
sepantasnya diapresiasi. Sejarah aneksasi dan gugatan integrasi tentu tidak
akan didapat dalam Pelajaran Sejarah Nasional Indonesia. Begitu juga sejarah
kekerasan dan pelanggaran HAM tidak mungkin akan mendapatkan tempatnya. Yang
mungkin akan muncul adalah gambaran “tribal” dan “terkebelakangnya” rakyat
Papua dengan ikon koteka yang dianggap lebih rendah dari kebudayaan Indonesia
yang katanya adiluhung. Gambaran ini biasanya dilukiskan dalam etnografi
suku-suku terasing atau pelajaran suku-suku di universitas dan sekolah-sekolah
yang bias, menyesatkan dan juga sangat berperspektif kolonial.
Saya kira, kini saatnya gerakan sejarah subaltern
Bangsa Papua hadir ke permukaan menjadi suara gugatan. Ekspresi ini juga menjadi
medium untuk menegakkan identitas Bangsa Papua di tengah desakan interkoneksi
global melalui penetrasi perusahaan multinasional dan tipu muslihat politik
lokal yang menghimpit. Di dalamnya gerakan kebudayaan revolusioner bertumpu
pada modal dasar orang Papua dan refleksi kritis budaya asli Papua menuju pada
pembebasan dari kemiskinan dan ketertindasan.
Refleksi: Membaca Gerakan Sosial Papua
Di akhir tulisan ini, ada baiknya saya sarikan pemetaan
perspektif awal yang diuraikan oleh Aditjondro (2000: 49-56) dalam melihat
dinamika gerakan sosial yang terjadi di Tanah Papua. Pertama, yang
melihat Bangsa Papua tidak punya kebudayaan. Pengingkaran keberadaan kebudayaan
penduduk asli juga dapat digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan lain
untuk melecehkan penduduk asli dengan sangat kejam, walaupun tanpa membunuh
mereka. Kedua, faham hirarki kebudayaan, dimana kebudayaan-kebudayaan
Papua yang sesungguhnya sangat majemuk ditempatkan di anak-anak tangga
terbawah. Faham ini sangat jelas meremehkan kebudayaan sudah mengakar kuat di
Tanah Papua. Ketiga, reaksi “asmilasi bersyarat” dalam arti cendekiawan
maupun rakyat Papua yang mengadopsi kebudayaan Barat yang berlomba-lomba
mengolah kekayaan alam Papua sama halnya dengan para pendatang dengan semangat
kapitalis yang sama. Rakyat Papua sendiri juga menerapkan faham hirarki
kebudayaan terhadap masyarakatnya (Papua) sendiri. Keempat, bentuk
pelarian ke masa lalu di kalangan cendekiawan dan rakyat Papua dengan
pengukuhan identitas ras (baca: Melanesia) dan agama dominan (baca: Kristen)
menghadapi arus pendatang dari daerah lain di Indonesia. Kelima, gerakan
sosial untuk menciptakan “kebudayaan revolusioner” yang secara terfokus
berkiblat pada pembebasan penduduk asli Papua yang sayangnya belum banyak
dilakukan hingga
kini.
Beragam perspektif yang diungkapkan oleh Aditjondro (2000)
menjadi refleksi yang mendalam dan saya kira masih relevan hingga kini dalam
melihat gejolak sosial politik di Tanah Papua. Rangkaian panjang diskriminasi
kebudayaan, ingatan mendalam kekerasan dan pelanggaran HAM, baku tipu gula-gula
Otonomi Khusus antara elit lokal dan rakyat Papua, hingga gerakan pembebasan
Bangsa Papua terjadi silang sengkarut yang mewarnai dinamika gerakan sosial di
Tanah Papua.
Refleksi terdalamnya saya kira adalah soal kemanusiaan, soal
keterbukaan hati dalam relasi humanisme yang bermartabat. Sudah saatnya Rakyat
Papua mendapatkan haknya, kebebasan menyuarakan aspirasinya, mengekspresikan
dirinya dalam catatan historiografi “pengalaman mereka” untuk membongkar
rekayasa dan manipulasi terhadap diri mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus.
2000
Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi,
dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Elsam
Chauvel, Richard.
2005
Consctructing Papua Nationalism: History, Etnicity and Adaptation. Washington:
East-West Center
Loomba, Ania.
2003
Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang.
Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (Editor).
2004
Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai
Sejarah Lisan. Jakarta: Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut
Sejarah Sosial Indonesia
Yoman, Socratez Sofyan.
2005
Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM. Papua Barat: Lembaga
Rekonsiliasi Hak-hak Asasi Masyarakat Koteka (Lehamkot) Papua Barat.
Yoman, Socratez Sofyan.
2010
Integrasi Belum Selesai: Komentar Kritis atas Papua Road Map. Jayapura: Cenderawasih
Press
Widjojo dkk, Muridan.
2009
Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Past and Securing the
Future. Jakarta: Buku Obor, LIPI dan TIFA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar