Label

Rabu, 11 Juli 2012

Mau Kemana Kajian Budaya Bali?



Oleh: I Ngurah Suryawan

Belum lama ini, pada Maret 2009, pergolakan politik kebudayaan Bali sempat dihangatkan melalui perdebatan Gde Jayakumara dan Nyoman Darma Putra plus Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana (Unud). Pemicu perdebatan tersebut adalah kritik “pedas plus tendensius” Gde Jayakumara terhadap buku terbaru Nyoman Darma Putra, Bali dalam Kuasa Politik (2008). Selain persoalan notulensi kebudayaan dari perspektif jurnalis, ambisi membuat narasi besar kebudayaan Bali dari buku Nyoman Darma Putra yang dikritik Gde Jayakumara—yang dianggap pantas dibaca kemudian dilupakan—poin paling memerahkan telinga bagi yang merasa dikritik sudah pasti adalah pernyataan Gde Jayakumara, yang salah satunya menyebutkan akademisi-akademisi tua di Program Magister Kajian Budaya Unud seperti pikun-pikunan, mengigau dalam memberikan kuliah. Yang selalu melihat fenomena sosial, politik budaya di Bali hanya sebatas bentuk, fungsi, dan makna (Sarad 107 Maret 2009 hlm. 49).


Kontan pernyataan itu mengundang reaksi keras, terutama dari institusi Program Magister Kajian Budaya Unud. Diskusi pun digelar dan “penghakiman” Gde Jayakumara tak terhindarkan.Essay ini tidak akan membahas perdebatan tersebut. Nyoman Darma Putra sudah menuliskan artikel yang “bernas dan terkesan emosional” menanggapi kritik Gde Jayakumara. Windhu Sancaya di sisi lain terkesan membela dan mengagung-agungkan buku Nyoman Darma Putra. Gde Jayakumara pun tetap kukuh bertahan dengan pendekatan filsafat-nya. Dalam konteks pragmatis perdebatan ini, yang penting kan sudah sapih (imbang). Kritik Gde Jayakumara sudah dibalas oleh Nyoman Darma Putra, dan Kajian Budaya Unud sudah puas melampiaskan “sakit hatinya”. Lalu, bagaimana mengkontekskan perdebatan ini kemudian? Essay ini jelas tidak berkeingian membela salah satu pihak. Disamping tidak ada gunanya, juga akan menambah sempitnya perdebatan, yang nantinya berujung kepada egoisme dan keangkuhan akademik yang menyesatkan.

Muara dari perdebatan ini adalah pergolakan dan kontestasi panjang dan tanpa henti bagaimana meletakkan dan menganalisa pergolakan politik dan kuasa kebudayaan Bali hingga kini. Nyoman Darma Putra dengan kapasitas intelektualnya dalam karya terbarunya telah memberikan sumbangan dan “notulensi kebudayaan” yang sangat pantas diapresiasi. Gde Jayakumara meski terkesan tendensius telah berhasil memantik perdebatan yang penting dalam pergolakan politik kebudayaan Bali. Artikel ini berusaha untuk mengelaborasi salah satu tema yang saya anggap penting dalam pergolakan panjang politik kebudayaan Bali, yaitu dimana dan bagaimana posisi Kajian Budaya Unud dalam perdebatan politik kebudayaan Bali hari ini.

Setting dan Spirit Kajian Budaya Bali
Kajian Budaya Bali berkembang melalui “tangan dingin” dan detrminasi intelektual dari Prof. Dr. Gusti Ngurah Bagus. Dalam kiprahnya, khususnya dalam studi politik dan kebudayaan Bali, Prof. Bagus terkenal sangat kritis terhadap proyek pembangunan dan pariwisata di Bali. Meski pernah masuk menjadi anggota MPR, berbagai komentar-komentarnya di media massa, tulisan-tulisannya, dan studi-studinya secara tajam menunjukkan posisinya dalam membela masyarakat Bali yang “dikalahkan” oleh struktur kekuasaan. Pemikirannya dikemudian hari menjadi benih studi yang kritis dan menginspirasi kajian budaya Bali. Studi dan pencermatan Prof. Bagus, khususnya dalam hal kritisisme pembangunan dan pariwisata, sebenarnya bisa dijadikan salah satu titik tolak untuk pengembangan studi yang lebih detail dan tajam dalam kajian budaya. Secara khusus adalah bagaimana gejolak dan perubahan Bali pascakolonial, terutama yang menyangkut relasi kekuasaan antara tiga tema penting: (pembangunan) pariwisata, (politik) kebudayaan, dan (produksi dan relasi) kuasa.

Spirit Prof. Bagus kemudian terlembaga dalam Program Magister dan Doktor Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dimulai dengan pendirian Program Master (S2) pada tahun 1996 dan berlangsungnya Program Doktor (S3) pada 2001. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus adalah perumus dan pendiri program tersebut. Berlatarbelakang ilmu sastra dan antropologi, Prof. Bagus menjadi ruh kajian budaya di Bali sebelum beliau wafat pada 16 Oktober 2003.

Pasca wafatnya Prof. Bagus, tonggak-tonggak penting untuk studi kajian budaya seakan terlupakan. Seolah tanpa arah, warisan institusi yang dibangunnya (Program Master dan Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana) berjalan seolah tanpa ruh. Ruh tersebut bukan hanya pada sosok Prof. Bagus, tapi pada jejak pemikiran, spirit, dan pondasi awal krtisismenya pada gejolak politik kebudayaan Bali. Pondasi awal itulah yang menjadi tugas kajian budaya pasca Prof. Bagus untuk mengembangkan, menajamkannya dengan perspektif kekinian dari teoretisasi dan praktik politik kajian budaya. Itulah yang hilang.

Beragamnya (multidisiplinnya) kajian budaya justru adalah sebuah potensi dan kekuatan untuk mengembangkan ilmu ini. Justru yang terjadi bukan menjadi kekuatan bahkan kelemahan kajian budaya Bali sendiri. Multidisipliner diterjemahkan menjadi mengembalikan perspektif kajian budaya ke kajian “disiplin ilmu masing-masing”, bukannya dengan perspektif kajian budaya mengkaji bahkan mendebatkan persoalan yang terjadi dalam berbagai ilmu tersebut. Persoalan sudah tentu pada belum kuatnya pemahaman tentang kajian budaya sehingga sering muncul pertanyaan, di mana kajian budayanya? atau apa beda studi anda (kajian budaya) dengan kajian seni, kajian pariwisata, agama, atau kajian lainnya? Yang terjadi adalah banyak studi yang masih bercorak disiplin ilmu masing-masing. Padahal kajian budaya bukanlah sebuah disiplin, ia adalah istilah kolektif bagi upaya keras intelektual yang beragam dan sering bersitegang, yang menggeluti banyak persoalan, dan tradisi atas banyak posisi teoretis dan politik yang berbeda-beda.

Spirit kajian budaya pada dasarnya adalah mengkaji praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan, kemudian kajian budaya tidak hanya studi tentang budaya, seakan-akan ia merupakan entitas tersendiri yang terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleksitasnya dan menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan dirinya. Budaya dalam kajian budaya selalu menampilkan dua fungsi; ia sekaligus merupakan objek studi maupun lokasi tindakan dan kritisisme politik. Karena kajian budaya adalah multidisipliner, maka kajian budaya berupaya membongkar dan mendamaikan pengotakan pengetahuan. Kajian budaya juga melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern dan dengan garis radikal tindakan politik. Tradisi kajian budaya bukanlah tradisi kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi yang punya komitmen bagi rekonstruksi sosial dengan melibatkan diri dalam kritik politik. (Sardar dan Val Loon, 2001: 9). Spirit kajian budaya itu tentu menemukan konteksnya dari totalitas Prof. Bagus yang meletakkan pondasi awalnya.

Bali Pascakolonial: Budaya, (Politik) Kuasa, Pariwisata
Prof. Bagus dengan pendekatan antropologinya sejak awal melakukan studi bagaimana perubahan Bali, khususnya pada budayanya saat bersentuhan dengan pariwisata. Titik tegangan dalam studinya sudah tentu apakah budaya untuk pariwisata atau pariwisata untuk budaya? Lebih lanjutnya, untuk menghadapi derasnya industri pariwisata, bagaimana budaya (sebagai modal) harus ditempatkan dalam kepentingan pariwisata: dilestarikan atau dikomersilkan? Tentunya pertanyaan tidak sesederhana itu, bagaimana ketika sang kuasa (yang tersebar dan produktif) membentuk budaya dan pariwisata menjadi tema dan “ideologi” yang membadan dalam tingkah polah dan pikiran masyarakat Bali? Rezim Orde Baru secara sangat cerdik menebarkan kekuasaan bukan hanya sebagai bangunan monolitik seperti negara dengan segala aparatnya, tapi juga tersebar dalam berbagai jargon dan program seperti KB (Keluarga Berencana), Bali yang BALI (Bersih, Aman, lestari, Indah), lomba desa, jargon “musuh pembangunan”, dan yang lainnya.

Prof. Bagus dalam salah satu essaynya yang mengesankan, Keresahan dan Gejolak Sepuluh Tahun Terakhir di Bali: Beberapa Catatan tentang Perubahan Sosial di Era “Glokalisasi” (1999) menguraikan relasi kekuasaan yang terselubung dibalik layar “pembangunan pariwisata” yang digerakkan oleh Orde Baru terhadap Bali. Dibalik itu semua, terjadi terjadi rekayasa untuk memberi dukungan dan mengunggulkan Golkar (Golongan Karya) sehingga masyarakat Bali sejak awal pemerintahan Orba mengalami peng-Golkar-an. Rekayasa tersebut dipelopori oleh Adam Malik lewat pelaksanaan proyek di Kabupaten Buleleng yang adalah basis massa PNI fanatik. Peristiwa ini kemudian terkenal dengan istilah “Pembulelengan” atau “Bulelengisasi”. Artinya, lewat suatu rekayasa politik Orba (Golkar) dalam tempo singkat kader-kader PNI telah berubah menjadi “pahlawan” Golkar.

Beriringan dengan rekayasa kekuasaan Orde Baru dan Golkar tersebut, terjadi arus besar “penjualan” Bali melalui pelalapan tanah-tanah Bali untuk kepentingan industri pariwisata. Oleh karena itulah Bali sering diplesetkan menjadi Bakal Amblas Lantaran Investor. Salah satu fokus penting dari studi Bali pascakolonial adalah kritisisme terhadap pariwisata, budaya, dan pembangunisme yang menerjang Bali hingga kini. Dalam celah-celah tema tersebutlah kajian budaya bisa mengepakkan sayapnya. Bukan hanya menjadi studi “budaya turistik”, tapi melihat membongkar praktik pariwisatanisme dan pembangunisme melahirkan gejolak, keresahan, dan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat di Bali. Sementara jejak kekerasan yang ditinggalkan dalam praktik kolonialisme hingga rezim otoritarian Orde Baru memungkinkan kajian budaya bukan hanya menjadi ilmu yang elit, namun bisa bercermin dan mengakar pada pergolakan manusia Bali yang dibungkam dan terhempas dalam struktur kekerasan dan kekuasaan. Dari kesaksian dan pergolakan manusia Bali yang menjadi survivor kekerasanlah kajian budaya berhutang untuk menguraikan relasi kebudayaan, kekerasan, dan kekuasaan dari balik layar. Beberapa tema-tema lain yang bisa menjadi tonggak awal kajian budaya diantaranya tercermin dalam buku kumpulan tulisan Prof. Bagus, Mengkritisi Peradaban Hegemonik (2004).

Konteks pascakolonial sangat penting diajukan untuk melihat Bali bukan sebuah warisan yang steril dari relasi kuasa. Bingkai pascakolonial memberikan perspektif bagaimana melihat negara bekas jajahan dari pembongkaran warisan praktik kolonisasi tersebut. Warisan praktik kolonisasi telah membadan dan tercermin dalam praktik kehidupan negara jajahan, bahkan diadopsi oleh masyarakat terjajah untuk mempraktikkan kolonisasi sesama mereka. Warisan praktik kolonisasi inilah yang coba untuk dibongkar oleh perspektif pascakolonial. Perspektif pascakolonial juga memberikan ruang untuk kembali memeriksa “warisan adiluhung” yang telah diwariskan dan dibekukan tanpa kritik. Dalam konteks Bali, warisan rezim kolonial merasuk dalam beragam kehidupan masyarakat. Terbentuknya desa pakraman, hukum adat, bahkan adat, tradisi, dan budaya tidak terlepas dari campur tangan kekuasaan rezim kolonial. Beragam tradisi dan budaya yang sudah mendarah daging dan dianggap sebagai “warisan nenek moyang” sepatutnya diperiksa dalam pembentukan peradaban Bali.

Perspektif pascakolonial juga memberikan ruang seluas-luasnya untuk para kelompok masyarakat yang tersisihkan, terhempas dalam pergolakan politik kekuasaan untuk merumuskan dirinya kembali. Kelompok-kelompok subaltern menjadi salah satu perspektif penting dari studi pascakolonial selain politik kebudayaan, kritik sastra, dan identitas. Melalui narasi dan pergolakan kelompok subaltern ilmu sosial menjadi lebih manusiawi dan tidak menjadi elitis. Kesaksian kelompok subaltern yang menjadi survivor struktur kekuasaan akan menghadirkan berbagai narasi, siasat bahkan resistensi terhadap kekuasaan yang dominan.

Kontaminasi dan Pendisiplinan Kajian Budaya
Di tengah segudang harapan akan kajian budaya yang nge-trend dan menjadi fashion kalangan akademik belakangan ini, situasi ironis sebenarnya menyertainya. Menguraikan hubungan budaya dan kuasa seakan ironis dengan bekerja “di belakang meja” untuk melihat budaya massa hanya dari studi media, televisi, fashion dan kajian-kajian budaya pop yang ditawarkan kajian budaya. Pernyataan untuk menangkap wacana keseharian sebagai praktik kebudayaan merupakan antitesis dari wacana kebudayaan dominan yang meminggirkan suara-suara kaum lemah, terpinggirkan, subaltern juga sangat problematik.

Santikarma (2004) mengkritik hal ini dengan menggunakan tesis Pierre Bourdieu tentang habitus dan struktur kekuaasaan. Dalam jejak keseharian kebudayaan juga tersimpan struktur kekuasaan dan kekerasan yang terbadankan melalui jejak kekerasan struktural dalam hubungan sosial sehari-hari (trace of structural violence). Oleh karena itu, tidak ada subyek yang bebas dari kekuasaan dan tidak ada ruang sosial yang steril dari kuasa. Kalau begitu, untuk mengerti kekuasaan, tak cukup mengambil suara mereka yang terpinggir sebagai "suara alamiah perlawanan" yang murni dan tak terkorupsi. Mengurai struktur kekuasaan dan kekerasan yang membadan inilah yang menjadi problematika kajian budaya dan juga ilmu sosial secara umum.

Jebakan kajian budaya lainnya adalah pendisiplinan dan kontaminasi birokrasi universitas. Kajian Budaya yang sebelumnya antidisiplin menjadi disiplin menjadi bumerang tersendiri. Sebagai sebuah disiplin yang ditawarkan oleh universitas, ia menjadi bagian kemapanan akademik dan struktur kekuasaan lembaga pendidikan. Pada akhirnya, kajian budaya menjadi terlalu teknis, dangkal, dan tercerabut dari akarnya yaitu kehidupan dan realitas orang-orang yang tertindas yang seharusnya diberdayakan, dibuatkan strategi perlawanan dan perjuangan hidup. Kontaminasi pendisiplinan dalam kuasa akademik dan struktur kekuasaan universitas kemudian menyeret kajian budaya sebagai salah satu bagian dari industrialisasi pendidikan. Kajian budaya dalam salah satu sindiran dinyatakan menjadi “tong sampah” bercampurnya seluruh ilmu tanpa adanya pondasi yang kokoh terhadap pemahaman teoritik, ideologis, serta politis dari ilmu ini. Yang terjadi kemudian adalah pengukuhan elitisme kelas menengah melalui institusi pendidikan dan ritual birokratisme yang mendangkalkan proses pendidikan.

Kajian Budaya Unud berada dalam kondisi dilematis ini. Spirit kajian budaya yang dibangun Prof. Bagus terancam tergerus kontaminasi pendisiplinan dan birokratisasi pendidikan di universitas. Yang terjadi kemudian adalah beramai-ramainya “wajib belajar kajian budaya” dengan mahasiswa yang penuh sesak menanti ijazah untuk kepentingan naik pangkat jabatan atau kebutuhan pragmatis lainnya. Para dosen dan mahasiswa larut dalam rutinitas industrialisasi pendidikan yang hanya diukur dengan banyaknya jumlah mahasiswa yang masuk dan output tamatan dengan jejeran Indeks Prestasi (IP) yang mengagumkan.

Di tengah kondisi ini, inspirasi dan semangat di kalangan internal kajian budaya Unud untuk menggerakkan diskusi bulanan, kajian-kajian dalam JKB (Jurnal Kajian Budaya), impian untuk membuat pusat studi kajian budaya, penelitian tesis dan desertasi yang tajam dan menggugah selayaknya diapresiasi tinggi. Karena dengan hal itulah kajian budaya Unud semakin berkembang dan menjadi salah satu pusat kajian yang berkualitas dalam pentas politik kebudayaan Bali. Jadi, mau dibawa kemana kajian budaya Unud? Melalui essay ini saya menggugah sidang pembaca untuk memikirkan dan mendebatkannya.



I Ngurah Suryawan, Alumni Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana 2008. Kini Mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar