Label

Rabu, 11 Juli 2012

“Pencarian ke dalam Diri”, Meramu Percikan Pemikiran dan Permenungan I Gde Samba




Oleh : Wayan Sunarta *


Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang ditulis dalam bahasa Sanskerta oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Terdiri dari 18 kitab, atau Astadasaparwa, yakni Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mosalaparwa, Mahaprastanikaparwa, Swargarohana parwa. Inti kisah Mahabharata adalah konflik Pandawa dengan sepupunya Korawa dalam memperebutkan hak atas kerajaan Astina, yang mencapai klimaksnya pada peristiwa perang Bharatayudha di Kurusetra, yang berlangsung selama 18 hari.


Sementara itu, Ramayana merupakan kisah perjalanan Sang Rama, sebuah epos besar yang ditulis dalam bahasa Sanskerta oleh Rsi Valmiki (Walmiki, Balmiki) dari India. Ramayana terdiri dari tujuh kitab (kanda), yakni Balakanda, Ayodhyakanda, Aranyakanda, Kiskindhakanda, Sundarakanda, Yuddhakanda, Uttarakanda. Inti dari kisah Ramayana adalah perang antara Rama yang dibantu pasukan kera melawan Rahwana berserta pasukan raksasanya. Pemicu perang dahsyat itu adalah penculikan Sita (istri Rama) oleh Rahwana.

Selain berisikan kisah kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata dan Ramayana juga mengandung nilai-nilai ajaran Hindu, mitologi, dan berbagai renungan perihal kehidupan manusia. Bahkan, renungan-renungan dari kedua kitab kuno ini bersifat sangat universal, karena mengungkapkan perihal tabiat/watak, pola perilaku kehidupan manusia, bisa dialami oleh siapan pun, kapan pun dan di belahan dunia mana pun. Kedua kisah yang dibumbui romantika dan heroisme ini juga mengajarkan budi pekerti, konsep kepemimpinan yang bijaksana, hingga pemahaman spiritualitas. Kedua kisah ini tak akan pernah lekang oleh zaman, selalu kontekstual dari masa ke masa. 

Seiring perkembangan dan penyebaran peradaban Hindu, kisah ini pun tersebar hingga ke Asia Tenggara. Di Nusantara, terutama di Jawa, beberapa bagian kisah ini disalin atau ditulis ulang dalam bentuk prosa berbahasa Kawi (Jawa Kuno), terutama pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh di Kediri (991-1016 M). Kemudian, beberapa kisah ini pun disalin dalam bentuk kakawin (puisi berbahasa Kawi). Yang terkenal adalah kakawin Arjunawiwaha yang digubah Mpu Kanwa pada masa 1028-1035 M, yang dipersembahkan untuk Raja Airlangga dari Kerajaan Medang Kamulan, menantu Raja Dharmawangsa. Selain itu, juga ada kakawin Bharatayudha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, yang dipersembahkan untuk Prabu Jayabhaya (1135-1157 M) di Kerajaan Daha (Kediri). Mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya pada masa Raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri. Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Krisnayana (karya mpu Triguna) dan Bomantaka (karya pengarang tak dikenal), keduanya dari zaman kerajaan Kediri. Ada juga kakawin Parthayana (karya Mpu Tanakung) di akhir zaman Majapahit. Semua naskah itu ditulis di atas bilah-bilah daun lontar. Kitab Bharatayuddha juga digubah oleh pujangga keraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern, sekitar abad ke-18. Kisah ini juga disajikan dalam bentuk komik yang sangat menarik oleh R.A. Kosasih, selain juga diceritakan ulang dalam banyak buku oleh para pengarang Indonesia.

Kisah Mahabharata dan Ramayana juga berkembang dan menginspirasi berbagai bentuk seni budaya yang sarat dengan nilai-nilai luhur dan pendidikan budi pekerti, terutama di Jawa dan Bali. Misalnya, direpresentasikan dalam bentuk seni ukir/patung, lukis/gambar, relief (pada banyak candi), tari, gamelan, seni pertunjukan (wayang, drama, topeng, sendratari, dll). Dalam seni dan budaya kontemporer, kisah ini juga menginspirasi sastrawan, penyair, seniman teater, tari kontemporer, perupa, musik, film, sinetron, dan banyak kesenian lainnya. 

Lalu, apakah kisah dalam Mahabharata dan Ramayana yang ditulis Vyasa dan Valmiki sekitar 1500 SM itu fiksi atau fakta? Sebagian menganggapnya fiksi, sebagian menganggapnya fakta dan menginspirasi pengarang zaman itu untuk menuliskannya kembali sebagai cerita sejarah. Para ahli arkeologi, sejarah, antropologi, teknologi berupaya memelajari dan menggali kembali kisah Mahabharata dan Ramayana. Banyak ahli menganggap kisah itu benar-benar terjadi dengan bukti penemuan benda-benda arkeologis di tepian sungai Indus, Mohenjo Daroo (Pakistan Utara), jembatan kuno di bawah laut yang menghubungkan India dan Srilanka (Jembatan Rama). Ada juga ahli yang berkesimpulan bahwa peradaban pada zaman Mahabharata dan Ramayana sungguh sangat maju. Mereka sudah mengenal nuklir dan pesawat mirip UFO (weimana/vimana). Bahkan, melalui sejumlah riset, para ahli menarik kesimpulan bahwa perang Bharatayuda memang pernah terjadi dengan melibatkan teknologi roket, peluru kendali, nuklir dan teknologi dirgantara. Ada pula yang berteori bahwa kisah Mahabharata dan Ramayana terjadi pada masa peradaban Atlantis, sekitar 30000-15000 SM. Peradaban tersebut hancur akibat perang nuklir. Setelah itu, manusia kembali memasuki zaman primitive, sampai akhirnya lahir peradaban Sumeria, sekitar 4000 SM.
Buku yang ditulis oleh I Gde Samba, “Pencarian ke Dalam Diri, Merajut Ulang Budaya Luhur Bangsa” yang diterbitkan Yayasan Dajan Rurung Indonesia (Bandung, September 2011), merupakan sebuah tinjauan dan penggalian kisah Mahabharata dan Ramayana, yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan mutakhir kebudayaan, kemanusiaan, keagamaan, kemasyarakatan, kenegaraan/kebangsaan. Dari “situs” Mahabharata dan Ramayana, Samba menggali dan menemukan banyak “harta karun” permenungan, yang kemudian diolahnya menjadi serpihan-serpihan catatan yang cenderung subjektif, yang bisa menjadi bahan renungan kita bersama. 

Ketika membaca buku ini, kita seperti membaca lembar demi lembar catatan harian. Namun, jelas bukan membaca catatan harian remaja ABG, melainkan catatan harian yang dibuat oleh seseorang yang telah mencicipi dan mengalami begitu banyak sajian kehidupan. Di dalam catatan-catatan yang ditulis dengan bahasa sederhana/polos ini, Samba menuangkan pujian, kritikan, banyolan, celoteh, persepsi, pandangan pribadi (opini), idealisasi, filosofi, keinginan/harapan, terhadap berbagai persoalan yang mengusik pikiran dan perasaannya. 

I Gde Samba lahir di Dusun Beng, Tunjuk, Tabanan, Bali, Maret 1942. Dia pernah bekerja sebagai Fisioterapis di RS Hasan Sadikin, Bandung. Dia juga mendirikan Yayasan Fisioterapi Bandung yang menyediakan pelayanan fisioterapi untuk masyarakat. Pada 2007, dia menerbitkan buku “Fisioterapi Konseptual, Sebuah Pengantar”. Selama 1992-1997, dia menjabat sebagai Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia untuk wilayah Jawa Barat. Sejak kanak-kanak dia telah menggemari dunia seni dan budaya, terutama kisah pewayangan, yang kemudian dituangkannya melalui permenungan-permenungan di buku ini.

Dalam buku ini, Samba membayangkan dirinya sebagai seorang murid (sisya) yang berguru (bernabe) pada Vyasa dan Valmiki. Mata pelajaran utama yang sedang dipelajarinya tentu kitab Mahabharata dan Ramayana. Dia menggali banyak filosofi kehidupan dari kedua kitab itu. Di bagian akhir masing-masing catatannya, Samba berdiskusi dengan “guru”nya perihal “penggalian” dan “penemuan”nya, yang antara lain melingkupi permenungannya tentang kebenaran, hukum, sejarah, ilmu dan teknologi, pendidikan, konsep Rwabhineda, kejujuran, budaya hidup sehat, kekayaan dan kekuasaan, perihal agama dan Tuhan, kebebasan, kasta, kearifan lokal, gender/feminisme, cinta dan seks, dan sebagainya.  

Teknik yang dilakukan Samba, mirip dengan kisah Ekalaya, dalam suatu adegan Mahabharata. Ekalaya ingin belajar memanah pada Guru Besar Drona yang merupakan guru resmi Pandawa dan Kurawa. Namun, Drona menolak Ekalaya, dengan alasan dia tidak boleh mengajar ksatria di luar Pandawa dan Kurawa. Dengan perasaan sedih, Ekalaya pulang ke rumah. Namun, keinginan belajarnya tak pernah surut. Dia kemudian membuat patung Drona, menyembah dan menghormati patung itu selayaknya manusia bernyawa. Dengan tekun dia belajar memanah di hadapan patung itu, seakan-akan patung itu adalah gurunya. Hasilnya, luar biasa, dia menjadi pemanah yang jauh lebih hebat melebihi Arjuna. Samba dan Ekalaya adalah sosok-sosok otodidak yang pantang menyerah untuk mampu menguasai suatu pelajaran. Sebagaimana Ekalaya belajar ilmu panah di hadapan patung Drona, Samba pun belajar ilmu kehidupan melalui kitab Mahabharata dan Ramayana.

Samba mengaitkan setiap permenungan dan pemaparannya tentang suatu pokok persoalan dengan perwatakan dan berbagai kisah dalam Mahabharata dan Ramayana. Misalnya, ketika membahas perihal kejujuran, Samba memakai Prabu Dharmawangsa sebagai contoh. Ketika memaparkan pendidikan informal (otodidak), dia memunculkan sosok Ekalaya. Ketika berbicara kenegaraan/kebangsaan, Samba memberi contoh ajaran Asta Brata dalam Ramayana, yakni delapan tuntunan menjadi pemimpin yang bijaksana. Seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat kedewaan, seperti Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni. Begitu pula, ketika memaparkan perihal cinta dan seks, Samba menuangkan permenungannya dari kisah Bagawan Wisrawa dan Dewi Sukesi dalam Ramayana.

Mahabharata dan Ramayana adalah produk kebudayaan India, yang dikenal luas di banyak negara. Dalam hal ini, perlu saya paparkan bahwa sumber kebudayaan ada pada otak (pikiran) manusia. Itulah yang membedakan manusia dengan hewan dan tumbuhan. Ketika manusia mengembangkan pola pikirnya maka lahirlah kebudayaan. Seperti halnya, Vyasa dan Valmiki yang menciptakan Mahabharata dan Ramayana, yang hingga kini menjadi rujukan penting untuk memahami kebudayaan India, Jawa dan Bali. Bahkan kisah tersebut menjadi lakon pewayangan yang telah melahirkan banyak filosofi kehidupan yang hingga kini masih dijalani  oleh masyarakat tradisional Jawa dan Bali.

Ada banyak definisi kebudayaan dan peradaban dari para ahli ilmu humaniora (antropologi dan sosiologi). Secara klasik, kita mengamini kata budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yakni buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Namun, dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Kata culture diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. 

Budaya adalah suatu cara hidup, yang terus berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit. Bahasa (baik lisan/tulisan) merupakan elemen terpenting untuk mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya. Melalui bahasa pula, kebudayaan bisa dipelajari. Misalnya, melalui bahasa kita bisa belajar kebudayaan India, kebudayaan Barat, dan sebagainya. Dalam konteks ini pula, buku atau penerbitan buku menjadi sangat penting maknanya sebagai salah satu upaya pewarisan kebudayaan.

Antropolog Amerika C.Kluckhohn, dalam bukunya “Universals Categories of Culture”, membagi kebudayaan menjadi tujuh unsur universal, yakni sistem kepercayaan (religi), sistem pengetahuan, peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian atau sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, dan kesenian. 

Sementara itu, J.J. Hoenigman membedakan wujud kebudayaan menjadi tiga pilar penting, yakni gagasan, aktivitas, dan artefak. Gagasan merupakan wujud kebudayaan dalam tataran ideal, berupa kumpulan ide, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya. Wujud ini bersifat abstrak, tak dapat diraba ataupun disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala atau di alam pikiran manusia atau masyarakat. Jika suatu masyarakat menyatakan gagasannya dalam bentuk tulisan, maka lokasi kebudayaan ideal itu berada dalam karangan atau buku-buku hasil karya para penulis/pengarang dari warga masyarakat tersebut.

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial, yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Artefak adalah wujud fisik kebudayaan, hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
 
Buku adalah salah satu wujud fisik kebudayaan. Buku ini, misalnya, bermula dari gagasan Samba untuk mengeksplorasi dan menafsir ulang secara filosofi karya Mahabharata dan Ramayana. Eksplorasi itu tentu tak bisa dilepaskan dari interaksi Samba sebagai mahluk sosial dimana dia begitu banyak menyaksikan atau pun mengalami peristiwa yang kemudian direnunginya dan menghasilkan percikan-percikan pemikiran dan permenungan yang terkumpul dalam buku ini.

Dalam buku “Tafsir Kebudayaan” (1992), antropolog Amerika Clifford Geerts menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif, sebuah konsep semiotik, dimana kebudayaan dilihat sebagai suatu teks yang perlu diinterpretasikan maknanya, ketimbang sebagai suatu pola perilaku yang sifatnya kongkrit. Geerts mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian dimana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik, diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-orang mengomunikasikan, mengabadikannya, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik. Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan. 

Buku yang ditulis I Gde Samba merupakan bentuk penafsiran terhadap kisah Mahabharata dan Ramayana. Misalnya, Samba menafsirkan perang Bhratayuda sebagai bentuk perang dharma (kebenaran) melawan adharma (kebatilan). Kebenaran dan kebatilan ada dalam setiap diri manusia. Medan perang yang sesungguhnya ada dalam diri masing-masing manusia. Untuk mencapai kemenangan dan kesempurnaan, manusia harus mampu menundukkan musuh-musuh di dalam dirinya. Samba menafsirkan Perang Brathayuda bukanlah perang dengan tujuan menghilangnya nyawa musuh, melainkan perang melawan diri sendiri. Bahkan, perwatakan tokoh-tokoh Mahabharata dan Ramayana sesungguhnya juga terdapat dalam diri setiap manusia, baik yang protagonis maupun antagonis. 

Dalam terminologi Hindu, dikenal adanya Sad Ripu (enam musuh) utama dalam diri manusia, yakni Kama (nafsu indrawi), Lobha (keserakahan), Krodha (kemarahan), Mada (kemabukan), Moha (kebingungan/keangkuhan), Matsarya (iri hati dan dengki). Sad Ripu jika tak dikendalikan akan melahirkan Sad Atatayi (enam kejahatan), yakni Agnida: membakar rumah atau milik orang lain, meledakkan bom, termasuk membakar dalam arti kias yaitu memarahi orang sehingga orang itu merasa malu dan terhina. Wisada: meracuni orang atau mahluk lain. Atharwa: menggunakan ilmu hitam (black magic) untuk menyengsarakan orang lain. Sastraghna: mengamuk atau membunuh tanpa tujuan tertentu karena marah. Dratikrama: memperkosa, pelecehan seksual. Rajapisuna: memfitnah.

Tak ada kebudayaan yang stagnan. Karena pikiran manusia selalu berkembang dan berubah, maka kebudayaan juga bisa berubah dari masa ke masa. Di antara tujuh unsur kebudayaan, sistem kepercayaan (religi) yang paling sulit berubah, dan yang paling mudah berubah adalah kesenian. Antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya bisa saling memengaruhi, sehingga melahirkan akulturasi, asimilasi, sintesis. Ini termasuk penetrasi kebudayaan dengan jalan damai (penetration pasifique).

Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, kisah Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India menjadi bentuk lakon pewayangan ketika tersebar di Jawa dan Bali. Bahkan dengan penambahan tokoh-tokoh punakawan yang tidak ditemukan dalam cerita aslinya. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.

Namun, suatu kebudayaan bisa juga masuk ke kebudayaan lain dengan jalan kekerasan (penetration violante). Jenis penetrasi kebudayaan seperti ini seringkali menimbulkan konflik, peperangan dan terjadinya kehancuran pada suatu kebudayaan yang berhasil ditundukkan oleh kebudayaan lainnya. Hal itu, misalnya, terjadi ketika Belanda menjajah Nusantara dan memaksakan kebudayaannya masuk ke kebudayaan lokal di Nusantara. Atau, ketika warga Papua pada zaman rezim Soeharto, dipaksa memakai baju dan celana karena dianggap lebih beradap ketimbang koteka.

Kebudayaan dengan tujuh unsurnya itu diciptakan manusia berfungsi untuk memuaskan suatu rangkaian hasrat atau naluri akan kebutuhan hidup manusia (basic human needs). Misalnya, sistem religi (animisme/dinamisme) diciptakan manusia bertujuan untuk menjawab ketakberdayaan manusia dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan yang sulit diterima akal manusia. Agama juga berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia berkaitan dengan Sang Penciptanya. Selain itu, unsur-unsur lain dalam kebudayaan juga bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia yang terus berkembang dari zaman ke zaman.

Karena kebudayaan bersumber dari pikiran manusia (akal budi), maka setiap manusia berpotensi untuk menciptakan atau melahirkan kebudayaan. Misalnya, penemu internet dan facebook telah berhasil membuat suatu kebudayaan baru, yakni cyberculture, yang memungkinkan manusia dari berbagai belahan dunia berkomunikasi, berinteraksi di dunia maya, saling memengaruhi, saling memelajari kebudayaan masing-masing secara instan, sehingga melahirkan globalculture.

Kebudayaan menghasilkan peradaban, yang diukur dari tingkat kemajuan pengetahuan manusia, terutama berkaitan dengan teknologi dan sistem sosial. Kebudayaan dan peradaban adalah dua hal yang saling berkaitan. Istilah peradaban sering dipakai untuk menilai tingkat perkembangan kebudayaan. Biasanya, suatu bangsa atau suatu golongan yang merasa memiliki peradaban tinggi cenderung menganggap peradaban lain rendah. Misalnya, bangsa Barat yang menganggap bangsa Timur terbelakang, bahkan primitive. Dan, tentu saja, perkembangan masing-masing kebudayaan dan peradaban berbeda-beda di berbagai wilayah di dunia. 

Uraian saya perihal teori dan konsep kebudayaan berkaitan dengan pembacaan saya terhadap buku karya I Gde Samba ini. Sebab, di dalam buku ini, Samba berupaya mengajak kita untuk merajut ulang budaya luhur bangsa, suatu konsep atau pencitraan yang membuka peluang untuk dibahas dan didiskusikan. 

Kesimpulannya, buku ini merupakan kumpulan catatan pribadi atau opini tentang berbagai persoalan yang mengusik pikiran dan perasaan I Gde Samba. Sebagai catatan yang bersifat subjektif, tentu saja ada sisi yang bisa diamini, namun ada juga sisi yang perlu dikritisi. Namun, selain dikritisi, kehadiran buku ini perlu disambut suka cita, karena memberikan kita percikan-percikan pemikiran dan permenungan yang bisa dipakai untuk memaknai kehidupan ke arah yang lebih baik.

*Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar