Oleh : Wayan
Sunarta *
Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang ditulis dalam bahasa Sanskerta oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Terdiri dari 18 kitab, atau Astadasaparwa, yakni Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mosalaparwa, Mahaprastanikaparwa, Swargarohana parwa. Inti kisah Mahabharata adalah konflik Pandawa dengan sepupunya Korawa dalam memperebutkan hak atas kerajaan Astina, yang mencapai klimaksnya pada peristiwa perang Bharatayudha di Kurusetra, yang berlangsung selama 18 hari.
Sementara itu, Ramayana merupakan kisah
perjalanan Sang Rama, sebuah epos besar yang ditulis dalam bahasa Sanskerta
oleh Rsi Valmiki (Walmiki, Balmiki) dari India. Ramayana terdiri dari tujuh
kitab (kanda), yakni Balakanda, Ayodhyakanda, Aranyakanda, Kiskindhakanda,
Sundarakanda, Yuddhakanda, Uttarakanda. Inti dari kisah Ramayana adalah perang
antara Rama yang dibantu pasukan kera melawan Rahwana berserta pasukan
raksasanya. Pemicu perang dahsyat itu adalah penculikan Sita (istri Rama) oleh
Rahwana.
Selain berisikan kisah kepahlawanan (wiracarita),
Mahabharata dan Ramayana juga mengandung nilai-nilai ajaran Hindu, mitologi,
dan berbagai renungan perihal kehidupan manusia. Bahkan, renungan-renungan dari
kedua kitab kuno ini bersifat sangat universal, karena mengungkapkan perihal
tabiat/watak, pola perilaku kehidupan manusia, bisa dialami oleh siapan pun,
kapan pun dan di belahan dunia mana pun. Kedua kisah yang dibumbui romantika
dan heroisme ini juga mengajarkan budi pekerti, konsep kepemimpinan yang
bijaksana, hingga pemahaman spiritualitas. Kedua kisah ini tak akan pernah
lekang oleh zaman, selalu kontekstual dari masa ke masa.
Seiring perkembangan dan penyebaran peradaban
Hindu, kisah ini pun tersebar hingga ke Asia Tenggara. Di Nusantara, terutama
di Jawa, beberapa bagian kisah ini disalin atau ditulis ulang dalam bentuk
prosa berbahasa Kawi (Jawa Kuno), terutama pada masa pemerintahan Dharmawangsa
Teguh di Kediri (991-1016 M). Kemudian, beberapa kisah ini pun disalin dalam
bentuk kakawin (puisi berbahasa
Kawi). Yang terkenal adalah kakawin Arjunawiwaha
yang digubah Mpu Kanwa pada masa 1028-1035 M, yang dipersembahkan untuk Raja
Airlangga dari Kerajaan Medang Kamulan, menantu Raja Dharmawangsa. Selain itu,
juga ada kakawin Bharatayudha yang
digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, yang dipersembahkan untuk Prabu
Jayabhaya (1135-1157 M) di Kerajaan Daha (Kediri). Mpu Panuluh juga menulis
kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya pada masa Raja Kertajaya
(1194-1222 M) dari Kediri. Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga
penting untuk disebut, di antaranya adalah Krisnayana
(karya mpu Triguna) dan Bomantaka (karya
pengarang tak dikenal), keduanya dari zaman kerajaan Kediri. Ada juga kakawin Parthayana (karya Mpu Tanakung) di akhir
zaman Majapahit. Semua naskah itu ditulis di atas bilah-bilah daun lontar. Kitab
Bharatayuddha juga digubah oleh pujangga keraton Surakarta Yasadipura ke dalam
bahasa Jawa modern, sekitar abad ke-18. Kisah ini juga disajikan dalam bentuk
komik yang sangat menarik oleh R.A. Kosasih, selain juga diceritakan ulang
dalam banyak buku oleh para pengarang Indonesia.
Kisah Mahabharata dan Ramayana juga berkembang
dan menginspirasi berbagai bentuk seni budaya yang sarat dengan nilai-nilai
luhur dan pendidikan budi pekerti, terutama di Jawa dan Bali. Misalnya, direpresentasikan
dalam bentuk seni ukir/patung, lukis/gambar, relief (pada banyak candi), tari,
gamelan, seni pertunjukan (wayang, drama, topeng, sendratari, dll). Dalam seni
dan budaya kontemporer, kisah ini juga menginspirasi sastrawan, penyair, seniman
teater, tari kontemporer, perupa, musik, film, sinetron, dan banyak kesenian
lainnya.
Lalu, apakah kisah dalam Mahabharata dan Ramayana
yang ditulis Vyasa dan Valmiki sekitar 1500 SM itu fiksi atau fakta? Sebagian menganggapnya
fiksi, sebagian menganggapnya fakta dan menginspirasi pengarang zaman itu untuk
menuliskannya kembali sebagai cerita sejarah. Para ahli arkeologi, sejarah,
antropologi, teknologi berupaya memelajari dan menggali kembali kisah
Mahabharata dan Ramayana. Banyak ahli menganggap kisah itu benar-benar terjadi
dengan bukti penemuan benda-benda arkeologis di tepian sungai Indus, Mohenjo
Daroo (Pakistan Utara), jembatan kuno di bawah laut yang menghubungkan India
dan Srilanka (Jembatan Rama). Ada juga ahli yang berkesimpulan bahwa peradaban
pada zaman Mahabharata dan Ramayana sungguh sangat maju. Mereka sudah mengenal
nuklir dan pesawat mirip UFO (weimana/vimana). Bahkan, melalui sejumlah riset,
para ahli menarik kesimpulan bahwa perang Bharatayuda memang pernah terjadi
dengan melibatkan teknologi roket, peluru kendali, nuklir dan teknologi
dirgantara. Ada pula yang berteori bahwa kisah Mahabharata dan Ramayana terjadi
pada masa peradaban Atlantis, sekitar 30000-15000 SM. Peradaban tersebut hancur
akibat perang nuklir. Setelah itu, manusia kembali memasuki zaman primitive,
sampai akhirnya lahir peradaban Sumeria, sekitar 4000 SM.
Buku yang ditulis oleh I Gde Samba, “Pencarian ke
Dalam Diri, Merajut Ulang Budaya Luhur Bangsa” yang diterbitkan Yayasan Dajan
Rurung Indonesia (Bandung, September 2011), merupakan sebuah tinjauan dan
penggalian kisah Mahabharata dan Ramayana, yang dikaitkan dengan
persoalan-persoalan mutakhir kebudayaan, kemanusiaan, keagamaan,
kemasyarakatan, kenegaraan/kebangsaan. Dari “situs” Mahabharata dan Ramayana,
Samba menggali dan menemukan banyak “harta karun” permenungan, yang kemudian
diolahnya menjadi serpihan-serpihan catatan yang cenderung subjektif, yang bisa
menjadi bahan renungan kita bersama.
Ketika membaca buku ini, kita seperti membaca
lembar demi lembar catatan harian. Namun, jelas bukan membaca catatan harian
remaja ABG, melainkan catatan harian yang dibuat oleh seseorang yang telah
mencicipi dan mengalami begitu banyak sajian kehidupan. Di dalam
catatan-catatan yang ditulis dengan bahasa sederhana/polos ini, Samba menuangkan
pujian, kritikan, banyolan, celoteh, persepsi, pandangan pribadi (opini),
idealisasi, filosofi, keinginan/harapan, terhadap berbagai persoalan yang
mengusik pikiran dan perasaannya.
I Gde Samba lahir di Dusun Beng, Tunjuk, Tabanan,
Bali, Maret 1942. Dia pernah bekerja sebagai Fisioterapis di RS Hasan Sadikin,
Bandung. Dia juga mendirikan Yayasan Fisioterapi Bandung yang menyediakan
pelayanan fisioterapi untuk masyarakat. Pada 2007, dia menerbitkan buku “Fisioterapi
Konseptual, Sebuah Pengantar”. Selama 1992-1997, dia menjabat sebagai Ketua
Parisada Hindu Dharma Indonesia untuk wilayah Jawa Barat. Sejak kanak-kanak dia
telah menggemari dunia seni dan budaya, terutama kisah pewayangan, yang
kemudian dituangkannya melalui permenungan-permenungan di buku ini.
Dalam buku ini, Samba membayangkan dirinya
sebagai seorang murid (sisya) yang berguru (bernabe) pada Vyasa dan Valmiki.
Mata pelajaran utama yang sedang dipelajarinya tentu kitab Mahabharata dan
Ramayana. Dia menggali banyak filosofi kehidupan dari kedua kitab itu. Di
bagian akhir masing-masing catatannya, Samba berdiskusi dengan “guru”nya
perihal “penggalian” dan “penemuan”nya, yang antara lain melingkupi
permenungannya tentang kebenaran, hukum, sejarah, ilmu dan teknologi,
pendidikan, konsep Rwabhineda,
kejujuran, budaya hidup sehat, kekayaan dan kekuasaan, perihal agama dan Tuhan,
kebebasan, kasta, kearifan lokal, gender/feminisme, cinta dan seks, dan
sebagainya.
Teknik yang dilakukan Samba, mirip dengan
kisah Ekalaya, dalam suatu adegan Mahabharata. Ekalaya ingin belajar memanah
pada Guru Besar Drona yang merupakan guru resmi Pandawa dan Kurawa. Namun,
Drona menolak Ekalaya, dengan alasan dia tidak boleh mengajar ksatria di luar
Pandawa dan Kurawa. Dengan perasaan sedih, Ekalaya pulang ke rumah. Namun, keinginan
belajarnya tak pernah surut. Dia kemudian membuat patung Drona, menyembah dan
menghormati patung itu selayaknya manusia bernyawa. Dengan tekun dia belajar
memanah di hadapan patung itu, seakan-akan patung itu adalah gurunya. Hasilnya,
luar biasa, dia menjadi pemanah yang jauh lebih hebat melebihi Arjuna. Samba
dan Ekalaya adalah sosok-sosok otodidak yang pantang menyerah untuk mampu
menguasai suatu pelajaran. Sebagaimana Ekalaya belajar ilmu panah di hadapan
patung Drona, Samba pun belajar ilmu kehidupan melalui kitab Mahabharata dan
Ramayana.
Samba mengaitkan setiap permenungan dan
pemaparannya tentang suatu pokok persoalan dengan perwatakan dan berbagai kisah
dalam Mahabharata dan Ramayana. Misalnya, ketika membahas perihal kejujuran, Samba
memakai Prabu Dharmawangsa sebagai contoh. Ketika memaparkan pendidikan
informal (otodidak), dia memunculkan sosok Ekalaya. Ketika berbicara
kenegaraan/kebangsaan, Samba memberi contoh ajaran Asta Brata dalam Ramayana, yakni delapan tuntunan menjadi pemimpin
yang bijaksana. Seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat kedewaan, seperti
Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni. Begitu pula,
ketika memaparkan perihal cinta dan seks, Samba menuangkan permenungannya dari
kisah Bagawan Wisrawa dan Dewi Sukesi dalam Ramayana.
Mahabharata dan Ramayana adalah produk
kebudayaan India, yang dikenal luas di banyak negara. Dalam hal ini, perlu saya
paparkan bahwa sumber kebudayaan ada pada otak (pikiran) manusia. Itulah yang
membedakan manusia dengan hewan dan tumbuhan. Ketika manusia mengembangkan pola
pikirnya maka lahirlah kebudayaan. Seperti halnya, Vyasa dan Valmiki yang
menciptakan Mahabharata dan Ramayana, yang hingga kini menjadi rujukan penting
untuk memahami kebudayaan India, Jawa dan Bali. Bahkan kisah tersebut menjadi
lakon pewayangan yang telah melahirkan banyak filosofi kehidupan yang hingga
kini masih dijalani oleh masyarakat
tradisional Jawa dan Bali.
Ada banyak definisi kebudayaan dan peradaban
dari para ahli ilmu humaniora (antropologi dan sosiologi). Secara klasik, kita
mengamini kata budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta
yakni buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi
atau akal), hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Namun, dalam
bahasa Inggris kebudayaan disebut culture, yang
berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Kata culture
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup, yang
terus berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit. Bahasa
(baik lisan/tulisan) merupakan elemen terpenting untuk mewariskan kebudayaan
dari generasi ke generasi berikutnya. Melalui bahasa pula, kebudayaan bisa
dipelajari. Misalnya, melalui bahasa kita bisa belajar kebudayaan India,
kebudayaan Barat, dan sebagainya. Dalam konteks ini pula, buku atau penerbitan
buku menjadi sangat penting maknanya sebagai salah satu upaya pewarisan
kebudayaan.
Antropolog Amerika C.Kluckhohn, dalam
bukunya “Universals Categories of Culture”, membagi kebudayaan menjadi tujuh
unsur universal, yakni sistem kepercayaan (religi), sistem pengetahuan,
peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian atau sistem ekonomi,
sistem kemasyarakatan, bahasa, dan kesenian.
Sementara itu, J.J. Hoenigman membedakan
wujud kebudayaan menjadi tiga pilar penting, yakni gagasan, aktivitas, dan artefak. Gagasan merupakan wujud
kebudayaan dalam tataran ideal, berupa kumpulan ide, nilai, norma, peraturan,
dan sebagainya. Wujud ini bersifat abstrak, tak dapat diraba ataupun disentuh.
Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala atau di alam pikiran manusia atau
masyarakat. Jika suatu masyarakat menyatakan gagasannya dalam bentuk tulisan,
maka lokasi kebudayaan ideal itu berada dalam karangan atau buku-buku hasil
karya para penulis/pengarang dari warga masyarakat tersebut.
Aktivitas
adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial, yang
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan
kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
Artefak
adalah wujud fisik kebudayaan, hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat, berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud
kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan
yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai
contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan
(aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Buku adalah salah satu wujud fisik
kebudayaan. Buku ini, misalnya, bermula dari gagasan Samba untuk mengeksplorasi
dan menafsir ulang secara filosofi karya Mahabharata dan Ramayana. Eksplorasi
itu tentu tak bisa dilepaskan dari interaksi Samba sebagai mahluk sosial dimana
dia begitu banyak menyaksikan atau pun mengalami peristiwa yang kemudian direnunginya
dan menghasilkan percikan-percikan pemikiran dan permenungan yang terkumpul
dalam buku ini.
Dalam
buku “Tafsir Kebudayaan” (1992), antropolog Amerika Clifford Geerts menawarkan
konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif, sebuah konsep semiotik, dimana
kebudayaan dilihat sebagai suatu teks yang perlu diinterpretasikan maknanya,
ketimbang sebagai suatu pola perilaku yang sifatnya kongkrit. Geerts
mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang disusun
dalam pengertian dimana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan
perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang
ditransmisikan secara historik, diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik
melalui sarana dimana orang-orang mengomunikasikan, mengabadikannya, dan
mengembangkan pengetahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan
peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang
ekstrasomatik. Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses
budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan.
Buku yang ditulis I Gde Samba merupakan
bentuk penafsiran terhadap kisah Mahabharata dan Ramayana. Misalnya, Samba
menafsirkan perang Bhratayuda sebagai bentuk perang dharma (kebenaran) melawan adharma
(kebatilan). Kebenaran dan kebatilan ada dalam setiap diri manusia. Medan
perang yang sesungguhnya ada dalam diri masing-masing manusia. Untuk mencapai
kemenangan dan kesempurnaan, manusia harus mampu menundukkan musuh-musuh di
dalam dirinya. Samba menafsirkan Perang Brathayuda bukanlah perang dengan
tujuan menghilangnya nyawa musuh, melainkan perang melawan diri sendiri.
Bahkan, perwatakan tokoh-tokoh Mahabharata dan Ramayana sesungguhnya juga
terdapat dalam diri setiap manusia, baik yang protagonis maupun antagonis.
Dalam terminologi Hindu, dikenal adanya Sad Ripu (enam musuh) utama dalam diri
manusia, yakni Kama (nafsu indrawi), Lobha (keserakahan), Krodha (kemarahan), Mada (kemabukan), Moha
(kebingungan/keangkuhan), Matsarya
(iri hati dan dengki). Sad Ripu jika tak dikendalikan akan melahirkan Sad Atatayi (enam kejahatan), yakni Agnida: membakar rumah atau milik orang lain, meledakkan bom,
termasuk membakar dalam arti kias yaitu memarahi orang sehingga orang itu
merasa malu dan terhina. Wisada: meracuni orang atau mahluk lain. Atharwa: menggunakan ilmu hitam (black magic)
untuk menyengsarakan orang lain. Sastraghna: mengamuk atau membunuh tanpa tujuan tertentu karena marah. Dratikrama: memperkosa, pelecehan seksual. Rajapisuna: memfitnah.
Tak ada kebudayaan yang stagnan. Karena
pikiran manusia selalu berkembang dan berubah, maka kebudayaan juga bisa
berubah dari masa ke masa. Di antara tujuh unsur kebudayaan, sistem kepercayaan
(religi) yang paling sulit berubah, dan yang paling mudah berubah adalah kesenian.
Antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya bisa saling memengaruhi,
sehingga melahirkan akulturasi, asimilasi, sintesis. Ini termasuk penetrasi
kebudayaan dengan jalan damai (penetration pasifique).
Akulturasi adalah bersatunya dua
kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur
kebudayaan asli. Contohnya, kisah Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari
India menjadi bentuk lakon pewayangan ketika tersebar di Jawa dan Bali. Bahkan
dengan penambahan tokoh-tokoh punakawan yang tidak ditemukan dalam cerita
aslinya. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk
kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang
berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan
kebudayaan asli.
Namun, suatu kebudayaan bisa juga masuk
ke kebudayaan lain dengan jalan kekerasan (penetration violante). Jenis
penetrasi kebudayaan seperti ini seringkali menimbulkan konflik, peperangan dan
terjadinya kehancuran pada suatu kebudayaan yang berhasil ditundukkan oleh
kebudayaan lainnya. Hal itu, misalnya, terjadi ketika Belanda menjajah
Nusantara dan memaksakan kebudayaannya masuk ke kebudayaan lokal di Nusantara.
Atau, ketika warga Papua pada zaman rezim Soeharto, dipaksa memakai baju dan
celana karena dianggap lebih beradap ketimbang koteka.
Kebudayaan dengan tujuh unsurnya itu diciptakan
manusia berfungsi untuk memuaskan suatu rangkaian hasrat atau naluri akan
kebutuhan hidup manusia (basic human needs). Misalnya, sistem religi (animisme/dinamisme)
diciptakan manusia bertujuan untuk menjawab ketakberdayaan manusia dalam
menghadapi berbagai masalah kehidupan yang sulit diterima akal manusia. Agama
juga berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia berkaitan dengan Sang
Penciptanya. Selain itu, unsur-unsur lain dalam kebudayaan juga bertujuan untuk
memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia yang terus berkembang dari zaman ke
zaman.
Karena kebudayaan bersumber dari pikiran
manusia (akal budi), maka setiap manusia berpotensi untuk menciptakan atau
melahirkan kebudayaan. Misalnya, penemu internet dan facebook telah berhasil
membuat suatu kebudayaan baru, yakni cyberculture,
yang memungkinkan manusia dari berbagai belahan dunia berkomunikasi,
berinteraksi di dunia maya, saling memengaruhi, saling memelajari kebudayaan
masing-masing secara instan, sehingga melahirkan globalculture.
Kebudayaan menghasilkan peradaban, yang
diukur dari tingkat kemajuan pengetahuan manusia, terutama berkaitan dengan
teknologi dan sistem sosial. Kebudayaan dan peradaban adalah dua hal yang
saling berkaitan. Istilah peradaban sering dipakai untuk menilai tingkat
perkembangan kebudayaan. Biasanya, suatu bangsa atau suatu golongan yang merasa
memiliki peradaban tinggi cenderung menganggap peradaban lain rendah. Misalnya,
bangsa Barat yang menganggap bangsa Timur terbelakang, bahkan primitive. Dan,
tentu saja, perkembangan masing-masing kebudayaan dan peradaban berbeda-beda di
berbagai wilayah di dunia.
Uraian saya perihal teori dan konsep
kebudayaan berkaitan dengan pembacaan saya terhadap buku karya I Gde Samba ini.
Sebab, di dalam buku ini, Samba berupaya mengajak kita untuk merajut ulang
budaya luhur bangsa, suatu konsep atau pencitraan yang membuka peluang untuk
dibahas dan didiskusikan.
Kesimpulannya, buku ini merupakan
kumpulan catatan pribadi atau opini tentang berbagai persoalan yang mengusik
pikiran dan perasaan I Gde Samba. Sebagai catatan yang bersifat subjektif,
tentu saja ada sisi yang bisa diamini, namun ada juga sisi yang perlu dikritisi.
Namun, selain dikritisi, kehadiran buku ini perlu disambut suka cita, karena
memberikan kita percikan-percikan pemikiran dan permenungan yang bisa dipakai
untuk memaknai kehidupan ke arah yang lebih baik.
*Lulusan
Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar