Label

Minggu, 08 Juli 2012

(Renungan) Selamat Jalan Pak Cliff...

 oleh : Degung Santikarma

 
Ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Institute for Advanced Study, saya merasa bagai masuk ke sebuah "kandang macan" yang memompa denyut jantung deg-degan. Di sinilah sarang empunya ilmuwan berkumpul, tempat Albert Einstein, ahli matematika Kurt Godel, dan pembuat bom atom Robert Oppenheimer pernah berkantor.

Lembaga ini terletak di Princeton, New Jersey, di sebuah kampus yang luas dan sepi, dikelilingi hamparan pepohonan serta silih berganti kicauan burung dan gerombolan kijang yang haus lalu-lalang di dekat danau kecil.

Saat saya naik tangga ke lantai tiga, ruang tempat para ilmuwan sosial bermarkas, suasana menjadi semakin intimidatif, seolah-olah memasuki areal sakral pertapaan para pendekar dalam film kungfu. Di sepanjang lorong sempit, tertera deretan nama-nama di pintu—anehnya tanpa embel-embel gelar profesor-doktor yang membangunkan bulu kuduk seperti di Indonesia.

Namun, sebagai seorang murid antropologi dan sekaligus orang Indonesia, saya tidak begitu direpotkan oleh ketiadaan pangkat kebesaran yang terpajang—Ph.D, Doktor Honoris Causa dari Harvard, Yale dan Princeton, Harold F. Linder Professor of Social Science dan Bintang Jasa Utama dari Republik Indonesia serta puluhan gelar bergengsi lain—untuk mengenal nama Clifford Geertz.

Sebelum saya memberanikan diri untuk mengetuk pintu dan langsung mendengarkan sapaan akrab mempersilakan saya masuk, saya sama sekali tak menyangka kalau Pak Cliff—nama panggilan yang saya pakai selama satu tahun sebagai research assistant dia—adalah pribadi yang sederhana dan sangat rendah hati, berpakaian lusuh, suka makan hamburger, dan sangat gandrung dengan musik jazz. Almarhum mengucapkan, "Selamat datang" dengan bahasa Indonesia fasih sambil tertawa akrab dengan raut muka memerah dan tangan yang selalu menggaruk-garuk rambut terurai, sedikit gondrong, dan memutih.

Gambaran ini sangat jauh dari kecanggihan teori dan kejernihan logika serta keterampilan rasa dan kata yang tertuang pada karya-karyanya. Yang jelas, sosok ini berbeda dengan ilmuwan atau peneliti lain yang saya tahu—dari pertemuan itu saya berkesimpulan bahwa Clifford Geertz ternyata manusia yang bisa dipinjami cangkul waktu anak pertama saya lahir dan saya harus menanamkan ari-arinya di belakang apartemen Institute di tengah badai salju.

Tiba-tiba saya sadar bahwa meskipun Institute mempunyai ruang makan yang mewah di mana para anggota berkumpul setiap siang untuk membicarakan filsafat dan topik berita hangat dunia, Pak Cliff ternyata suka makan tempe dan minum anggur merah sambil mendiskusikan perkembangan politik Indonesia lama dan baru.

Pada saat yang sama, dia selalu membuahkan kesungkanan dan rasa bertanya-tanya: apalagi yang harus saya diskusikan karena semua sudah ada di bukunya? Apalagi yang tersisa untuk ditulis, karena semua aspek kebudayaan Bali dan Indonesia sudah ditulisnya, dari budaya sabung ayam, petani, penjaja, raja, upacara, negara, agama, nasionalisme sampai pada ekonomi pembangunan melalui lensa "tafsir simbolis-hermenutis" yang kesohor lewat karya The Interpretation of Cultures yang terbit tahun 1973, yang sudah menjadi "kitab suci" ilmuwan sosial mancanegara.

Pada tanggal 31 Oktober, Clifford Geertz telah tiada. Namun, dia telah mewariskan sumbangan pemikiran yang sangat berarti untuk kajian Indonesia. Dia menawarkan alternatif untuk melihat bagaimana cara kekuasaan beroperasi di Indonesia tidak hanya lewat mobilisasi sumber daya seperti tanah, tenaga dan uang.

Dalam buku Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali yang mengambil studi kasus di Bali, dia menjelaskan bagaimana "budaya pentas" atau "budaya penampilan" sangat memainkan peran dalam politik kekuasaan di negeri ini.

Dunia politik diibaratkan sebagai "dunia panggung" di mana kemegahan dan kecanggihan kekuasaan dipertaruhkan untuk mengerahkan massa. Menurut Geertz, kekuasaan ditentukan bukan hanya dari basis materialnya, seperti pendekatan konvensional para pakar ilmu politik (political science), tetapi dari keterampilan menggunakan "bahasa" dan "makna".

Pengelolaan politik ini, menurut dia, tidak hanya memerlukan hard power, seperti tentara dan senjata, tetapi kemampuan mengotak-atik semiotis kekuasaan yang ada pada bahasa. Dalam konteks ini, bahasa bukan hanya terbatas sebagai alat komunikasi, tetapi menjadi suatu "mantra sakti" yang mempunyai kekuatan ampuh untuk membangkitkan "energi sosial" demi kepentingan mobilisasi, di mana massa yang datang di "panggung" politik dijadikan "saksi" yang melegitimasi mereka yang ada "di atas."

Kontribusi penting yang lain dari Geertz menyentuh pemahaman kita tentang "agama". Menurut Geertz, agama tidak bisa dilihat hanya dari sudut doktrin atau teologi. Dalam etnografi monumental, The Religion of Java, dia meneliti bagaimana agama di Jawa juga memberi inspirasi pada perilaku ekonomi sehari-hari di antara pedagang, petani, maupun golongan elite. Agama bukan hanya berkutat dengan wacana kosmis tentang asal-usul manusia, surga, dan neraka, tetapi juga merajut perilaku politik saat memilih partai, jenis perhelatan, dan corak paguyuban.

Praktik-praktik beragama memberi semacam "peta budaya" untuk melacak jaringan sosial yang dibentuk oleh warga. Realitas keagamaan dalam keseharian, menurut perspektif Geertz, sangat pluralistis daripada doktrin formal yang menekankan wacana standar yang global.

Memasuki pergumulan Geertz adalah membuka pintu menuju kawasan yang disebut kebudayaan yang memang penuh dengan gugatan, polemik, dan perdebatan yang harus didekati dengan teori yang sadar atas kompleksitasnya. Menurut Geertz, kebudayaan itu tak lebih dari sebuah "konstruksi", "jaringan", atau "rimba" makna yang diciptakan oleh manusia sendiri.

Tugas antropolog adalah membuat suatu deskripsi mendalam (thick description), memperlakukan kebudayaan sebagai sebuah "teks" yang harus "dibaca".

Interpretasi kebudayaan tidak dilakukan untuk mencari "prinsip-prinsip regularitas" atau pakem-pakem yang bisa distandarkan, tetapi untuk memberikan penafsiran lewat apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pelaku kebudayaan itu sendiri.

Di sinilah barangkali rendah hatinya ilmu antropologi daripada ilmu sosial yang lain: dengan memberi peluang bagi perilaku budaya untuk berbicara, berbuat, dan sang antropolog "mendengar" daripada langsung memberikan "solusi" atau mencari suatu "esensi".

Barangkali inilah yang menjengkelkan kaum positivis terhadap antropologi mazab interpretif yang dikemudikan oleh Geertz, di mana subyek manusia sendiri diberi ruang yang begitu luas untuk mengonstruksi realitas sosialnya.

Seperti kritik yang sering kita dengar terhadap penelitian Geertz di Pare—yang diberi nama samaran "Mojokerto" dalam The Religion of Java: "Kota ini adalah suatu kota kecil di Jawa Timur yang tak bisa mewakili kebudayaan Jawa secara keseluruhan." Bagi Geertz sendiri, Mojokerto bukan "Jawa", tetapi suatu tempat di mana makna "kejawaan" itu dibumikan. Dia menolak usaha untuk mereduksi atau "menotalitaskan" kebudayaan Jawa menjadi bangunan yang monolitik. Dia sadar sekali akan kejamakan suatu kenyataan sosial, seperti yang telah dia konstruksikan: ada Jawa-Abangan, Jawa-Santri dan Jawa-Priyayi.

Varian-varian pemahaman keagamaan di Jawa yang diciptakan oleh Geertz, di kalangan akademis Indonesia disebut dengan istilah "teori aliran". Walaupun sering dihantam dan digugat, teori tersebut tentu masih ada benarnya karena mencerminkan realitas sosial politik di Indonesia yang tak pernah beku, selalu berubah seiring dengan perjalanan sang waktu.

Salah satu hal yang lain yang membedakan Clifford Geertz dari rekan ilmuwan sosialnya adalah karyanya yang begitu banyak dan beragam yang selalu menuai kritik baik dari ilmuwan Indonesia maupun ilmuwan luar.

Kritik-kritik terhadap karyanya tak ada henti-hentinya bahkan hingga saat ini. Ada ratusan tesis, disertasi, buku, dan jurnal yang lahir dari buah kritik tersebut. Bahkan, ada ilmuwan yang seumur kariernya justru menjadi "tukang kritik" Geertz.

Kita mungkin bisa lihat ironisnya di Indonesia, di mana kritik cenderung dianggap sebagai "ancaman" atau serangan. Bagi Geertz, ternyata berlaku sebaliknya: tak membuat nama jatuh atau redup tetapi justru sebaliknya, semakin "cemerlang" dan mendunia.

Dari karya-karya Clifford Geertz telah lahir perdebatan-perdebatan kontroversial yang masih mewarnai seminar-seminar politik kebudayaan dunia dan sekaligus menjadi cikal-bakal kelahiran disiplin baru yang disebut antropologi interpretif. Beberapa hari yang lalu dia telah pergi, tetapi dia tak kan pernah terlupakan. Goodbye, Pak Cliff….
  
(sumber: Kompas, Minggu, 05 November 2006)
(Degung Santikarma, Antropolog dari Bali, Pernah Menjadi Research Assistant Clifford Geertz di Institute for Advanced Study pada Tahun 1998-1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar