(Renungan) Selamat Jalan Pak Cliff...
oleh : Degung Santikarma
Ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Institute for Advanced
Study, saya merasa bagai masuk ke sebuah "kandang macan" yang memompa
denyut jantung deg-degan. Di sinilah sarang empunya ilmuwan berkumpul,
tempat Albert Einstein, ahli matematika Kurt Godel, dan pembuat bom atom
Robert Oppenheimer pernah berkantor.
Lembaga ini terletak di
Princeton, New Jersey, di sebuah kampus yang luas dan sepi, dikelilingi
hamparan pepohonan serta silih berganti kicauan burung dan gerombolan
kijang yang haus lalu-lalang di dekat danau kecil.
Saat saya
naik tangga ke lantai tiga, ruang tempat para ilmuwan sosial bermarkas,
suasana menjadi semakin intimidatif, seolah-olah memasuki areal sakral
pertapaan para pendekar dalam film kungfu. Di sepanjang lorong sempit,
tertera deretan nama-nama di pintu—anehnya tanpa embel-embel gelar
profesor-doktor yang membangunkan bulu kuduk seperti di Indonesia.
Namun, sebagai seorang murid antropologi dan sekaligus orang Indonesia,
saya tidak begitu direpotkan oleh ketiadaan pangkat kebesaran yang
terpajang—Ph.D, Doktor Honoris Causa dari Harvard, Yale dan Princeton,
Harold F. Linder Professor of Social Science dan Bintang Jasa Utama dari
Republik Indonesia serta puluhan gelar bergengsi lain—untuk mengenal
nama Clifford Geertz.
Sebelum saya memberanikan diri untuk
mengetuk pintu dan langsung mendengarkan sapaan akrab mempersilakan saya
masuk, saya sama sekali tak menyangka kalau Pak Cliff—nama panggilan
yang saya pakai selama satu tahun sebagai research assistant dia—adalah
pribadi yang sederhana dan sangat rendah hati, berpakaian lusuh, suka
makan hamburger, dan sangat gandrung dengan musik jazz. Almarhum
mengucapkan, "Selamat datang" dengan bahasa Indonesia fasih sambil
tertawa akrab dengan raut muka memerah dan tangan yang selalu
menggaruk-garuk rambut terurai, sedikit gondrong, dan memutih.
Gambaran ini sangat jauh dari kecanggihan teori dan kejernihan logika
serta keterampilan rasa dan kata yang tertuang pada karya-karyanya. Yang
jelas, sosok ini berbeda dengan ilmuwan atau peneliti lain yang saya
tahu—dari pertemuan itu saya berkesimpulan bahwa Clifford Geertz
ternyata manusia yang bisa dipinjami cangkul waktu anak pertama saya
lahir dan saya harus menanamkan ari-arinya di belakang apartemen
Institute di tengah badai salju.
Tiba-tiba saya sadar bahwa
meskipun Institute mempunyai ruang makan yang mewah di mana para anggota
berkumpul setiap siang untuk membicarakan filsafat dan topik berita
hangat dunia, Pak Cliff ternyata suka makan tempe dan minum anggur merah
sambil mendiskusikan perkembangan politik Indonesia lama dan baru.
Pada saat yang sama, dia selalu membuahkan kesungkanan dan rasa
bertanya-tanya: apalagi yang harus saya diskusikan karena semua sudah
ada di bukunya? Apalagi yang tersisa untuk ditulis, karena semua aspek
kebudayaan Bali dan Indonesia sudah ditulisnya, dari budaya sabung ayam,
petani, penjaja, raja, upacara, negara, agama, nasionalisme sampai pada
ekonomi pembangunan melalui lensa "tafsir simbolis-hermenutis" yang
kesohor lewat karya The Interpretation of Cultures yang terbit tahun
1973, yang sudah menjadi "kitab suci" ilmuwan sosial mancanegara.
Pada tanggal 31 Oktober, Clifford Geertz telah tiada. Namun, dia telah
mewariskan sumbangan pemikiran yang sangat berarti untuk kajian
Indonesia. Dia menawarkan alternatif untuk melihat bagaimana cara
kekuasaan beroperasi di Indonesia tidak hanya lewat mobilisasi sumber
daya seperti tanah, tenaga dan uang.
Dalam buku Negara: The
Theatre State in Nineteenth Century Bali yang mengambil studi kasus di
Bali, dia menjelaskan bagaimana "budaya pentas" atau "budaya penampilan"
sangat memainkan peran dalam politik kekuasaan di negeri ini.
Dunia politik diibaratkan sebagai "dunia panggung" di mana kemegahan
dan kecanggihan kekuasaan dipertaruhkan untuk mengerahkan massa. Menurut
Geertz, kekuasaan ditentukan bukan hanya dari basis materialnya,
seperti pendekatan konvensional para pakar ilmu politik (political
science), tetapi dari keterampilan menggunakan "bahasa" dan "makna".
Pengelolaan politik ini, menurut dia, tidak hanya memerlukan hard
power, seperti tentara dan senjata, tetapi kemampuan mengotak-atik
semiotis kekuasaan yang ada pada bahasa. Dalam konteks ini, bahasa bukan
hanya terbatas sebagai alat komunikasi, tetapi menjadi suatu "mantra
sakti" yang mempunyai kekuatan ampuh untuk membangkitkan "energi sosial"
demi kepentingan mobilisasi, di mana massa yang datang di "panggung"
politik dijadikan "saksi" yang melegitimasi mereka yang ada "di atas."
Kontribusi penting yang lain dari Geertz menyentuh pemahaman kita
tentang "agama". Menurut Geertz, agama tidak bisa dilihat hanya dari
sudut doktrin atau teologi. Dalam etnografi monumental, The Religion of
Java, dia meneliti bagaimana agama di Jawa juga memberi inspirasi pada
perilaku ekonomi sehari-hari di antara pedagang, petani, maupun golongan
elite. Agama bukan hanya berkutat dengan wacana kosmis tentang
asal-usul manusia, surga, dan neraka, tetapi juga merajut perilaku
politik saat memilih partai, jenis perhelatan, dan corak paguyuban.
Praktik-praktik beragama memberi semacam "peta budaya" untuk melacak
jaringan sosial yang dibentuk oleh warga. Realitas keagamaan dalam
keseharian, menurut perspektif Geertz, sangat pluralistis daripada
doktrin formal yang menekankan wacana standar yang global.
Memasuki pergumulan Geertz adalah membuka pintu menuju kawasan yang
disebut kebudayaan yang memang penuh dengan gugatan, polemik, dan
perdebatan yang harus didekati dengan teori yang sadar atas
kompleksitasnya. Menurut Geertz, kebudayaan itu tak lebih dari sebuah
"konstruksi", "jaringan", atau "rimba" makna yang diciptakan oleh
manusia sendiri.
Tugas antropolog adalah membuat suatu
deskripsi mendalam (thick description), memperlakukan kebudayaan sebagai
sebuah "teks" yang harus "dibaca".
Interpretasi kebudayaan
tidak dilakukan untuk mencari "prinsip-prinsip regularitas" atau
pakem-pakem yang bisa distandarkan, tetapi untuk memberikan penafsiran
lewat apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pelaku kebudayaan
itu sendiri.
Di sinilah barangkali rendah hatinya ilmu
antropologi daripada ilmu sosial yang lain: dengan memberi peluang bagi
perilaku budaya untuk berbicara, berbuat, dan sang antropolog
"mendengar" daripada langsung memberikan "solusi" atau mencari suatu
"esensi".
Barangkali inilah yang menjengkelkan kaum positivis
terhadap antropologi mazab interpretif yang dikemudikan oleh Geertz, di
mana subyek manusia sendiri diberi ruang yang begitu luas untuk
mengonstruksi realitas sosialnya.
Seperti kritik yang sering
kita dengar terhadap penelitian Geertz di Pare—yang diberi nama samaran
"Mojokerto" dalam The Religion of Java: "Kota ini adalah suatu kota
kecil di Jawa Timur yang tak bisa mewakili kebudayaan Jawa secara
keseluruhan." Bagi Geertz sendiri, Mojokerto bukan "Jawa", tetapi suatu
tempat di mana makna "kejawaan" itu dibumikan. Dia menolak usaha untuk
mereduksi atau "menotalitaskan" kebudayaan Jawa menjadi bangunan yang
monolitik. Dia sadar sekali akan kejamakan suatu kenyataan sosial,
seperti yang telah dia konstruksikan: ada Jawa-Abangan, Jawa-Santri dan
Jawa-Priyayi.
Varian-varian pemahaman keagamaan di Jawa yang
diciptakan oleh Geertz, di kalangan akademis Indonesia disebut dengan
istilah "teori aliran". Walaupun sering dihantam dan digugat, teori
tersebut tentu masih ada benarnya karena mencerminkan realitas sosial
politik di Indonesia yang tak pernah beku, selalu berubah seiring dengan
perjalanan sang waktu.
Salah satu hal yang lain yang
membedakan Clifford Geertz dari rekan ilmuwan sosialnya adalah karyanya
yang begitu banyak dan beragam yang selalu menuai kritik baik dari
ilmuwan Indonesia maupun ilmuwan luar.
Kritik-kritik terhadap
karyanya tak ada henti-hentinya bahkan hingga saat ini. Ada ratusan
tesis, disertasi, buku, dan jurnal yang lahir dari buah kritik tersebut.
Bahkan, ada ilmuwan yang seumur kariernya justru menjadi "tukang
kritik" Geertz.
Kita mungkin bisa lihat ironisnya di
Indonesia, di mana kritik cenderung dianggap sebagai "ancaman" atau
serangan. Bagi Geertz, ternyata berlaku sebaliknya: tak membuat nama
jatuh atau redup tetapi justru sebaliknya, semakin "cemerlang" dan
mendunia.
Dari karya-karya Clifford Geertz telah lahir
perdebatan-perdebatan kontroversial yang masih mewarnai seminar-seminar
politik kebudayaan dunia dan sekaligus menjadi cikal-bakal kelahiran
disiplin baru yang disebut antropologi interpretif. Beberapa hari yang
lalu dia telah pergi, tetapi dia tak kan pernah terlupakan. Goodbye, Pak
Cliff….
(sumber: Kompas, Minggu, 05 November 2006)
(Degung Santikarma, Antropolog dari Bali, Pernah
Menjadi Research Assistant Clifford Geertz di Institute for Advanced
Study pada Tahun 1998-1999)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar