Label

Selasa, 10 Juli 2012

Kepalsuan Ritual




 Oleh I Ngurah Suryawan

Seorang teman masa kuliah dari utara Pulau Bali membawa cerita menyesakkan pertengahan tahun 2010. Berikut ini kisahnya.

Sebut saja namanya Made, adalah cucu seorang tokoh masyarakat paling disegani di desanya. Kakeknya almarhum adalah seorang tokoh veteran yang dikenal membidani lahirnya awig-awig (aturan desa). Kakeknya terkenal sekali dengan tutur bahasa Bali halus yang Made saja bisa tebengong-bengong mendengarnya, sambil bingung memikirkan apa artinya. Singkat cerita, kakek Made adalah orang yang berpengaruh dengan sederetan jasa-jasanya.


Memasuki cerita kakeknya di tahun 1965, Made mendapatkan kisah mengejutkan. Melalui seorang kerabatnya, Made mendengar jika kakeknya dulu adalah sang suratma, manusia setengah dewa yang bisa menentukan tercabut atau tidaknya nyawa seseorang pada tragedi pembantaian massal yang mencekam terhadap orang yang dituduh terlibat PKI (Partai Komunis Indonesia).

Kisahnya, si kakek selalu akan menampung warga sekitar desa yang meminta perlindungan. Suasana mencekam karena pada saat itu teror pembakaran rumah dan penculikan-penculikan ke rumah dilakukan massa. Rumah akan penuh sesak dengan manusia dan malam yang temaram diselingi oleh suara tangis bayi dan teriakan massa di sepanjang jalan.

Si kakek sebenarnya tahu betul siapa yang masuk dalam catatan kene garis (dituduh terlibat PKI), yang tersimpan rapi di buku catatannya. Siapa yang barak (PKI) dan selem (PNI) sudah terekam kuat dalam ingatannya. Tapi si kakek menyimpannya dan menunggu saja barisan massa datang ke rumahnya untuk menjemput si tertuduh. Si kakek tidak mau melakukannya sendiri.          

Saat kakenya diaben, Made mendengar banyak cerita tentang ketokohan kakeknya, cerita tentang kedermawanan kakeknya menyelamatkan “untuk sementara waktu” beberapa warga yang menumpang beberapa hari di rumahnya. Namun Made juga mendengar cerita kakeknya dituduh seorang tameng, sang penjagal, eksekutor yang di tangannya ditentukan hidup matinya seseorang. Pekrimik, bisik-bisik warga, itu sangat mengganggunya sekaligus juga menggugahnya untuk terus menggali cerita seputar kakeknya di tahun 1965.

Ritual ngaben sang kakek sangat megah. Wadah, tempat jenazah, bertumpang-tumpang dengan lembu dan puluhan karangan bunga. Ratusan pelayat dan krama desa menghantarkan sang kakek menuju setra, kuburan desa. Gema gamelan dan angklung membahana, lantunan kekawin beberapa warga sekaa santhi sambung menyambung mengiringi wadah dan ratusan manusia menuju kuburan desa.

Ritual ngaben tidak serta merta membuat Made merelakan berpulangnya sang kakek. Made masih penasaran. Ritual megah menghantarkan kepergian kakeknya yang kini sudah melinggih, berstana di pura keluarga sebagai leluhur, justru meninggalkan misteri. Misteri yang bagi Made seperti “menggugat” ketokohan kakenya.

Gugatan cerita puja-puji ketokohan kakenya santer Made dengar di lingkungan desa, melalui pekrimik krama di bale banjar, warung kopi, odalan-odalan hingga saat pesangkepan. Ritual yang megah dan menelan dana puluhan juta itu bukan mengakhiri polemik tentang kakeknya. Dibalik kemegahan ritual pengabenan kakeknya, menurut cerita yang Made dengar, hampir puluhan warga yang sebelumnya menumpang di rumah kakenya saat hari-hari mencekam di tahun 1965, hingga kini hilang entah kemana. Jasadnya tidak pernah ditemukan, kabar tentang kematiannya pun simpang siur. Para keluarga korban sebenarnya sudah melakukan ritual ngaben tanpa jasad setelah tahun 1965, ruh mereka pun telah distanakan di rong telu, pura keluarga sebagai leluhur, sang pitara yang membimbing keturunannya.                        

Seorang bendesa adat di pinggiran Kota Denpasar sempat naik pitam saat saya menyebutkan dua kata yang baginya sungguh sangat menggangu: “politik ritual”. Ia merasa saya telah mencemari pengertian ritual di Bali yang baginya adalah agung, adiluhung dan terlepas dari campur tangan politik cari muka para elit politik dan pejabat yang pongah. Selain itu, ritual juga menyisakan kontestasi kekuasaan yang berelasi antara sang pinandita, birokrat (baca: negara), elit lokal masyarakat, dan sudah tentu modal (baca: uang untuk biaya ritual). Pentas ritual, dengan demikian, adalah pertunjukan kemegahan eksotisme, ritual yang mengesankan dan religius di panggung depan. Sementara di panggung belakang berkecamuk kepentingan antar pinandita berebut pengaruh, penetrasi birokrat dan pemilik modal untuk menunjukkan “religiusitas semu” mereka hingga berebut pengaruh kelompok masyarakat untuk menunjukkan status, eksistensi, dan kepentingan mereka dalam ritual.

Dalam kasus Tragedi 1965, kita belajar bahwa ritual alih-alih sebagai tamba, obat kepedihan, medium rekonsiliasi, malah menjadi momentum stigmatisasi dan sumber kompleksitas relasi kemanusiaan yang palsu. Ritual tanpa jasad pasca Tragedi 1965 secara sembunyi-sembunyi dilakukan karena ketakutan terkena stigma “keluarga kene garis”. Dari kisah Made dan kakeknya, kita belajar “kepalsuan ritual” yang menyisakan pertanyaan-pertanyaan relasi ingatan manusia, jejak-jejak kekerasan, dan dendam.

Dharma wacana keagungan serta keutamaan teologis ritual terasa masih diawang-awang, tidak membumi menjadi teologi kontekstual bahkan malah menjadi teologi pembebasan dalam relasi-relasi kemanusiaan. Jika demikian, perlu kita pertanyakan apakah ritual  “membebaskan” manusia jika praktik relasi-relasi kemanusiaan ditutup oleh kemegahan ritual? Saya kira kepalsuan ritual tampak nyata dalam politik ritual Tragedi 1965 dan mungkin hingga kini, saat masyarakat Bali disibukkan dengan berbagai pentas-pentas ritual.

Kita agaknya mesti mempertanyakan kedalaman ritual yang menyentuh kesadaran humanisme dan memperkuat relasi kemanusiaan. Situasi ironis berlangsung di Bali. Ritual berlangsung tanpa henti, namun relasi kemanusiaan di antara krama Bali seakan sangat rapuh. Ritual untuk solidaritas sosial agaknya teori yang sudah usang. Refleksi ritual untuk relasi kemanusiaan berlangsung suram di Bali. Lantunan suara genta sang pinandita yang menggema belum menyentuh relung-relung kesadaran krama Bali untuk menghentikan saling mecokrah antar sesama. Kisah-kisah para survivor Tragedi 1965 belum mampu menggugah kesadaran manusia Bali untuk membuang jauh-jauh stigmatisasi kepada keluarga korban dan melepaskan cengkraman hantu bernama komunisme. Dan rentetan ritual megah di Bali: Eka Dasa Rudra, Panca Wali Krama, Pamarisudha Karipubhaya, dan deretan ritual ngenteg linggih, ngusaba desa, ngusaba nini, dan nama-nama ritual yang lainnya perlu kita pertanyakan dampaknya pada relasi kemanusiaan krama Bali hingga kini.           
             
Saya masih percaya ritual di Bali masih menyisakan spirit, kedalaman, dan “ruang refleksi” bagi manusia Bali dalam praktik humanisme dalam kehidupannya sehari-hari. Saya tidak menafikkan ritual, tapi justru merindukan ritual yang menjadi momentum kebangkitan manusia Bali. Saya kira kita sudah lelah bertopeng dibalik kemegahan dan kepalsuan ritual.

Dimuat di Bali Post Minggu, 10 April 2011

I Ngurah Suryawan,
Anak muda Bali yang menjadi Dosen di Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Mahasiswa Program Doktor Antropologi UGM, Yogyakarta. ngurahsuryawan@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar