Label

Selasa, 10 Juli 2012

Satgas Parpol dan Pentas Kekerasan



oleh I Ngurah Suryawan


Artikel ini adalah ringkasan dari paper saya yang dipresentasikan pada Seminar Internasional ke-10 di Kampoeng Percik Salatiga, 28-31 Juli 2009. Seminar internasional kali ini mengambil tema tentang “Representasi Kepentingan Rakyat pada Pemilu 2009”.

Pendahuluan

James T Siegel dalam Pejahat Gaya (Orde) Baru, Eksplorasi Politik dan Kriminalitas (1998) mengungkapkan, dalam sejarah kekerasan di Indonesia, seringkali meninggalkan momok dan “hantu” yang terus membayangi. Pasca tragedi kekerasan, selalu diciptakan bagaimana kekerasan menjadi bagian yang tidak terpisah dari pembentukan bangsa ini. Para kriminal, jagoan lokal dan kelompok organisasi massa selalu memperhitungkan “wajah-wajah” yang mirip dengan mereka untuk mereproduksi kekerasan menjadi sebuah lingkaran tanpa henti. Para kriminalitas dalam sejarah kekerasan terbentuk untuk menunjukkan pergolakan ide politik dan nasionalisme Indonesia. Dalam setiap fase, ide tentang kriminalitas dan kekerasan selalu beriringan dengan rezim ketakutan, teror, ancaman yang membayangi citra (image) “wajah” orang Indonesia sendiri. Ideologi ancaman dan ketakutan melalui “komunisme” “penjahat dan penembak misterius” dan “organisasi tanpa bentuk” saat rezim otoritarian Orde Baru berkuasa setidaknya menjelaskan hal ini.


Oleh karena itulah, salah satu perspektif studi tentang kriminalitas dan kekerasan yang diajukan oleh Siegel (1998: 13) selain “orang Indonesia membunuh siapa yang mereka lihat dalam citra (image) diri mereka sendiri” adalah melihat bagaimana target dari impuls membunuh punya spektrum historis sendiri. Orang komunis berbeda dengan penjahat, tetapi dibalik wajah-wajah komunis dan kriminal terdapat kesamaan dalam hal ancaman, asal-usul yang tidak bisa ditemukan dalam peristiwa-peristiwa sejarah dan harus dicari dalam formasi kultural. Dengan kata lain, perspektif sejarah tidaklah cukup untuk menjelaskan pentas kekerasan dan kriminalitas berlangsung, namun mencoba menelisiknya dalam relasi dan struktur politik budaya dalam konteks tersebut.

Dalam menelisik relasi dan struktur politik budaya kekerasan dan kriminal tersebut, negara (baca: pemerintah dan aparatusnya) menjadi salah satu sentral reproduksi kekerasan, bahkan menjadi seorang kriminal. Bagi negara, ancaman dan tentu saja kriminalitas dan kekerasan di dalamnya adalah sebuah “daya tarik”. “Kekuatan mematikan” itulah yang ingin dipunyai negara untuk mengontrol lalu lintas kriminalitas dan kekerasan. Untuk mendapatkan kekuatan itu, negara tidak segan-segan menjadi “kriminal” dan memfasilitasi bentuk-bentuk kriminal dan kekerasan yang terjadi di masyarakat untuk mengambil peran tersembunyi dalam kekerasan yang berlangsung.

Kasus kriminalitas dan kekerasan yang terjadi pada Pemilu 2009 di Bali setidaknya menunjukkan hal tersebut. Khususnya yang terjadi pada minggu, 15 Maret 2009 pukul 02. 30 wita saat kampanye pemilihan umum legislatif 2009 di Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Empat anggota Satgas Rajawali pendukung Partai Demokrat diserang sekitar 20 orang massa. Satu korban mengalami luka parah, hingga tangannya nyaris putus. Penyerangan ini terjadi ketika Satgas Rajawali sedang menjaga atribut parpolnya sambil memancing di Balai Subak Jaka Dayang, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan, tepatnya di perbatasan Desa Kukuh Marga dengan Desa Belayu. Korban paling parah akibat penyerangan itu adalah I Gusti Bagus Made Supartawan, 30, di mana tangan kanannya nyaris putus ditebas senjata tajam. Korban lainnya, I Nyoman Yasa, 40, juga mengalami luka terbuka di dagu sepanjang 10 cm. Bahkan, bagian punggungnya ikut terkena sabetan senjata tajam. Sementara dua korban lagi masing-masing I Gusti Alit Artana, 30, dan I Gusti Agung Eka Adikapratama, 20. Alit Artana mengalami luka robek di kepala belakang hingga harus mendapatkan sejumlah jaritan, sementara Eka Adikapratama menderita luka robek pada telapak tangan kanannya. Keempat korban terluka akibat diserang massa. Keempat korban merupakan anggota Satgas Rajawali, yang sekaligus pendukung Caleg Ketua DPC Partai Demokrat Tabanan, I Gusti Made Purnayasa.

Tesis Siegel tentang membunuh citra (image) sendiri terlihat jelas dalam kasus ini. Para satgas dan jagoan lokal yang berafiliasi pada partai politik tertentu berusaha untuk membunuh dirinya sendiri dalam pentas perebutan kekuasaan. Musuh-musuh diciptakan secara imajiner sebagai yang lain (other), padahal “musuh rekayasa” tersebut adalah representasi diri mereka sendiri. Para satgas-satgas dan jagoan lokal yang menjadi aktor politik kekerasan mempraktikkan hal ini untuk menyebarkan ketakutan kepada orang lain, padahal ketakutan itu ada pada diri mereka sendiri. Siegel (1998) dengan tajam mengungkapkan, setidaknya setelah 1980-an, tokoh-tokoh politik Indonesia berkoar tentang organisasi tanpa bentuk ketika menyebut dugaan adanya upaya kebangkitan kembali komunis. Segala cara ditempuh negara untuk terus-menerus mengawasi bukan saja orang-orang komunis yang dibebaskan setelah meringkuk bertahun-tahun di penjara, tetapi juga keturunan mereka. Ini jelas menunjukkan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak bisa mereka ketemukan, sekalipun mereka tahu betul mana si komunis dan mana anak laki-laki atau perempuan si komunis. Menyatakan dengan cara lain, mereka tidak bsia menemukan seraut wajah atau sebuah nama bagi ketakutan-ketakutan mereka. Orang-orang yang menakutkan mereka tampak seperti orang kebanyakan dan mirip dengan diri mereka sendiri dan, oleh karena itu, membutuhkan banyak dan makin banyak kewaspadaan agar tidak lengah (Siegel, 1998: 8). Pentas kekerasan yang ditunjukkan oleh para satgas partai politik atau kelompok kekerasan para jagoan lokal merepresentasikan menyebarkan ketakutan dan kewaspadaan baru yang ada dalam diri mereka sendiri.

Genealogi Kekerasan: Dari peng-Golkar-an Orde Baru ke Reformasi

Seperti diuraikan secara ringkas pada bagian pendahuluan paper ini, kasus kekerasan politik Pemilu 2009 terjadi di Kabupaten Tabanan pada 15 Maret 2009. Namun, sejarah panjang kekerasan politik selain yang disebutkan di atas, sebenarnya sudah terjadi pasca 1965, terutama saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru menumpas lawan-lawan politik yang tersisa. Dengan kekuatan di birokrasi, tentara dan Golkar (Golongan Karya), Orde Baru terutama terlebih dahulu menghabiskan sisa-sisa PNI yang masih setia dengan faham dan pengikut setia Soekarno. Rangkaian pembersihan PNI tersebut dikenal dengan “Peng-Golkaran” dan secara khusus di Bali dinamakan “Pem-Bulelengan” karena rangkaian teror dan kekerasan terhadap warga PNI yang tidak mau masuk ke Golkar paling massif terjadi di Kabupaten Buleleng, di Bali utara.

Konsolidasi kekuasaan rezim Orde Baru dalam teror “peng-Golkaran” awalnya adalah perubahan situasi politik yang terjadi menginjak berlangsungnya Pemilu (Pemilihan Umum) 1971. PNI yang menjadi partai pemenenang Pemilu 1955 kalah telak dari peserta terbaru Pemilu yaitu Golkar (Golongan Karya). Salah satu mesin politik rezim Orde Baru ini meraup 62,8 % suara secara nasional. Proses peng-Golkar-an yang terjadi di Buleleng—juga pada sebagian besar daerah di Indonesia—dimulai dari diberlakukannya asas monoloyalitas terhadap pegawai negeri yang dituangkan lewat Peraturan Menteri No. 12 Tahun 1969 yang kemudian lebih dikenal dengan Permen 12. Permen 12 kemudian disusul dengan Surat Edaran Mendagri yang berisikan formulir Korps Karyawan Pemerintah Dalam Negeri.

Praktik teror dan kekerasan menjadi latar belakang kemenangan telak Golkar pada pemilu tersebut. Disamping itu menurutnya Golkar menjadi kuat karena basis kekuatan yang disebutnya dengan ABC yaitu: ABRI, Beringin (untuk menunjukkan organisasi massa yang berafiliasi pada Golkar), dan Corps Pegawai Negeri. Para laskar-laskar peng-Golkar-an, khususnya di Kabupaten Buleleng beraksi dengan menakut-nakuti masyarakat dengan cara membakar gubuk-gubuk sapi dan mendatangi rumah orang-orang PNI terutama yang tergolong pimpinan untuk diintimidasi sehingga bersedia bergabung dengan Golkar. Beberapa pimpinan-pimpinan PNI diajak secara damai bergabung dengan Golkar. Kalau tidak berhasil dengan cara damai, maka laskar peng-Golkar-an akan bergerak untuk memaksanya, tidak tanggung-tanggung dengan jalan kekerasan. Operasi peng-Golka-an yang dilakukan Golkar, disamping melibatkan laskar, milisi-milisi sipil dan juga didukung oleh militer. “Masyarakat petakute aji ancaman ken baju gadang di belakangne, nyen je lakar bani ngelawan” (Masyarakat ditakut-takuti dengan ancaman baju hijau (militer/ABRI) dibelakangnya, siapa saja yang berani melawan) (Budiasih, 1992: 119)

Komando untuk melakukan peng-Golkar-an berlangsung dibawah pengawasan komandan Kodim Pusat dan di masing-masing daerah. Para satuan militer ini men-dekkin-gi gerakan yang dilakukan oleh barisan organisasi dari Golkar. Seluruh organisasi yang melakukan aksi peng-Golkar-an tersebut berada di bawah naungan KINO (Kesatuan Induk Organisasi). KINO ini terdiri dari organisasi-organisasi yang terkenal menjadi mesin politik Golkar yaitu: KOSGORO (Kesatuan Organisasi Serba Guna Gotong Royong), SOKSI (Sentral Organisasi Swadiri Karyawan Indonesia), MKGR (Masyarakat Kekeluargaan Gotong Royong).

Setelah PDIP berkuasa pasca reformasi 1998, “balas dendam politik” pun terjadi. PDIP mengambil alih “pelaku kekerasan” terhadap massa Golkar. Beberapa anggota Golkar yang merupakan tokoh “peng-Golkaran” menjadi korbannya. Salah satunya adalah dua bersaudara Ketut Dapet dan Nyoman Dangin di Desa Petandakan, Kabupaten Buleleng. Suatu malam di bulan Juni 1999, tepatnya 4 Juni 1999 terjadilah aksi pengerusakan dan pembakaran terhadap rumah Ketut Dapet di Desa Petandakan. Ketut Dapet tidak sendirian. Bukan hanya rumahnya saja yang dibumihanguskan oleh massa berseragam beratribut PDIP pada empat hari menjelang Pemilu 1999. Rumah Nyoman Dangin juga menjadi korban dan 10 rumah lainnya yang dibakar oleh massa. Saat itu tidak jatuh korban jiwa karena para korban segera menyelamatkan diri ke Mapolsek Kota Singaraja.

Nyoman Dangin menuturkan, “Waktu itu korbannya 10 KK karena rumah kami dibakar bersama satu warung (warung Ketut Dapet).” Usai perusakan tersebut, kubu lawan (PDIP) meminta damai dan disambut baik oleh kubu korban (sebagian besar adalah massa Partai Golkar). Maksudnya ketika itu dari para korban adalah agar tidak terjadi kasus serupa di kemudian hari. “Maksud saya agar selanjutnya biar ada kedamaian. Tidak ada balas dendam,” ungkap Nyoman Dangin didampingi oleh korban lainnya, Nyoman Sudiasa (Nusa, 29 Oktober 2003).

Ternyata janji dan kesepakatan damai hanya manis diucapkan di bibir, tapi pilu untuk disaksikan. Kepedihan itu dialami sedalam-dalamnya oleh Nyoman Dangin, kakak Ketut Dapet. Setelah adiknya menjadi “TO” menjelang Pemilu 1999, kini giliran keluarganya menjadi korban aksi brutalitas kekerasan massa. Bahkan lebih menyakitkan, kedua anaknya, Putu Negara (40) dan Ketut Agustana (25) dibantai di depan matanya sendiri. Kubu yang sebelumnya meminta damai melanggar kesepakatan dan janjinya sendiri. “Anak saya selalu minta damai, tapi apa yang terjadi justru lain. Setiap Pemilu keluarga kami selalu menjadi korban,” tutur pedih Nyoman Dangin. Nyoman Sudiasa, kerabat Nyoman Dangin yang juga menjadi korban tragedi kekerasan di Desa Petandakan menuturkan, sehari menjelang hari tewasnya Putu Negara dan Ketut Agustana (25 Oktober 2003), terjadi kesepakatan antara kelompok korban dengan massa penyerang. Kesepakatannya adalah berdamai. “Kami selalu menyambut baik kesepakatan itu,” tutur Nyoman Sudiasa.

Tewasnya Putu Negara (40), pengurus Partai Golkar Desa Petandakan, akibat tebasan senjata tajam berupa pedang maupun panah dan benda tumpul lainnya. Setelah dibantai kelompok massa beratribut PDIP, korban sempat diseret sampai ke jalan raya. Sementara adik kandung korban, Ketut Agustana (25) yang mengejar, tak luput dari amukan massa. Di tangan kiri jenazahnya ada dua busur panah yang masih tertancap. Saat kejadian, massa PDIP hingga pukul 14.30 masih berkonsentrasi di pertigaan desa. Kendati jumlah massa PDIP tersebut cukup besar, suasana terasa sepi dan mencekam. Suasana kembali panas pada pukul 14.45 wita saat puluhan massa PDIP berusaha menghadang mobil polisi yang membawa keluarga korban ke Mapolres Buleleng.

Bentrokan antara satgas partai politik semakin marak menjelang pentas pemilihan umum. Jika Tragedi Desa Petandakan terjadi menjelang Pemilu 2004, maka penyerangan antara satgas partai politik terjadi menjelang Pemilu 2009. Jika sebelumnya (Pemilu 2004) aktornya adalah satgas PDIP, BMI (Banteng Muda Indonesia), Satria Bela Bangsa dan satgas Partai Golkar, AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar), maka kini (Pemilu 2009), pelakunya adalah Satgas Rajawali (Partai Demokrat) yang diserang satgas PDIP, BMI.

Penyerangan tersebut terjadi Sehari menjelang kampanye terbuka Pemilu 2009 dimulai. Tepatnya adalah pada hari minggu 15 Maret 2009 dinihari sekitar pukul 02.30 Wita. Empat anggota Satgas Rajawali pendukung Partai Demokrat diserang sekitar 20-an orang dari satgas BMI PDIP Satu korban mengalami luka parah, hingga tangannya nyaris putus. Penyerangan ini terjadi ketika Satgas Rajawali sedang menjaga atribut parpolnya, Demokrat, sambil memancing di Balai Subak Jaka Dayang, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan, tepatnya di perbatasan Desa Kukuh Marga dengan Desa Belayu.
Awal terjadinya penyerangan terhadap Satgas Rajawali Partai Demokrat adalah agenda patroli yang dilakukan Satgas Partai Demokrat. Ini dilakukan karena belakangan baliho dan alat kampanye milik Partai Demokrat sering diturunkan. Untuk itu, Minggu 15 Maret 2009 sekitar pukul 02.00 Wita rombongan Satgas melakukan patroli keliling desa. Mereka berangkat dari rumah Ketua DPC Partai Demokrat Tabanan, I Gusti Made Purnayasa yang berasal dari Banjar Amerta Sari, Desa Kukuh, Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan. Setelah berpatroli, sampai pukul 02.30, Satgas yang berpatroli menggunakan tiga unit mobil Hartop istirahat di Balai Subak Jaka Dayang atau perbatasan desa Kukuh dengan Belayu. Sebagian ada yang memancing dan sebagian ada yang santai-santai dan tidur-tiduran. Selang beberapa menit, datang dari arah desa Belayu (timur) seorang bernama Kues melewati balai subak tersebut. Kemudian dia kembali lagi dan berhenti di depan balai subak. Ternyata saat itu dia membawa pedang. Dan kepada sejumlah Satgas Partai Demokrat ini, Kues sempat bertanya dengan nada tinggi dan sedikit berteriak sambil menghunuskan pedangnya. Menanyakan apakah ada yang melempar dia. Dan dijawab dengan kompak oleh Satgas, tidak ada. Lebih lanjut, Kues menanyai Satgas yang memang tidak mau ada keributan itu. "Apa ada yang berani mati," tanya Ques sebagaimana ditirukan korban I Nyoman Yasa, 40, salah satu korban penyerangan itu. Mendapat pertanyaan seperti itu, para Satgas ini mengaku kompak menjawab tidak. Sepuluh menit setelah Kues meninggalkan Satgas, tiba-tiba lampu penerangan jalan yang ada di sepanjang jalan itu padam. Sehingga gelap gulita. Di antara kegelapan itu, tiba-tiba muncul suara teriakan, "Ambil pedangnya, serbu, bunuh saja..!!"

Belum hilang rasa kaget para Satgas Demokrat ini, tiba-tiba mereka diserang sekitar 20-an orang yang lengkap menggunakan senjata tajam berupa pedang atau samurai, pipa besi, tombak dan berbagai senjata tajam lainnya. Sedangkan, Satgas yang tidak berbekal apa-apa hanya sebagian yang membawa pancing ikan jelas bukan lawan yang sebanding. Sebagian satgas berhasil kabur tak beraturan. Malah menginjak-injak persawahan yang baru ditanami padi. Lainnya tidak sempat melarikan sehingga terkena sabetan pedang. Dengan terpaksa serangan itu ditangkis menggunakan tangan kosong, dan sebagian di dibacok-bacok sehingga darah segar mengucur dari beberapa Satgas ini. 

Selain itu, tiga unit mobil yang digunakan Satgas berpatroli juga kena imbas. Ketiga mobil yang ditempeli stiker Caleg Purnayasa dan tulisan Satgas beserta gambar Rajawali dirusak. Satu jenis hartop bernopol DK 633 KI warna biru kaca depannya hancur, ban ditebas pedang, spion hancur. Berikutnya dua mobil model kanvas DK 649 AD dan DK 668 KF juga rusak pada kaca depan. Mobil ini diduga dirusak menggunakan benda keras untuk menghancurkan kaca depan ini. Di samping itu, pada kedua mobil yang disebutkan terakhir terdapat ceceran darah korban. Korban paling parah akibat penyerangan itu adalah I Gusti Bagus Made Supartawan, 30, di mana tangan kanannya nyaris putus ditebas senjata tajam. Korban lainnya, I Nyoman Yasa, 40, juga mengalami luka terbuka di dagu sepanjang 10 cm. Bahkan, bagian punggungnya ikut terkena sabetan senjata tajam. Sementara dua korban lagi masing-masing I Gusti Alit Artana, 30, dan I Gusti Agung Eka Adikapratama, 20. Alit Artana mengalami luka robek di kepala belakang hingga harus mendapatkan sejumlah jaritan, sementara Eka Adikapratama menderita luka robek pada telapak tangan kanannya (Nusa, 16 Maret 2009, Radar Bali, 16-17 Maret 2009, Bali Post, 2 Juli 2009).

Tumbuh suburnya kelompok organisasi kekerasan dan jagoan lokal di Bali khususnya tidak terlepas dari pemuda yang menjadi anggotanya. Mimpi menjadi jagoan lokal membuai anak muda Bali. Karena potensinya yang sangat besar, setiap partai politik membentuk satgas dan organisasi sayap kepemudaan untuk mengakomodasi sumber daya yang melimpah dari pemuda dalam politik ini. Namun sayang, bayangan organisasi massa satgas di partai politik sering hanya menempatkan pemuda sebagai garda depan aksi kekerasan, semacam “pion di lapangan” untuk saling bertempur. Kasus kekerasan Pemilu 2004 di Desa Petandakan, Kabupaten Buleleng dan Pemilu 2009 di Desa Marga, Kabupaten sangat jelas menunjukkan hal itu. Organisasi satgas yang dipenuhi oleh generasi muda hanya menjadi “alat broker” kekerasan partai politik, tidak sungguh-sungguh memberdayakan pemahaman politik pemuda. Karena sebagai broker, dunianya hanyalah silang sengkarut pada jagoan lokal, tokoh politik dan uang yang sanggup membayar jasa kekerasan yang mereka lakukan. Elite politik lokal juga menjadi titik sentral tumbuh suburnya kelompok satgas dan jagoan lokal ini.

Kehadiran kelompok organisasi massa dan barisan milisi-milisi lokal bagai jamur di musim hujam. Angin demokratisasi dan otonomi daerah menguatkan kehadiran para “jagoan-jagoan local” ini dengan alasan “memberdayakan potensi masyarakat”. Kelompok-kelompok kekerasan ini hadir memanfaatkan ketidakstabilan negara dalam mengatur politik keamanan masyarakat. Kehadiran mereka tak jarang menebar terror dan ancaman, namun kerap pula dibutuhkan dan diperebutkan di kalangan pihak tertentu yang berkepentingan. Peran kelompok kekerasan ini seolah “mengunci” peran negara dalam pengaturan politik keamanan di tengah masyarakat. Jejaring mereka menembus tapal batas kuasa politik di ranah negara dan masyarakat. Kondisi ini tidak mengherankan karena kelompok-kelompok kekerasan ini memiliki akar tradisi sejak Indonesia modern belum lahir. Dinamikanya terkadang mengalami fase pasang dan surut, tergantung konstelasi politik yang berkembang. Aktor utamanyapun dapat saja mati menemui ajalnya, entah karena ter(di)bunuh atau melalui proses hukum alam. Namun demikian, karena tradisi dan habitatnya belum punah maka seperti pepatah yan berkembang di masyarakat, patah tumbuh hilang berganti, dalam arti ritus kekerasan itu selalu melahirkan aktor-aktor baru seiring dengan fase zamannya yang terus bergerak (Masaaki dan Rozaki, 2006: ix-x).

Penyebar ketakutan itu adalah para jagoan, orang kuat lokal, para preman, dan kelompok-kelompok kriminal yang “dipakai” jasanya oleh negara dan kekuasaan untuk menyebarkan teror ketakutan ini. Para “jagoan local” ini akan beraksi sesuai dengan perintah dan target dari “si dalang”. Situasi akhirnya berbalik ketika para jagoan lokal ini juga menjadi korban berikutnya dari target “si dalang” untuk membersihkan kelompok-kelompok kriminal ini. Sejarah mencatat bahwa peranan jagoan dan kelompok kriminal ini selalu memberi warna yang penting. Seorang kriminal, selalu berada di tepian masyarakat Indonesia namun tak pernah berada di luarnya. Sama sekali bukan orang asing, mudah dijumpai dalam wacana politik Indonesia. Perkembangan terakhir menunjukkan sosoknya yang cocok dengan konteks pemikiran tentang “rakyat”. Kata rakyat dalam sebagian besar masyarakat Indonesia menunjuk pada pengikut seorang pemimpin. Mereka, pada mulanya, adalah para hamba sahaya yang dihidupi oleh para pemegang otoritas politik lokal (Siegel, 2000: 4-5)

Jagoan memiliki perjalanan sejarah panjang, terutama hubungannya dengan kekerasan dan kekuasaan. Jago adalah orang kuat lokal setempat baik secara fisik maupun spiritual dikenal kebal. Seoarang jago dapat menghimpun pengikut, dan kekuatannya bergantung pada jumlah anak buah. Pada masa prakolonial organisasi jago merupakan satu-satunya alat para penguasa. Gejala jago berhubungan erat dengan tidak adanya negara sentral (pusat) yang kuat dan institusionalisasi kekuasaan. Pada zaman prakolonial, negara masa lampau terlalu mendasarkan diri pada kharisma raja dan penguasa setempat. Penguasa tradisional biasanya akan memilih dan memelihara orang terkuat dalam masyarakat sebagai jago (Ong Hok Ham, 2002: 101-102).

Ong Hok Ham (2003) mengungkapkan bahwa gejala jagoan ini tujuan awalnya adalah untuk memelihata tata tentrem, “keamanan dan ketertiban” yang diinginkan para penguasa pada zamannya. Dalam menjaga keamanan negara itulah banyak praktek kekerasan yang digunakannya. Dalam perjalanan zaman-zaman kerajaan di Indonesia, banyak raja-raja yang awalnya mempunyai habitus jagoan, atau akarnya adalah dari kelompok massa jagoan lokal. Fenomena ini berlanjut hingga kini ketika pada para wakil-wakil rakyat awalnya berasal dari kelompok-kelompok massa jagoan pada wilayahnya masing-masing. Dari keseharian menjadi “tukang pukul” berubah menjadi “pejabat negara”. Maka tidak heran jika praktik-praktik sebagai jagoan juga disahkan ketika menjadi pejabat negara. Soemarsaid Moertono (dalam Ong Hok Ham, 2003) pernah menyebutkan bahwa salah satu teori pemerintahan adalah “menangkap maling dengan maling”.

Cermin jago dalam sejarah yang diungkapkan Onghokham dan Soemarsaid Moertono mempunyai konteksnya hingga kini. Banyak jagoan-jagoan yang kemudian menjadi pejabat negara. Untuk memaksakan kekuasaannya, praktek kekerasan—yang menjadi keakrabannya saat menjadi jagoan—tanpa canggung akan diterapkan. Sementara negara sebagai sebuah institusi pelingdung rakyatnya malah menyebar teror dengan praktik para pejabat negaranya yang sebelumnya adalah seorang jagoan lokal. Akhirnya para jagoan lokal ini menjadi orang kuat lokal yang sangat disegani di daerah tersebut. Para orang kuat lokal ini biasanya akan menjadi tokoh partai politik, organisasi massa yang berhubungan secara informal dengan kekuasaan. Bagi para jagoan yang telah “tobat” dan termakan usia, ia akan menjadi tokoh agama, religius yang memberikan “penutur kejernihan” pada rakyatnya. 

Dalam konteks Bali, salah satu faktor penting munculnya kelompok massa para jagoan ini menunjukkan relasi penting dari Bali sebagai destinasi “sorga pariwisata”. Pariwisatalah yang memungkinkan lahir beragam infrastruktur pendukungnya seperti diskotik, jaringan prostitusi, bisnis narkotika, traffiking, dan bentuk kriminalitas lainnya, di samping ideologi, wacana, dan cara berpikir manusia Bali. Tapi di tengah gempuran fenomena globalisasi tersebut, selalu muncul reaksi kembali ke tradisi, mencari celah keaslian untuk menjawab tantangan globalisasi. Munculnya satuan pecalang sebagai ikon “tradisi Bali” menunjukkan bagaimana derasnya globalisasi ditanggapi dengan “memberdayakan adat”. Salah satu bagian penting dari “tradisi dan adat” tersebut adalah satuan pecalang sebagai penjaga kebudayaan Bali.

Kelompok milisi dan para jago bermain dalam ruang-ruang kehidupan intim masyarakat. Kalau pecalang berbendera “adat dan tradisi”, kelompok milisi seperti yang dijelaskan di atas menjadi barisan broker kekerasan, yang masuk dalam jejaring akses kekuasaan dan modal. Pecalang pun tidak bisa dipisahkan hanya sebagai “penjaga tradisi” saja. Ia telah masuk dalam ruang-ruang kekuasaan dan modal yang dilakukan Desa Pakraman. Gerakan “penertiban penduduk” menunjukkan bagaimana lahan uang bernama “penertiban” menghidupi biaya operasional satuan pecalang ini. Dengan “kekuasaan tradisi” inilah pecalang menghidupi dirinya.

Kelompok organisasi massa akan menjadi salah satu pemain penting dalam dunia pariwisata di Bali. Organisasi massa ini akan bergerak dalam bidang menjual jasa keamanan kepada siapa saja yang mau membayar mereka. Salah satu lahan yang diincar adalah tempat-tempat hiburan malam di kawasan pariwisata Denpasar, Kuta, Sanur, Jimbaran, Lovina, dan yang lainnya. Organisasi massa ini akan menjadi broker jasa pengamanan di diskotik, karaoke dan hiburan malam. Kasus-kasus penyerangan di tempat hiburan malam di Bali bisa sebagai contoh bagaimana sengitnya pertarungan merebutkan “lahan” bagi para broker jasa pengamanan ini.

Selain berwajah sebagai organisasi massa penjual jasa keamanan, para jagoan-jagoan lokal juga akan berkiprah di partai politik menjelang hajatan-hajatan politik. Sudah bukan rahasia lagi jika tokoh organisasi massa berserta barisan massanya akan langsung menangani jasa pengamanan dalam setiap kampanye atau jika terjadi kasus-kasus dengan partai politik lainnya. Mereka biasanya akan bergabung dalam satuan Satgas partai politik dan menjadi aktor dalam setiap konflik-konflik politik menjelang Pemilu.



I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor Antropologi UGM. Peneliti tamu di PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar