Label

Selasa, 10 Juli 2012

Spirit Kajian Budaya Bali



oleh I Ngurah Suryawan


Kajian Budaya Bali salah satunya berkembang melalui “tangan dingin” dan determinasi intelektual plus perjuangan–yang kemudian menjadi “monumen intelektual”—dari (alm) Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, ”bapak studi kebudayaan Bali”. Monumen intelektual yang dimaksud adalah beroperasinya Program Magister Kajian Budaya pada tahun 1996 dan Doktor Kajian Budaya pada tahun 2001 di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Bagi saya, hadirnya program studi kajian budaya di universitas tertua di Bali ini lebih daripada sekadar monumen. Program studi kajian budaya di universitas tertua di Bali ini menjadi ruang mediasi gerakan sosial dan intelektual Bali untuk mewacanakan kebudayaannya secara terbuka dan kritis. (Alm) Prof. Bagus seolah meletakkan pondasi studi kritik kebudayaan Bali yang (mungkin) diimpikannya untuk sebuah gerakan intelektual Bali yang memikirkan Bali tidak “ke dalam” dan esensialistik namun terbuka, kritis, dan dinamis dalam membaca relasi-relasi kebudayaan, kekuasaan, dan konteks kuasa kapital global yang mencengkram Bali. 


Saya merefleksikan bahwa (alm) Prof. Bagus sedang menantikan gebrakan-gebrakan cendekiawan Bali untuk mengelaborasi gagasan-gagasan politik kebudayaan Bali yang dinamis dan terbuka dalam merespon implikasi-implikasi globalisasi yang sedang dan akan terus terjadi. Saya kira kita sudah cukup kehabisan tenaga berbicara tentang “memperkokoh kebudayaan Bali” secara membabi buta. Kita akan terbentur tembok yang  memaksa kita untuk memilih bahwa kebudayaan adalah sebuah komoditas. Kita tanpa sadar telah berada di tengah situasi ketika pasar-pasar pariwisata dan pembangunan menawarkan sebuah bentuk komoditas kapitalisme kultural baru yang paling berharga bernama otentisitas (keaslian) yang kita impikan ada dalam kebudayaan kita (Santikarma, 2001). Otentisitas itulah yang kemudian dibayangkan oleh kelas menengah urban Bali yang membayangkan ada sebuah kebudayaan “asli” Bali dan oleh karena itu harus di-ajeg-kan.   

Konteks politik kebudayaan Bali itulah menurut saya menjadi spirit dari kajian budaya yang digagas oleh (alm) Prof. Bagus. Tujuannya adalah memahami budaya dengan segala kompleksitasnya dan menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan dirinya. Budaya dalam kajian budaya selalu menampilkan dua fungsi; ia sekaligus merupakan objek studi maupun lokasi tindakan dan kritisisme politik. Karena kajian budaya adalah multidisipliner, maka kajian budaya berupaya membongkar dan mendamaikan pengotakan pengetahuan. Kajian budaya juga melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern dan dengan garis radikal tindakan politik. Tradisi kajian budaya bukanlah tradisi kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi yang punya komitmen bagi rekonstruksi sosial dengan melibatkan diri dalam kritik politik. (Sardar dan Val Loon, 2001: 9).
           
Bali Pascakolonial: Politik Kebudayaan, Kuasa, dan Pariwisata

(Alm) Prof. Bagus dengan pendekatan antropologinya sejak awal melakukan studi bagaimana perubahan Bali, khususnya pada budayanya saat bersentuhan dengan pariwisata. Titik tegangan dalam studinya adalah apakah “budaya untuk pariwisata” atau “pariwisata untuk budaya”? Lebih lanjutnya, untuk menghadapi derasnya industri pariwisata, bagaimana budaya (sebagai modal) harus ditempatkan dalam kepentingan pariwisata: dilestarikan atau dikomersilkan? Tentunya pertanyaan tidak sesederhana itu, bagaimana ketika sang kuasa (yang tersebar dan produktif) membentuk budaya dan pariwisata menjadi tema dan “ideologi” yang membadan dalam tingkah polah dan pikiran masyarakat Bali? Rezim Orde Baru secara sangat cerdik menebarkan kekuasaan bukan hanya sebagai bangunan monolitik seperti negara dengan segala aparatnya, tapi juga tersebar dalam berbagai jargon dan program seperti KB (Keluarga Berencana), Bali yang BALI (Bersih, Aman, lestari, Indah), lomba desa, jargon “musuh pembangunan”, dan yang lainnya.

(Alm) Prof. Bagus dalam salah satu essaynya yang mengesankan, Keresahan dan Gejolak Sepuluh Tahun Terakhir di Bali: Beberapa Catatan tentang Perubahan Sosial di Era “Glokalisasi” (1999) menguraikan relasi kekuasaan yang terselubung dibalik layar “pembangunan pariwisata” yang digerakkan oleh Orde Baru terhadap Bali. Dibalik itu semua, terjadi terjadi rekayasa untuk memberi dukungan dan mengunggulkan Golkar (Golongan Karya) sehingga masyarakat Bali sejak awal pemerintahan Orba mengalami peng-Golkar-an. Rekayasa tersebut dipelopori oleh Adam Malik lewat pelaksanaan proyek di Kabupaten Buleleng yang adalah basis massa PNI fanatik. Peristiwa ini kemudian terkenal dengan istilah “Pembulelengan” atau “Bulelengisasi”. Artinya, lewat suatu rekayasa politik Orba (Golkar) dalam tempo singkat kader-kader PNI telah berubah menjadi “pahlawan” Golkar.

Beriringan dengan rekayasa kekuasaan Orde Baru dan Golkar tersebut, terjadi arus besar “penjualan” Bali melalui pelalapan tanah-tanah Bali untuk kepentingan industri pariwisata. Oleh karena itulah Bali sering diplesetkan menjadi Bakal Amblas Lantaran Investor. Salah satu fokus penting dari studi Bali pascakolonial adalah kritisisme terhadap pariwisata, budaya, dan pembangunisme yang menerjang Bali hingga kini. Dalam celah-celah tema tersebutlah kajian budaya bisa mengepakkan sayapnya. Bukan hanya menjadi studi “budaya turistik”, tapi melihat membongkar praktik pariwisatanisme dan pembangunisme melahirkan gejolak, keresahan, dan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat di Bali. Sementara jejak kekerasan yang ditinggalkan dalam praktik kolonialisme hingga rezim otoritarian Orde Baru memungkinkan kajian budaya bukan hanya menjadi ilmu yang elit, namun bisa bercermin dan mengakar pada pergolakan manusia Bali yang dibungkam dan terhempas dalam struktur kekerasan dan kekuasaan. Dari kesaksian dan pergolakan manusia Bali yang menjadi survivor kekerasanlah kajian budaya berhutang untuk menguraikan relasi kebudayaan, kekerasan, dan kekuasaan dari balik layar.

Kontaminasi dan Pendisiplinan Kajian Budaya 

Di tengah segudang harapan akan kajian budaya yang nge-trend dan menjadi fashion kalangan akademik, situasi ironis sebenarnya menyertainya secara nyata. Menguraikan hubungan budaya dan kuasa seakan ironis dengan bekerja “di belakang meja” untuk melihat budaya massa hanya dari studi media, televisi, fashion dan kajian-kajian budaya pop yang ditawarkan kajian budaya. Pernyataan untuk menangkap wacana keseharian sebagai praktik kebudayaan merupakan antitesis dari wacana kebudayaan dominan yang meminggirkan suara-suara kaum lemah, terpinggirkan, subaltern juga sangat problematik.

Santikarma (2004) mengkritik hal ini dengan menggunakan tesis Pierre Bourdieu tentang habitus dan struktur kekuaasaan. Dalam jejak keseharian kebudayaan juga tersimpan struktur kekuasaan dan kekerasan yang terbadankan melalui jejak kekerasan struktural dalam hubungan sosial sehari-hari (trace of structural violence). Oleh karena itu, tidak ada subyek yang bebas dari kekuasaan dan tidak ada ruang sosial yang steril dari kuasa. Kalau begitu, untuk mengerti kekuasaan, tak cukup mengambil suara mereka yang terpinggir sebagai "suara alamiah perlawanan" yang murni dan tak terkorupsi. Mengurai struktur kekuasaan dan kekerasan yang membadan inilah yang menjadi problematika kajian budaya dan juga ilmu sosial secara umum.    

Jebakan kajian budaya lainnya adalah pendisiplinan dan kontaminasi birokrasi universitas. Kajian Budaya yang sebelumnya antidisiplin menjadi disiplin menjadi bumerang tersendiri. Sebagai sebuah disiplin yang ditawarkan oleh universitas, ia menjadi bagian kemapanan akademik dan struktur kekuasaan lembaga pendidikan. Pada akhirnya, kajian budaya menjadi terlalu teknis, dangkal, dan tercerabut dari akarnya yaitu kehidupan dan realitas orang-orang yang tertindas yang seharusnya diberdayakan, dibuatkan strategi perlawanan dan perjuangan hidup. Kontaminasi pendisiplinan dalam kuasa akademik dan struktur kekuasaan universitas kemudian menyeret kajian budaya sebagai salah satu bagian dari industrialisasi pendidikan. Kajian Budaya Unud berada dalam kondisi dilematis ini. Spirit kajian budaya yang dibangun (alm) Prof. Bagus terancam tergerus kontaminasi pendisiplinan dan birokratisasi pendidikan di universitas. Yang terjadi kemudian adalah beramai-ramainya “wajib belajar kajian budaya” dengan mahasiswa yang penuh sesak menanti ijazah untuk kepentingan naik pangkat jabatan atau kebutuhan pragmatis lainnya. Para dosen dan mahasiswa larut dalam rutinitas industrialisasi pendidikan yang hanya diukur dengan banyaknya jumlah mahasiswa yang masuk dan output tamatan dengan jejeran Indeks Prestasi (IP) yang mengagumkan.

Terus terang saya khawatir. Kekhawatiran saya semakin memuncak saat saya merenungkan kembali bagaimana spirit luar biasa yang (mungkin) dibayangkan (alm) Prof. Bagus tentang gerakan social dan intelektual Bali merespon “hidup segan mati tak mau” nya gerakan kritik kebudayaan di Bali. Saya khawatir kajian budaya hanya akan terhenti sebagai monumen yang kehilangan bahasa dalam merekognisi kompleksitas dan dinamika kebudayaan Bali. Tentu saja ini (mungkin) bukan cita-cita (alm) Prof. Bagus. 


I Ngurah Suryawan, Alumni Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana 2008. Research Fellow Indonesian Young Leaders di Faculty of Humanities Universitiet Leiden, The Netherlands.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar