oleh I Ngurah Suryawan
Kajian Budaya Bali salah satunya berkembang melalui “tangan
dingin” dan determinasi intelektual plus perjuangan–yang kemudian menjadi
“monumen intelektual”—dari (alm) Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, ”bapak studi
kebudayaan Bali”. Monumen intelektual yang dimaksud adalah beroperasinya
Program Magister Kajian Budaya pada tahun 1996 dan Doktor Kajian Budaya pada
tahun 2001 di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Bagi saya, hadirnya
program studi kajian budaya di universitas tertua di Bali ini lebih daripada
sekadar monumen. Program studi kajian budaya di universitas tertua di Bali ini
menjadi ruang mediasi gerakan sosial dan intelektual Bali untuk mewacanakan
kebudayaannya secara terbuka dan kritis. (Alm) Prof. Bagus seolah meletakkan
pondasi studi kritik kebudayaan Bali yang (mungkin) diimpikannya untuk sebuah
gerakan intelektual Bali yang memikirkan Bali tidak “ke dalam” dan
esensialistik namun terbuka, kritis, dan dinamis dalam membaca relasi-relasi
kebudayaan, kekuasaan, dan konteks kuasa kapital global yang mencengkram
Bali.
Saya merefleksikan bahwa (alm) Prof. Bagus sedang menantikan
gebrakan-gebrakan cendekiawan Bali untuk mengelaborasi gagasan-gagasan politik
kebudayaan Bali yang dinamis dan terbuka dalam merespon implikasi-implikasi
globalisasi yang sedang dan akan terus terjadi. Saya kira kita sudah cukup
kehabisan tenaga berbicara tentang “memperkokoh kebudayaan Bali” secara membabi
buta. Kita akan terbentur tembok yang memaksa kita untuk memilih bahwa
kebudayaan adalah sebuah komoditas. Kita tanpa sadar telah berada di tengah
situasi ketika pasar-pasar pariwisata dan pembangunan menawarkan sebuah bentuk
komoditas kapitalisme kultural baru yang paling berharga bernama otentisitas
(keaslian) yang kita impikan ada dalam kebudayaan kita (Santikarma, 2001).
Otentisitas itulah yang kemudian dibayangkan oleh kelas menengah urban Bali
yang membayangkan ada sebuah kebudayaan “asli” Bali dan oleh karena itu harus
di-ajeg-kan.
Konteks politik kebudayaan Bali itulah menurut saya menjadi
spirit dari kajian budaya yang digagas oleh (alm) Prof. Bagus. Tujuannya adalah
memahami budaya dengan segala kompleksitasnya dan menganalisis konteks sosial
dan politik tempat budaya mengejawantahkan dirinya. Budaya dalam kajian budaya
selalu menampilkan dua fungsi; ia sekaligus merupakan objek studi maupun lokasi
tindakan dan kritisisme politik. Karena kajian budaya adalah multidisipliner,
maka kajian budaya berupaya membongkar dan mendamaikan pengotakan pengetahuan.
Kajian budaya juga melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern
dan dengan garis radikal tindakan politik. Tradisi kajian budaya bukanlah tradisi
kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi yang punya komitmen bagi
rekonstruksi sosial dengan melibatkan diri dalam kritik politik. (Sardar dan
Val Loon, 2001: 9).
Bali Pascakolonial: Politik Kebudayaan, Kuasa, dan
Pariwisata
(Alm) Prof. Bagus dengan pendekatan antropologinya sejak
awal melakukan studi bagaimana perubahan Bali, khususnya pada budayanya saat
bersentuhan dengan pariwisata. Titik tegangan dalam studinya adalah apakah
“budaya untuk pariwisata” atau “pariwisata untuk budaya”? Lebih lanjutnya,
untuk menghadapi derasnya industri pariwisata, bagaimana budaya (sebagai modal)
harus ditempatkan dalam kepentingan pariwisata: dilestarikan atau
dikomersilkan? Tentunya pertanyaan tidak sesederhana itu, bagaimana ketika sang
kuasa (yang tersebar dan produktif) membentuk budaya dan pariwisata menjadi
tema dan “ideologi” yang membadan dalam tingkah polah dan pikiran masyarakat
Bali? Rezim Orde Baru secara sangat cerdik menebarkan kekuasaan bukan hanya
sebagai bangunan monolitik seperti negara dengan segala aparatnya, tapi juga
tersebar dalam berbagai jargon dan program seperti KB (Keluarga Berencana),
Bali yang BALI (Bersih, Aman, lestari, Indah), lomba desa, jargon “musuh
pembangunan”, dan yang lainnya.
(Alm) Prof. Bagus dalam salah satu essaynya yang
mengesankan, Keresahan dan Gejolak Sepuluh Tahun Terakhir di Bali: Beberapa
Catatan tentang Perubahan Sosial di Era “Glokalisasi” (1999) menguraikan
relasi kekuasaan yang terselubung dibalik layar “pembangunan pariwisata” yang
digerakkan oleh Orde Baru terhadap Bali. Dibalik itu semua, terjadi terjadi
rekayasa untuk memberi dukungan dan mengunggulkan Golkar (Golongan Karya)
sehingga masyarakat Bali sejak awal pemerintahan Orba mengalami peng-Golkar-an.
Rekayasa tersebut dipelopori oleh Adam Malik lewat pelaksanaan proyek di
Kabupaten Buleleng yang adalah basis massa PNI fanatik. Peristiwa ini kemudian
terkenal dengan istilah “Pembulelengan” atau “Bulelengisasi”. Artinya, lewat
suatu rekayasa politik Orba (Golkar) dalam tempo singkat kader-kader PNI telah
berubah menjadi “pahlawan” Golkar.
Beriringan dengan rekayasa kekuasaan Orde Baru dan Golkar
tersebut, terjadi arus besar “penjualan” Bali melalui pelalapan tanah-tanah
Bali untuk kepentingan industri pariwisata. Oleh karena itulah Bali sering
diplesetkan menjadi Bakal Amblas Lantaran Investor.
Salah satu fokus penting dari studi Bali pascakolonial adalah kritisisme
terhadap pariwisata, budaya, dan pembangunisme yang menerjang Bali hingga kini.
Dalam celah-celah tema tersebutlah kajian budaya bisa mengepakkan sayapnya.
Bukan hanya menjadi studi “budaya turistik”, tapi melihat membongkar praktik
pariwisatanisme dan pembangunisme melahirkan gejolak, keresahan, dan perlawanan
dari kelompok-kelompok masyarakat di Bali. Sementara jejak kekerasan yang
ditinggalkan dalam praktik kolonialisme hingga rezim otoritarian Orde Baru
memungkinkan kajian budaya bukan hanya menjadi ilmu yang elit, namun bisa
bercermin dan mengakar pada pergolakan manusia Bali yang dibungkam dan
terhempas dalam struktur kekerasan dan kekuasaan. Dari kesaksian dan pergolakan
manusia Bali yang menjadi survivor kekerasanlah kajian budaya berhutang
untuk menguraikan relasi kebudayaan, kekerasan, dan kekuasaan dari balik layar.
Kontaminasi dan Pendisiplinan Kajian Budaya
Di tengah segudang harapan akan kajian budaya yang nge-trend
dan menjadi fashion kalangan akademik, situasi ironis sebenarnya
menyertainya secara nyata. Menguraikan hubungan budaya dan kuasa seakan ironis
dengan bekerja “di belakang meja” untuk melihat budaya massa hanya dari studi
media, televisi, fashion dan kajian-kajian budaya pop yang ditawarkan kajian
budaya. Pernyataan untuk menangkap wacana keseharian sebagai praktik kebudayaan
merupakan antitesis dari wacana kebudayaan dominan yang meminggirkan
suara-suara kaum lemah, terpinggirkan, subaltern juga sangat
problematik.
Santikarma (2004) mengkritik hal ini dengan menggunakan
tesis Pierre Bourdieu tentang habitus dan struktur kekuaasaan. Dalam jejak
keseharian kebudayaan juga tersimpan struktur kekuasaan dan kekerasan yang
terbadankan melalui jejak kekerasan struktural dalam hubungan sosial
sehari-hari (trace of structural violence). Oleh karena itu, tidak ada
subyek yang bebas dari kekuasaan dan tidak ada ruang sosial yang steril dari
kuasa. Kalau begitu, untuk mengerti kekuasaan, tak cukup mengambil suara mereka
yang terpinggir sebagai "suara alamiah perlawanan" yang murni dan tak
terkorupsi. Mengurai struktur kekuasaan dan kekerasan yang membadan inilah yang
menjadi problematika kajian budaya dan juga ilmu sosial secara umum.
Jebakan kajian budaya lainnya adalah pendisiplinan dan
kontaminasi birokrasi universitas. Kajian Budaya yang sebelumnya antidisiplin
menjadi disiplin menjadi bumerang tersendiri. Sebagai sebuah disiplin yang
ditawarkan oleh universitas, ia menjadi bagian kemapanan akademik dan struktur
kekuasaan lembaga pendidikan. Pada akhirnya, kajian budaya menjadi terlalu
teknis, dangkal, dan tercerabut dari akarnya yaitu kehidupan dan realitas
orang-orang yang tertindas yang seharusnya diberdayakan, dibuatkan strategi
perlawanan dan perjuangan hidup. Kontaminasi pendisiplinan dalam kuasa akademik
dan struktur kekuasaan universitas kemudian menyeret kajian budaya sebagai
salah satu bagian dari industrialisasi pendidikan. Kajian Budaya Unud berada
dalam kondisi dilematis ini. Spirit kajian budaya yang dibangun (alm) Prof.
Bagus terancam tergerus kontaminasi pendisiplinan dan birokratisasi pendidikan
di universitas. Yang terjadi kemudian adalah beramai-ramainya “wajib belajar
kajian budaya” dengan mahasiswa yang penuh sesak menanti ijazah untuk
kepentingan naik pangkat jabatan atau kebutuhan pragmatis lainnya. Para dosen
dan mahasiswa larut dalam rutinitas industrialisasi pendidikan yang hanya
diukur dengan banyaknya jumlah mahasiswa yang masuk dan output tamatan
dengan jejeran Indeks Prestasi (IP) yang mengagumkan.
Terus terang saya khawatir. Kekhawatiran saya semakin
memuncak saat saya merenungkan kembali bagaimana spirit luar biasa yang
(mungkin) dibayangkan (alm) Prof. Bagus tentang gerakan social dan intelektual
Bali merespon “hidup segan mati tak mau” nya gerakan kritik kebudayaan di Bali.
Saya khawatir kajian budaya hanya akan terhenti sebagai monumen yang kehilangan
bahasa dalam merekognisi kompleksitas dan dinamika kebudayaan Bali. Tentu saja
ini (mungkin) bukan cita-cita (alm) Prof. Bagus.
I Ngurah Suryawan,
Alumni Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana 2008. Research Fellow
Indonesian Young Leaders di Faculty of Humanities Universitiet Leiden, The
Netherlands.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar