I Ngurah Suryawan
Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari,
Papua Barat.
Program Doktor (S3) Antropologi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
ngurahsuryawan@gmail.com
“Kita bernyanyi untuk hidup dahulu, sekarang dan nanti” (Mambesak)
Dalam sebuah pertemuan budaya di Kota Manokwari, Papua Barat
pada akhir November 2010, saya merasakan ada kerinduan dari para pegiat seni
dan budaya akan sebuah kebangkitan kembali kebudayaan Bangsa Papua. Hanya
dengan seni dan budayalah orang Papua bisa menegakkan identitasnya. Kesan yang
saya rasakan dalam pertemuan tersebut, jati diri orang Papua terletak pada
ekspresi seni dan budaya, yang sayang sekali sering diputarbalikkan sebagai
“politik” dan pemberontakan.
Perjalanan seni dan budaya di Tanah Papua penuh dengan kompleksitas
yang melibatkan bukan hanya penetrasi politik tapi juga agama dan adat.
Kesemuanya dibungkus melalui ekspresi seni untuk menunjukkan identitas diri dan
kebudayaan yang ada di Tanah Papua. Pasang surut perkembangan seni di Tanah
Papua salah satunya melibatkan campur tangan dari pemerintah dan agama. Bahkan
salah seorang sesupuh seni di Kota Manokwari dalam pertemuan budaya yang saya
ikuti mengungkapkan pernyataan, “Masuknya pemerintah dan agama yang
menghancurkan budaya Papua.” Bagi pemerintah (baca: Belanda dan Indonesia),
ketika rakyat Papua menyanyi dianggap ketinggalan zaman, dilarang dan dianggap
ekspresi memberontak terhadap negara. Oleh karena itulah perlahan-lahan namun
pasti budaya
orang Papua hilang.
Salah satu momentum ekspresi seni dan budaya Bangsa Papua
adalah munculnya kelompok Mambesak pada 15 Agustus 1978 yang dalam
bahasa Biak Numfor berarti Burung Cenderawasih atau burung kuning dengan
tokohnya yang kemudian menjadi legenda, Arnold Clemens Ap. Melalui Mambesak
inilah lagu-lagu dan tari-tarian daerah Papua dipentaskan oleh Arnold Ap, Sam
Kapissa, Demyanus Wariap Kurni, Edy Mofu, Marthiny Md. Sawaki, Thonny W. Krenek
dan yang lainnya. Pada saat itulah timbul bayangan akan kebangkitan seni dan
budaya Papua seperti yang selalu diusung oleh Arnold Ap dan kawan-kawannya di
kelompok Mambesak. Namun, bayangan akan kebangkitan seni dan budaya
Papua itu tidak berlangsung lama saat Arnold Ap dibunuh oleh pasukan
Koppasandha (kini Kopassus) pada 26 April 1984 di Pantai Pasir Enam.
Kini, setelah 30 tahun lebih, saya menyaksikan kembali
bagaimana masyarakat dorang (mereka) kembali bergairah membicarakan Mambesak,
meski sebelumnya ekspresi menyanyikan lagu-lagunya terbuka lebar di publik.
Gairah tersebut bisa saya rasakan saat membicarakan “gerakan-gerakan sosial”
yang telah dilakukan untuk menghadirkan seni dan budaya Papua sebagai jati
diri, identitas diri Bangsa Papua. Dan kehadiran Mambesak selalu akan
menjadi catatan penting.
Saya merasakan bagaimana ekspresi para pegiat seni ini
ketika mereka berbicara tentang lagu dan tari sebagai bagian dari identitas
diri mereka. Ekspresi dan pernyataan mereka mengungkapkan sejarah panjang
kompleksitas budaya dan kekuasaan di Tanah Papua. “Kitong (kita)
mengalami masa dimana tong merasa terancam hidup di republik ini.
Pemerintah dong menganggap apa yang tong bicarakan selalu
dianggap melawan pemerintah,” ungkap seorang pegiat seni dengan suara bergetar.
Baginya, budaya merupakan bagian dari hidup orang Papua yang diekspresikan
melalui lagu-lagu dan tari-tarian. Oleh pemerintah (baca: Indonesia),
menyanyikan lagu-lagu daerah dianggap menentang pemerintah.
Heterogenitas etnik yang tinggi dengan masing-masing budaya,
adat, dan seni menjadi kompleksitas tersendiri dalam membincangkan identitas
budaya di Tanah Papua. Ini ditunjukkan dengan adanya lebih dari 253 bahasa.
Masing-masing bangsa memiliki tradisi, konsep agama, struktur sosial dan
kondisi geografis yang berbeda-beda. Ini juga termasuk budaya material dan
bentuk ekonomi yang sudah tentu berbeda. Terdapat tiga wailyah geografis yang
berbeda yang menentukan cara hidup rakyat Papua yaitu daerah pantai yang dihuni
oleh nelayan dan pelaut; daetah pegunungan yang padat penduduk dengan iklim
yang sehat dihuni oleh para petani; serta daerah tanah rawa yang sangat jarang
penduduknya Heterogenitas adalah dasar dari sukubangsa Papua, demikian juga
dasar dari Indonesia sendiri. Namun, perbedaan yang paling kentara adalah
budaya-budaya di Papua tersebar daripada terpusat seperti yang terlihat pada
budaya Jawa dan Bali.
Identitas bagi bangsa Papua sendiri awalnya berarti
identitas sekelompok kecil: keluarga, desa kecil atau sekelompok kecil
desa-desa. Identitas kelompok kecil atau pribadi itu didefinisikan melalui
bahasa, tradisi mengenai keluarga, agama, budaya dan cara hidup secara umum
yang biasanya berbeda dengan tetangganya. Masing-masing bangsa di tanah Papua
mempunyai identitasnya masing-masing, yang ditunjukkan dengan menyatakan
dirinya adalah manusia, orang-orang yang kemudian ditambahkan dengan nama desa
atau sungai asal mereka. Pada tahun 1900 mulai berkembang identitas umum orang
Papua yang kemudian pada tahun 1898 melalui pemerintah kolonial Belanda
membentuk pusat pemerintahan di Manokwari. Melalui misi Kristen, masuklah para
pengajar dan penginjil di pantai utara. Kontak yang terus menerus dengan orang
asing menumbuhkan identitas Papua melebihi yang mereka alami sebagai kelompok
kecil sebelumnya. Agama, dalam hal ini agama Kristen, ikut berperan dalam
menumbuhkan identitas budaya Papua meskipun identitas sekelompok kecil Papua
tetap utuh.
Identitas ke-Papuan-an tumbuh beriringan dengan sejarah
pergolakan kekuasaan yang terjadi di Tanah Papua. Salah satu momen penting
pentas kekuasaan terhadap tanah Papua terjadi pada tahun 1940-an hingga
1960-an. Saat itu terjadi Perang Dunia II yang berimpikasi kepada proses
penyerahan kedaulatan Belanda atas Indonesia termasuk di dalamnya Papua. Proses
peralihan kekuasaan di Papua berujung kepada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
Juli-Agustus 1969 yang menyatakan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Namun demikian, sejarah Papua setelah 1969 menunjukkan
bahwa hasil Pepera itu justru menjadi salah satu akar konflik yang
berkepenjangan.
Mambesak
dan Nyanyian untuk Kehidupan [1]
Sebelum terkenal dengan nama Mambesak, cikal bakal
awalnya adalah sebuah grup band dengan nama Manyori (burung nuri) yang
berdiri di Kampus Uncen (Universitas Cenderawasih) Jayapura dan mulai berkiprah
di awal tahun 1970-an. Awalnya grup ini beranggotakan Arnold Ap yang ketika itu
menjadi Kepala Museum Uncen, Sam Kapissa dan Jopie Jouwe. Pada tahun 1972, Band
Manyori mengiringi lagu-lagu rohani di Gereja Harapan, Abepura yang
kemudiang menggugah mereka untuk mulai mengembangkan lagu-lagu rohani dalam
bahasa daerah mereka, dalam hal ini adalah bahasa Biak Numfor. Jelas saja hal
ini awalnya mendapat tentangan dari tetua-tetua adat karena saat misionaris
membawa pengaruh agama Kristen ke Papua, mereka mengkafirkan lagu, seni ukir,
dan seluruh aspek kebudayaan di Papua, khususnya di kawasan Teluk Cenderawasih.
Grup Mambesak tercatat berdiri pada 15 Agustus 1978
dengan mulai mengisi acara hiburan lepas senja di halaman Museum Loka Budaya
(Museum Antropologi) Universitas Cenderawasih Jayapura. Nama Mambesak
dipilih baru ditetapkan mengganti Manyori pada penetapan pembentukan pengurus Mambesak.
Nama ini dipilih karena dalam bahasa Biak-Numfor, mambesak berarti burung
kuning atau burung cenderawasih, dihormati oleh semua suku-suku di seluruh
Papua Barat sebagai mahkota kepala suku. Sedangkan Manyori yang berarti
burung nuri dalam bahasa Biak-Numfor hanya merupakan burung suci bagi orang
Biak-Numfor saja. Pada tanggal 17 Agustus 1978, Mambesak menampilkan
lagu-lagu dan tari-tarian rakyat Papua hasil galian mereka di aula Uncen. Sejak
saat itulah Mambesak kemudian secara rutin menyanyikan lagu dan
tari-tarian budaya Papua di halaman museum Uncen, yang dijuluki sebagai “Istana
Mambesak”.
Pada rapat pembentukan pengurus Mambesak tanggal 23
Agustus 1978, Arnold Ap terpilih sebagai koordinator. Marthinny Md. Sawaki
sebagai sekretaris. Sam Kapissa sebagai penanggungjawab musik. Thonny W. Krenek
sebagai penanggungjawab tari. Demianus Wariab Kurni sebagai penanggungjawab
teater. Sampai pementasan terakhirnya yaitu pada tanggal 29 November 1983 di
Kantor Gubernur Papua Barat hanya trio Arnold Ap, Mathinny Md. Sawaki dan
Thonny W. Krenek yang bertahan menjadi pengurus Mambesak. Sam Kapissa
kembali ke Biak dan kemudian aktif mengarang lagu berbahasa Indonesia dan
Biak serta mendirikan kelompok tari nyanyi Sandia. Sedangkan Demi Kurni di awal
1982 memisahkan diri dari Mambesak dan bersama Ausgust S. Ap, Sophie
Patty, D.A Rumbewas dan Athen Tanaty mendirikan Teater Kristen Jayapura.
Awalnya grup Mambesak memang didominasi oleh pemuda
Papua yang berasal dari kawasan Teluk Sairera (Teluk Cenderawasih), terutama
adalah kebudayaan Biak Numfor tempat asal Arnold Ap dan Sam Kapissa. Namun,
seiring dengan berkembangnya grup ini, mereka kemudian merekrut anggota yang
berasal di luar Biak Numfor seperti Marthiny Sawaki (Waropen), Thony Wolas
Krenek (Sorong) dan mulai aktif untuk menggali lagu-lagu, musik dan tari di
luar dari kebudayaan Teluk Cenderawasih.
Media dalam hal ini adalah siaran radio adalah salah satu
yang melambungkan nama Mambesak, terutama koordinatornya yang mempunyai
talenta dalam berkesenian, Arnold Ap. Adalah Ignatius Suharno, ketua Lembaga
Antropologi Uncen pada 1978 memberikan kepercayaan kepada Arnold Ap untuk
menjadi penanggungjawab siaran Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra di RRI (Radio
Republik Indonesia) Studio Nusantara V Jayapura. Acara ini berlangsung setiap
minggu siang, dibawakan oleh Arnold Ap dengan bendera Lembaga Antropologi
Uncen. Program ini mendapat sambutan yang antusias dari masyarakat Papua. Kunci
keberhasilan siaran yang diampu Arnold Ap, Thony Krenek dan Constan P. Ruhukail
adalah; penggunaan bahasa Indonesia logat Papua; pokok-pokok uraian tentang
unsur-unsur kebudayaan Papua serta hal-hal aktual lainnya; selingan lagu-lagu
rakyat serta mop-mop (cerita lucu) yang dibawakan oleh pembawa acara
yang adalah anggota Mambesak.
Selain media siaran radio, Mambesak begitu banyak
dikenal juga karena penjualan lima volume kaset rekaman yang berisi lagu-lagu
daerah Papua. Hasil dari penjualan kaset rekaman inilah yang menghidupi grup
ini. Usaha merekam lagu-lagu daerah Papua mulai dilakukan oleh grup Mambesak
pada tahun 1980. Promosi kaset ini juga dilakukan oleh Arnold Ap dan
kawan-kawannya di Mambesak selama siaran Pelangi Budaya dan Pancaran
Sastra di RRI Nusantara V Jayapura.
Pertunjukan Mambesak sendiri berlangsung berpusat di
wilayah Port Numbay (Jayapura) daerah-daerah lainnya di Papua. Pada hari-hari
tertentu, Mambesak tampil dalam acara panggung gembira di halaman RRI
yang selalu dipadati oleh pengunjung. Grup Mambesak juga pernah tampil di Biak
dan Nabire pada tahun 1981. Instrumen yang mereka gunakan selama pertunjukan
adalah tifa, suling, gitar dan ukulele. Arnold Ap selain sebagai penyanyi utama
dan menceritakan mop, secara bergantian ia akan memainkan gitar dan memetik
ukulele. Para penyanyi Mambesak menggunakan kostum berwarna kuning
coklat seperti jenis Cenderawasih yang populer di pantai utara. Sedangkan para
penari memakai cidoko (cawat) atau rok rumbai-rumbai dengan dekorasi
pada tubuh, sesuai dengan kelompok etnis yang mereka peragakan gerak dasar tarinya.
Macx Binur (2005) dalam sebuah laporannya menuliskan, musik,
lagu dan tari adalah spirit manusia Papua, dengan itulah mereka berbicara.
Menurutnya, untuk mengerti kekuatan musik dan tari di Papua Barat, dibutuhkan
pemahaman tentang perjuangan demi identitas orang Papua. Dalam tekanan
mendalam, musik dan tari menjadi bagian yang menggelorakan jati diri Papua,
suatu identitas yang selama ini berusaha diberangus. Tetapi segala ekspresi
yang mencerminkan identitas sejati orang papua justru dilarang. Pemerintah
Indonesia seolah tidak menghendaki seorang dengan diri “Papua”, melainkan
seorang “Irian” yang loyal. Dalam kenyataannya, “diri Irian” hanyalah khayalan
dan identitas sesungguhnya tak pernah beranjak dari diri seorang “Papua”.
Setiap lagu dan tari memancarkan keyakinan dan harga diri
seorang Papua. Untuk memahaminya, kita harus menyelami ke dalam lagu dan tari
itu sendiri, dan kita akan mulai mengerti sesuatu tentang Papua. Lewat lagu
kebudayaan diangkat, dan hidup rakyat dimuliakan. Lirik dan ragam yang memuja
misteri serta kemolekan alam Papua, menyatakan kembali legenda dan tradisi,
memberikan pengetahuan dan kearifan, juga ratapan, tawa, dan kegalauan.
Berbisik tentang keseharian hidup, perjuangan serta harmoni kebersamaan. Lagu
menjadi lem perekat jiwa, spirit, dan mengobarkan kembali identitas melalui
tradisi oral. Sebagaimana hidup rakyat, setiap kata lahir dari palung hati
mereka, memancarkan hasrat personal terhadap situasi sekelilingnya.
[2]
Lagu-lagu Mambesak selain berisi protes sosial
seperti lagu “Mars Papua” yang dikutip di awal artikel ini, juga memuat syair
tentang kecintaan dan kekaguman terhadap alam Papua. Namun menurut Macx Binur
(2005), bagi orang Papua, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Mambesak penuh makna
karena dinyanyikan dalam bahasa tanah (asli) dan dengan dialek maupun cara yang
khas masing-masing suku. Salah satu lagu rakyat Biak yang dinyanyikan Grup
Mambesak berjudul Awin Sup Ine menyatakan rasa bangga pada alam
Papua:
Orisyun isew mandep fyarawriwek
Nafek ro masen di bo brin mandira
Napyumra sye napyumda ra nadawer
Makamyun swaro beswar bepondina
Ref
Awino kamamo sup ine ma
Yabuki mananis siwa muno
Yaswar I na yaswar I sof fioro
[Dalam cahaya gemilang, sinar mentari melukis keindahan di
langit,menggelorakan pandangan & perasaan saat ini, tak ada yg dapat
menolong, kecuali dengan mengingat kembali peristiwa manis masa lalu dan
menghayati rasa cinta yang mengikat kita
pada tanah ini].
Kebangkitan budaya Papua yang coba disemaikan oleh Mambesak
sebenarnya dipicu dari ancaman kepunahan salah satunya disebabkan penetrasi
agama kristiani yang menginjilkan orang Papua dan memberangus budaya lokal
orang Papua. beberapa seni budaya Papua mengalami penaklukan karena dianggap
sebagai artikulasi paham animis, bahkan disebut kafir (misalnya seni Wor Biak).
Upacara tradisi kultural dalam skala besar hanya mampu bertahan hingga tahun
1950. Perkembangan selanjutnya, Katholik dan Protestan saling berlomba dalam
merebut wilayah dan umat (manusia Papua) untuk di-Kristenkan berdasarkan
theologi barat. Misi ini disertai dengan penerapan larangan-larangan kepada
masyarakat untuk tidak mengekspresikan seni dan budayanya. Pengkaplingan
wilayah pendudukan agamapun terjadi di Papua, dimana Kristen Protestan
mendapatkan jatah meliputi hampir sebagian daerah pesisir pantai utara dan
pinggiran pegunungan. Sedangkan Kristen Katolik merambah wilayah pegunungan
tengah dan selatan hingga sebagian kepala burung, berdampingan dengan Islam
yang berkembang di kepulauan Raja Ampat dan Fakfak (Binur, 2005).
Seorang seniman senior di Manokwari mengisahkan, saat
memperoleh kesempatan tugas belajar di Universitas Cenderawasih sempat
bersentuhan dengan grup Mambesak. Sebagai salah satu saksi sejarah Mambesak,
ia mengakui bahwa kelahiran awalnya adalah dari Ikatan Keluarga Biak Numfor
dengan Arnold Ap yang paling menonjol di dalamnya. Para mahasiswa yang
tergabung dalam ikatan keluarga tersebut rata-rata berbakat memainkan alat
musik dan menciptakan lagu-lagu daerah yang hebat. Dari sinilah muncul keinginan
mendirikan grup musik yang sebelumnya bernama Manyori.
Setelah Manyori dikenal, maka muncullah tawaran dari
orang-orang Biak yang ada di Jayapura untuk mengisi acara-acara, salah satunya
adalah acara pernikahan adat. Grup Manyori saat itu diminta untuk mengisi acara
dengan menyanyikan lagu-lagu daerah Biak Numfor. Pada awalnya, kehadiran
Manyori dalam pernikahan adat ini ditentang oleh tetua-tetua adat, namun lambat
tapi pasti mereka kemudian bisa menerima grup Manyori menyanyikan lagu-lagu
daerah Biak Numfor dan Serui.
Lagu-lagu yang mereka mainkan pada awalnya adalah lagu-lagu
dalam Bahasa Biak saja. Setelah Mambesak berkembang dan dikenal
masyarakat Papua di Jayapura, mereka kemudian melebarkan sayapnya untuk
menggali kembali lagu-lagu daerah dan tarian di luar kebudayaan Biak. Kritik
dari Ignatius Suharno, kepala Lembaga Antropologi Uncen, bahwa Mambesak
jangan hanya Biak sentris direspon oleh Arnold Ap dan kawan-kawan. Mereka
kemudian mulai merekrut anggota baru seperti Yuslina Monim, Weles Krenek,
Marthiny Sawaki (Waropen), dan daerah lainnya di
Papua.
Upaya Arnold Ap dan kawan-kawannya di Mambesak untuk
menggali seni musik dan tari-tarian Papua diwujudkan dengan mengisi liburan
mahasiswa untuk pulang ke kampung halaman untuk mencari lagu dan tari-tarian
untuk kemudian diarangement, di tata kembali, dikembangkan, dikemas sebagai
materi pementasan Mambesak. “Arnold Ap biasanya akan menugaskan
teman-temannya untuk mencari lagu di kampung dan membawanya ke Uncen. Kemudian
nanti bersama-sama mereka akan menunjukkan lagu-lagu atau tari-tarian yang
didapatnya dari kampung. Arnold dan Sam (Kapissa) biasanya akan melihatnya,
menyimaknya dengan serius sambil ukulelenya sesekali bersuara,” kisah seniman
senior ini yang saya temui di studionya di Kota Manokwari.
Di dalam grup Mambesak sendiri, ada istilah turun ke
kampung bagi anggota-anggotanya untuk mencari lagu-lagu daerah. Kemudian
sesampainya di Uncen, setiap anggota akan menyanyikan lagu-lagu yang didapatnya
dari kampung dan memeragakan gerakan-gerakan tari. Pada saat itulah Arnold Ap
ditemani oleh Sam Kapissa akan merekam lagu-lagu tersebut dan diaransemen
ulang. Eddy Mofu bertugas sebagai teknisi. Alat yang digunakan untuk merekam
lagu-lagu pada saat itu sangatlah sederhana dengan tape recorder biasa.
Setelah selesai merekam, Eddy Mofu biasanya akan menunjukkan hasilnya untuk
kemudian diaransemen kembali oleh Arnold Ap, Sam Kapissa dan anggota Mambesak
lainnya. Secara bergantian, Arnold Ap dan Sam Kapissa akan memainkan melodi
gitar untuk aransemen lagu tersebut. Eddy Mofu akan memainkan ukulele
dan anggota lainnya mengikuti dengan memainkan tifa secara bergantian dan
bass.
Arnold Ap adalah pemain gitar melodi yang halus sekali,
selain bermain ukulele dan tentunya membawakan mop-mop Papua yang memang
menjadi keahliannya. Pada suatu kesempatan Arnold Ap mengungkapkan, “Mungkin
kamu berpikir saya ini sedang melakukan hal bodoh, tapi inilah yang saya pikir
dapat saya lakukan untuk rakyat, sebelum saya mati.” [3] Bagi Arnold Ap dan Membesak,
dengan bernyanyi kita memberikan spirit pada hidup. Jika tidak ada nyanyian,
juga tidak ada kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus.
2000
Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi,
dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Elsam
Binur, Macx,
2005
“Menyanyi dan Menarikan Air Mata Papua” Prakarsa Rakyat, Inisiatif Perlawanan
Lokal Simpul Kepala Burung Papua Periode Juli - September 2005
Chauvel, Richard.
2005
Consctructing Papua Nationalism: History, Etnicity and Adaptation. Washington:
East-West Center
Yoman, Socratez Sofyan.
2005
Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM. Papua Barat: Lembaga
Rekonsiliasi Hak-hak Asasi Masyarakat Koteka (Lehamkot) Papua Barat.
Yoman, Socratez Sofyan.
2010
Integrasi Belum Selesai: Komentar Kritis atas Papua Road Map. Jayapura:
Cenderawasih Press
Widjojo dkk, Muridan.
2009
Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Past and Securing the
Future. Jakarta: Buku Obor, LIPI dan TIFA.
[1] Sebagian besar bagian ini bersumber pada Bab IV
“Pribumisasi versus Westernisasi: Gema Mambesak: Identitas Kultural Bumi
Kasuari” (h. 109-137) dalam Dr. George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang
Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi
Manusia. (Jakarta: Elsam, 2000)
[2] Lihat laporan Macx Binur (2005), “Menyanyi dan Menarikan
Air Mata Papua” Prakarsa Rakyat, Inisiatif Perlawanan Lokal Simpul Kepala
Burung Papua Periode Juli - September 2005
[3] Macx Binur (2005), “Menyanyi dan Menarikan Air Mata
Papua” Prakarsa Rakyat, Inisiatif Perlawanan Lokal Simpul Kepala Burung Papua
Periode Juli - September 2005
Papua sekarang bukan saja musuhnya militer tapi HIV AIDS, minuman keras hampir sama dengan Bali, papua, papua, nasibmu lama - lama hancur
BalasHapusMakai ata maukannya.
BalasHapus