Label

Selasa, 10 Juli 2012

Kelas Menengah Bali dan Mimpi Otentisitas Budaya




oleh I Ngurah Suryawan

Perubahan kebudayaan yang menimpa Bali kini adalah sebuah proses relasi yang panjang dan kompleks. Salah satu momen penting itu adalah sentuhan-sentuhannya dengan kebudayaan “Indonesia” yang menawarkan Bali sebuah janji manis nan membuai bernama pariwisata. Mendiskusikan Bali sebagai suatu yang otentik dan eksklusif menjadi salah kaprah ketika waktu justru membuktikan Bali bisa bertahan karena pengaruhnya dengan “Indonesia” dan dunia global.


Namun, kelas menengah baru yang tercipta dari proses kolonisasi dan pembangunisme pariwisata memimpikan bagaimana menciptakan sebuah masyarakat Bali layaknya sebuah “museum hidup” dimana mimpi-mimpi para kelas menengah tentang otentisitas budaya Bali bisa terwujud. Sementara kelas menengah ini sebenarnya adalah “setengah Bali” karena mereka sebenarnya adalah potret kelas menengah urban yang memiliki banyak identitas, dan oleh karena itu menjadi kelas elit dengan berbagai macam kepentingan dan kekuasaan atas masyarakat dan budaya Bali. Kelompok elit lokal ini, baik dengan kekuatan modal, monarki, dan kekuasaan politik sebenarnya bisa “masuk” dan “keluar” dalam identitas keBalian.

Kesadaran kelas menengah ini tentang identitas Bali yang beragam mereka mainkan dengan berbagai macam kepentingan untuk mengungkung rakyat Bali kebanyakan dalam lantunan-lantunan mimpi keaslian budaya. Ini seperti proses mimikri dari kuasa kolonial Belanda yang memberlakukan politik museum hidup dan Baliseering. Kelas menengah baru Bali yang terdiri dari intelektual, pebisnis media, agamawan, politisi, birokrat, pengusaha dan elit-elit lokal di desa-desa mengapropriasi (mengambil) dengan tanpa sadar atau bisa jadi dengan sadar praktik kolonisasi ini untuk dipraktikkan kepada sesama krama Bali sendiri. Dengan demikian, pembekuan kebudayaan sebenarnya dilakukan oleh kelas menengah Bali yang mempunyai modal dan sudah tentu kepentingan ekonomi politik.

Sejarawan Iskandar Nugraha dalam sebuah diskusi di dunia maya mengungkapkan, kelas-kelas menengah urban akan lebih fasih dan massif mengartikulasikan identitasnya (keBaliannya) dibandingkan dengan orang-orang (Bali) yang berada di perdesaan. Oleh sebab itulah orang Bali kini lewat proses urbanisasi, pendidikan, dan pekerjaan membayangkan untuk menjadi bagian dari kelas menengah Bali baru yang mewarnai perubahan politik dan kebudayaan di perdesaan maupun perkotaan.  

Representasi identitas keBalian kelas menengah inilah yang ditangkap oleh budaya turistik dalam pentas globalisasi dan pasar. Padahal dibalik semua itu, dibelakang layar yang terjadi adalah elit kelas menengah Bali telah “mengkolonisasi” atau lebih gamblangnya “memuseumkan” orang-orang Bali kebanyakan di perdesaan-perdesaan. Janji manis yang dilantunkan adalah ngajegang budaya Baline atau ngelestariang budaya Baline.              

Kelas Menengah dan Interkoneksi Global
Kelas menengah Bali juga menjadi “pesulap-pesulap gila kuasa” (meminjam Tsing, 2005) yang menjadi penghubung bagi negara dan modal untuk berkolaborasi mengusai jaringan-jaringan ekonomi makro yang merangsek ekonomi rakyat hingga ke titik nadir. Rekognisi dan tindakan afirmatif (pemihakan) terhadap perekonomian rakyat seakan hanya janji kosong para birokrat dan politisi. Deru investasi masuk tanpa henti menghasilkan deretan ruko, hotel, apartemen, supermarket, bahkan menyulap tanah dan pantai untuk infrastruktur pariwisata. Kini, seribu pura telah tersaingi dengan serius oleh seribu ruko dan bangunan beton-beton megah yang menghimpit pura dan pelinggih.

Dalam kontes wacana politik kebudayan dan pembangunanisme (pariwisata), energi, pikiran, dan semua kemampuan rakyat Bali dimobilisasi untuk bersilat lidah dalam wacana pelestarian budaya. Didukung sponsor negara dengan aparatus dan modalnya, wacana tentang pelestarian budaya menjadi peluang bagi para akademisi, budayawan, politisi hingga hingga tokoh masyarakat mewacana pencanggihan pelestarian budaya. Gula-gulanya adalah siasat manusia mencari akses ekonomi politik dibawah koor pelestarian budaya.

Penggalian-penggalian otentisitas (keaslian) budaya inilah yang ditangkap oleh kuasa kapital global bernama pariwisata. Didukung oleh gerakan-gerakan kelas menengah baru dalam pencarian esensialisme, kebudayaan Bali menjadi komoditas kapitalisme kultural baru (Santikarma, 2003; Suryawan, 2010; Nordholt, 2010) yang sangat menjanjikan sekaligus memprihatinkan. Menjanjikan karena akan menjadi modal luar biasa dalam mengekspor otentisitas dalam promosi pariwisata Bali. Memprihatinkan saya kira karena menutup ruang wacana kritik kebudayaan, yang melihat kebudayaan sebagai yang cair, dinamis, dan pewacanaan kebudayaan sebagai refleksi manusia Bali sendiri. 

Di tengah interkoneksi global yang menerjang masyarakat tempatan, mencari identitas diri yang kompleks dan rumit menjadi sesuatu yang sulit sekaligus paradoks. Gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan kini praksis terjebak dalam lingkaran interkoneksi global ini. Masyarakat yang sedang bergerak ini terus mencari konstruksinya sendiri di tengah bentangan dunia sebagai pasar global. Gerakan-gerakan sosial mewakili komunitas tempatan, adat, atau revitalisasi kebudayaan kadang tidak terlepas dari penetrasi kuasa global kapital ini. Lantunan gerakan penguatan kebudayaan Ajeg Bali (baca: pencarian otentisitas nilai budaya Bali) tidak semurni untuk nindihin Bali (membela Bali) seperti apa yang sering dimuat di media-media lokal dan didiskusikan oleh para kelas menengah, tapi penuh dengan tipu muslihat dan kisah-kisah interkoneksi yang aneh dengan kuasa kapital bernama pariwisata, industri media, dan romantisasi keagungan serta keaslian budaya Bali.

Fragmen-fragmen (penggalan kisah-kisah tak beraturan) antara mengokohkan kebudayaan dan memanfaatkan peluang ekonomi politik inilah yang oleh Anna Lauwenhaupt Tsing (2005) disebut dengan friksi (friction), ruang “hampa makna” manusia di tengah interkoneksi global. Manusia-manusia bersiasat saling tikam, baku tipu memanfaatkan peluang-peluang yang dihadirkan oleh investasi dan kuasa global kapital. Negara dan hukum absen bahkan menjadi salah satu pion dalam jejaring global ini. Yang ada hanyalah persaingan kekuatan modal dan gembar-gembor kisah-kisah fantastis penciptaan komoditas.

Dalam ruang friksi inilah seluruh gerak kekuatan masyarakat terinfeksi kuasa modal global. Identitas dan kebudayaan lokal direproduksi menjadi komoditas yang diceritakan, “diomong kosongkan”, dilebih-lebihkan untuk kemudian diwariskan dan didramatisir menjadi komoditas bernama otentisitas. Pada momen inilah pelemahan-pelemahan gerakan rakyat terus menerus tanpa henti.

Rekognisi terhadap gerakan rakyat dan penegakan identitas budaya masyarakat tempatan tertelan kuasa global kapital. Rekognisi terhadap pemberdayaan petani di Bali tertimbun wacana pelestarian budaya dan isu global pariwisata. Penetrasi modal menggerus tanah-tanah manusia Bali untuk infrastruktur pariwisata. Lahan persawahan terhimpit gedung-gedung ruko atau jejeran vila-vila di pinggir tebing. Pantai-pantai ditimbun demi mendirikan jejeran villa dan hutan-hutan diterabas untuk pembangkit sumber daya alam.

Refleksi Identitas Manusia Bali                                
Fragmen-fragmen kompleksitas di Bali membuka ruang refleksi yang dalam pada hubungan antara kebudayaan dan identitas diri manusia Bali yang terus berubah, bergerak dan penuh kelokan tajam. Kebudayaan menawarkan ruang bagi refleksi kritik diri manusia dalam rentang sejarahnya. Diri manusia bukanlah substansi, tetapi subyek yang terus bergerak, jadi diri manusia, dan juga demikian dengan identitasnya adalah sebuah gerakan sosial. Inilah yang dipentaskan oleh kelas menengah di Bali yang menjadi “setengah Bali” yang mengangankan keaslian identitas Bali.

Dengan demikian, wacana kritik kebudayaan (identitas keBalian) adalah ruh sekaligus refleksi identitas diri manusia Bali sendiri. Refleksi atas diri terus akan berubah, bergerak terus menerus tanpa henti dalam ruang dan waktu. Di dalamnya terdapat kisah-kisah kelokan tajam. Pemahaman historis dalam konteks kebudayaan menjadi sangat penting untuk memahami konteks perubahan yang terjadi. Pemahaman kebudayaan dengan perspektif reflektif diri berkaitan dengan revolusi kesadaran historis manusia akan hakekat hidupnya. Pada titik inilah dilantunkan eksistensi manusia yang terbentang antara masa lampau dan masa depan.

Bagi manusia Bali, memahami kebudayaannya juga berarti pemahaman dirinya, identitasnya sendiri. Secara reflektif, manusia Bali akan berpikir bahwa dirinya tidaklah ekslusif dan otentik. Mengganggap diri paling “eksotis” dan “berbudaya” dengan bukti menjadi ikon pariwisata Indonesia akan mengungkung manusia Bali menjadi parokialisme (terkotak-kotak), sektarian, dan selalu menganggap diri dan kebudayaannya adalah ekslusif.

Jauh dari parokialisme itu, membaca Bali lebih dalam adalah relasinya dengan keIndonesiaan, penetrasi kuasa kapitalisme global berwujud pariwisata, silangsengkarutnya dengan penetrasi kuasa penjajah yang memimpikan (baca: mengkonstruksikan) Bali menjadi sebuah museum hidup dengan budaya yang otentik yang dipraktikkan oleh kelas menengah Bali kini. Jika manusia Bali merefleksikan hal ini, dengan jernih dan tajam manusia Bali akan menjadi dialektik, inklusif, apresiatif, dan sudah tentu transformatif dalam melihat perubahan kebudayaan dan pilihan-pilihan kompleksitas identitas yang dimainkannya.        
      
I Ngurah Suryawan, Research Fellow di Asia Research Institute (ARI), National University of Singapore.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar