Label

Rabu, 11 Juli 2012

Bali, Pascakolonial, dan Subaltern



Oleh I Ngurah Suryawan

Dalam melihat pergolakan politik kebudayaan Bali, konteks pascakolonial sangat penting diajukan untuk melihat Bali bukan sebuah warisan yang steril dari relasi kuasa. Bingkai pascakolonial memberikan perspektif bagaimana melihat negara bekas jajahan dari pembongkaran warisan praktik kolonisasi. Warisan praktik kolonisasi telah membadan dan tercermin dalam praktik kehidupan di negari jajahan, bahkan diadopsi oleh masyarakat terjajah untuk mempraktikkan kolonisasi sesama mereka. Warisan praktik kolonisasi inilah yang coba untuk dibongkar oleh perspektif pascakolonial.


Perspektif pascakolonial juga memberikan ruang untuk kembali memeriksa “warisan adiluhung” yang telah diwariskan dan dibekukan tanpa kritik. Dalam konteks Bali, warisan rezim kolonial merasuk dalam beragam kehidupan masyarakat. Terbentuknya desa pakraman, hukum adat, bahkan adat, tradisi, dan beragam budaya Bali tidak terlepas dari campur tangan kekuasaan rezim kolonial. Beragam tradisi dan budaya yang sudah mendarah daging dan dianggap sebagai “warisan nenek moyang” sepatutnya diperiksa dalam pembentukan peradaban Bali. Praktik pembentukan dan pewarisan itu berlangsung dalam relasi kuasa yang terkesan “alamiah” melalui cara berpikir dan bertingkah laku.

Perspektif pascakolonial juga memberikan ruang seluas-luasnya untuk para kelompok masyarakat yang tersisihkan, terhempas dalam pergolakan politik kekuasaan untuk merumuskan dirinya kembali. Kelompok-kelompok subaltern menjadi salah satu perspektif penting dari studi pascakolonial selain politik kebudayaan, kritik sastra, dan identitas. Melalui narasi dan pergolakan kelompok subaltern ilmu sosial menjadi lebih manusiawi dan tidak menjadi elitis. Kesaksian kelompok subaltern yang menjadi survivor struktur kekuasaan akan menghadirkan berbagai narasi, siasat bahkan resistensi terhadap kekuasaan yang dominan.

Identitas Bali dalam Jejak Kolonisasi

Sebelum melangkah lebih jauh ke kajian Bali pascakolonial, perhatian kepada jejak-jejak kolonisasi yang terjadi di Bali menjadi sangat penting. Praktik kolonisasi menjadi perhatian utama dalam melihat konstruksi dan relasi kuasa dalam berlangsungnya praktik kolonisasi. Bali mencatatkan sejarah panjang kolonisasi yang meninggalkan begitu banyak warisan yang hingga kini masih kuat dan lestari. Warisan rezim kolonial itulah yang dianggap oleh sebagian besar rakyat Bali sebagai warisan leluhur yang “diluhung”. Warisan yang diantaranya tersebar dalam adat-istiadat, sistem sosial, desa adat, nilai-nilai, budaya, dan hukum tumbuh mendarah daging dalam kehidupan rakyat Bali.

Jejaring kuasa dalam pembentukan identitas ke-Bali-an dimulai dari praktik kolonisasi di Bali. Ini diterjemahkan melalui ideologi Baliseering yang merupakan salah satu ideologi rezim kolonial untuk membuat Bali menjadi museum hidup kebudayaan. Rezim kolonial berusaha melakukan proyek rekayasa penciptaan budaya Bali dengan merekayasa dan mengkonsumsi budayanya sekaligus. Pengkonsumsian budaya itu disertai upaya dan ideologi konservasi: atas nama Balisering, yaitu pem-Bali-an dari Bali, Belanda berupaya memfungsionalisasikan tradisi Bali dalam kancah politik, ekonomi dan kultural sistem kapitalisme kolonialnya. Semakin Bali, di-Bali-kan, dan semakin siap dikonsumsi (Picard, 2006; Nordholt, 2002: Vickers, 1989; Santikarma, 2003). Maka dimulailah konstruksi citra Bali, dan kepentingan ekonomi politik kolonial masuk dalam rekayasa membangun citra Bali.

Kolonialisme yang terjadi pada Bali dalam penjajahan pikiran dan jiwa menebarkan relasi kuasa di dalamnya. Oleh sebab itulah membongkar selubung kekuasaan itu, studi pascakolonial sangat berhutang pada perspektif Foucault yang melihat kekuasaan bukan sebuah bangunan yang monolitik, tapi tersebar dan produktif dalam keakraban dan keseharian kehidupan manusia. Bagi Foucault kekuasaan harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Permainannya akan mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui perjuangan dan pertarungan terus menerus. Bagi Foucault, kekuasaan bukan hubungan subjektif searah: kemampuan seseorang/kelompok untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu.

Praktik-praktik kolonialisme di Bali menunjukkan relasi kuasa dalam hubungan-hubungan subjektif yang timbal balik antara sang kuasa dan yang dikuasai. Oleh sebab itulah praktik kekuasaan dalam kolonisasi berlangsung bukan hanya karena otoritas dan kuasa sang rezim kolonial, tapi juga karena peran serta para agen-agen para pribumi yang menyebarkan secara produktif kekuasaan tersebut kepada saudara-saudaranya. Agen-agen ini dalam penyebaran kekuasaan rezim kolonial biasanya dilakukan oleh golongan elit pribumi, para raja-raja pemegang otoritas kekuasaan tradisional. Dengan tangan-tangan kekuasaan di raja-raja ini, ditambah dengan para pedagang, kaum bangsawan, dan pemuka masyarakat, rezim kolonial mengatur sistem pemerintahan dan menjadi penyambung beroperasinya kekuasaan di tangan-tangan negara kolonial dan rakyat kecil.

Menyuarakan Subaltern Bali

Dalam pergolakan pascakolonial, satu perspektif penting yang tidak boleh dilupakan adalah subaltern, sebagai kelompok rakyat yang berada dipinggir pusaran kekuasaan yang dibungkam dan tidak bersuara. Kelompok-kelompok yang tersisihkan dan terhempas pada pentas kekuasaan inilah yang dalam studi pascakolonial berusaha untuk diberikan perhatian dan ditempatkan menjadi salah satu kajian sentral. Para intelektual lebih jauh bukan untuk “mewakili” dan “menghomogenkan” suara kelompok subaltern ini, karena memang mereka tidak bersuara, tapi menafsirkan pergolakan dan strategi yang membuatnya survive. Suara kelompok subaltern masih tersimpan dalam berlapis-lapis ingatan dan struktur kekuasaan yang kemudian tidak bisa dengan mudah diklaim oleh para intelektual. Kelompok subaltern (pada dasarnya) memang tidak bisa bersuara dan diwakili. Tidak mudah mendefinisiakan mereka, dan jangan juga sekali-sekali berniat untuk mewakili suara mereka. Mereka ini adalah kelompok yang tidak bersuara, senyap dalam pergolakan mereka berada di pinggir arus besar politik kebudayaan dan kisah-kisah versi “sang kuasa” lainnya. Tapi dalam kesenyapan mereka, tersimpan sebuah pergolakan, kesaksian, sebuah narasi kecil, untuk menguraikan detail-detail operasi kekuasaan, praktik kekerasan yang tidak didapatkan dalam bingkai narasi besar “sang kuasa”. Studi pascakolonial menguraikan relasi tersebut, menjalin tali temali untuk kemudian membongkar warisan kolonial dalam masyarakat dan menyusun kembali jati diri sebagai masyarakat pascakolonial.

Subaltern berawal dari gagasan Antonio Gramsci untuk menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok yang kalah dan terpinggirkan dalam kekuasaan Italia. Dalam bahasa Gramsci, mereka adalah “kelompok inferior”, yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok yang lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik”. Kelas dan kelompok inilah yang kemudian akhirnya biasa disebut kelas-kelas subaltern. Dalam catatan Gramsci tentang sejarah Italia, Notes on Italian History (1934), Gramsci menyatakan bahwa sejarah seharusnya juga menulis tentang sejarah kelas-kelas subaltern. Menurutnya, sejarah kelas-kelas subaltern tak kalah kompleksnya dengan sejarah kelas dominan, hanya saja yang terakhir ini lebih diakui sebagai “sejarah yang resmi”. Ini bisa terjadi karena kelas-kelas subaltern tak punya akses kepada sejarah, kepada representasi mereka sendiri, dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural.

Gagasan Gramsci inilah yang kemudian dipinjam dan dielaborasi oleh kelompok intelektual India. Mereka tergabung dalam Subaltern Studies Group dan melakukan dekolonisasi sejarah India yang hanya menghadirkan suara-suara dari kelompok elit tanpa memperhatikan kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Sejarah bukan hanya bisa “diciptakan” oleh mereka yang elit dan menjadi pemenang, tapi juga kelompok tersisihkan juga bisa membuat sejarahnya sendiri. Sejarah kolonisasi cenderung hanya menempatkan sang kuasa yang memonopoli sejarah. Adalah Ranajit Guha, seorang sejarawan India yang kemudian mengambil dan mengembangkan gagasan Gramsci tentang subaltern untuk menulis ulang sejarah India dalam On Some Aspects of the Historiography of Colonial India (1982). Gagasan ini kemudian dilanjutkan oleh Gayatri Chakravorthy Spivak melalui artikel terkenalnya, Can the Subaltern Speak? Speculations on Widow-Sacrifice (1985). Dalam artikel ini, Spivak menulis tentang sati, bunuh diri janda di India, Spivak mempertanyakan kembali peran intelektual pascakolonial yang sering dikatakan bisa menyampaikan suara rakyat tertindas, suara kaum subaltern. Kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak bisa bersuara. Karena itu, seorang intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir kemampuan mereka untuk menggali dan mencari suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini justru bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan keberagaman kelompok-kelompok subaltern dan akhirnya merupakan sebuah “kekerasan epistemologis” terhadap kelompok-kelompok subaltern itu sendiri.

Pergulatan kelas-kelas atau kelompok tersisih dalam pentas politik dan kebudayaan Bali tidak sedikit jumlahnya. Di tengah warisan perspektif kolonial tentang “harmoni dan keseimbangan”, keindahan alam dan eksotiknya tradisi budaya Bali, tersisa pergolakan kesaksian, penuturan para subaltern yang termarginalkan, terbungkam, tak bersuara. Dengan perspektif Bali pascakolonial dan subaltern, spirit pergolakan sejarah politik kebudayaan Bali sepantasnya menggeser paradigmanya dari “budaya tinggi dan adiluhung” –yang merupakan jejak warisan kolonial—menuju sejarah peradaban Bali yang membebaskan. Untuk itulah kisah getir kesaksian subaltern Bali bukan aib yang menodai Bali dan menggagu “stabilitas pariwisata”, tetapi sebagai cermin jernih wajah rakyat Bali untuk lepas dari bayang-bayang warisan kuasa kolonial yang pelik. Kajian-kajian Bali pascakolonial dan subaltern sepantasnya dikembangkan karena dengan itu sejarah dan kebudayaan Bali menjadi membebaskan rakyatnya.


Mahasiswa Program Doktor Antropologi UGM, Yogyakarta. Penulis buku Bali Pascakolonial: Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya (2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar