Label

Selasa, 10 Juli 2012

Antropologi Reflektif dan Manusia Bali di Garis Depan


 oleh I Ngurah Suryawan *)

(dimuat di Bali Post Minggu, 2 Januari 2011)

Interkoneksi global membentangkan wilayah-wilayah yang praktis hampir semuanya terjamah oleh kuasa modal global. Dalam konteks itulah kearifan lokal kebudayaan yang dibayangkan mungkin hanya sekadar romantisasi semata. Seluruh wilayah kini telah tersambung dalam interkoneksi global yang mempertemukan masyarakat tempatan dengan jejaring eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia tepat di depan mata. Dalam kondisi itulah terdapat fragmen-fragmen kisah manusia untuk mementaskan siasat, resistensi, memanfaatkan peluang ekonomi politik sekaligus bernegosiasi.


Penetrasi investasi global bernama industri pariwisata tersebut menggugat nilai-nilai budaya masyakarat tempatan (Bali). Melahirkan juga beragam siasat-siasat perjuangan manusia Bali menegakkan identitas budaya di atas tanahnya sendiri. Alih fungsi lahan dan “hilangnya” tanah-tanah Bali dari ikatan relasi historis dengan manusianya terus terjadi. Tanah-tanah tersebut telah dikuasai oleh investor pariwisata yang sebelumnya sama sekali tidak punya relasi historis dengan tanah tersebut.

Namun, justru di daerah frontier (garis depan) bertemunya kekuatan kuasa modal global dengan masyarakat tempatan inilah ilmu antropologi mati suri kehilangan spiritnya. Eksploitasi menderu kencang dan ilmu antropologi menjadi alat legitimasi dehumanisasi rakyat dengan pembenaran “obyektif” dan “akademis”. Kita mungkin tahu sama tahu bagaimana perdebatan yang melelahkan tentang kebudayaan Bali hingga kini berkutat pada persoalan pelestarian kebudayaan dan pencarian otentisitas sebagai bentuk komoditas kultural baru. Budaya menjadi modal yang bisa “diuangkan” dalam pentas yang melibatkan kalangan akademisi, budayawan, seniman hingga tokoh masyarakat. Lalu, bagaimana dengan kritik kebudayaan?    

Manusia Friksi di Garis Depan
Kritik kebudayaan dan refleksi identitas diri manusia Bali berhutang kepada kisah-kisah ketegangan manusia Bali kehilangan (sejarah) tanahnya. Beragam ingatan tentang tanah dengan segudang kisah-kisahnya kini mulai berubah drastis. Tanah-tanah yang dulunya melekat dalam kehidupan manusia Bali kini telah terampas oleh penetrasi investasi global bernama pariwisata. Tebing-tebing disulap menjadi villa-villa, hamparan tanah di pesisir pantai telah menjadi resort-resort mewah. Bahkan lahan-lahan penuh dengan batu karang dan tebing curam bisa menjadi diskotik atau kafe-kafe. 

Kondisi rakyat tempatan di garis depan pertemuan kekuatan-kekuatan global inilah yang oleh Anna Lowenhaupt Tsing (2005) disebut dengan friksi. Di dalamnya terdapat fragmen-fragmen kisah manusia untuk mementaskan siasat, resistensi, memanfaatkan peluang sekaligus bernegosiasi. Rakyat tempatan berada di daerah “hampa makna”, dimana relasi historis akan tanah dan budaya mereka terdesak oleh situasi friksi. Dalam kondisi friksi ini, apa saja akan menjadi komiditas yang dilahap oleh kekuatan modal dan politik global untuk melipatgandakan keuntungan. Rakyat tempatan dalam kondisi friksi tersebut harus berjuang menegakkan identitas dan eksistensi mereka. Yang terjadi kemudian adalah rakyat tempatan menjadi manusia antah berantah, yang tidak lagi peduli dengan asal-usul historis mereka terhadap tanah, tradisi dan budaya. Rakyat tempatan berada dalam lingkaran setan “hukum rimba” saling melenyapan. 

Kompleksitas rakyat tempatan menghadapi penetrasi kuasa politik globalisasi menyebabkan identitas dan kebudayaan lokal terus-menerus direproduksi tanpa henti. Apa saja akan menjadi komoditi, barang dagangan, direproduksi terus-menerus. Identitas budaya bagi masyarakat tempatan pada dunia friksi ini menjadi sangat problematik karena akan direproduksi terus-menerus dalam interkoneksinya dengan kekuatan global dan siasat (berpolitik) yang tiada henti.  

Antropologi Reflektif
Dalam kondisi tersebut, antropologi menawarkan perspektif untuk memberi ruang rekognisi kepada masyarakat tempatan untuk menegakkan identitas diri dan budayanya. Antropolog sepatutnya menggunakan perspektif wacana mata orang kecil. Pedekatannya adalah dengan dengan melihat proses kognitif, yaitu pada proses kesadaran pembentukan makna dan menemukan penafsiran-penafsiran dibalik ekspresi-ekspresi budaya rakyat tempatan. Untuk menangkap itu, antropolog bersama-sama rakyat tempatan berpolitik untuk membangun sejarah baru. Antropologi terlibat dalam proses-proses sosial yang terjadi. Oleh karena itulah antropologi adalah refleksi dari gerakan sosial untuk mengungkap relasi-relasi kekuasaan yang meminggirkan rakyat tempatan. Praksis yang bisa dilakukan adalah antropolog bersama-sama rakyat tempatan berbagi pengalaman untuk mengungkap relasi-relasi ketidakadilan yang terjadi.

Dua kata penting dalam pendekatan ini adalah pengalaman dan refleksi. Dengan membangun kenyataan yang partisipatif, maka menjadi sangat penting untuk mengapresiasi narasi-narasi, pengalaman, dan refleksi masyarakat tempatan yang menjadi jantungnya proses pemaknaan. Dengan demikian, melihat interkoneksi masyarakat tempatan dengan kekuatan-kekuatan global kapital, identitas budaya--termasuk di dalamnya subjek (identitas masyarakat tempatan) adalah merupakan ruang penafsiran persoalan resistensi (siasat), perlawanan, dan boleh dikatakan sebagai gerakan sosial. Maka, penafsiran yang akan dihasilkan tidak berhenti pada usaha menghasilkan nilai-nilai, kebijakan-kebijakan, atau kebudayaan lain semata, tetapi lebih pada usaha-usaha reflektif, yaitu proses pemaknaan dan interaksi antara antropolog dengan dan liyan-nya (pribadi-pribadi lain). (Laksono, 2009: 8)

Antropologi, dengan pendekatan reflektif memang tidak akan pernah bebas nilai. Antropologi reflektif lahir bersama-sama rakyat untuk berpolitik dalam membangun sejarah baru. Oleh karena itulah, antropologi reflektif yang mendasarkan dirinya pada gerakan sosial, bekerja bersama-sama untuk menemukan “diri masayakarat” dan juga “diri si antropolog”. Kerja antropologi yang hanya “mengatasnamakan rakyat” akan tercerabut dari refleksi masyarakat tempatan yang ditelitinya. Penafsiran yang dihasilkannya hanya akan memantik relasi kekuasaan dan kekerasan.

Secara diskursif, Santikarma (2004) menunjukkan secara genealogis relasi antropologi dan kekuasaan yang menjalar di dunia antropologi di Indonesia. Rezim antropologi yang masih berkutat menemukan “karakter mentalitas budaya bangsa” terpaku pada pencarian struktur sosial dan rumusan tatanan stablilitas masyarakat. Padahal, dibalik tatanan dan strutkur sosial serta stablitas yang dibayangkan oleh sang antropolog, bekerja secara terselebung kekuasaan dan kekerasan yang bekerja secara massif. Oleh karena itulah, menjadi penting bagi antropologi untuk melakukan terobosan “praktik cara mendengar”, yang nantinya akan menjadi senjata untuk memberikan “suara” pada kelompok masyarakat yang dibungkam, tersisihkan (subaltern).


Dengan demikian, antropologi bisa menjadi senjata bagi rakyat yang dikalahkan untuk melantunkan identitas diri dan budayanya. Pada titik itulah saya kira antropologi akan memberikan sumbangan nyata bagi usaha penegakan identitas, menyemaikan gerakan-gerakan sosial, dan bersama-sama masyarakat tempatan membangun sejarah (baru). 


*) I Ngurah Suryawan, Putra Bali Dosen di Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar