Label

Rabu, 11 Juli 2012

Baliseering, Modernisasi , dan Gerakan Intelektual Hindu 1920-an.



oleh: I Ngurah Suryawan

Salah satu politik kebudayaan kolonial (Belanda) dalam membentuk Bali adalah Baliseering. Yang menjadi landasan utama dalam politik kebudayaan ini adalah penemuan dan penggalian keaslian dan otentisitas budaya Bali. Dalam politik kebudayaan Baliseering, Picard (2006) menuliskan tujuannya bukanlah melindungi kebudayaan Bali yang ada, melainkan memulihkan apa yang disangka oleh mereka (rezim kolonial Belanda) merupakan keadaan aslinya. Politik kebudayaan ini tidak hanya sekadar mencoba melindungi orang Bali dari pengaruh-pengaruh luar, para orientalis dan pejabat Belanda di pulau itu mengajarkan pula bagaimana menjadi orang Bali yang sebenarnya: itulah tujuan dari kebijakan yang dikenal dengan nama baliseering atau ‘Balinisasi” yang diterapkan pada tahun 1920-an.


Politik kebudayaan Baliseering bertujuan meningkatkan kesadaran kaum muda atas kekayaan warisan budayanya, melalui pendidikan yang menekankan pelajaran bahasa, sastra dan kesenian tradisional, sambil di sisi lainnya secara aktif menekan wujud modernisme yang tidak selaras (dengan budaya Bali). Peninggalan-peninggalan masa lalu tidak dilupakan, bersamaan dengan itu karya-karya agung budaya Bali didaftar dan dikumpulkan, baik untuk diperlihaatkan kepada kaum sarjana dan para pengunjung, juga untuk mencegah penjualan kepada turis sebagai souvenir.

Pada tahun 1928 pemerintah Belanda mendirikan di Singaraja sebuah yayasan Kirtya Liefrinck-Van der Tuuk, nama dua tokoh perintis studi tentang Bali, bertujuan mengumpulkan dan mempelajari lontar-lontar Bali, sedangkan sebuah museum, Bali Museum, dibuka di denpasar pada tahun 1932 dengan tujuan mengumpulkan berbagai benda budaya Pulau Bali. Pandangan orientalis mengenai Bali sebagai “museum hidup” begitu didukung oleh penguasa kolonial karena memperkuat tujuan politik dari pemerintah Belanda yang sesungguhnya, yang hendak menjadikan bali sebagai benteng pertahanan, membendung meningkatkan gelombang radikalisme Islam dan beraneka gerakan berbahaya menuntut kemerdekaan Indonesia terutama di Jawa. Karena itulah, akan cepat nampak bahwa kaum bangsawan Bali, yang dianggap sebagai wahana pembawa budaya Hindu serta soko guru tatanan social tradisional, ternyata merupakan sekutu yang paling andal dari administrasi kolonial terhadap bahaya Islam maupun subversi nasionalis. Oleh karena itu pemerintah Belanda sedikit demi sedikit memperkuat kekuasaan kaum bangsawan, dengan pertama-tama menetapkan hirarki “kasta” dan memberikannya landasan hukum, dan kemudian dengan memulihkan wibawa politik dan religius keluarga kerajaan. Semua itu, tentu saja, di bawah pengawasan ketat pejabat-pejabat kolonial (Picard, 2006: 27-28).

Di tengah laju cengkramam kekuasaan Baliseering, keterbukaan pikiran dengan modernisasai melanda intelektual kelas menengah Bali. Modernisasi bukanlah sesuatu “hal” yang seragam, tetapi mempunyai banyak segi, bergantung pada konteks local (Vickers dalam Nordholt, 2002: 215). Mencari modernitas di Bali dilakukan oleh kelompok kecil golongan terpelajar local pada tahun 1920-an dan 1930-an juga harus dilihat dalam konteks kebijaksanaan pemerintah kolonial tertentu.

Setelah menaklukkan Bali Selatan (1895 dan 1908), rezim kolonial Belanda ingin memperkenalkan pemerintahan birokratis yang “modern” dan “rasional” yang dalam mata mereka sangat berbeda dengan sifat pemerintah raja lama yang “salah” dan “arbitrer”. Ini berakibat munculnya sekelompok baru orang Bali yang mendapat pendidikan barat dan mulai mengisi jabatan-jabatan rendah dalam birokrasi. Karena rezim kolonial Belanda ingin mengukuhkan kembali keturunan keluarga bangsawan lama, dan kembali pada hirarki, berarti kembali lagi membekukan kasta-kasta dan lambat laun mengembalikan dinasti raja-raja lama. Dalam konteks inilah selama tahun-tahun 1920an sekelompok kecil cerdik pandai di Bali Utara yang makin lama makin banyak jumlahnya, mulai mempertanyakan keabsahan hirarki kasta kolonial. Dengan menggunakan majalah Soerja Kanta, mereka juga mulai merenungkan arti kata modernitas dalam kehidupan mereka, dan bagaimana mereka misalnya dapat merekonsiliasikan kemajuan dan agama dengan “mendekonstruksi” dogma-dogma lama mengenai agama tradisional (Nordholt, 2002: 217).

Banyak majalah pribumi serta organisasi sosio-politik yang mengalami intimidasi kolonial, berumur pendek. Demikian halnya Soerja Kanta, yang dapat bertahan hanya antara tahun 1925-1927. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa diskusi-diskusi kritis mengenai identitas dan tujuan baru di kalangan kelompok kecil golongan intelektual Bali berakhir. Sekalipun pihak Belanda selama tahun 1930-an mengadakan upaya serentak untuk mewujudkan kebijakan konservatif mentradisikan Bali di bawah judul “Balinisasi”—dalam arti kata arsitektur, seni, kasta, hukum adat, pakaian, pendidikan, agama, cara bicara, dan sebagainya, bahkan hingga sedemikian jauh,”sehingga jika lelaki memakai celana panjang…ini merupakan aksi subversife”, kehadiran pemerintah kolonial di pulau Bali ini serta hubungannya dengan pasar dunia mengimplikasikan bahwa kebijakan manapun yang bertujuan memencilkan pulau Bali dari belahan dunia yang lain, adalah khayalan belaka.

Karena gerakan nasionalis di Hindia Belanda selama tahun-tahun 1930-an menderita intimidasi kebijakan kolonial, dan mayoritas pemimpin mereka dipenjarakan, banyak tokoh nasionalis mencari penyelematan diri dalam wilayah “cultural” alternative, dimana mereka tidak langsung diancam oleh pihak Belanda. Dalam majalah seperti Poedjangga Baroe, mereka berdebat sengit mengenai identitas budaya di masa depan. Di Bali terjadi perkembangan serupa, dimana majalah bulanan Djatajoe (1936-1941), boleh dikatakan pengganti Surya Kanta, memuat cerita-cerita, sandiwara-sandiwara serta esai-esai, karya kaum intelektual Bali, serta mengupas masalah-masalah yang berkenaan dengan agama Hindu, kebudayaan Bali, kedudukan wanita, serta masalah kasta. Majalah ini merupakan suara golongan muda Bali dan diterbitkan oleh organisasi Bali Dharma Laksana (Aksi Sewajarnya Orang Bali), mulai didirikan pada tahun 1936 dengan ketua seorang pejabat pajak kolonial keturunan bangsawan bernama Gusti Gede Raka. Organisasi ini mencoba menghimpun dana untuk beasiswa dan mempromosikan diskusi-diskusi mengenai kebudayaan dan agama Bali (Nordholt, 2002: 216-219).

Putra Agung (2001) melihat dengan masuknya pendidikan di Bali Utara membuat terjadi perubahan sosial di dalam masyarakat. Pembaharuan ini dipelopori oleh kaum Sudra—mereka sering menyebut dirinya Jaba, sebagai arti diluar golongan Tri Wangsa, dan berdiam di luar Puri—yang pada akhirnya mengarah kepada penggugatan terhadap sistem kasta. Golongan Jaba menginginkan kedudukan yang sama dalam masyarakat, yang antara lain menuntut persamaan hak dalam bidang perlakuan hukum, demikian juga menyangkut masalah harga diri. Tuntutan ini terang saja menggugat sistem straftifikasi sosial sistem kasta yang menempatkan golongan Tri Wangsa lebih tingi dari golongan Jaba (Sudra).

Akibat perbedaan-perbedaan sikap dan pandangan antara golongan Tri Wangsa dengan golongan Jaba itu, menyebabkan timbulnya konflik antara kedua golongan tersebut yang bekisar pada masalah sistem kasta. Ide-ide dari kedua golongan yang bertentangan itu disalurkan dalam bentuk polemic-polemik dalam majalah-majalah yang mereka terbitkan, majalah Bali Adnyana yang memuat ide-ide atau buah pikiran golongan Tri Wangsa dan majalah Surya Kanta yang memuat buah pikiran atau pendapat-pendapat golongan Jaba.

Konflik semacam ini melahirkan suatu kompetisi dalam proses pembahruan masyarakat di Bali, melalui kedua majalah tersebut ide-ide pembaharuan dapat disebarluaskan pada masyarakat. Golongan Tri Wangsa menghendaki pembaharuan dijalankan dengan perlahan-lahan serta selalu ebrcermin pada ajaran-ajaran agama Hindu dan etika yang termuat di dalam lontar-lontar, oleh karena itu tetap mempertahankan berlakunya sistem kasta. Sedangkan golongan Jaba menginginkan pembaharuan dijalankan dengan jalan radikal dan mencita-citakan untuk menghapuskan adat yang dipandang merugikan kedudukan golongan Jaba (Putra Agung, 2001: 7-8).

Bawa Atmadja (2001) melakukan studi dengan memfokuskan pada ide-ide pembaharuan dalam perkumpulan Surya Kanta. Ia mengungkapkan Surya Kanta membawa pembaharuan untuk memajukan dan menyempurnakan ekonomi masyarakat, khususnya dalam bidang pertanian. Diantara gagasan perkumpulan ini adalah penguasaan tanah oleh petani untuik pengolahan persawahan. Juga gagasan untuk melakukan pertanian dengan memakai teknologi modern, dan juga secara terus menerus meningkatkan kerajian dan kepandaian para petani.

Gagasan lainnya dari perkumpulan Surya Kanta adalah gerakan mencintai produksi negeri sendiri dan pengiritan biaya untuik upacara ngaben (pembakaran mayat) yang banyak menelan biaya. Ide pembentukan koperasi untuk memajukan perekonomian secara umum juga menjadi gagasan pembaharuan dari perkumpulan ini. Bagi perkumpulan Surya Kanta kelemahan sistem perekonomian masyarakat Bali atau kaum bumiputera pada umumnya terletak pada masalah kekurangan modal sehingga terpaksa memakai modal asing. Keadaan ini perlu diperbaiki agar terbentuk suatu sistem perekonomian yang lebih sehat. Dalam artian, kaum bumiputera tidak tergantung pada modal asing, dan kekayaan yang dimilikinya tidak diboroskan atau disimpan dengan sia-sia, melainkan terus digunakan untuk memperoleh kekayaan yang lebih banyak dengan cara berusaha secara rajin, benar, dan tekun. Selain itu, sistem perekonomian yang hendak dibangun harus pula menghapuskan hal-hal yang kurang adil dalam pembagian harta benda, dengan melenyapkan segala bentuk penindasan atas kaum yang tidak berharta (Bawa Atmadja, 2001: 152-153).

Gagasan pembaharuan Surya Kanta juga bergema dalam bidang pendidikan, dengan mengusung gagasan mengutamakan gelar modern karena pendidikan daripada gelar tradisional (didapat dari sistem kasta). Juga persamaan hak untuk kesempatan menduduki jabatan-jabatan di masyarakat yang dengan sistem kasta selalu mengutamakan golongan Tri Wangsa. Ide pembaharuan lainnya adalah penghapusan ajaran Aja Wera (ajaran yang hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu, terutama golongan Tri Wangsa, tiga golongan teratas dalam sistem kasata di Bali yaitu Brahmana, Ksatria dan Waysia), juga penyesuaian pelaksanaan adat dengan kemajuan zaman serta pengembalian sistem kasata ke asas agama.

Gagasan pembaharuan dari perkumpulan Surya Kanta ini membuat khawatir kelompok Tri Wangsa. Kekhawatiran tersebut adalah perubahan struktural dan kultural tentang sistem kasta di Bali. Wujud perubahan sosial yang dikehendakinya (oleh Surya Kanta) adalah kearah terbentuknya hubungan sosial yang bersifat sama rata dan egaliter. Arah perubahan yang dikehendaki oleh perkumpulan Surya Kanta, yaitu sama rata, memiliki kesamaan kesamaan dengan semboyan Partai Komunis Indonesia (PKI), yakni dalam bentuk “sama rata sama rasa”. Untuk kesamaan itu dipakai oleh kelompok Bali Adnyana untuk menggolongkan Perkumpulan Surya Kanta berhaluan “komunis”. Untuk memperkuat tuduhannya, kelompok Bali Adnyana mengemukakan pula bahwa Perkumpulan Surya Kanta yang acapkali disingkat SK, anggotanya terdiri dari kaum Jaba atau Sudra yang pada dasarnya bisa disebut rakyat. Karena itulah, singkatan SK menurut kelompok Bali Adnyana tidak semata-mata berarti Surya Kanta, tetapi sama dengan Sarikat Rakyat.

Sarikat rakyat adalah sempalan dari Sarikat Islam yang dikenal pula dengan sebutan Sarikat Islam Merah, atau lazim disebut SI Merah. Sarikat Islam Merah mengalami perkembangan yang pesat. SI Merah kemudian menjadi organisasi massa yang utama dari PKI. Kelompok Bali Adnyana mengartikan pula singkatan SK sama dengan Sarang Komunis. Penyamaan Perkumpulan Surya Kanta-SK dengan Sarikat Rakyat maupun Sanrang Komunis dipakai alat oleh kelompok Bali Adnyana untuk memperingatkan masyarakat Bali, khususnya kaum Jaba supaya berhati-hati terhadap Perkumpulan Surya Kanta. Sebab kalau ikut di dalamnya, mungkin akan terlibat konflik sosial, tidak saja antar sesame warga masyarakat Bali, melainkan juga pemerintah. Apabila hal ini terjadi, penduduk dan daerah Bali akan mengalami kerugian besar.
Tuduhan ini tentu saja ditolak oleh Perkumpulan Surya Kanta, dengan alasan bahwa mereka memang menuntut sama rata, namun tuntutan tersebut tidak berdimensi politis, melainkan berdimensi sosiobudaya, yakni berkaitan dengan perbaikan atas status sosial mereka agar sama rata atau tidak lagi dibedakan dengan kaum Triwangsa. Menurut Perkumpulan Surya Kanta tuntutan ini sejalan dengan adanya kenyataan bahwa pada masyarakat Bali kaum Triwangsa bersifat menindas terhadap kaum Jaba. Begitu pula banyak aturan kasta justru lebih memberikan hak istimewa kepada kaum Triwangsa padahal dalam ajaran Agama Hindu perbedaan itu tidak dikenal. Karena itu tidak mengherankan jika kaum Jaba merasa wajar untuk menuntut kedudukan yang sama rata dengan kaum Triwangsa. (Bawa Atmadja, 2001: 218-219).


I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Gadjah Mada. Peneliti Tamu di PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar