oleh I Ngurah Suryawan
Di Bali, antropolog juga bisa diuangkan lewat industri
pariwisata. Kalau di zaman kolonial orang asing datang ke Bali untuk transaksi
rempah-rempah dan budak, di zaman modern mereka datang membeli komoditas yang
disebut kebudayaan dan para antropolog bisa menjadi juragannya. Di Bali, untuk
menyambut kedatangan sang pembawa devisa, berjamurlah sekolah pariwisata maupun
perguruan tinggi yang menawarkan kurikulum “kebudayaan” yang dibidani oleh
insan-insan akademis. Di sinilah terletak benang kusut diskursif antara
pengetahuan, takhta, dan uang.
(Degung Santikarma, “Pentas Antropologi Indonesia”,
Kompas 7 Juli 2004)
Pendahuluan
Perubahan kebudayaan yang menimpa Bali kini adalah sebuah
proses relasi yang panjang dan kompleks. Salah satu momen penting itu adalah
sentuhan-sentuhannya dengan kebudayaan “Indonesia” yang menawarkan Bali sebuah
janji manis nan membuai bernama pariwisata. Mendiskusikan Bali sebagai suatu
yang otentik dan eksklusif menjadi salah kaprah ketika waktu justru membuktikan
Bali bisa bertahan karena pengaruhnya dengan “Indonesia” dan dunia global.
Namun, kelas menengah baru yang tercipta dari proses
kolonisasi dan pembangunisme pariwisata memimpikan bagaimana menciptakan sebuah
masyarakat Bali layaknya sebuah “museum hidup” dimana mimpi-mimpi para kelas
menengah tentang otentisitas budaya Bali bisa terwujud. Sementara kelas
menengah ini sebenarnya adalah “setengah Bali” karena mereka sebenarnya adalah
potret kelas menengah urban yang memiliki banyak identitas, dan oleh karena itu
menjadi kelas elit dengan berbagai macam kepentingan dan kekuasaan atas
masyarakat dan budaya Bali. Kelompok elit lokal ini, baik dengan kekuatan
modal, monarki, dan kekuasaan politik sebenarnya bisa “masuk” dan “keluar”
dalam identitas keBalian.
Kesadaran kelas menengah ini tentang identitas Bali yang
beragam mereka mainkan dengan berbagai macam kepentingan untuk mengungkung
rakyat Bali kebanyakan dalam lantunan-lantunan mimpi keaslian budaya. Ini
seperti proses mimikri dari kuasa kolonial Belanda yang memberlakukan politik
museum hidup dan Baliseering. Kelas menengah baru Bali yang terdiri dari
intelektual, pebisnis media, agamawan, politisi, birokrat, pengusaha dan
elit-elit lokal di desa-desa mengapropriasi (mengambil) dengan tanpa sadar atau
bisa jadi dengan sadar praktik kolonisasi ini untuk dipraktikkan kepada sesama krama
Bali sendiri. Dengan demikian, pembekuan kebudayaan sebenarnya dilakukan
oleh kelas menengah Bali yang mempunyai modal dan sudah tentu kepentingan
ekonomi politik.
Sejarawan Iskandar Nugraha dalam sebuah diskusi di dunia
maya mengungkapkan, kelas-kelas menengah urban akan lebih fasih dan massif
mengartikulasikan identitasnya (keBaliannya) dibandingkan dengan orang-orang
(Bali) yang berada di perdesaan. Oleh sebab itulah orang Bali kini lewat proses
urbanisasi, pendidikan, dan pekerjaan membayangkan untuk menjadi bagian dari
kelas menengah Bali baru yang mewarnai perubahan politik dan kebudayaan di
perdesaan maupun perkotaan.
Representasi identitas keBalian kelas menengah inilah yang
ditangkap oleh budaya turistik dalam pentas globalisasi dan pasar. Padahal
dibalik semua itu, dibelakang layar yang terjadi adalah elit kelas menengah
Bali telah “mengkolonisasi” atau lebih gamblangnya “memuseumkan” orang-orang
Bali kebanyakan di perdesaan-perdesaan. Janji manis yang dilantunkan adalah ngajegang
budaya Baline atau ngelestariang budaya Baline.
Kelas Menengah dan Interkoneksi Global
Kelas menengah Bali juga menjadi “pesulap-pesulap gila
kuasa” (meminjam Tsing, 2005) yang menjadi penghubung bagi negara dan modal
untuk berkolaborasi mengusai jaringan-jaringan ekonomi makro yang merangsek
ekonomi rakyat hingga ke titik nadir. Rekognisi dan tindakan afirmatif
(pemihakan) terhadap perekonomian rakyat seakan hanya janji kosong para
birokrat dan politisi. Deru investasi masuk tanpa henti menghasilkan deretan
ruko, hotel, apartemen, supermarket, bahkan menyulap tanah dan pantai untuk
infrastruktur pariwisata. Kini, seribu pura telah tersaingi dengan serius oleh
seribu ruko dan bangunan beton-beton megah yang menghimpit pura dan pelinggih.
Dalam kontes wacana politik kebudayan dan pembangunanisme
(pariwisata), energi, pikiran, dan semua kemampuan rakyat Bali dimobilisasi
untuk bersilat lidah dalam wacana pelestarian budaya. Didukung sponsor negara
dengan aparatus dan modalnya, wacana tentang pelestarian budaya menjadi peluang
bagi para akademisi, budayawan, politisi hingga hingga tokoh masyarakat
mewacana pencanggihan pelestarian budaya. Gula-gulanya adalah siasat manusia
mencari akses ekonomi politik dibawah koor pelestarian budaya.
Penggalian-penggalian otentisitas (keaslian) budaya inilah
yang ditangkap oleh kuasa kapital global bernama pariwisata. Didukung oleh
gerakan-gerakan kelas menengah baru dalam pencarian esensialisme, kebudayaan
Bali menjadi komoditas kapitalisme kultural baru (Santikarma, 2003; Suryawan,
2010; Nordholt, 2010) yang sangat menjanjikan sekaligus memprihatinkan.
Menjanjikan karena akan menjadi modal luar biasa dalam mengekspor otentisitas
dalam promosi pariwisata Bali. Memprihatinkan saya kira karena menutup ruang
wacana kritik kebudayaan, yang melihat kebudayaan sebagai yang cair, dinamis,
dan pewacanaan kebudayaan sebagai refleksi manusia Bali sendiri.
Di tengah interkoneksi global yang menerjang masyarakat
tempatan, mencari identitas diri yang kompleks dan rumit menjadi sesuatu yang
sulit sekaligus paradoks. Gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan kini praksis
terjebak dalam lingkaran interkoneksi global ini. Masyarakat yang sedang
bergerak ini terus mencari konstruksinya sendiri di tengah bentangan dunia
sebagai pasar global. Gerakan-gerakan sosial mewakili komunitas tempatan, adat,
atau revitalisasi kebudayaan kadang tidak terlepas dari penetrasi kuasa global
kapital ini. Lantunan gerakan penguatan kebudayaan Ajeg Bali (baca:
pencarian otentisitas nilai budaya Bali) tidak semurni untuk nindihin
Bali (membela Bali) seperti apa yang sering dimuat di media-media lokal dan
didiskusikan oleh para kelas menengah, tapi penuh dengan tipu muslihat dan
kisah-kisah interkoneksi yang aneh dengan kuasa kapital bernama pariwisata,
industri media, dan romantisasi keagungan serta keaslian budaya Bali.
Fragmen-fragmen (penggalan kisah-kisah tak beraturan) antara
mengokohkan kebudayaan dan memanfaatkan peluang ekonomi politik inilah yang
oleh Anna Lauwenhaupt Tsing (2005) disebut dengan friksi (friction),
ruang “hampa makna” manusia di tengah interkoneksi global. Manusia-manusia
bersiasat saling tikam, baku tipu memanfaatkan peluang-peluang yang
dihadirkan oleh investasi dan kuasa global kapital. Negara dan hukum absen
bahkan menjadi salah satu pion dalam jejaring global ini. Yang ada hanyalah
persaingan kekuatan modal dan gembar-gembor kisah-kisah fantastis penciptaan
komoditas.
Dalam ruang friksi inilah seluruh gerak kekuatan masyarakat
terinfeksi kuasa modal global. Identitas dan kebudayaan lokal direproduksi
menjadi komoditas yang diceritakan, “diomong kosongkan”, dilebih-lebihkan untuk
kemudian diwariskan dan didramatisir menjadi komoditas bernama otentisitas.
Pada momen inilah pelemahan-pelemahan gerakan rakyat terus menerus tanpa henti.
Rekognisi terhadap gerakan rakyat dan penegakan identitas
budaya masyarakat tempatan tertelan kuasa global kapital. Rekognisi terhadap
pemberdayaan petani di Bali tertimbun wacana pelestarian budaya dan isu global
pariwisata. Penetrasi modal menggerus tanah-tanah manusia Bali untuk
infrastruktur pariwisata. Lahan persawahan terhimpit gedung-gedung ruko atau
jejeran vila-vila di pinggir tebing. Pantai-pantai ditimbun demi mendirikan
jejeran villa dan hutan-hutan diterabas untuk pembangkit sumber daya alam.
Refleksi Identitas Manusia
Bali
Fragmen-fragmen kompleksitas di Bali membuka ruang refleksi
yang dalam pada hubungan antara kebudayaan dan identitas diri manusia Bali yang
terus berubah, bergerak dan penuh kelokan tajam. Kebudayaan menawarkan ruang
bagi refleksi kritik diri manusia dalam rentang sejarahnya. Diri manusia
bukanlah substansi, tetapi subyek yang terus bergerak, jadi diri manusia, dan
juga demikian dengan identitasnya adalah sebuah gerakan sosial. Inilah yang
dipentaskan oleh kelas menengah di Bali yang menjadi “setengah Bali” yang
mengangankan keaslian identitas Bali.
Dengan demikian, wacana kritik kebudayaan (identitas
keBalian) adalah ruh sekaligus refleksi identitas diri manusia Bali sendiri.
Refleksi atas diri terus akan berubah, bergerak terus menerus tanpa henti dalam
ruang dan waktu. Di dalamnya terdapat kisah-kisah kelokan tajam. Pemahaman
historis dalam konteks kebudayaan menjadi sangat penting untuk memahami konteks
perubahan yang terjadi. Pemahaman kebudayaan dengan perspektif reflektif diri
berkaitan dengan revolusi kesadaran historis manusia akan hakekat hidupnya.
Pada titik inilah dilantunkan eksistensi manusia yang terbentang antara masa
lampau dan masa depan.
Bagi manusia Bali, memahami kebudayaannya juga berarti
pemahaman dirinya, identitasnya sendiri. Secara reflektif, manusia Bali akan
berpikir bahwa dirinya tidaklah ekslusif dan otentik. Mengganggap diri paling
“eksotis” dan “berbudaya” dengan bukti menjadi ikon pariwisata Indonesia akan
mengungkung manusia Bali menjadi parokialisme (terkotak-kotak), sektarian, dan
selalu menganggap diri dan kebudayaannya adalah ekslusif.
Jauh dari parokialisme itu, membaca Bali lebih dalam adalah
relasinya dengan keIndonesiaan, penetrasi kuasa kapitalisme global berwujud pariwisata,
silangsengkarutnya dengan penetrasi kuasa penjajah yang memimpikan (baca:
mengkonstruksikan) Bali menjadi sebuah museum hidup dengan budaya yang otentik
yang dipraktikkan oleh kelas menengah Bali kini. Jika manusia Bali
merefleksikan hal ini, dengan jernih dan tajam manusia Bali akan menjadi
dialektik, inklusif, apresiatif, dan sudah tentu transformatif dalam melihat
perubahan kebudayaan dan pilihan-pilihan kompleksitas identitas yang
dimainkannya.
Buku ini menghadirkan beragam fragmen-fragmen dibalik
konstruksi yang romantik dan eksotik tentang Bali. Beberapa tema-tema di
dalamnya secara saling berhubungan mengelaborasi politik identitas, kekerasan,
dan interkoneksi global yang terjadi di Bali dengan berbagai kompleksitas yang
ditimbulkannya. Buku ini terdiri dari 8 bab berturut-turut tentang: Manusia
Bali dalam Politik (Kontestasi dan Kuasa), Atas Nama Adat dan Kebudayaan (Wajah
Beringas Manusia Bali), Ajeg Bali dan Ajeg Hindu (Politik Kebudayaan dan Kuasa
Media), Manusia Bali Berwajah Pecalang, Jagoan Lokal, Satgas Partai Politik,
dan Politik Kekerasan Pemilu 2009 di Bali, Jejak-Jejak Manusia Merah Bali,
Institusi Tukang dan Generasi yang Hilang (Wajah Pendidikan dan Mahasiswa
Bali). Buku ini juga dilengkapi dengan Bab Pendahuluan, Mengunjungi Kembali
Bali: Kelas Menengah dan Mimpi Otentisitas Budaya dan Bab Refleksi, Antropologi
Reflektif dan Manusia Bali di Garis Depan Global.
I Ngurah Suryawan, Dosen
Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manowkari, Papua Barat.
Mahasiswa S3 Ilmu-ilmu Humaniora (Antropologi) UGM Yogyakarta. Research Fellow
Indonesian Young Leaders di Faculty of Humanities Universiteit Leiden, The
Netherlands 2012. Emailnya: ngurahsuryawan@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar