oleh I Ngurah Suryawan
Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua, Papua Barat.
Program Doktor (S3) Antropologi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
ngurahsuryawan@gmail.com
ABSTRAK
Masyarakat tempatan di Papua bisa dikatakan menjadi daerah
di garis depan (frontier) pertemuan kekuatan-kekuatan kapital global
dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan sumber daya manusia. Persaingan
memperebutkan akses ekonomi politik menjadi tak terhindarkan. Ketegangan
(kekalahan) orang lokal Papua dengan para migran dalam merebut akses ekonomi
sering disebut sebagai salah pemantik marginalisasi orang lokal Papua di
tanahnya sendiri.
Ruang-ruang ekonomi seperti pasar, birokrasi dan tentu saja
masuknya perusahaan multinasional menjadi ladang subur terciptanya persaingan.
Salah satu potret nyata adalah perjuangan mama-mama Papua mendapatkan akses ke
pasar untuk menjual produk hasil bumi mereka. Di Pasar Sanggeng Manokwari,
Papua Barat misalnya, mama-mama Papua menggelar dagangan berjejer di tanah,
sementara pasar tingkat yang menyediakan kios-kios dikhususkan untuk para
pedagang yang memiliki modal besar untuk membayar sewa kios. Bahkan di
Jayapura, mama-mama Papua berjualan di pinggir jalan berseberangan dengan Pasar
Gelael, sebuah perusahaan supermarket mewah.
Paper ini membahas bagaimana ruang-ruang publik, dalam paper
ini adalah pasar, menjadi medium penting perjuangan mama-mama Papua untuk
menunjukkan eksistensi mereka, dalam bentuk perjuangan hak untuk berdagang, di
tengah ruang pasar yang dipenuhi oleh kuasa kapital dalam bentuk penyewaan
kios-kios yang sebagian besar dikuasai oleh para migran.
Kata kunci: masyarakat tempatan, frontier, ruang
publik, politik ruang, kuasa kapital
Dua bulan yang lalu, saya sempat mengunjungi Pasar Gelael
Jayapura. Dari sore hingga malam saya memperhatikan aktivitas mama-mama Papua
yang sibuk berjualan. Dari sore hari mama-mama Papua berdatangan entah darimana
mulai memenuhi halaman di depan pasar swalayan Gelael. Di lantai pertama adalah
swalayan dan di lantai dua berdiri megah KFC. Mama-mama Papua berdatangan
dengan membawa barang dagangan berupa sayur-sayuran, sirih pinang, buah-buahan,
patatas, ubi dan lainnya. Dengan menggendong karung-karung, para mama ini mulai
menggelar tikar dan alas seadanya untuk kemudian menggelar dagangannya.
Sebagian dari mereka saya perhatikan mulai mengeluarkan barang dagangan dari
karung kemudian menggelarnya dalam bagian-bagian kecil. Sementara saya melihat
orang-orang berbaju seragam pegawai negeri keluar masuk Supermarket Gelael dan
KFC. Mereka saya perhatikan berlama-lama berbelanja di dalam supermarket. Ada
beberapa orang yang tampak bercengkrama di KFC.
“Sa setiap hari dengar di radio, atau dengar biasa pejabat
dong pidato di depan kitorang bahwa sekarang itu su` ada Otsus, yang katanya
bisa angkat torang orang Papua pu` derajat, tapi sampai hari ini torang tetap
begini, baru kapan torang ini bisa seperti orang Cina dorang, Makate
(Makassar), atau orang Jawa dorang, padahal ini kita pu` tanah, pemerintah
harus bisa jawab ini semua, kami su` bosan dapat tipu !” [1]
Khusus di Kota Jayapura, perjuangan SOLPAP (Solidaritas
untuk Mama – Mama Pedagang Asli Papua) mulai bergulir sejak 2008 untuk menuntut
pembangunan pasar bagi mereka.Serangkaian pertemuan dilakukan dengan Pemkot,
DPRD dan DPRP, bahkan ketika itu sampai harus dialokasikan dana mencapai Rp 1
Milyard lebih untuk pembentukan Panitia Khusus (Pansus). Dari Pansus tersebut
dibentuk lagi 3 Kelompok Kerja (Pokja), yakni Pokja Desain dan Konstruksi,
Pokja Lokasi, dan Pokja Dana atau pembiayaan.Namun, dalam pertemuan dengan
Pemkot 10 Oktober 2008, Pemkot mengaku tidak memiliki dana untuk itu dan
menegaskan itu menjadi tanggung jawab Pemprov, dan pada 14 Oktober 2008 SOLPAP
mencoba mengirim proposal namun tidak mendapat tanggapan. Setelah menanti
sekian lama, akhirnya 14 September 2009 barulah mama – mama pedagang asli Papua
bisa bertemu dengan Gubernur. [2]
Pada 30 Maret 2010, ratusan masa mama-mama Papua itu
mendatangi gedung dewan Meski diguyur gerimis, tidak menciutkan semangat mereka
dengan melakukan yel-yel dari Pasar Pharaa menuju gedung Dewan yang berjarak
sekitar 3 Km itu. Meski sempat dihadang oleh Satpol PP di pagar masuk Kantor
Bupati gunung Merah Sentani namun rombongan mama-mama Papua yang dikoordinir
oleh Ibu Betty Warweri ini berhasil masuk ke dalam gedung DPRD Sentani. Mama-mama
ini juga membawakan beberapa spanduk dan pamphlet yang rata-rata merupakan
aspirasi mereka yang dituangkan ke dalam pamphlet dan spanduk tersebut.
“Hapuskan system monopoli dagang komoditas asli Papua”, “Hentikan prkatek
pendatangan orang non Papua menguasai meja-meja dan los-los di pasar baru
pharaa Sentani”, Dagangan local khusus untuk pedagang asli Papua” [3]
Pasar, sebagai sebuah ruang sosial, bisa menjadi cermin dari
masyarakat tempatan. Dari pasar, beragam persoalan bisa teruraikan. Salah satunya
yang kelihatan paling kentara adalah persoalan akses ekonomi, perjuangan
mama-mama Papua, dan jika ditelisik lebih dalam bisa menguraikan kompleksitas
persoalan kesehatan, pendidikan, politik lokal, kekerasan dalam rumah tangga.
Kompleksitas persoalan itulah yang terjadi kini di Tanah
Papua. Beragam persoalan muncul silih berganti, yang jika ditelisik lebih
mendalam akan menggambarkan sebuah gambaran persoalan yang menunjukkan saling
keterkaitan. Satu keputusan akan membawa implikasi yang kompleks pada berbagai
persoalan. Paper ini berusaha mengeksplorasi kondisi pasar tradisional di
Papua, khususnya di Pasar Sanggeng dan Wosi di Kota Manokwari, Papua Barat dan
posisi mama-mama Papua dalam merebut akses berjualan di pasar tersebut.
Pemekaran daerah dengan munculnya daerah-daerah baru dan
administratif serta dana Otsus menjadi “ruang” bagi mama-mama Papua untuk
memperjuangkan identitasnya, akses mereka terhadap pasar dan keberlangsungan
hidup mereka dengan berjualan di pasar tradisional. Namun sayangnya, kehadiran
dana Otsus belum juga memberi keberpihakan pada perjuangan mama-mama Papua agar
mendapatkan fasilitas pasar.
Pasar Sanggeng dan Wosi
Memasuki Pasar Sanggeng Manokwari, Papua Barat pada suatu
sore di bulan September 2009, saya melihat sebuah “garis pembatas” yang jelas.
Banyak kesan, kisah, dan kompleksitas yang dapat saya tangkap.
Pasar Sanggeng berada di pinggiran pantai, dimana pasar ikan
menjadi satu di dalamnya. Memasuki ruas jalan Pasar Sanggeng dari jalan umum,
saya sudah disapa dengan tawa mama-mama yang menggelar dagangan hasil buminya.
Berjejer mama-mama berdagang dengan alas plastik dan koran yang mulai basah.
Beragam hasil bumi dijual hanya beralas koran atau karung. Dari mulai berbagai
jenis sayur, cabai, ubi kayu, pisang. Berbagai hasil bumi ini dijual dengan
mengelompokkannya. Seperti cabai atau sayur yang sudah dikelompokkan dan dikat
dengan harga jual Rp. 3000-Rp. 5000. Sementara ubi kayu juga dijual sudah
diikat-ikat. Rambutan pun demikian.
Sore itu suasana pasar sangat ramai. Mama-mama Papua
berjualan bergelar karung dan koran, tepat berada di depan kios-kios triplek
yang disewa untuk pedagang yang sepertinya berasal bukan dari Papua. Saya
melihat baru memasuki Pasang Sanggeng, di kios triplek semi permanen adalah pejual
gorengan, di sebelahnya adalah penjual mie ayam dan soto ayam. Berseberangan
jalan adalah pedagang-pedagang baju, VCD dan DVD bajakan yang juga didominasi
oleh para pedagang pendatang. Di ujung pasar adalah pasar ikan dan terminal
angkutan kota. Bersebelahan dengan Pasang Sanggeng, terdapat pasang tingkat,
yang sering disebut “pasting” tiga lantai yang didominasi oleh para pedagang
pendatang berjualan berbagai jenis pakaian, peralatan elektronik, VCD dan DVD
bajakan dan yang lainnya. Saya juga melihat beberapa sudut pasar yang
didominasi oleh tukang cukur dan penjual emas di lantai dasar Pasar Tingkat
Sanggeng. Sementara saat naik ke lantai 3 pasar, saya melihat penjual
batik-batik Papua banyak yang berasal dari Sulawesi dan Jawa.
Jalan menyusuri Pasar Sanggeng masih dari tanah, sehingga
ketika musim hujan, seperti saat saya datang, air menggenang dimana-mana.
Langkah saya kemudian menuju pasar ikan. Seikat ikan berisi 4 ekor ikan
kecil-kecil dijual seharga Rp. 20.000. Suasana sore itu gaduh sekali.
Perahu-perahu yang bersandar tampak sibuk menurunkan banyak ember-ember ikan.
Saat si nelayan bersiap menurunkan hasil tangkapannya, para pedagang yang sudah
tampak menunggu lama di pinggiran pantai berebut untuk mendapatkannya.
Di ujung dalam pasar adalah terminal angkutan kota yang
menjadi salah satu pusat kesibukan jalur transportasi dalam Kota Manokwari.
Saat saya bergegas menuju terminal, saya dihadang oleh seorang lelaki Papua.
“Bos, minta uangnya.” Sontak saja saya terkejut. Saya melihat matanya sudah
memerah dan jalannya sempoyongan. Saya menduganya sudah dalam keadaan mabuk.
Sepanjang ruas jalan menuju Pasar Sanggeng, ojek-ojek dan
angkutan kota yang disebut “taksi” tampak hilir mudik. Di depan “pasting”,
tampak berjejer ojek-ojek menunggu antrian. Saya perhatikan banyak dari mereka
bukanlah orang asli Papua. Ojek yang saya tumpangi menuju kos berasal dari
Sulawesi Toraja. Sebut saja namanya Azhar (32). Ia mengaku baru 3 tahun
merantau ke Manokwari mengikuti saudaranya. Sebelum menjadi tukang ojek, Azhar
sempat menjadi pegawai di sebuah perusahaan rokok hanya dengan gaji Rp. 600
ribu. “Mana cukup uang itu di Manokwari mas. Kalau di Jawa 5 ribu sudah dapat
nasi ayam, di sini (Manokwari), bakso pun mungkin sekarang tidak dapat,”
ungkapnya.
Politik Ruang dan Pemekaran Daerah
Sejarah Pemekaran dan Otonomi Khusus (Otsus) Papua dimulai
dengan turunnya 2 Undang-Undang yang sama sekali tidak berjalan yaitu
Undang-Undang (UU) Nomor 45 tahun 1999 tentang pemekaran provinsi Papua menjadi
tiga provinsi yaitu Provinsi Papua, Papua Tengah dan Papua Barat dan UU Nomor 5
tahun 2000. Setelah gagal dalam memberlakukan kedua UU tersebut dan untuk
meredam perjuangan nasionalisme Papua untuk merdeka, Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Undang Undang 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua
(UU Otsus) yang ditandangani Presiden Indonesia ketika itu, Megawati
Soekarnoputri dan mulai diberlakukan pada 21 November 2001. Dalam pasal 76 UU
Otsus dinyatakan: “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan
atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh
kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan
perkembangan di masa datang.”
Namun, belum lama pelaksanaan UU Otsus, Pemerintah Indonesia
melalui presidennya mengeluarkan Inpres Nomor 1 tahun 2003 untuk memberlakukan
kembali UU nomor 45 tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah,
Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak
Jaya dan Kota Sorong. Pemekaran terus berlanjut, hingga saat ini di papua sudah
terdapat 36 kabupaten/ kota, tiga kali lipat jumlah kabupaten/kota sebelum
reformasi. Proses pemekaran yang massif tersebut tentu melanggar pasal 76 UU
Otsus dan menyingkirkan peranan MRP dan DPRP.
Proses Otsus dan pemekaran Papua mencita-citakan otonomi
lebih besar bagi komunitas-komunitas Papua dan institusi-institusinya. Gagasan
lainnya dari pemekaran Papua dari Freddy Numberi dan JRG. Djopari dalam
Pokok-pokok Pikiran tentang Pemekaran Provinsi Papua adalah untuk memudahkan
dan memperpendek rentang kendali pemerintahan, pelaksanaan pembangunan
dan peningkatan pelayanan dan pembinaan kemasyarakatan dan yang terutama adalah
meningkatkan kesejahteraan rakyat. (Hommers, 2003: 18) Yang tak kalah pentingnya
adalah Otsus dan pemekaran menawarkan bagian yang lebih besar dari pendapatan
yang diperoleh dari proyek-proyek penyerapan sumber daya di Papua, termasuk 70%
dari industri minyak dan gas dan 80% dari usaha-usaha pertambangan. Selain itu,
Otsus melibatkan dana-dana khusus yang menguntungkan komunitas-komunitas
pedesaan untuk jangka waktu 20 tahun. (Sumule, 2003; Timmer, 2007: 605)
Namun, otsus dan pemekaran yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia untuk Papua pasca reformasi sangat kental nuansa membelokkan tujuan
gerakan-gerakan pembebasan Papua merdeka. Dengan demikian, otsus adalah momen
transisi dari pemerintah Indonesia yang mengalami krisis dan otoritasnya sangat
lemah. Tekanan dari gerakan pembebasan Papua Merdeka membuat pemerintah Indonesia
berkepentingan untuk menancapkan kembali otoritasnya melalui otsus dan
pemekaran daerah. Maka konsesi-konsesipun dilakukan agar Papua tetap menjadi
bagian dari keutuhan negara Indonesia. (Widjojo dkk, 2009)
Perspektif lain adalah dari studi Timmer (2007) yang
menunjukkan bagaimana pemekaran sebagai proses “pemecahan kekuasaan” akhirnya
mengarah kepada kontestasi para pejabat-pejabat lokal untuk mengakui
tuntutan-tuntutan lokal untuk menjadi tuan di atas tanahnya sendiri. Di samping
itu peringai elite politik yang haus kekuasaan semakin menjadi-jadi. Bayangan
dari otsus dan pemekaran daerah adalah melahirkan posisi-posisi baru untuk
pegawai negeri, peluncuran anggaran dan proyek semakin menguatkan keinginan
dari pejabat lokal untuk mendukung pemekaran. Akhirnya yang terjadi adalah
arena pertarungan untuk memperebutkan arena kekuasaan di kalangan pemerintahan
(birokrasi) dan sudah tentunya sumberdaya alam yang melibatkan
identitas-identitas lokal di tanah Papua.
Sisi lain dari Otsus dan pemekaran menjadikan semakin tumbuh
suburnya nasionalisme rakyat Papua. Sisi laten dari nasionalisme Papua adalah
pengalaman orang Papua di bawah pemerintah Indonesia— seperti banjir pendatang,
marginalisasi ekonomi, dan tindakan brutal oknum militer dan politik kepada
rakyat Papua—semakin hadir di depan mata melalui kebijakan Otsus dan pemekaran.
(Chauvel, 2008; Laksono, 2009)
Manokwari Papua Barat: Komplesitas Provinsi Pemekaran
Papua Barat menunjukkan pergerakan yang massif sebuah
ibukota provinsi yang sedang menggeliat. Beragam infrastruktur pemerintahan dan
ekonomi terus menerus hadir tanpa henti. Turun dari kampus Universitas Negeri
Papua (UNIPA) di kawasan perbukitan Gunung Salju Amban, di perempatan Makalo
sudah terpasang sebuah papan kecil yang menunjukkan identitas Kota Manokwari
sebagai Kota Injil. Papan kecil itu bertuliskan, “Manokwari Kota Injil, di atas
Tanah ini nama Yesus Dtinggikan”. Sebelum menuju salah satu pusat keramaian
kota Manokwari di Sanggeng, pusat perbelanjaan Hady dan Swiss-Bell Hotel berdiri
megah.
Penetrasi investasi modal berlangsung kencang di Manokwari.
Diantaranya yang terbesar adalah investasi Grup Hady dengan Hadi Mall dan Hotel
Swiss-Bell (Grup Choice yang memegang Hotel Mariot). Fulicia Manokwari
membangun Hotel Meridien di Kawasan Sowi Gunung (hotel bintang 4 pertama di
Manokwari). Ini tentu saja belum termasuk ratusan pedagang-pedagang dari
Sulawesi, Jawa dan darah lain di Indonesia yang mengadu peruntungan di
Manokwari, Papua Barat. Maka tidaklah heran jika pasar-pasar tradisional dan
pusat-pusat keramaian di Papua Barat, di Kota Manokwari khususnya akan banyak
ditemui pedagang-pedagang yang berasal dari Sulawesi dan Jawa. Jika lebih
detail melihat, karyawan-karyawan toko-toko, kasir di supermarket hingga buruh
angkut di pasar sangat jarang ditemui orang asli Papua.
Kota Manokwari juga menjadi sentral dari proses modernisasi
dan perubahan sosial di provinsi yang baru terbentuk tahun 2003 ini. Kondisi
inilah yang akan menghasilkan isu perubahan sosial yang kompleks, potensial
untuk memberi pelajaran bagi pemahaman yang komprehensif tentang proses
transformasi sosial budaya di Papua. Dewasa ini Pembangunan gedung-gedung
kantor pemerintahan, toko-toko, hotel-hotel berbintang terus berlangsung tanpa
henti. Manokwari menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, sosial politik dan
kebudayaan selain tentunya Kota Sorong. Arus pendatang menuju Manokwari seolah
tidak terelakkan. Berbagai macam peluang usaha di sektor ekonomi dan
posisi-posisi birokrasi pemerintahan menjadi daya tarik. Jalur investasi juga
terbuka melalui pembukaan perkebunan kelapa sawit, pendirian supermarket, dan
pendirian hotel-hotel mewah.
Seiring dengan laju pembangunan dan modernisasi di Kota
Manokwari—terutama sejak reformasi dan menjadi ibukota propinsi—beragam
persoalanpun timbul. Persoalan kemiskinan rakyat di pegunungan masih menjadi
hal yang sangat serius, program akses pendidikan juga sangat memprihatinkan.
Pelayanan kesehatan kepada rakyat jauh dari kesan baik dan masalah HIV/AIDS
yang terus menggerogoti kehidupan rakyat. Di tingkat pemerintahan, masalah
korupsi dan perebutan kekuasaan antara kelompok-kelompok suku terus terjadi.
Pengalaman saya menaiki angkutan kota—di Manokwari atau di
Papua pada umumnya disebut Taxi—menunjukkan gambaran yang semakin detail. Menaiki
kode taxi 3 jurusan Amban-Sanggeng, taxi yang saya tumpangi—biasanya dari mobil
carry—sungguh istimewa. Saat saya memasuki mobil, saya sudah disapa oleh
dentuman musik reggae Bob Marley. Di pintu bagian dalam mobil, terpasang
poster Che Guevara merah. Si sopir tampak kewalahan melayani penumpang hingga
berdesak-desakan di mobilnya. Si sopir bukan orang asli Papua. Dia adalah orang
Ambon yang sudah 5 tahun merantau di Manokwari. Sebelum menjadi sopir taxi, dia
sempat bekerja menjadi tukang ojek dan pegawai di perusahaan ikan.
Manokwari kini tengah berkembang untuk mengaktifkan dirinya
membangun hubungan dengan daerah lainnya. Salah satu persoalan terbesar yang
selalu dihadapi di Tanah Papua; jarak dan transportasi. Daerah-daerah pedalaman
sangat sulit dijangkau karena jarak yang jauh dan transportasi yang tersedia
sangat terbatas. Oleh karena itulah pada tahun 2009 dibuka jalan darat antara
Manokwari dan Sorong sejauh 600 km atau sama dengan jalan Semarang-Jakarta.
Dengan dana Otsus 2009 untuk Papua Barat sebesar Rp. 1,118 triliun ditambah
dengan dana alokasi khusus Rp. 600 milyar khusus untuk infrastruktur,
seharusnya pelayanan pembangunan kepada masyarakat tidak diragukan lagi (Kompas,
23 Februari 2010). Namun tidak demikian yang terjadi.
Sektor-sektor ekonomi informal di Kota Manokwari dikuasai
sebagian besar oleh pendatang yang sebagian besar berasal dari Sulawesi, Jawa,
Maluku dan sebagian daerah lain. Ini belum termasuk pemasukan penduduk
pendatang ke daerah-daerah transmigrasi yang tersebar di daerah-daerah
pinggiran Kota Manokwari seperti Prafi, Waseki, dan Ransiki. Selain pertanian,
perkebunan kelapa sawit menjadi pelahan lahan sekaligus pendatang terbesar yang
mengincar Papua. Lalu bagaimana nasib warga asli Papua?
Mama-mama pedagang asli Papua masih menggelar dagangan hasil
buminya beralas karung. Di Pasar Wosi, situasi itu kentara sekali terjadi. Para
pedagang pendatang yang kebanyakan berasal dari Sulawesi dan Jawa mendapatkan
lapak-lapak kios semi permanen. Mereka biasanya bejualan sandang, VCD/DVD dan
kebutuhan lainnya. Jika yang memiliki modal lebih besar, mereka akan bisa
menyewa kios yang lebih permanen di pinggiran pasar. Sementara mama-mama Papua
berjualan di belakang pasar dari pendatang ini. Mereka berjualan
berdesak-desakan dan hanya menggelar dagangannya di atas tanah beralas koran
atau karung. Saat saya mengunjungi Pasar Wosi, suasana sangat padat. Banyak
pembeli berseliweran dan ada beberapa anak-anak kecil yang menawarkan jasa
mengangkut barang-barang dagangan dari para pembeli maupun para pedagang
sendiri. Kondisi perekonomian masyarakat penduduk asli Papua sungguh terhimpit
di tengah laju perkembangan Kota Manokwari dan banjir pendatang yang terus
membanjiri Manokwari lewat kapal-kapal laut maupun mendarat di Bandara Manokwari.
Bukan hanya akses dan kebertahan ekonomi mereka yang mulai
lambat-laun terpuruk.
Keberlangsungan “hidup” mereka dalam tanah pun mulai
terongrong oleh cengkereman kuasa investasi global yang menerjang Papua dalam
bentuk perkebunan sawit, ruko-ruko, perhutanan, mall-mall, hotel-hotel megah
hingga masuknya pengusaha-pengusaha dan modal besar lainnya. Saya teringat saat
saya menginjakkan kaki di Kota Manokwari pada Oktober 2009, saya melihat kampus
Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari dipalang oleh Suku Arfak (Mandacan).
Saya bingung dan mendapatkan informasi dari seorang pendatang sebut saja
namanya Mulyana (34 thn), seorang tukang ojek dari Sulawesi. Saudaranya beli
tanah dari orang Mandacan ditukar dengan mobil seharaga Rp. 70 juta. Setelah 3
tahun, tanah diminta kembali. Di atas tanah yang kini telah dibangun rumah
permanent dipalang. “Beli tanah di Papua sulit-sulit gampang. Tanah semua milik
adat. Jadi sertifikat tidak begitu penting. Dulu mungkin gampang beli tanah,
tapi sekarang pikir-pikir. Takut dipalang dan cari masalah dengan orang Arfak,”
ungkapnya.
Kota Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat dihuni oleh
suku asli Arfak. Empat suku asli Arfak tersebut adalah Suku Hatam, Moule,
Sough, dan Meyakh. Fam besar dari Suku Hatam yaitu Mandacan mengusai tanah di
Kota Manokwari. Suku asli Arfak lainnya mendiami wilayah sekitar Pegunungan
Arfak yang terbagi dalam lima Kecamatan yaitu Anggi, Warmare, Oransbari,
Ransiki, dan Minyambou. Di kawasan Pegunungan Arfak, suku Arfak mengenal
batas-batas wilayah hutan untuk dimanfaakan oleh masing-masing suku, disebut
tanah milik adat yang dalam bahasa Suku Hatam disebuh dengan Hanjop.
Mereka berdiri menjaga batas masing-masing wilayah dalam menjaga dan
memanfaatkan hasil hutan (Igya Ser Hanjop). (Laksono dkk, 2001)
Namun, pengusaan tanah ini berubah seiring dengan laju
perubahan sosial di Kota Manokwari. Banyak tanah-tanah adat yang lepas karena
desakan pembangunan gedung-gedung pemerintah dan fasilitas publik lainnya,
transmigrasi dan perekebunan sawit, dan sudah tentu ledakan penduduk pendatang
dan modal yang merongrong tanah Papua. Tanah adat atau tanah milik yang
bersifat kolektif inilah yang memantik masalah dalam jual beli, sehingga
kasus-kasus pemalangan kerap terjadi. Sertifikat saja tra (tidak) cukup
untuk “menjual” tanah di Papua, namun surat pembebasan dari Dewan
Adat.
Di tengah keterdesakan itu, sentimen identitas lokal
kesukuan dan perebutan kekuasaan lokal menjadi pentas pertarungan para
elit-elit lokal dan suku untuk menunjukkan jati dirinya. Di Manokwari
seruan-seruan bupati Manokwari harus dari suku Arfak pun terus berlangsung
kencang. “Demi kepentingan masyarakat Arfak, jangan ada orang yang berupaya
menghalagi atau membatalkan aspirasi masyarakat suku besar Arfak itu. Perlu di
catat, Bupati Manokwari kedepan harus orang asli Arfak,” pernyataan seruan dari
semua elemen Suku Besar Arfak yang dimediasi Forum Peduli Suku Besar Arfak
Menjadi Tuan di Negeri Sendiri dan Ikatan Mahasiswa Arfak (IMA). (Cahaya
Papua, 12 April 2010)
Refleksi: Bangsa di Garis Depan
Saya merasa, apa yang selama ini sudah saya baca tentang
studi Papua, mengalami masalah pendekatan yang kompleks. Kompleksitas itu
menyasar pada produksi pengetahuan tentang Papua yang diskriminatif,
kolonialistik dan tidak memanusiakan Bangsa Papua.
Penjajahan secara produktif dalam cara berpikir itu telah
dilakukan terhadap bangsa Papua melalui serangkaian teori dan pendekatan
politik budaya yang diskriminatif, dipraktikkan dengan massif dalam kerangkan
“pembangunan masyarakat tertinggal”. Maka tak heran jika citra Papua yang lahir
kemudian adalah tidak berbudaya, bodoh, terkebelakang, terasing, barbar.
“Indonesia dorang” merancang secara sistematis yang menempatkan Bangsa
Papua tidak punya kebudayaan. Kalaupun punya, derajatnya lebih rendah dari
kebudayaan Indonesia dan “terasing” tidak dinamis.
Pendekatan semacam itu tentu mengabaikan hati, perasaan,
pergolakan, kepedihan, siasat, dan resistensi yang dialami Bangsa Papua.
Kompleksitas sejarah dan status politik Tanah Papua dan heterogenitas bangsa
Papua seolah terlupakan. Rezim otoritarian Orde Baru sejak 1969 menjadikan
Tanah Papua sebagai objek pembangunan dengan penyeragaman di segala bidang
tanpa rekognisi pada perdebatan sejarah, status politik dan juga beragamnya
budaya di Tanah Papua. Pendekatan keamanan, kekerasan, dan kejahatan
kemanusiaan melahirkan tragedy kemanusiaan tanpa henti di Bumi Cenderawasih
ini. Sejarah ingatan penderitaan (memoria passionis) menjadi pengikat
yang paling ampuh untuk “melawan kehadiran Indonesia” yang tak akan lekang
ditelan jaman.
Pasca reformasi 1998, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua serta Inpres Nomor 1 Tahun
2003 tentang pemekaran daerah semakin mewarnai pergolakan kekuasaan terhadap
tanah Papua. Penetrasi agama, birokrasi, keamanan, pendidikan, dan investasi
modal melalui perusahaan multinasional semakin menjepit dan meminggirkan Bangsa
Papua di tanah kelahirannya sendiri. Menegakkan identitas Papua di tengah semua
kepungan itu sungguh sebuah perjuangan yang yang rumit. Kelokan-kelokan tajam,
transformasi, dan siasat Bangsa Papua menghadapi semuanya menjadi sebuah bagian
yang sungguh sangat penting untuk dicermati.
Masyarakat tempatan di Papua bisa dikatakan menjadi daerah
di garis depan (frontier) pertemuan kekuatan-kekuatan kapital global
dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan sumber daya manusia yang disebut oleh
Tsing (2005; Laksono, 2009) sebagai friksi. Dalam pertemuan di ruang-ruang frontier
itulah menuntut masyarakat tempatan untuk memanfaatkan peluang, bersiasat dan
sekaligus berpolitik. Di dalamnya akan dijumpai fragmen-fragmen yang
menunjukkan interkoneksi yang aneh, tak terduga, kreatif, dan tak stabil. Apa
saja akan menjadi komoditi, barang dagangan, direproduksi terus-menerus. Identitas
budaya bagi masyarakat tempatan pada dunia friksi ini menjadi sangat
problematik karena akan direproduksi terus-menerus dalam interkoneksinya dengan
kekuatan global dan siasat (berpolitik) yang tiada henti.
Bangsa Papua berada di garis depan pertarungan kekuatan
politik global dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia di Tanah
Papua. Menghadapi situasi tersebut, strategi pembangunan dan serangkaian
kebijakan politik struktural pemerintah menjadi “jauh dari bayangan” dan bahkan
menjadi serangkaian jejaring kekuasaan yang menipu. Menjadi penting dipikirkan
adalah bagaimana Bangsa Papua menghadapai situasi yang memarginalisasi? Oleh
sebab itulah praktik, taktik, dan siasat manusia menjadi penting dikemukakan.
Dalam siasat, manusia dihadapkan langsung dengan kenyataan di lapangan, fakta
di depan mata yang membutuhkan cara dan taktik untuk menghadapinya. Ini sangat
berbeda dengan strategi yang masih di atas meja atau kertas yang berupa
rancangan untuk menghadapi kenyataan (yang sering menjadi bahan analisis studi
kebijakan dan politik). Dalam siasat inilah, de Certau (1984) melihat bahkan
praktik keseharian manusia mengandung beragam makna dan pergolakan manusia dan
(politik) kebudayaan yang sering dilupakan dengan strategi yang menipu.
Dalam siasat, manusia langsung berhadapan dengan jejaring relasi kuasa yang
dibentuk oleh ruang yang memberikan kontes persoalan
tertentu.
Eksplorasi memetakan siasat dan kepentingan agen-agen
perubahan yang tidak pernah bersatu di Papua dalam studi Timmer (2007 dan
Chauvel, 2005) memberikan gambaran yang menarik. Maraknya pemekaran dan Otus
yang menjadi “gula-gula” pembangunan di Tanah Papua melahirkan ketergantungan
dan jejaring ekonomi politik di lingkungan elite Papua. Identitas kepapuan pun
terus bertransformasi dengan serangkaian resistensi terhadap kehadiran negara
(Indonesia) yang sudah kehilangan wibawanya di hadapan Bangsa Papua. Tuntutan
otsus yang lebih besar bisa dilacak mengalami diversitas di kalangan Bangsa
Papua sendiri antara ekspresi resistensi terhadap negara dan nasionalisme
perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Silang sengkarut itulah yang memungkinkan
kontestasi identitas-identitas sosial lokal, etnis, religius, dan regional di
Tanah Papua sebagai medium resistensi terhadap kehadiran negara.
Gerakan sosial dan sejarah masyarakat tempatan pasti
memiliki segudang kisah, narasi ditengah “kebisuannya”. Antropologi maju di
depan untuk bersama-sama masyarakat mengidentifikasi masalah dan merumuskan
secara bersama-sama narasi sejarah baru dari masyarakat tempatan. Ini dilakukan
agar antropologi tidak kekurangan bahasa untuk menafsirkan gejolak, gerakan
sosial dan sejarah masyarakat tempatan. Bersama-sama “menemukan diri” dengan
masyarakat tempatan, antropologi akan jauh dari tuduhan “pengingkaran
kemanusiaan” dan menggunakan wacana kebudayaan yang dipentaskannya untuk
meminggirkan kaum lemah di tengah belenggu kekuasaan dan kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Aditjindro, George.
2000
Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi,
dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Elsam.
Al Rahab, Amiruddin.
2010
Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme, Jakarta: Komunitas
Bambu, Imparsial dan Foker LSM Papua.
Chauvel, Richard.
2005
Consctructing Papua Nationalism: History, Etnicity and Adaptation. Washington:
East-West Center
Chauvel, Richard.
2008
“Rules in Their Own Country?: Special Autnonomy and Papuan Aspirations Have
been Thwarted by Jakarta and Hampered by the Administrative Fragmentation
Sponsored by Local Politians,” dalam Inside Indonesia.
De Certeau, Michel.
1984
The Practice of Everyday Life, California: University of California
Press.
Giay, Beny.
2000
Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran sekitar Emansipasi Orang Papua.
Jayapura: Deiyai/Els-ham Papua.
Hommers, Paulus L.
2003
“Kontroversi dalam Kasus Pemekaran Provinsi di Papua” dalam Jurnal Ilmu
Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih Vol.
1, No. 3, Desember 2003.
Laksono, P.M.
2009
“Intervensi PGR dalam Reformasi Pemerintahan di Papua dari Perspektif Sosial
Budaya” (paper tidak diterbitkan)
Laksono, P.M
2009
Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu: Memahami Invisibilitas
(Buday) di Era Globalisasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada
Mangunwijaya, Y.B
1987 Ikan-ikan Hiu, Ido,
Homa (Sebuah Novel Sejarah), Jakarta: Penerbit Djambatan.
Sumule, Agus.
2003
Satu Setengah Tahun Otsus Papua: Refleksi dan Prospek. Manokwari:
Yayasan Topang.
Tebay, Nales.
2009
Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, Jayapura: SKP.
Timmer, Jaap.
2007
“Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua” (h. 596-625) dalam Henk
Schulte Nordholt dan Gerry van Kliken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom
(eds), Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Buku Obor dan
KITLV-Jakarta.
Tsing, A.L.
2005
Friction: An Ethnography of Global Connection, Princeton and Oxford: Princeton
University
Press.
Widjojo dkk, Muridan.
2009
Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Past and Securing the
Future. Jakarta: Buku Obor, LIPI dan TIFA.
Internet
“Untuk Mama Papua, Bukan Pasar Biasa dalam
ttp://papuawoman.blogspot.com/2010/04/untuk-mama-papua-bukan-pasar-biasa.html.
(Diakses 20 Oktober 2010).
“Mama-mama Papua demo ke DPRD” dalam
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&jd=Mama-mama+Papua+Demo+ke+DPRD&dn=20100330221832.
Diakses 22 Oktober 2010.
[1] Lihat “Untuk Mama Papua, Bukan Pasar Biasa dalam
http://papuawoman.blogspot.com/2010/04/untuk-mama-papua-bukan-pasar-biasa.html.
(Diakses 20 Oktober 2010).
[2] Ibid
[3] Lihat “Mama-mama Papua demo ke DPRD” dalam http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&jd=Mama-mama+Papua+Demo+ke+DPRD&dn=20100330221832.
Diakses 22 Oktober 2010.
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli semarang/
BalasHapus- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli semarang/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli semarang/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli makassar/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli makassar/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli makassar/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli bogor/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli bogor/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli bogor/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli lampung/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli lampung/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli lampung/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli medan/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli medan/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli medan/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli pekanbaru/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli pekanbaru/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli pekanbaru/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli jakarta/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli jakarta/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli jakarta/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli denpasar/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli denpasar/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli denpasar/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli tangerang/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli tangerang/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli tangerang/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli batam/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli batam
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli batam/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli palembang/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli palembang/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli palembang/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat perangsang asli/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat perangsang cair/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/alat pembesar penis asli/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/titan gell/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/klg pills/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax canada/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax asli makassar/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax asli bali/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax izon original/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vgrex asli/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax asli bogor/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax asli makassar/
- http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax asli lampung/
>>>>Kontak Respons<<<<
....Cllg/Sms.082223570785
....Pin. DACF0162
....Whatsapp. 085880339433
Semoga BlogWalking Ini Sangat Bermanfaat
BalasHapusInformasi Pemesanan :
...>>>Cllg/Sms.085800038299
...>>>BBM.DACF0162
...>>>WHATSAP.082223570785
obat bius asli
obat bius cair
obat bius hirup
obat bius di bali
obat bius serbuk
obat bius di makassar
obat bius di lampung
obat bius murah
obat bius tradisional
bius di jakarta
obat bius di ampuh
obat bius di apotik
obat bius di bandung
obat bius di bekasi
obat bius trivam propofol
obat bius chlorophyll
obat bius chloroform
obat bius liquid sex
obat bius sleeping beauty
obat bius di soporific powder
obat bius di medan
obat pembesar penis
obat pembesar penis di pekanbaru
obat penirum asli
obat pembesar penis di medan
hammer of thor asli
forex asli
obat bius asli pekanbaru
obat bius di palembang
penirum asli
obat bius di jambi
obat bius di lombok
obat bius di papua