Label

Rabu, 11 Juli 2012

Politik Ruang Pasar dan Perjuangan Mama-Mama Papua




oleh I Ngurah Suryawan
Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua, Papua Barat.
Program Doktor (S3) Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ngurahsuryawan@gmail.com


ABSTRAK
Masyarakat tempatan di Papua bisa dikatakan menjadi daerah di garis depan (frontier) pertemuan kekuatan-kekuatan kapital global dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan sumber daya manusia. Persaingan memperebutkan akses ekonomi politik menjadi tak terhindarkan. Ketegangan (kekalahan) orang lokal Papua dengan para migran dalam merebut akses ekonomi sering disebut sebagai salah pemantik marginalisasi orang lokal Papua di tanahnya sendiri.


Ruang-ruang ekonomi seperti pasar, birokrasi dan tentu saja masuknya perusahaan multinasional menjadi ladang subur terciptanya persaingan. Salah satu potret nyata adalah perjuangan mama-mama Papua mendapatkan akses ke pasar untuk menjual produk hasil bumi mereka. Di Pasar Sanggeng Manokwari, Papua Barat misalnya, mama-mama Papua menggelar dagangan berjejer di tanah, sementara pasar tingkat yang menyediakan kios-kios dikhususkan untuk para pedagang yang memiliki modal besar untuk membayar sewa kios. Bahkan di Jayapura, mama-mama Papua berjualan di pinggir jalan berseberangan dengan Pasar Gelael, sebuah perusahaan supermarket mewah.  
Paper ini membahas bagaimana ruang-ruang publik, dalam paper ini adalah pasar, menjadi medium penting perjuangan mama-mama Papua untuk menunjukkan eksistensi mereka, dalam bentuk perjuangan hak untuk berdagang, di tengah ruang pasar yang dipenuhi oleh kuasa kapital dalam bentuk penyewaan kios-kios yang sebagian besar dikuasai oleh para migran.  

Kata kunci: masyarakat tempatan, frontier, ruang publik, politik ruang, kuasa kapital

Dua bulan yang lalu, saya sempat mengunjungi Pasar Gelael Jayapura. Dari sore hingga malam saya memperhatikan aktivitas mama-mama Papua yang sibuk berjualan. Dari sore hari mama-mama Papua berdatangan entah darimana mulai memenuhi halaman di depan pasar swalayan Gelael. Di lantai pertama adalah swalayan dan di lantai dua berdiri megah KFC. Mama-mama Papua berdatangan dengan membawa barang dagangan berupa sayur-sayuran, sirih pinang, buah-buahan, patatas, ubi dan lainnya. Dengan menggendong karung-karung, para mama ini mulai menggelar tikar dan alas seadanya untuk kemudian menggelar dagangannya. Sebagian dari mereka saya perhatikan mulai mengeluarkan barang dagangan dari karung kemudian menggelarnya dalam bagian-bagian kecil. Sementara saya melihat orang-orang berbaju seragam pegawai negeri keluar masuk Supermarket Gelael dan KFC. Mereka saya perhatikan berlama-lama berbelanja di dalam supermarket. Ada beberapa orang yang tampak bercengkrama di KFC.

“Sa setiap hari dengar di radio, atau dengar biasa pejabat dong pidato di depan kitorang bahwa sekarang itu su` ada Otsus, yang katanya bisa angkat torang orang Papua pu` derajat, tapi sampai hari ini torang tetap begini, baru kapan torang ini bisa seperti orang Cina dorang, Makate (Makassar), atau orang Jawa dorang, padahal ini kita pu` tanah, pemerintah harus bisa jawab ini semua, kami su` bosan dapat tipu !” [1]        
Khusus di Kota Jayapura, perjuangan SOLPAP (Solidaritas untuk Mama – Mama Pedagang Asli Papua) mulai bergulir sejak 2008 untuk menuntut pembangunan pasar bagi mereka.Serangkaian pertemuan dilakukan dengan Pemkot, DPRD dan DPRP, bahkan ketika itu sampai harus dialokasikan dana mencapai Rp 1 Milyard lebih untuk pembentukan Panitia Khusus (Pansus). Dari Pansus tersebut dibentuk lagi 3 Kelompok Kerja (Pokja), yakni Pokja Desain dan Konstruksi, Pokja Lokasi, dan Pokja Dana atau pembiayaan.Namun, dalam pertemuan dengan Pemkot 10 Oktober 2008, Pemkot mengaku tidak memiliki dana untuk itu dan menegaskan itu menjadi tanggung jawab Pemprov, dan pada 14 Oktober 2008 SOLPAP mencoba mengirim proposal namun tidak mendapat tanggapan. Setelah menanti sekian lama, akhirnya 14 September 2009 barulah mama – mama pedagang asli Papua bisa bertemu dengan Gubernur. [2]

Pada 30 Maret 2010, ratusan masa mama-mama Papua itu mendatangi gedung dewan Meski diguyur gerimis, tidak menciutkan semangat mereka dengan melakukan yel-yel dari Pasar Pharaa menuju gedung Dewan yang berjarak sekitar 3 Km itu. Meski sempat dihadang oleh Satpol PP di pagar masuk Kantor Bupati gunung Merah Sentani namun rombongan mama-mama Papua yang dikoordinir oleh Ibu Betty Warweri ini berhasil masuk ke dalam gedung DPRD Sentani. Mama-mama ini juga membawakan beberapa spanduk dan pamphlet yang rata-rata merupakan aspirasi mereka yang dituangkan ke dalam pamphlet dan spanduk tersebut. “Hapuskan system monopoli dagang komoditas asli Papua”, “Hentikan prkatek pendatangan orang non Papua menguasai meja-meja dan los-los di pasar baru pharaa Sentani”, Dagangan local khusus untuk pedagang asli Papua” [3]

Pasar, sebagai sebuah ruang sosial, bisa menjadi cermin dari masyarakat tempatan. Dari pasar, beragam persoalan bisa teruraikan. Salah satunya yang kelihatan paling kentara adalah persoalan akses ekonomi, perjuangan mama-mama Papua, dan jika ditelisik lebih dalam bisa menguraikan kompleksitas persoalan kesehatan, pendidikan, politik lokal, kekerasan dalam rumah tangga.
Kompleksitas persoalan itulah yang terjadi kini di Tanah Papua. Beragam persoalan muncul silih berganti, yang jika ditelisik lebih mendalam akan menggambarkan sebuah gambaran persoalan yang menunjukkan saling keterkaitan. Satu keputusan akan membawa implikasi yang kompleks pada berbagai persoalan. Paper ini berusaha mengeksplorasi kondisi pasar tradisional di Papua, khususnya di Pasar Sanggeng dan Wosi di Kota Manokwari, Papua Barat dan posisi mama-mama Papua dalam merebut akses berjualan di pasar tersebut.

Pemekaran daerah dengan munculnya daerah-daerah baru dan administratif serta dana Otsus menjadi “ruang” bagi mama-mama Papua untuk memperjuangkan identitasnya, akses mereka terhadap pasar dan keberlangsungan hidup mereka dengan berjualan di pasar tradisional. Namun sayangnya, kehadiran dana Otsus belum juga memberi keberpihakan pada perjuangan mama-mama Papua agar mendapatkan fasilitas pasar.   

Pasar Sanggeng dan Wosi
Memasuki Pasar Sanggeng Manokwari, Papua Barat pada suatu sore di bulan September 2009, saya melihat sebuah “garis pembatas” yang jelas. Banyak kesan, kisah, dan kompleksitas yang dapat saya tangkap.

Pasar Sanggeng berada di pinggiran pantai, dimana pasar ikan menjadi satu di dalamnya. Memasuki ruas jalan Pasar Sanggeng dari jalan umum, saya sudah disapa dengan tawa mama-mama yang menggelar dagangan hasil buminya. Berjejer mama-mama berdagang dengan alas plastik dan koran yang mulai basah. Beragam hasil bumi dijual hanya beralas koran atau karung. Dari mulai berbagai jenis sayur, cabai, ubi kayu, pisang. Berbagai hasil bumi ini dijual dengan mengelompokkannya. Seperti cabai atau sayur yang sudah dikelompokkan dan dikat dengan harga jual Rp. 3000-Rp. 5000. Sementara ubi kayu juga dijual sudah diikat-ikat. Rambutan pun demikian.

Sore itu suasana pasar sangat ramai. Mama-mama Papua berjualan bergelar karung dan koran, tepat berada di depan kios-kios triplek yang disewa untuk pedagang yang sepertinya berasal bukan dari Papua. Saya melihat baru memasuki Pasang Sanggeng, di kios triplek semi permanen adalah pejual gorengan, di sebelahnya adalah penjual mie ayam dan soto ayam. Berseberangan jalan adalah pedagang-pedagang baju, VCD dan DVD bajakan yang juga didominasi oleh para pedagang pendatang. Di ujung pasar adalah pasar ikan dan terminal angkutan kota. Bersebelahan dengan Pasang Sanggeng, terdapat pasang tingkat, yang sering disebut “pasting” tiga lantai yang didominasi oleh para pedagang pendatang berjualan berbagai jenis pakaian, peralatan elektronik, VCD dan DVD bajakan dan yang lainnya. Saya juga melihat beberapa sudut pasar yang didominasi oleh tukang cukur dan penjual emas di lantai dasar Pasar Tingkat Sanggeng. Sementara saat naik ke lantai 3 pasar, saya melihat penjual batik-batik Papua banyak yang berasal dari Sulawesi dan Jawa.      

Jalan menyusuri Pasar Sanggeng masih dari tanah, sehingga ketika musim hujan, seperti saat saya datang, air menggenang dimana-mana. Langkah saya kemudian menuju pasar ikan. Seikat ikan berisi 4 ekor ikan kecil-kecil dijual seharga Rp. 20.000. Suasana sore itu gaduh sekali. Perahu-perahu yang bersandar tampak sibuk menurunkan banyak ember-ember ikan. Saat si nelayan bersiap menurunkan hasil tangkapannya, para pedagang yang sudah tampak menunggu lama di pinggiran pantai berebut untuk mendapatkannya.

Di ujung dalam pasar adalah terminal angkutan kota yang menjadi salah satu pusat kesibukan jalur transportasi dalam Kota Manokwari. Saat saya bergegas menuju terminal, saya dihadang oleh seorang lelaki Papua. “Bos, minta uangnya.” Sontak saja saya terkejut. Saya melihat matanya sudah memerah dan jalannya sempoyongan. Saya menduganya sudah dalam keadaan mabuk.

Sepanjang ruas jalan menuju Pasar Sanggeng, ojek-ojek dan angkutan kota yang disebut “taksi” tampak hilir mudik. Di depan “pasting”, tampak berjejer ojek-ojek menunggu antrian. Saya perhatikan banyak dari mereka bukanlah orang asli Papua. Ojek yang saya tumpangi menuju kos berasal dari Sulawesi Toraja. Sebut saja namanya Azhar (32). Ia mengaku baru 3 tahun merantau ke Manokwari mengikuti saudaranya. Sebelum menjadi tukang ojek, Azhar sempat menjadi pegawai di sebuah perusahaan rokok hanya dengan gaji Rp. 600 ribu. “Mana cukup uang itu di Manokwari mas. Kalau di Jawa 5 ribu sudah dapat nasi ayam, di sini (Manokwari), bakso pun mungkin sekarang tidak dapat,” ungkapnya.


Politik Ruang dan Pemekaran Daerah
Sejarah Pemekaran dan Otonomi Khusus (Otsus) Papua dimulai dengan turunnya 2 Undang-Undang yang sama sekali tidak berjalan yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 45 tahun 1999 tentang pemekaran provinsi Papua menjadi tiga provinsi yaitu Provinsi Papua, Papua Tengah dan Papua Barat dan UU Nomor 5 tahun 2000. Setelah gagal dalam memberlakukan kedua UU tersebut dan untuk meredam perjuangan nasionalisme Papua untuk merdeka, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang Undang 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua (UU Otsus) yang ditandangani Presiden Indonesia ketika itu, Megawati Soekarnoputri dan mulai diberlakukan pada 21 November 2001. Dalam pasal 76 UU Otsus dinyatakan: “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.”

Namun, belum lama pelaksanaan UU Otsus, Pemerintah Indonesia melalui presidennya mengeluarkan Inpres Nomor 1 tahun 2003 untuk memberlakukan kembali UU nomor 45 tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Pemekaran terus berlanjut, hingga saat ini di papua sudah terdapat 36 kabupaten/ kota, tiga kali lipat jumlah kabupaten/kota sebelum reformasi. Proses pemekaran yang massif tersebut tentu melanggar pasal 76 UU Otsus dan menyingkirkan peranan MRP dan DPRP.

Proses Otsus dan pemekaran Papua mencita-citakan otonomi lebih besar bagi komunitas-komunitas Papua dan institusi-institusinya. Gagasan lainnya dari pemekaran Papua dari Freddy Numberi dan JRG. Djopari dalam Pokok-pokok Pikiran tentang Pemekaran Provinsi Papua adalah untuk memudahkan dan memperpendek rentang kendali pemerintahan, pelaksanaan  pembangunan dan peningkatan pelayanan dan pembinaan kemasyarakatan dan yang terutama adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. (Hommers, 2003: 18) Yang tak kalah pentingnya adalah Otsus dan pemekaran menawarkan bagian yang lebih besar dari pendapatan yang diperoleh dari proyek-proyek penyerapan sumber daya di Papua, termasuk 70% dari industri minyak dan gas dan 80% dari usaha-usaha pertambangan. Selain itu, Otsus melibatkan dana-dana khusus yang menguntungkan komunitas-komunitas pedesaan untuk jangka waktu 20 tahun. (Sumule, 2003; Timmer, 2007: 605)

Namun, otsus dan pemekaran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk Papua pasca reformasi sangat kental nuansa membelokkan tujuan gerakan-gerakan pembebasan Papua merdeka. Dengan demikian, otsus adalah momen transisi dari pemerintah Indonesia yang mengalami krisis dan otoritasnya sangat lemah. Tekanan dari gerakan pembebasan Papua Merdeka membuat pemerintah Indonesia berkepentingan untuk menancapkan kembali otoritasnya melalui otsus dan pemekaran daerah. Maka konsesi-konsesipun dilakukan agar Papua tetap menjadi bagian dari keutuhan negara Indonesia. (Widjojo dkk, 2009) 

Perspektif lain adalah dari studi Timmer (2007) yang menunjukkan bagaimana pemekaran sebagai proses “pemecahan kekuasaan” akhirnya mengarah kepada kontestasi para pejabat-pejabat lokal untuk mengakui tuntutan-tuntutan lokal untuk menjadi tuan di atas tanahnya sendiri. Di samping itu peringai elite politik yang haus kekuasaan semakin menjadi-jadi. Bayangan dari otsus dan pemekaran daerah adalah melahirkan posisi-posisi baru untuk pegawai negeri, peluncuran anggaran dan proyek semakin menguatkan keinginan dari pejabat lokal untuk mendukung pemekaran. Akhirnya yang terjadi adalah arena pertarungan untuk memperebutkan arena kekuasaan di kalangan pemerintahan (birokrasi) dan sudah tentunya sumberdaya alam yang melibatkan identitas-identitas lokal di tanah Papua.     

Sisi lain dari Otsus dan pemekaran menjadikan semakin tumbuh suburnya nasionalisme rakyat Papua. Sisi laten dari nasionalisme Papua adalah pengalaman orang Papua di bawah pemerintah Indonesia— seperti banjir pendatang, marginalisasi ekonomi, dan tindakan brutal oknum militer dan politik kepada rakyat Papua—semakin hadir di depan mata melalui kebijakan Otsus dan pemekaran. (Chauvel, 2008; Laksono, 2009)

Manokwari Papua Barat: Komplesitas Provinsi Pemekaran
Papua Barat menunjukkan pergerakan yang massif sebuah ibukota provinsi yang sedang menggeliat. Beragam infrastruktur pemerintahan dan ekonomi terus menerus hadir tanpa henti. Turun dari kampus Universitas Negeri Papua (UNIPA) di kawasan perbukitan Gunung Salju Amban, di perempatan Makalo sudah terpasang sebuah papan kecil yang menunjukkan identitas Kota Manokwari sebagai Kota Injil. Papan kecil itu bertuliskan, “Manokwari Kota Injil, di atas Tanah ini nama Yesus Dtinggikan”. Sebelum menuju salah satu pusat keramaian kota Manokwari di Sanggeng, pusat perbelanjaan Hady dan Swiss-Bell Hotel berdiri megah.

Penetrasi investasi modal berlangsung kencang di Manokwari. Diantaranya yang terbesar adalah investasi Grup Hady dengan Hadi Mall dan Hotel Swiss-Bell (Grup Choice yang memegang Hotel Mariot). Fulicia Manokwari membangun Hotel Meridien di Kawasan Sowi Gunung (hotel bintang 4 pertama di Manokwari). Ini tentu saja belum termasuk ratusan pedagang-pedagang dari Sulawesi, Jawa dan darah lain di Indonesia yang mengadu peruntungan di Manokwari, Papua Barat. Maka tidaklah heran jika pasar-pasar tradisional dan pusat-pusat keramaian di Papua Barat, di Kota Manokwari khususnya akan banyak ditemui pedagang-pedagang yang berasal dari Sulawesi dan Jawa. Jika lebih detail melihat, karyawan-karyawan toko-toko, kasir di supermarket hingga buruh angkut di pasar sangat jarang ditemui orang asli Papua.

Kota Manokwari juga menjadi sentral dari proses modernisasi dan perubahan sosial di provinsi yang baru terbentuk tahun 2003 ini. Kondisi inilah yang akan menghasilkan isu perubahan sosial yang kompleks, potensial untuk memberi pelajaran bagi pemahaman yang komprehensif tentang proses transformasi sosial budaya di Papua. Dewasa ini Pembangunan gedung-gedung kantor pemerintahan, toko-toko, hotel-hotel berbintang terus berlangsung tanpa henti. Manokwari menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, sosial politik dan kebudayaan selain tentunya Kota Sorong. Arus pendatang menuju Manokwari seolah tidak terelakkan. Berbagai macam peluang usaha di sektor ekonomi dan posisi-posisi birokrasi pemerintahan menjadi daya tarik. Jalur investasi juga terbuka melalui pembukaan perkebunan kelapa sawit, pendirian supermarket, dan pendirian hotel-hotel mewah.

Seiring dengan laju pembangunan dan modernisasi di Kota Manokwari—terutama sejak reformasi dan menjadi ibukota propinsi—beragam persoalanpun timbul. Persoalan kemiskinan rakyat di pegunungan masih menjadi hal yang sangat serius, program akses pendidikan juga sangat memprihatinkan. Pelayanan kesehatan kepada rakyat jauh dari kesan baik dan masalah HIV/AIDS yang terus menggerogoti kehidupan rakyat. Di tingkat pemerintahan, masalah korupsi dan perebutan kekuasaan antara kelompok-kelompok suku terus terjadi.

Pengalaman saya menaiki angkutan kota—di Manokwari atau di Papua pada umumnya disebut Taxi—menunjukkan gambaran yang semakin detail. Menaiki kode taxi 3 jurusan Amban-Sanggeng, taxi yang saya tumpangi—biasanya dari mobil carry—sungguh istimewa. Saat saya memasuki mobil, saya sudah disapa oleh dentuman musik reggae Bob Marley. Di pintu bagian dalam mobil, terpasang poster Che Guevara merah. Si sopir tampak kewalahan melayani penumpang hingga berdesak-desakan di mobilnya. Si sopir bukan orang asli Papua. Dia adalah orang Ambon yang sudah 5 tahun merantau di Manokwari. Sebelum menjadi sopir taxi, dia sempat bekerja menjadi tukang ojek dan pegawai di perusahaan ikan.

Manokwari kini tengah berkembang untuk mengaktifkan dirinya membangun hubungan dengan daerah lainnya. Salah satu persoalan terbesar yang selalu dihadapi di Tanah Papua; jarak dan transportasi. Daerah-daerah pedalaman sangat sulit dijangkau karena jarak yang jauh dan transportasi yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itulah pada tahun 2009 dibuka jalan darat antara Manokwari dan Sorong sejauh 600 km atau sama dengan jalan Semarang-Jakarta. Dengan dana Otsus 2009 untuk Papua Barat sebesar Rp. 1,118 triliun ditambah dengan dana alokasi khusus Rp. 600 milyar khusus untuk infrastruktur, seharusnya pelayanan pembangunan kepada masyarakat tidak diragukan lagi (Kompas, 23 Februari 2010). Namun tidak demikian yang terjadi.

Sektor-sektor ekonomi informal di Kota Manokwari dikuasai sebagian besar oleh pendatang yang sebagian besar berasal dari Sulawesi, Jawa, Maluku dan sebagian daerah lain. Ini belum termasuk pemasukan penduduk pendatang ke daerah-daerah transmigrasi yang tersebar di daerah-daerah pinggiran Kota Manokwari seperti Prafi, Waseki, dan Ransiki. Selain pertanian, perkebunan kelapa sawit menjadi pelahan lahan sekaligus pendatang terbesar yang mengincar Papua. Lalu bagaimana nasib warga asli Papua?

Mama-mama pedagang asli Papua masih menggelar dagangan hasil buminya beralas karung. Di Pasar Wosi, situasi itu kentara sekali terjadi. Para pedagang pendatang yang kebanyakan berasal dari Sulawesi dan Jawa mendapatkan lapak-lapak kios semi permanen. Mereka biasanya bejualan sandang, VCD/DVD dan kebutuhan lainnya. Jika yang memiliki modal lebih besar, mereka akan bisa menyewa kios yang lebih permanen di pinggiran pasar. Sementara mama-mama Papua berjualan di belakang pasar dari pendatang ini. Mereka berjualan berdesak-desakan dan hanya menggelar dagangannya di atas tanah beralas koran atau karung. Saat saya mengunjungi Pasar Wosi, suasana sangat padat. Banyak pembeli berseliweran dan ada beberapa anak-anak kecil yang menawarkan jasa mengangkut barang-barang dagangan dari para pembeli maupun para pedagang sendiri. Kondisi perekonomian masyarakat penduduk asli Papua sungguh terhimpit di tengah laju perkembangan Kota Manokwari dan banjir pendatang yang terus membanjiri Manokwari lewat kapal-kapal laut maupun mendarat di Bandara Manokwari.
Bukan hanya akses dan kebertahan ekonomi mereka yang mulai lambat-laun terpuruk.

Keberlangsungan “hidup” mereka dalam tanah pun mulai terongrong oleh cengkereman kuasa investasi global yang menerjang Papua dalam bentuk perkebunan sawit, ruko-ruko, perhutanan, mall-mall, hotel-hotel megah hingga masuknya pengusaha-pengusaha dan modal besar lainnya. Saya teringat saat saya menginjakkan kaki di Kota Manokwari pada Oktober 2009, saya melihat kampus Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari dipalang oleh Suku Arfak (Mandacan). Saya bingung dan mendapatkan informasi dari seorang pendatang sebut saja namanya Mulyana (34 thn), seorang tukang ojek dari Sulawesi. Saudaranya beli tanah dari orang Mandacan ditukar dengan mobil seharaga Rp. 70 juta. Setelah 3 tahun, tanah diminta kembali. Di atas tanah yang kini telah dibangun rumah permanent dipalang. “Beli tanah di Papua sulit-sulit gampang. Tanah semua milik adat. Jadi sertifikat tidak begitu penting. Dulu mungkin gampang beli tanah, tapi sekarang pikir-pikir. Takut dipalang dan cari masalah dengan orang Arfak,” ungkapnya.

Kota Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat dihuni oleh suku asli Arfak. Empat suku asli Arfak tersebut adalah Suku Hatam, Moule, Sough, dan Meyakh. Fam besar dari Suku Hatam yaitu Mandacan mengusai tanah di Kota Manokwari. Suku asli Arfak lainnya mendiami wilayah sekitar Pegunungan Arfak yang terbagi dalam lima Kecamatan yaitu Anggi, Warmare, Oransbari, Ransiki, dan Minyambou. Di kawasan Pegunungan Arfak, suku Arfak mengenal batas-batas wilayah hutan untuk dimanfaakan oleh masing-masing suku, disebut tanah milik adat yang dalam bahasa Suku Hatam disebuh dengan Hanjop. Mereka berdiri menjaga batas masing-masing wilayah dalam menjaga dan memanfaatkan hasil hutan (Igya Ser Hanjop). (Laksono dkk, 2001)

Namun, pengusaan tanah ini berubah seiring dengan laju perubahan sosial di Kota Manokwari. Banyak tanah-tanah adat yang lepas karena desakan pembangunan gedung-gedung pemerintah dan fasilitas publik lainnya, transmigrasi dan perekebunan sawit, dan sudah tentu ledakan penduduk pendatang dan modal yang merongrong tanah Papua. Tanah adat atau tanah milik yang bersifat kolektif inilah yang memantik masalah dalam jual beli, sehingga kasus-kasus pemalangan kerap terjadi. Sertifikat saja tra (tidak) cukup untuk “menjual” tanah di Papua, namun surat pembebasan dari Dewan Adat.  

Di tengah keterdesakan itu, sentimen identitas lokal kesukuan dan perebutan kekuasaan lokal menjadi pentas pertarungan para elit-elit lokal dan suku untuk menunjukkan jati dirinya. Di Manokwari seruan-seruan bupati Manokwari harus dari suku Arfak pun terus berlangsung kencang. “Demi kepentingan masyarakat Arfak, jangan ada orang yang berupaya menghalagi atau membatalkan aspirasi masyarakat suku besar Arfak itu. Perlu di catat, Bupati Manokwari kedepan harus orang asli Arfak,” pernyataan seruan dari semua elemen Suku Besar Arfak yang dimediasi Forum Peduli Suku Besar Arfak Menjadi Tuan di Negeri Sendiri dan Ikatan Mahasiswa Arfak (IMA). (Cahaya Papua, 12 April 2010)

Refleksi: Bangsa di Garis Depan
Saya merasa, apa yang selama ini sudah saya baca tentang studi Papua, mengalami masalah pendekatan yang kompleks. Kompleksitas itu menyasar pada produksi pengetahuan tentang Papua yang diskriminatif, kolonialistik dan tidak memanusiakan Bangsa Papua.
Penjajahan secara produktif dalam cara berpikir itu telah dilakukan terhadap bangsa Papua melalui serangkaian teori dan pendekatan politik budaya yang diskriminatif, dipraktikkan dengan massif dalam kerangkan “pembangunan masyarakat tertinggal”. Maka tak heran jika citra Papua yang lahir kemudian adalah tidak berbudaya, bodoh, terkebelakang, terasing, barbar. “Indonesia dorang” merancang secara sistematis yang menempatkan Bangsa Papua tidak punya kebudayaan. Kalaupun punya, derajatnya lebih rendah dari kebudayaan Indonesia dan “terasing” tidak dinamis.

Pendekatan semacam itu tentu mengabaikan hati, perasaan, pergolakan, kepedihan, siasat, dan resistensi  yang dialami Bangsa Papua. Kompleksitas sejarah dan status politik Tanah Papua dan heterogenitas bangsa Papua seolah terlupakan. Rezim otoritarian Orde Baru sejak 1969 menjadikan Tanah Papua sebagai objek pembangunan dengan penyeragaman di segala bidang tanpa rekognisi pada perdebatan sejarah, status politik dan juga beragamnya budaya di Tanah Papua. Pendekatan keamanan, kekerasan, dan kejahatan kemanusiaan melahirkan tragedy kemanusiaan tanpa henti di Bumi Cenderawasih ini. Sejarah ingatan penderitaan (memoria passionis) menjadi pengikat yang paling ampuh untuk “melawan kehadiran Indonesia” yang tak akan lekang ditelan jaman. 

Pasca reformasi 1998, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua serta Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemekaran daerah semakin mewarnai pergolakan kekuasaan terhadap tanah Papua. Penetrasi agama, birokrasi, keamanan, pendidikan, dan investasi modal melalui perusahaan multinasional semakin menjepit dan meminggirkan Bangsa Papua di tanah kelahirannya sendiri. Menegakkan identitas Papua di tengah semua kepungan itu sungguh sebuah perjuangan yang yang rumit. Kelokan-kelokan tajam, transformasi, dan siasat Bangsa Papua menghadapi semuanya menjadi sebuah bagian yang sungguh sangat penting untuk dicermati.

Masyarakat tempatan di Papua bisa dikatakan menjadi daerah di garis depan (frontier) pertemuan kekuatan-kekuatan kapital global dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan sumber daya manusia yang disebut oleh Tsing (2005; Laksono, 2009) sebagai friksi. Dalam pertemuan di ruang-ruang frontier itulah menuntut masyarakat tempatan untuk memanfaatkan peluang, bersiasat dan sekaligus berpolitik. Di dalamnya akan dijumpai fragmen-fragmen yang menunjukkan interkoneksi yang aneh, tak terduga, kreatif, dan tak stabil. Apa saja akan menjadi komoditi, barang dagangan, direproduksi terus-menerus. Identitas budaya bagi masyarakat tempatan pada dunia friksi ini menjadi sangat problematik karena akan direproduksi terus-menerus dalam interkoneksinya dengan kekuatan global dan siasat (berpolitik) yang tiada henti.

Bangsa Papua berada di garis depan pertarungan kekuatan politik global dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia di Tanah Papua. Menghadapi situasi tersebut, strategi pembangunan dan serangkaian kebijakan politik struktural pemerintah menjadi “jauh dari bayangan” dan bahkan menjadi serangkaian jejaring kekuasaan yang menipu. Menjadi penting dipikirkan adalah bagaimana Bangsa Papua menghadapai situasi yang memarginalisasi? Oleh sebab itulah praktik, taktik, dan siasat manusia menjadi penting dikemukakan. Dalam siasat, manusia dihadapkan langsung dengan kenyataan di lapangan, fakta di depan mata yang membutuhkan cara dan taktik untuk menghadapinya. Ini sangat berbeda dengan strategi yang masih di atas meja atau kertas yang berupa rancangan untuk menghadapi kenyataan (yang sering menjadi bahan analisis studi kebijakan dan politik). Dalam siasat inilah, de Certau (1984) melihat bahkan praktik keseharian manusia mengandung beragam makna dan pergolakan manusia dan (politik)  kebudayaan yang sering dilupakan dengan strategi yang menipu. Dalam siasat, manusia langsung berhadapan dengan jejaring relasi kuasa yang dibentuk oleh ruang yang memberikan kontes persoalan tertentu.         

Eksplorasi memetakan siasat dan kepentingan agen-agen perubahan yang tidak pernah bersatu di Papua dalam studi Timmer (2007 dan Chauvel, 2005) memberikan gambaran yang menarik. Maraknya pemekaran dan Otus yang menjadi “gula-gula” pembangunan di Tanah Papua melahirkan ketergantungan dan jejaring ekonomi politik di lingkungan elite Papua. Identitas kepapuan pun terus bertransformasi dengan serangkaian resistensi terhadap kehadiran negara (Indonesia) yang sudah kehilangan wibawanya di hadapan Bangsa Papua. Tuntutan otsus yang lebih besar bisa dilacak mengalami diversitas di kalangan Bangsa Papua sendiri antara ekspresi resistensi terhadap negara dan nasionalisme perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Silang sengkarut itulah yang memungkinkan kontestasi identitas-identitas sosial lokal, etnis, religius, dan regional di Tanah Papua sebagai medium resistensi terhadap kehadiran negara.         

Gerakan sosial dan sejarah masyarakat tempatan pasti memiliki segudang kisah, narasi ditengah “kebisuannya”. Antropologi maju di depan untuk bersama-sama masyarakat mengidentifikasi masalah dan merumuskan secara bersama-sama narasi sejarah baru dari masyarakat tempatan. Ini dilakukan agar antropologi tidak kekurangan bahasa untuk menafsirkan gejolak, gerakan sosial dan sejarah masyarakat tempatan. Bersama-sama “menemukan diri” dengan masyarakat tempatan, antropologi akan jauh dari tuduhan “pengingkaran kemanusiaan” dan menggunakan wacana kebudayaan yang dipentaskannya untuk meminggirkan kaum lemah di tengah belenggu kekuasaan dan kekerasan.


DAFTAR PUSTAKA

Aditjindro, George.
2000                Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Elsam.

Al Rahab, Amiruddin.
2010                Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme, Jakarta: Komunitas Bambu, Imparsial dan Foker LSM Papua.     

Chauvel, Richard.
2005                Consctructing Papua Nationalism: History, Etnicity and Adaptation. Washington: East-West Center

Chauvel, Richard.
2008                “Rules in Their Own Country?: Special Autnonomy and Papuan Aspirations Have been Thwarted by Jakarta and Hampered by the Administrative Fragmentation Sponsored by Local Politians,” dalam Inside Indonesia.

De Certeau, Michel.
1984                The Practice of Everyday Life, California: University of California Press.

Giay, Beny.
2000                Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran sekitar Emansipasi Orang Papua. Jayapura: Deiyai/Els-ham Papua.

Hommers, Paulus L.
2003                “Kontroversi dalam Kasus Pemekaran Provinsi di Papua” dalam Jurnal Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih Vol. 1, No. 3, Desember 2003.
Laksono, P.M.
2009                “Intervensi PGR dalam Reformasi Pemerintahan di Papua dari Perspektif Sosial Budaya” (paper tidak diterbitkan)

Laksono, P.M
2009                Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu: Memahami Invisibilitas (Buday) di Era Globalisasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada                          

Mangunwijaya, Y.B
1987      Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (Sebuah Novel Sejarah), Jakarta: Penerbit Djambatan.  

Sumule, Agus.
2003                Satu Setengah Tahun Otsus Papua: Refleksi dan Prospek. Manokwari: Yayasan Topang.

Tebay, Nales.
2009                Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, Jayapura: SKP.

Timmer, Jaap.
2007                “Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua” (h. 596-625) dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Kliken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom (eds), Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Buku Obor dan KITLV-Jakarta. 

Tsing, A.L.
2005                Friction: An Ethnography of Global Connection, Princeton and Oxford: Princeton University Press.                       

Widjojo dkk, Muridan.
2009                Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Past and Securing the Future. Jakarta: Buku Obor, LIPI dan TIFA.


Internet
“Untuk Mama Papua, Bukan Pasar Biasa dalam ttp://papuawoman.blogspot.com/2010/04/untuk-mama-papua-bukan-pasar-biasa.html. (Diakses 20 Oktober 2010).

“Mama-mama Papua demo ke DPRD” dalam http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&jd=Mama-mama+Papua+Demo+ke+DPRD&dn=20100330221832. Diakses 22 Oktober 2010.


[1] Lihat “Untuk Mama Papua, Bukan Pasar Biasa dalam http://papuawoman.blogspot.com/2010/04/untuk-mama-papua-bukan-pasar-biasa.html. (Diakses 20 Oktober 2010).

[2] Ibid

[3] Lihat “Mama-mama Papua demo ke DPRD” dalam http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&jd=Mama-mama+Papua+Demo+ke+DPRD&dn=20100330221832. Diakses 22 Oktober 2010.

2 komentar:

  1. - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli semarang/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli semarang/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli semarang/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli makassar/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli makassar/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli makassar/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli bogor/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli bogor/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli bogor/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli lampung/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli lampung/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli lampung/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli medan/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli medan/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli medan/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli pekanbaru/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli pekanbaru/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli pekanbaru/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli jakarta/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli jakarta/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli jakarta/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli denpasar/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli denpasar/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli denpasar/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli tangerang/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli tangerang/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli tangerang/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli batam/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli batam
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli batam/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat pembesar penis asli palembang/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat kuat asli palembang/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/hammer of thor asli palembang/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat perangsang asli/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/obat perangsang cair/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/alat pembesar penis asli/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/titan gell/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/klg pills/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax canada/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax asli makassar/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax asli bali/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax izon original/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vgrex asli/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax asli bogor/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax asli makassar/
    - http://obatkuatpriasemarang.wordpress.com/vimax asli lampung/
    >>>>Kontak Respons<<<<
    ....Cllg/Sms.082223570785
    ....Pin. DACF0162
    ....Whatsapp. 085880339433

    BalasHapus