Label

Rabu, 11 Juli 2012

Politik Ritual Kematian



oleh I Ngurah Suryawan

Sebuah keluarga besar berpakaian adat ringan tampak merangsek masuk ke sebuah gang kecil di pinggiran Kota Denpasar. Mereka adalah si bapak, istri, anak, menantu dan 3 cucunya bergegas menuju sebuah rumah di ujung gang. Di depan rumah, jejeran motor telah memenuhi sebagian ruas gang yang memang jauh dari luas. Beberapa orang yang juga berpakaian adat ringan duduk-duduk mengumpul dan ada beberapa orang yang bercengkrama. Mereka semua menunggu giliran untuk meluasang, nunas baos pada Jero Balian Tapakan di rumah itu. Ritual ini adalah untuk bertanya kepada balian, dukun, untuk berkomunikasi tentang berbagai hal kepada leluhur. Ruh para leluhur inilah yang akan merasuki Jero Balian Tapakan sehingga para pe-nunas baos akan bisa bertanya apapun kepada leluhurnya.


“Sampun polih nomer?” tanya seorang perempuan setengah baya yang sepertinya asisten Jero Balian Tapakan untuk memastikan apakah sudah mendapatkan nomor antrian. Si ibu dari keluarga besar dengan cepat menjawab, “Sampun-sampun, tiang polih nomor kalih.” (Sudah-sudah, saya mendapat nomor dua. “Jantos dumun, wusan niki ragane sampun,” lanjut si asisten Jero Balian Tapakan (Tunggu dulu, habis ini baru kalian).

Keluarga besar ini ingin bertanya tentang kumpi (buyut) di keluarga sang ayah. Dari tiga cucu di keluarga ini, belum ada satupun yang numadi, ngidih nasi (bereinkarnasi) dari sang kumpi. Semua yang bereinkarnasi justru dari leluhur yang tidak pasti diketahuinya. Keluarga ini curiga terkait dengan misteri kematian sang kumpi. Dan benar saja, saat mendapatkan giliran, sang kumpi melalui Jero Balian Tapakan berteriak lantang, “Peteng, Peteng…” (Gelap, gelap). Terang saja ini membenarkan kekhawatiran sang keluarga ada yang tidak beres pada arwah si kumpi.

Kumpi keluarga ini di tahun 1960-an adalah orang terpandang di desa. Menjadi seorang guru sekolah dasar, si kumpi menjadi salah satu generasi terpelajar di desanya. Pada suatu ketika, si kumpi ingin mematahkan dominasi kepala desa yang selalu dijabat oleh golongan bangsawan. Calon jagoan si kumpi adalah seorang sudra yang juga berprofesi sebagai guru dan kebetulan adalah penggerak massa organisasi Pemuda Rakyat di desa yang berafiliasi ke PKI (Partai Komunis Indonesia). Berbagai usaha menjaring simpati masyarakat desa dilakukan yang tentu saja menggerahkan kekuasaan golongan brahmana yang telah “berkuasa” berpuluh-puluh tahun di desa tersebut. Keteganganpun berlangsung yang melibatkan si kumpi, sehingga ketika terjadi Tragedi pembantaian terhadap orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI di tahun 1965-1966, puluhan pengikut si kumpi melarikan diri menyeberangi lautan menuju Pulau Lombok. Si kumpi yang diajak untuk melarikan diri bersikukuh untuk tetap tinggal di desa. “Cang sing pelih ngudiang megedi,” tandasnya lantang ketika itu (Saya tidak bersalah mengapa harus lari). Akhirnya, si kumpi hilang tanpa ditemukan mayat dan kabar berita lainnya hingga kini. Kabar terakhir yang diterima keluarga adalah si kumpi dibawa ke pantai untuk dibunuh. Hanya itu saja, tidak lebih.

Mendengar berita itu, keluarga tidak bisa menahan sedih. Isak tangis dan kepedihan meluap di rumah sederhana keluarga tersebut. Dengan sembunyi-sembunyi, keluarga kemudian melakukan ritual ngeteg, memanggil arwah si kumpi untuk dibawa pulang dan diupacarai. Keluarga melakukan ritual ngeteg di pantai dan kuburan desa, karena keluarga sama sekali tidak mengetahui di mana pastinya si kumpi dihabisi nyawanya. Masyakarat sekitar selalu berbisik menggunjingkan bahwa keluarga mereka adalah keluarga kene garis untuk menunjukkan terkena kasus G30S dan berhubungan dengan komunis. Merasa dikucilkan, keluarga tersebut melangkah dengan cemas jangan-jangan musibah akan menanti mereka saat berusaha mengupacarai si kumpi.

Ritual ngaben dengan kecemasan akhirnya bisa terlaksana tanpa jasad si kumpi. Hanya simbol adegan, sawa, yang menunjukkan “kehadiran” si kumpi. Sampai di sini, si kumpi telah dianggap berpulang, menyatu dengan tanah, api, dan air sebagai pembentuk manusia. Atma si kumpi telah berjalan jauh dengan kesengsaraan, kesepian dan ketakutan menuju jembatan oleng yang sering disebut titi ugal-agil. Dari sinilah atma akan menuju neraka atau sorga sesuai dengan karma (perbuatannya) di bumi. Bumi adalah “tempat dimana ada kematian” (mertyupada) yang dimatikan oleh kala atau waktu (Dharma Palguna, 2007: 97).

Meskipun secara ritual ngaben telah terlaksana dan ruh si kumpi dianggap telah lepas dari badan kasarnya, namun misteri kematian si kumpi tetaplah sebagai misteri. Selain itu, si keluarga juga kerap terganggu dengan mimpi-mimpi yang menggambarkan si kumpi masih hidup dan sekarang sedang bersembunyi di sebuah pulau seberang lautan yang sangat jauh. Dengan penuh rasa menduga-duga, keluarga masih belum tenang, meskipun ngaben telah dilangsungkan jauh hari di tahun 1960-an. Ritual ngaben ternyata tidak membunuh kecurigaan dan rasa ingin tahu keluarga bagaimana proses kematian—jika sang kumpi memang benar-benar mati—sang kumpi, dimana jasadnya, dan jika masih hidup dimana beliau kini?. Ada yang terputus dalam hal ini, terutama yang berhubungan dengan arti ritual secara keagamaan bagi pertanyaan keluarga yang ditinggalkan dan dampak ritual keagamaan terhadap “ketenangan”, “kerelaan” keluarga menerima kepergian salah seorang yang dicintainya.

Konsturksi dan “Kelas” Kematian
Pada konteks inilah sebenarnya ritual, selain salah satu jalan menuju keselamatan (salvation), juga membentangkan relasi yang problematik dengan konteks sekala, duniawi, yaitu pada relasi sosial politik masyarakatnya. Di Bali, ritual sering hanya dihubung-hubungkan hanya dengan dunia niskala, sebagai harmonisasi kehidupan alam dengan menghaturkan sesaji kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Sementara relasi ritual dalam duniawi, harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan, dan sesamanya sedikit terabaikan kalau tidak ingin dikatakan dilupakan. Ironisnya, semarak ritual juga beriringan dengan banyak manusia yang bunuh diri, pengerukan dan eksploitasi lingkungan untuk kepentingan pariwisata, dan semakin akrabnya manusia Bali mecokrah (berkelahi) antar sesamanya. Lalu dimana dampak ritual terhadap hubungan duniawi manusia terhadap lingkungan dan sesamanya?
Penyerahan dampak ritual hanya kepada alam niskala ternyata tidak cukup. Ada konteks dan relasi sosial yang mendasari dan berkontestasi dalam membentuk sebuah ritual. Kematian si kumpi dan “manusia merah” Bali lainnya dalam pembantaian massal 1965 sering disebut dengan ulah pati (kematian akibat kecelakan atau suatu hal). Kematian lain yang sering dikategorikan ulah pati adalah bunuh diri, kecelakaan lalu lintas, kematian korban bom, atau kematian puputan saat berjuang melawan Belanda dan yang lainnya. Kematian jenis lainnya adalah salah pati (kematian yang disengaja).

Santikarma (tt) justru mempertanyakan kategorisasi kematian ini. Ia menganggap bahwa kategorisasi ini dibuat oleh orang-orang yang hidup yang mempunyai kelas sosial sebagai pemimpin agama dan punya otoritas untuk mengklasifikasikan kematian orang. Orang yang mati sendiri tidak pernah membuat suatu kategori atas kematiannya. Oleh orang yang hidup ini kematian kemudian dibuatkan “kelas”-nya, distatistikkan dalam jejeran angka-angka seperti dalam kasus kematian manusia Bali akibat bunuh diri atau kecelakaan lalu lintas.

Pengkonstruksi juga terlihat jelas dari bagaimana manusia Bali yang mati saat tahun-tahun menyedihkan 1965-1966 dianggap sebagai “mati wajar” karena “kesalahannya”. Bagi keluarga korban yang kehilangan keluarganya di tahun ini sering disebut “Mati Gestok” dan sering dianggap sebagai “kematian yang bermasalah”. Masyarakat lain kebanyakan akan berlaku sinis dan menganggapnya “tidak ada masalah” dalam kematiannya. Kematian manusia Bali pada tahun 1965-1966 senyap dari pembicaraan, ritual-pun diadakan sembunyi-sembunyi, pemberiataan media massa juga tidak berlebihan memberitakan seperti ritual kematian korban Bom Bali 2002 dan 2005.

Kematiaan manusia Bali 1965-1966 dianggap “pantas” untuk dilupakan. Yang perlu diingat adalah kematian heroik Perang Puputan untuk melawan kolonialisme Belanda, atau kematian akibat kekejaman teroris melalui Bom Bali 2002 dan 2005 (Santikarma, 2003, 2007). Kematian akibat Bom Bali dinilai pantas untuk dibuatkan monumen dan dibuatkan ritual megah berbiaya ratusan juta yang didukung oleh negara dan elemen pariwisata. Sementara kematian manusia Bali di tahun 1965-1966 terkubur kisah-kisah sukses pembangunan dan pariwisata yang menjadikan manusia Bali yang santun dan ramah.
Pamarisudha Karipubhaya adalah ritual kematian Bom Bali 2002 yang berlangsung pada jumat, 15 November 2002. Makna ritual ini adalah pembersihan atau penyucian dari bencana—dari Pemarisudha yang berati pembersihan atau penyucian serta Karipubhaya yang berarti bahaya atau bencana. Ritual ini diliput media internasional dan didukung dana ratusan juta oleh pemerintah. Ribuan pasang mata melihat ritual ini untuk menunjukkan manusia Bali cinta damai, “Bali Love Peace”. Ritual ini juga bisa berarti “investasi” untuk pariwisata Bali secara niskala dan sekala. Tanah Bali telah disucikan Bali dan siap menerima ribuan turis dan harapan gemerincing dollar yang melimpah telah di depan mata.
Tapi kita lupa. Di tengah megah dan gemuruh glamour ritual-ritual, tanpa sadar kita telah meng-kelas-kan, mengkonstruksi ritual sesuai dengan kepentingan dan otoritas kita. Ada ritual yang pantas kita ingat, kita langsungkan dengan megah, bahkan dibuatkan monumen peringatan agar kita selalu ingat, dan ada tragedi kematian dan ritual yang kita senyapkan, kita lupakan karena itu akan mencoreng wajah kita sebagai manusia Bali yang katanya beradab dan berbudaya. Dengan ritual kita menunjukkan topeng kekejian kita untuk “mewajarkan”, “mensahkan” membantai sesama saudara sendiri.

I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar