Label

Selasa, 10 Juli 2012

Spirit dan (Praktik) Politik Kajian Budaya



Oleh I Ngurah Suryawan


“...Cultural studies adalah satu teori yang dibangun oleh para pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoritis sebagai praktik politik. Di sini, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa”
(Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik, 2004).


Kajian budaya (cultural studies) muncul menawarkan sebuah perspektif baru untuk memberikan makna
pada suara-suara perlawanan dan gugatan dari kelompok pinggiran. Berusaha untuk mengkritik kelompok dan budaya dominan (hegemonik), cultural studies (CS) sebagai praktik intelektual melepaskan dirinya dari kemandekan ilmu-ilmu sosial untuk menangkap fenomena-fenomena antah berantah, suara-suara keseharian yang sering dinggap “bukan budaya”. CS memfokuskan diri pada hubungan antara relasi-relasi sosial dengan makna-makna. Berbeda dengan "kritik kebudayaan" yang memandang kebudayaan sebagai bidang seni, estetika, dan nilai-nilai moral/kreatif, kajian budaya berusaha mencari penjelasan perbedaan kebudayaan dan praktek kebudayaan tidak dengan menunjuk nilai-nilai intrinsik dan abadi (how good?), tetapi dengan menunjuk seluruh peta relasi sosial (in whose interest?).


Kajian budaya membangun sebuah kerangka kerja yang berusaha menempatkan dan menemukan kembali kebudayaan dari kelompok-kelompok yang sampai sekarang dilupakan. Inilah awal diperhatikannya bentuk-bentuk dan sejarah perkembangan kebudayaan kelas pekerja, serta analisis bentuk-bentuk kontemporer kebudayaan populer dan media. Tidak seperti disiplin akademis tradisional, kajian budaya tidak mempunyai ranah intelektual atau disiplin yang terdefinisi dengan jelas. Ia tumbuh subur pada batas-batas dan pertemuan bermacam wacana yang sudah dilembagakan, terutama dalam susastra, sosiologi, dan sejarah; juga dalam linguistik, semiotik, antropologi, dan psikoanalisa.

Wardaya (2006) mengungkapkan, sebagai suatu kajian (studies), CS memfokuskan diri pada kajian atas makna dan praktik hidup manusia sehari-hari sebagai bagian dari masyarakat. Pengertian budaya (cultural) dalam CS lebih dimaksudkan sebagai bagaimana orang melakukan kegiatan tertentu dalam keseharian dan dalam suatu kelompok social-ekonomi tertentu. Para peneliti CS meyakini adanya suatu makna atau arti tertentu yang dimiliki oleh sekelompok orang dalam melakukan suatu kegiatan. Makna tersebut biasanya terlihat dalam kaitannya atau konteksnya dengan relasi kekuasaan. CS tidak ingin membatasi diri sebagai suatu kajian akademik yang mono-disiplin, melainkan melibatkan sebanyak mungkin ilmu-ilmu sosial yang relevan dalam upaya mengkaji kebudayaan. CS itu multidisipliner, ini bisa dilihat dipakinya istilah “studies” bukan “study”. Melalui “studies”, para peneliti CS bermaksud mengetahui bagaimana suatu proses ber-budaya (memproduksi kesadaran dan makna) memiliki implikasi sosial, ekonomi, dan politis. Secara umum CS ingin mengatakan bahwa masyarakat serta individu-individu yang hidup di dalamnya bukan lagi hanyalah merupakan peserta pasif dalam proses pembentukan budaya. Mereka itu aktif mencipta serta menafsirkan budaya, sekaligus melakukan resistensi.

Secara teoritik CS lahir dari tradisi perlawanan. Dalam praktik intelektualnya benih CS oleh para perintisnya berkehendak untuk melawan beragam alasan elitis yang membelenggu ilmu pengetahuan. Sunardi (2003) menguraikan, triumviri Richard Hogart, Raymond Williams, dan Edward P. Thompson mendapat termpat terhormat dalam studi kajian budaya karena studinya berkeinginan untuk melawan dengan caranya masing-masing. Williams ingin melawan gagasan elitis (untuk tidak mengatakan borjuis) ide tentang “budaya”. Thompson ingin melawan penulisan sejarah yang anti-rakyat. Hoggart ingin melawan asumsi bahwa mass-society buta dalam membaca budaya massa. Secara bersama-sama mereka ingin melakukan intervensi atas perjalanan sejarah masyarakat Inggris paska Perang Dunia Kedua, saat kapitalisme melakukan rekonstruksi diri (misalnya dengan konsep welfare state) dengan hasil yang cukup gemilang. Sebaliknya, partai politik—yang semestinya tanggap atas dilemma di sekitar rekonstruksi kapitalis ini—kehilangan imaginasi untuk menyusun agenda yang berakar pada kekuatan dan kesadaran kelas pekerja (Sunardi, 2003: 13).

CS kemudian mendapatkan wadah kelembagaannya ketika Hogart dkk mendirikan Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di University of Birmingham pada tahun 1964. Saat itulah wacana CS menjadi terlembaga, tidak lagi sporadis seperti sebelum tahun 1964. Hoggart bertindak sebagai direktur CCCS yang pertama dan kemudian digantikan oleh Stuart Hall pada tahun 1968. Sejak awalnya CCCS tertarik untuk mengkaji bagaimana pengalaman hidup sehari-hari dialami dan dimaknai oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Berkat pemikiran-pemikiran yang diolah dan dipublikasikan melalui CCCS menjadikannya institusi kunci bagi perkembangan CS. CCCS kemudian melakukan studi tentang tema-tema yang jarang disuarakan seperti tema-tema subkultur dan budaya-budaya yang terpinggirkan seperti persoalan ras, kelas, gender, budaya kaum muda, mode, musik, olahraga, karya-karya fiksi, dll. Tema-tema itu adalah tema yang jarang dikaji oleh pendekatan konvensional yang biasanya menekankan produk-produk budaya yang dipandang tinggi, adiluhung, dan cenderung elitis. Oleh sebab itulah CS sejak awalnyanya secara ideologis bersifat politis, dalam arti menjadi bagian dari upaya pemberdayaan terhadap kelompok-kelompok marginal (Wardaya, 2006).

Dalam praktik teoritiknya, CS menggunakan sangat banyak teori dari berbagai bidang, sehingga oleh Sunardi (2003), CS dianggap “rakus” untuk mengapropriasi banyak teori—marxisme, kritik sastra, ideologi, sejarah, hermeneutika, antropologi, sosiologi dan yang lainnya—sehingga CS terkesan ekletis. Kerakusan CS karena keinginannya akan sebuah perubahan. Perubahan yang mereka (CS) inginkan bukanlah perubahan evolusioner-Darwinian, nilai-nilai perubahan bukan diambil dari nilai-nilai yang sudah dirumuskan oleh sekelompok orang. Mereka menginginkan perubahan yang bertitik-tolak dari sejarah rakyat (people’s history). Mereka menginginkan nilai-nilai perubahan yang masih harus diformulasikan karena selama ini nilai-nilai tersebut tidak masuk dalam Budaya. Jadi, kerakusan teoretis kajian budaya didasarkan pada keniscayaan teori itu sendiri: politis dan historis. Politis berarti demi perubahan dan historis berarti berdasarkan kekuatan-kekuatan riil (Sunardi, 2003: 43).

Keberpihak CS juga terjadi dalam ranah akademik. CS berkeinginan untuk melepaskan diri sekaligus berpihak kepada ilmu sosial yang teorinya terbangun dari pergolakan rakyat kecil. Kehadiran CS juga sebagai “jalan alternatif” untuk mengatasi kebuntuan teori-teori dalam ilmu sosial. Oleh sebab itulah, Nur Aryani (tt) dengan mengutip Fredic Jameson (1995) mengungkapkan orientasi CS itu sendiri diharapkan mampu menjegal pendekatan ilmu sosial klasik; semacam projek untuk mencetak new historical bloc terhadap ilmu-ilmu sosial-humaniora lama. Hal yang mencolok dari perbedaan CS dengan wacana kebudayaan sebelumnya semisal sosiologi terletak pada pijakan dasar (ilmu pengetahuan) yang diterapkan. Beberapa teori itu antara lain, post-colonial studies, kajian media, iklan, semiotika, popular culture, hypertext theory, cognitive CS, dan lain-lain. Gejala yang mudah dibaca dari kegandrungan multidisipliner tersebut adalah munculnya negosiasi dan kontestasi yang kompleks antara Marxisme dan kajian semiotika serta tradisi-tradisi sosiologi dan etnografi. Pada beeberapa tahun kemudian, studi ini menghasilkan "pohon-pohon" besar, seperti teori subkultural dan studi media (media studies). Kemudian, dengan berkembangnya minat pada Gramsci, kajian tadi meningkatkan pertanyaan-pertanyaannya pada soal rasisme, hegemoni.

Dalam ranah teoritik, genealogi CS mengarah kepada dua jalur besar aliran. Jalur pertama adalah mereka yang melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni. Istilah hegemoni, kita tahu, berasal dari Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia. Hegemoni berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan cara paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Kebudayaan bukanlah ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencerminkan identitas kolektif, melainkan alat yang memungkinkan hegemoni itu berfungsi dalam sistem dominasi. Perintis jalur ini adalah Raymond Williams, ketika ia mengkritik fenomena terlepasnya "budaya" dari "masyarakat" dan terpisahnya "budaya tinggi" dari "budaya sebagai cara hidup sehari-hari". CS jenis ini lebih menekankan pembacaan budaya sebagai tindakan kontra hegemoni, resistensi terhadap kuasa "dari atas", dan pembelaan terhadap subkultur.

Sementara itu, CS jalur kedua, yang mendapat banyak pengaruh dari pemikiran poststrukturalisme Prancis, terutama Michel Foucault, menggeser perhatiannya dari kontra hegemoni dan resistensi terhadap kuasa "dari atas" menuju perayaan terhadap kemajemukan satuan-satuan kecil. Kebudayaan dilihat sebagai wacana pendisiplinan dan normalisasi, yang tidak tepat dihadapi dengan macro-politics karena relasi kuasa bukanlah melulu bersifat vertikal (negara versus masyarakat). Bagi Foucault, kekuasaan bersifat menyebar dan merata dalam setiap hubungan dalam masyarakat, dan karena itu hanya bisa dihadapi dengan semacam micropolitics, yang pernah dirumuskannya sebagai insurrection of the subjugated knowledges (membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan). Pada titik inilah CS tegak berdiri. Kajian-kajian dengan label multikultural, postkolonial, feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna, untuk menyebut beberapa yang menonjol, adalah upaya membangkitkan pengetahuan tertekan itu (Nur Aryani, tt dengan mengutip Simon During, Cultural Studies Reader, 1993).

Stuart Hall dalam Barker (2005: 6) mengungkapkan bahwa kajian budaya adalah politik. Artinya adalah kajian budaya selalu berhubungan dengan persoalan-persoalan kekuasaan dan politik, dengan menekankan pentingnya perubahan dan representasi dari dan “untuk” kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, terutama kelas, gender, dan ras (tapi juga kelompok usia, orang-orang cacat, kebangsaan dsb). Dengan demikian, kajian budaya adalah sebuah teori yang dihasilkan oleh para pemikir yang menganggap produksi pengetahuan teoritis sebagai sebuah praktik politis. Di sini pengetahuan tidak pernah dipandang sebagai fenomena netral atau objektif, melainkan sebagai persoalan posisionalitas, persoalan dari mana, kepada siapa, dan dengan tujuan apa seseorang berbicara. Dengan demikian kajian budaya memfokuskan studinya salah satunya adalah pada kekuasaan—selain soal representasi, materialisme dan nonreduksionisme, artikulasi, budaya popular, teks dan pembaca, subjektifitas dan identitas—yang meresapi semua level hubungan sosial. Kajian budaya menunjukkan minat khusus pada kelompok-kelompok yang tersubordinasi, semula hanya dalam pengertian kelas, dan kemudian juga kelompok ras, gender, bangsa, usia, dll. Kajian budaya adalah sebuah formasi diskursif, yaitu ”sekumpulan (atau formasi) gagasan, citra, dan praktik yang menyediakan cara-cara untuk berbicara tentang, menyediakan bentuk-bentuk pengetahuan dan tingkah laku yang diasosiasikan dengan, suatu topic, aktivitas sosial atau wilayah institusional tertentu dalam masyarakat. Kajian budaya terbentuk dari suatu cara berbicara yang teregulasi tentang objek-objek (yang dibuatnya menjadi tampak) dan menyatu di sekitar konsep, gagasan, dan persoalan-persoalan kunci. Kajian budaya juga punya suatu momen di mana ia menamakan dirinya, meski penamaan itu hanya menangkap sepotong atau hanya satu potret dari sebuah proyek intelektual yang terus berkembang.

Kajian budaya tertarik pada segala macam praktik, lembaga dan sistem klasifikasi yang memungkinkan ditanamkannya nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, kompetensi-kompetensi, rutinitas hidup dan bentuk-bentuk perilaku khas yang menjadi kebiasaan suatu populasi. Kajian budaya juga mengeksplorasi berbagai macam bentuk kekuasaan, termasuk gender, ras, kelas, kolonialisme, dll. Kajian budaya bermaksud mempelajari bagaimana bentuk-bentuk kekuasaan ini saling berhubungan, serta mengembangkan cara-cara untuk memahami budaya dan kekuasaan yang bisa digunakan oleh mereka yang menjadi agen dalam upaya melakukan perubahan. (Barker, 2005: 9).


I Ngurah Suryawan, alumni Program Magister Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana 2008. Kini Mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Gadjah Mada.

1 komentar:

  1. Patut dibedakan antara cultural studies dan the study of culture..

    Filsafatmazhabkepanjen.blogspot.com

    BalasHapus