Label

Rabu, 11 Juli 2012

Agama, Ritual, dan Kuasa




oleh I Ngurah Suryawan

Ritus, ritual, upacara adalah agama dalam tindakan untuk mencari jalan keselamatan (salvation). Keselamatan adalah tujuan dari kehidupan beragama dan juga dari serangkain ritual yang dilakukan oleh agama-agama. Agama praksis yang terdapat dalam ritual menjadi cermin dari serangkaian aktivitas pendukung ritus tersebut. Ritual, upacara, dan ritus-ritus yang dilakukan pemeluk agama pasti mempunyai mitos tertentu. Selain itu, dalam ritual terdapat hubungan erat antara mitos, suatu dongeng suci dari suatu bangsa dengan aktivitas ritual, tingkah laku moral, organisasi sosial, bahkan aktivitas politik suatu masyarakat (Dhafamony, 1995; Suhardi, 2009: 12).


Kategori ritual yang sering digunakan adalah ritual sekuler, semi-religius, dan ritual agama. Ritual sekuler, profan dianggap berfungsi sosial politik seperti parade, karnaval, pelantikan pejabat, peringatan hari besar dan lainnya. Jenis ritual ini bertujuan secara implisit untuk mempertebal sentimen masyarakat dan kesadaran politik. Ritual semi-religius adalah ritual lingkaran hidup manusia seperti pawiwahan (perkawinan), metatah (potong gigi), menek kelih (ritual beranjak dewasa dalam tradisi Hindu Bali). Ritual jenis ini mempunyai tujuan sekuler, tetapi juga secara jelas dan pada hakekatnya didasarkan pada sesuatu yang disakralkan. Sementara ritus agama adalah upaya yang sungguh-sungguh berupaya untuk mencari jalan keselamatan jiwa melalui pola peribadatan dengan tujuan utama menjalin komunikasi antara manusia dengan alam transenden. Ketiga kategori ritus itu pada hakekatnya menempatkan manusia dan lingkungannya sebagai agency terpenting yang menggerakkan ritus tersebut. Dalam ritual yang sering dilakukan, transformasi dan beragam kepentingan yang menjalankan ritus menjadi poin yang sangat penting. Oleh karena itu ritus dengan berbagai mitos, aturan serta pelaksanaannya bisa berubah.

Relasi ritual dengan lingkungan sosial politik seharusnya menjadi refleksi yang mendalam. Berbagai ritual-ritual yang berlangsung dengan tujuan untuk mencari keselamatan (salvation), harmonisasi serta keseimbangan alam justru melahirkan situasi yang ironis dan ambigu. Ritual berlangsung gemuruh sementara rentetan bencana seolah tak henti mendera kehidupan manusia. Dharma Palguna (2006) mengungkapkan bagaimana “ritual-ritual agama” di Bali dulunya dijaga dengan mantra-mantra kini justru dijaga oleh sepasukan pecalang (barisan pengamanan adat di Bali) dan pemeriksaan metal detector (saat ritual Pamarisudha Karipubhaya Bom Bali 2002 dan 2005). Orang-orang Bali kini gencar dan bersemangat melakukan berbagai macam ritual dengan megah dan spektakulaer. Tapi justru saat itu pula rangkaian bencana sambung menyambung tanpa henti mendera Bali. Bukan hanya bencana yang datang dari luar, namun juga bencana dari dalam masyarakat Bali sendiri.

Ritual salah satunya mempunyai sifat yang rahasia (rahasya), jauh dari keramaian , bunyi-bunyian dan bau-bau yang tidak relevan. Jumlah orang yang ada dalam lokasi ritual juga terbatas dan lingkungan ritual juga telah dijaga secara mistis (sengker). Tujuannya agar pikiran buruk tidak masuk dalam lingkaran mistis (sesengkeran) sehingga tujuan ritual menjadi berhasil (tepet). Namun, orang-orang Bali kini tidak menghiraukan kerahasiaan, sekaralan ritual tersebut. Ritual dibuat menjadi event keramaian. Semakin ramai semakin membanggakan (Dharma Palguna, 2006: 150-151). Maka ada pertunjukan, ada jamuan, ada undangan untuk pejabat pemerintah yang menyerahkan sumbangan dan membuka ritual. Para pejabat ini biasanya akan didaulat untuk peletakan batu pertama jika ada ritual pembangunan pura, mendem pedagingan (meletakkan sesaji di bawah tanah) saat ritual peresmian pura berlangsung yang semestinya dilakukan oleh pendeta atau pemangku. Ritual tambah megah dan tinggi statusnya jika ada pemberitaan di media massa dan elektronik, dimuat dalam durasi 30 menit oleh stasiun TV lokal Bali TV dalam program Nangun Yadnya (menyambut ritual keagamaan).

Konteks yang diungkapkan oleh Dharma Palguna (2006) sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Dhafamony (1995) yang mengungkapkan bahwa ritual, upacara bukan ditanamkan dengan rasionalitas melalui rasionalisasi-rasionalisasi, namun perilaku ritual lebih bersifat simbolik. Dari pelaksanaan ritual diharapkan sesuatu perubahan dari manusia menuju situasi yang “agamais” atau menuju yang “kudus”. Manusia diharapkan bertransformasi menuju situasi yang “lain sama sekali”.

Namun, konteks ritual menuju transformasi manusia yang “agamais” melupakan bahwa konteks selain sebagai praktik keagamaan juga menyiratkan relasinya dengan kehidupan sosial politik ketika ritual berlangsung. Ritual kematian di Bali misalnya bukan hanya persoalan lepasnya “badan kasar” dari “badan halus” serta bersatunya jasad manusia ke alam pertiwi, paramaatman (menyatunya atma dengan paramataman, Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa), namun seperti dipertanyakan oleh Santikarma (2004) berakhirnya hidup di Bali juga persoalan sosial yang berhubungan dengan soal status. Upacara kematian memunculkan argumentasi seperti, sejauh mana besar skala upacara? Siapa yang memimpin upacara, pendeta brahmana atau bukan? Berapa tinggi usungan jenazah? Bagi mereka yang anggota keluarganya raib akibat pembantain massal 1965 kekisruhan muncul dalam menentukan status kematian: apa kematian mereka dianggap sebagai salahpati (bunuh diri) atau ulahpati (kecelakaan)? Keputusan ini nanti berpengaruh terhadap rangkaian sarana sesajen atau banten yang akan dipakai.

Ritual ngaben bagi keluarga yang ditinggalkan belum tentu berlangsung lancar. Banyak orang-orang Bali yang terkena musibah kematian harus tertimpa tangga bersitegang untuk mendapatkan setra (kuburan) untuk ngaben. Tidak tanggung-tanggung kemarahan warga ditunjukkan dengan menggeletakkan jasad di tengah jalan atau bahkan menghadang warga yang “bermasalah” untuk menguburkan atau meng-ngaben-kan jasad di setra. Lemparan batu dan umpatan pada sesama krama (warga) satu desa tidak sulit dilakukan karena dianggap telah melanggar awig-awig dan tidak memenuhi kewajiban sebagai krama adat. Saya sempat berada di tengah-tengah seorang warga di Desa Yangapi, Kabupaten Tabanan, yang di-sepekang (dikucilkan) dan mempunyai musibah kematian tapi dihadang penguburannya oleh krama adat. Setra dipagar dan puluhan krama melempari rumah warga yang dikucilkan. Akhirnya keluarga ini memilih untuk menguburkan jasad salah satu anggota keluarganya di setra desa tetangga.

Majalah Sarad (No. 68 Desember 2005) mengungkapkan bahwa bersitegangnya manusia Bali meraih setra disebabkan karena ada kelompok-kelompok dalam desa yang mulai menyimpang dari aturan desa yang disepakati bersama. Pemantik lainnya adalah soal kasta dan wangsa. Warga yang merasa berasal dari kasta lebih tinggi sering kali tidak tidak mau mengalah dan tetap merasa diri di atas rata-rata warga yang dari pandangan mereka berkasta lebih rendah. Ujung-ujungnya mereka yang berkasta lebih tinggi minta diperlakukan lebih istimewa, termasuk bebas dari urunan (sumbangan wajib) dan ayah-ayahan (kewajiban) sebagai krama desa adat/pakraman.

Bertitik tolak dari konteks di atas, Balandier (1984) melihat adanya relasi agama dan kekuasaan dalam masyarakat tradisional yang ditunjukkan dengan kekuasaan raja-raja dan kepala klan untuk untuk meneruskan wejangan leluhurnya kepada anggota klan yang masih hidup. Dalam masyarakat modern, kekuasaan tidak pernah kosong dari kandungan religiusnya, yang meskipun susut, tidak menonjol, namun masih saja membekas. Adalah sifat kekuasaan untuk mempertahankan suatu agama politis, entah secara gamblang atau terselubung.

Ritual yang disakralkan diungkapkan oleh Balandier (1984) sebagai pintu masuk kekuasaan untuk campur tangan. Masyarakat pendukung ritual juga rindu dengan ketertiban dan keselamatan yang dijanjikan oleh ritual yang “disakralkan” tersebut. Cara kekuasaan untuk masuk adalah “mengusai” atau menyiapkan penafsiran tunggal atas sistem-sistem makna yang terkandung dalam simbol-simbol agama dan menguasai struktur-struktur sosial dan proses-proses psikologis dari sebuah studi antropologi agama yang disebutkan oleh Geertz (1992).

Ketika tahun 1965, upacara mengantar kepergian roh korban yang tidak ditemukan mayatnya berlangsung hanya diantara keluarga. Ketika suami, ayah atau sanak keluarga mereka dikabarkan telah luas ke Jawa (pergi ke Jawa), istilah untuk memberikan kesan tidak ada harapan lagi pada keluarga dan bisa dipastikan anggota keluarga mereka telah terbunuh, entah dimana. Sejak mendengar kabar itulah, para keluarga korban berinisiatif menanyakan dimana tempat anggota keluarga mereka dibunuh. Itupun kalau diketahui. Kalau tidak, pihak keluarga akan mencari informasi dan mendatangi kuburan-kuburan desa terdekat untuk memanggil roh korban untuk diaben tanpa mayat, hanya dengan simbol adegan/sawa seperti yang dilakukan saat upacara atma papa.

Tapi, yang berbeda, ketika para keluarga melakukan upacara pengabenan tanpa mayat itu, pemerintah, negara belum sepenuhnya mendukung. Pedih dan derita tentu tidak bisa dihapuskan dari para keluarga korban. Sikap pasrah juga mengundang tanya akan dimana jenazah anggota keluarga kami?, Dimana ia dikuburkan?, Dimana dan siapa yang membunuh? Atau pertanyaan lain yang tidak akan mungkin dijawab oleh negara. Yang bisa dilakukan negera belasan tahun kemudian setelah ’65 adalah menutup rapi cerita pedih itu dengan serangkaian upacara pembersihan bumi Bali dengan ritual megah dan mewah. Ini untuk menunjukkan tanggung jawab negara terhadap masyarakatnya. Sementara negara melakukan upacara pembersihan megah--Pamarisudha Karipubhaya untuk korban Bom Bali 2002, ruh yang sengsara dalam ritual Atma Papa di Buleleng ini—saksi-saksi bisu pembantaian massal di Bali masih terus menyimpan kepedihan dari ingatan sosial masyarakat tentang pristiwa kekerasan dan pembantaian massal di Bali.
Kuburan-kuburan massal hadir berdampingan dengan kemegahan upacara untuk melakukan pembersihan terhadap bumi Bali. Politik upacara telah menenggelamkan dan menutup rapi ingatan akan kekerasan para korban. Semuanya telah dinormalisasi kembali dengan upacara, ritual megah dan berwibawa untuk menutup kebenaran atas nama Tuhan, Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Ritual yang berelasi dengan politik adalah hal yang pasti. Ritual itu sejatinya adalah sebuah pentas dan drama politik. Dalam hal yang ekstrim politik dan ritual saling melayani. Dalam kedua kepentingan inilah kuasa menjadi pengikat mereka. Semua kekuasaan membutuhkan ritual untuk legitimasi dirinya. Dalam posisi ini, negara memberikan ruang untuk terjadinya ritual-ritual yang megah, glamour. Negara menciptakan ruang pada masyarakat untuk terus-menerus melakukan upacara-upacara yan megah tanpa henti. Support negara ini tidak tanggung-tanggung untuk menunjukkan negara berada dibelakang masyarakat dan mendukung upacara yang dilakukan masyarakat. Meriah dan megahnya upacara menjadi cerita dan keseharian orang Bali. Pembangunan pura mengundang pejabat dan pemerintah daerah untuk peletakan batu pertama. Upacara Ngenteg Linggih, Memungkah, Ngusaba Desa, Ngusaba Nini dan lainnya mengundang pejabat untuk memberikan sambutan. Dalam sambutan ini, si pejabat bahkan langsung menyerahkan bantuan puluhan juta rupiah. Masyarakat senang dan menyabutnya dengan meriah. Berikutnya, dharma wacana (petuah-petuah) membahas perilaku upacara, tidak boleh seperti ini, tidak boleh seperti itu. Ini upacara yang benar, itu salah berulangkali terdengar. Petuah-petuah itu menjadi menarik diselingi dengan guyonan segar, seperti pertunjukan lawak bukan dharma wacana.

TV lokal (baca: Bali TV) menyadari pasar untuk masyarakat “penggemar” upacara ritual, bahkan membuat program khusus Nangun Yadnya (menyambut persembahan suci pada Tuhan/Upacara Ritual) dan tayangan berseri petuah-petuah dari pedanda (pemimpin umat Hindu) yang digemari karena leluconnya dan “disiplin” dalam beragama. Diundangnya pejabat dalam menyaksikan upacara adalah ukuran dari kewibawaan, status. Juga bagaimana kemegahan upacara di rancang adalah perwujudan dari kemampuan dan derajat serta posisi di masyarakat. Ritual-ritual yang menjadi musim di Bali menunjukkan bagaimana beragama, bermasyarakat diwujudkan dengan tingkah social masyarakatnya dalam melakukan upacara.

Ritual adalah jantung kebudayaan Bali yang kemudian berada di tangan negara sebagai ruang untuk kontestasi. Di dalamnya gugatan, konflik meletus kepermukaan, tapi pada saat yang bersamaan solidaritas, konsensus dan kebersamaan juga mencuat. Ruang-ruang ambiguitas inilah yang diinginkan oleh negara pada masyarakatnya. Pada saat tertentu timbul gugatan, tapi pada saat yang lain timbul juga solidaritas dan kebersamaan untuk mendukung upacara. Politik ritual seperti ini melibatkan pemain-pemain budaya Bali menjadi pion-pion dan penghubungnya. Pejabat pemerintah, elite dan broker politik bahkan pejabat adat di desa-desa.

Dalam konteks ini, upacara bukan hanya menjadi alasan tertib kosmis, keseimbangan alam yang sering terdengar dalam ceramah-ceramah agama, tapi juga bisa menjadi total relasi dari kepentingan negara/pemerintah daerah dan lembaga umat PHDI dengan masyarakat sebagai pengayahnya (pelayannya) dalam upacara-upacara besar keagamaan. Jika pada zaman kolonial, raja-raja di Bali menjadi patron kuat kekuasaan bagi abdinya. Semua relasi kekuasaan itu ditujukan ke arah pertunjukan, upacara, ke arah dramatisasi di muka umum dari obsesi-obsesi utama budaya Bali; derajat sosial dan kebanggaan status (baca: relasi kuasa). Geertz (2002) melatakkan dasar awal bagaimana upacara, negara, masyarakatnya kemudian berelasi kuat sampai saat ini dengan kekusaan yang ada dalam “imaji”, dalam bayang-bayang pengikut ritual tersebut. Akhirnya, kekuasaan melayani upacara dan juga pada titik tertentu upacara juga melayani kekuasaan.


I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar