Oleh I Ngurah Suryawan
Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA)
Manokwari, Papua Barat
Saat saya memulai studi tentang Tragedi 1965 di Bali tahun
2002, saya masih ingat sekali dua cerita berbeda yang saya temukakan saat ngerembug,
ngobrol-ngobrol di sebuah warung di sebuah desa di ujung barat Pulau
Bali. Cerita pertama adalah ocehan seorang tetua desa, yang saya kira adalah
salah satu orang terpandang di desa, tentang sebuah keluarga yang juga tetangga
sebelah rumahnya. Keluarga ini kini menjadi salah satu keluarga yang ”maju”,
disegani karena hampir sebagian besar anggota keluarganya ”sukses”. Ada yang
menjadi dokter, dosen, pengusaha property sukses bahkan ada diantaranya yang
menjadi arsitek yang bekerja di sebuah negara bagian di Amerika.
Si bapak tetua desa ini bercerita, ”Sing ngaden kene
dadine jani panak-panakne. Bapane pidan kene garis, jemake peteng-peteng dadi
jatah,” ujarnya dengan nada sinis. (Saya tidak mengira seperti ini sekarang
(kesuksesan) anak-anaknya. Bapaknya dulu kene garis (tersangkut PKI), diambil
malam-malam sebagai jatah (salah satu korban yang dibunuh). Selidik punya
selidik, si tetua desa dulunya adalah lawan politik dari almarhum bapak yang
keluarganya “sukes”.
Cerita kedua adalah pengalaman yang saya dapatkan saat nongkrong
di banjar (balai desa) bersama pemuda-pemuda desa selesai olahraga.
Saat itu pada suatu hari di bulan Desember 2005, selesai Bom Bali Oktober 2005.
Saat membeli bakso, para pemuda desa itu mengerubungi si pedagang dan salah
seorangnya berujar, “Mas, ingat ya, di Bali jual bakso saja, jangan bawa bom ke
sini,” ujar si pemuda sambil memandangi si penjual bakso. Beberapa pemuda
lainnya memukul-mukul rombong si penjual dengan nada tinggi berujar, “Macem-macem
linggebang rombongne nyanan.” (Kalau macam-macam nanti tak balik rombongnya
(bakso).
Refleksi dua cerita itu menunjukkan kita masih belum lepas
dari jerat-jerat stigma, atau dalam bahasa James T. Siegel (2000) “penjahat”
dan “antek-antek komunis” untuk meraba-raba siapa kiranya “hantu” yang perlu
diwaspadai. Tragedi 1965 menjadi momentum luluh lantaknya solidaritas sosial
dan relasi kemanusiaan manusia Indonesia. Pelan tapi pasti, penyakit itu
menjalar dan menggugat rasa kemanusiaan, menggerogoti identitas manusia
Indonesia, dan terlebih penting memakan serta menghilangkan kemanusiaan antar
sesamanya.
Historiografi Kambing Hitam
Historiografi sebelum dan saat Orde Baru, jika kita cermati
mengandaikan bahwa penulisan sejarah di Indonesia selalu membangunan ingatan
massa dengan saling membenturkan dua elemen ideologi yang berbeda untuk
merangkai “kuasa sejarahnya” masing-masing.
Historiografi nasionalisme sebelum Orde Baru membenturkan
antara kolonialisme dan imperialisme dengan semangat nasionalisme, sedangkan
historiografi Orde Baru membangun kuasa historiografinya dengan melihat siapa
yang menjadi “pahlawan” dan “pengkhianat” ideologi Pancasila. Penulisan sejarah
dibangun secara hitam putih untuk menunjukkan siapa pendukung dan penentang
serta pelaku subversif dalam sejarah. Orde Baru menempatkan militer dan elite
kekuasaan pendukungnya sebagai “pahlawan” dan sentral penulisan sejarah serta menempatkan
komunisme dan islam ekstrimis sebagai kambing hitam (Purwanto via McGreror,
2008).
Rangkaian historiografi tersebut disusun dengan embel-embel
“sejarah resmi” dan wujud keberpihakan negara yang berhasil menanggulangi
instabilitas dan ancaman untuk keutuhan bangsa. Propaganda tersebut kencang
didengungkan saat Orde Baru berkuasa dan dijabarkan dalam program penataran P4
di banjar-banjar (desa), universitas, dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Buku pengajaran sejarah dan pendidikan moral pancasila di sekolah dasar dan
menengah akhirnya hidup menjadi “ingatan kolektif” tentang historiografi yang
benar dan tunggal dalam perjalanan sejarah. Tidak ada yang berani menggugat
apalagi menuliskan sejarah yang beragam.
Dalam merancang propaganda historiografi tersebut, peranan
para elite politik, intelektual, militer, dan elite rakyat serta jejaring
kekuasaan menjadi penentu bagaimana format historiografi yang “baik dan benar”
untuk ditulis dan dipropagandakan pada rakyat. Elite menjadi salah satu titik sentral
dalam historiografi Indonesia, baik sebagai “pahlawan” yang dipuja-puja maupun
sebagai “pengkhinat” yang melekat dalam perjalanan panjang pentas sejarah di
Indonesia. Bahkan, jika dilihat dalam konteks sejarah kebudayaan dan
mentalitas, posisi elite dalam historiografi Indonsia selalu sebagai
“mentalitas dan budaya pengkhianat” (Purwanto, 2008: xxvii). Sejarah penjajahan
yang terjadi hingga kini di Indonesia dengan jelas menunjukkan langgengnya
mental “penjajah dan pengkhianat” yang melekat pada elite kekuasaan di negeri
ini.
Historiografi elite pernah menjadi jamur di musin hujan saat
rezim otoritarian Orde Baru berkuasa. Para elite politik, militer, birokrasi,
berlomba-lomba membuat sejarahnya sendiri-sendiri. Yang mereka lakukan adalah
mempertontonkan kepada rakyat bagaimana heroiknya mereka menjadi pahlawan
nasionalisme dengan cerita-cerita peran sertanya dalam kesuksesan pembangunan,
berjabat tangan dengan presiden dan mendapatkan beranekaragam penghargaan.
Sayangnya, historiografi elite ini berjalan diatas kisah pedih penjajahan,
kekerasan, dan pelenyapan sesama manusia Indonesia. Nasionalisme bagi para
elite kekuasaan adalah soal perang melawan penjajah kolonial bukan pada
pertanggunggugatan mereka (baca: elite kekuasaan) di negeri ini terhadap sejarah
pelanggaran HAM yang mereka otaki dan dalangi. Maka tidaklah heran jika elite
kekuasaan masih manis mengumandangkan kidung nasionalisme meskipun tangannya
berlumuran darah.
Hasrat kekuasaan dalam historiografi Indonesia yang
ditunjukkan oleh para elite kekuasaan dan proyek “sejarah nasional” yang
“resmi” dari negara telah meluluhlantakkan pondasi identitas ke-Indonesia-an
yang mulai dibayangkan pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bayangan
untuk melakukan historigrafi yang beragam dalam membentuk identitas sejarah
yang plural di negeri ini terkubur beriringan dengan sejarah kekerasan yang
berlarut-larut menyimpan ingatan kesaksian, kepedihan, sekaligus dendam.
Dengan hasrat kuasa historiografi nasionalisme, berbagai
ekspresi sejarah lokal menjadi terkubur. Yang terjadi kemudian adalah
historiografi seragam yang diwariskan turun-temurun menjadi historiografi resmi
yang diterima tanpa gugatan, bantahan, dan kritik. Budiawan dalam Mematahkan
Pewarisan Ingatan (2004) mengungkapkan bahwa sebesar apapun kuasa
historiografi tersebut selalu ada ruang untuk menggugatnya, tidak ada kisah
yang sama sekali tidak terbantah. Menggugat kuasa historiografi itulah yang
menjadikan sejarah lebih demokratis, beragam, dan kritis.
Pasca reformasi 1998, pentas gugatan dan kritik
“historiografi sang kuasa” menjadi wajah segar sejarah Indonesia sekaligus juga
menghentakkan sejarawan akademik Indonesia dari tidur panjangnya. Sejarawan
akademik di universitas yang selain menjadi “tukang catat sejarah negara” juga
selalu digugat kontribusinya sosialnya dan pada pengembangan ilmu sejarah
sendiri menjadi lebih beragam dan kritis. Universitas dan sejarawan akademik
yang kaku dengan sumber sejarah dan relasinya dengan pusat-pusat kekuasaan
hanya menghasilkan karya-karya akademik yang tidak membumi dan tidak memberikan
perspektif baru dalam historiografi
Indonesia.
Roosa dkk (2004) dengan mengajukan metode sejarah lisan (oral
history) menganggap telah terjadi perluasan dan pengayaan pada ilmu sejarah
sendiri. Data-data dibangun dari bawah, bukan sekadar pada arsip dan
dokumen-dokumen. Dengan demikian sejarawan menjadi membumi, tidak hanya
berkutat dengan dokumen semata. Sejarawan pada akhirnya merujuk pada masalah
sosial yang terjadi lingkungannya. Dengan demikian, melakukan historiografi
bagi sejarawan bukan hanya sekadar melaksanakan proyek penelitian, menulis
tesis atau desertasi, namun ada keharusan untuk terlibat penuh dalam masalah
moral, kultural dan politik ketika hendak menulis sejarah.
Historiografi Papua dan Separatis
Sejarah integrasi Irian Jaya (kini menjadi Provinsi Papua
dan Papua Barat) menjadi salah satu contoh bagaimana “manipulasi” sejarah yang
dilakukan negara dalam memompa nasionalisme yang memadamkan sejarah lokal yang
penuh dengan dinamika. Negara memaksakan nasionalisme yang menyatakan bahwa
Papua adalah bagian dari wilayah NKRI dengan berbagai macam
perbedaan-perbedaannya. Namun, nasionalisme Papua tumbuh selain karena sejarah
panjang kekerasan dan pelenyapan yang dilakukan negara Indonesia, juga
disebabkan perbedaan ras Melayu (Indonesia) dan Melanesia (Papua) yang diikuti
dengan protes terhadap sejarah Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969 yang
dimanipulasi Indonesia yang kemudian menjadi titik tolak bergabungnya Papua ke
pangkuan NKRI.
Nasionalisme Papua yang menjadi pokok historiografi Papua
kini dibentuk oleh beberapa faktor. Pertama, kekecewaan sejarah terhadap
proses integrasi ke Indonesia. Kedua, elite Papua yang merasakan
persaingan dengan pejabat-pejabat Indonesia sejak penjajahan Belanda. Ketiga,
pembangunan ekonomi dan pemerintahan yang timpang dan semakin menunjukkan
perasaan berbeda (sense of difference). Keempat, banyaknya
pendatang ke Papua yang mendominasi kehidupan ekonomi politik yang semakin
memperbesar perasaan termarginalisasi orang Papua di daerah sendiri (Chauvel
2005; Widjojo dkk, 2009: 9).
Oleh negara (baca: pemerintah Indonesia), historiografi
Papua selalu dilekatkan menjadi sebuah kata yang begitu sakti yaitu: separatis.
Segala macam ekspresi identitas ke-Papua-an selalu dikambinghitamkan menjadi
gerakan ekstrimis, pro-merdeka dan dikaitkan dengan OPM (Organisasi Papua
Merdeka). Padahal dibalik historiografi kambing hitam terhadap Papua,
sebaiknyalah kita menengok sejarah panjang Papua masuk menjadi bagian NKRI. Di
dalamnya penuh pergolakan antara Belanda dan Indonesia. Nasionalisme dan
historiografi Papua pada akhirnya adalah pentas ketegangan antara Indonesia dan
Belanda yang tidak melibatkan sama sekali rakyat Papua. Penulisan historiografi
Papua seperti diungkapkan Widjojo dkk (2009) juga didominasi para nasionalisme
Indonesia yang menyingkirkan nasionalisme ke-Papua-an yang merupakan identitas
politik yang dibentuk oleh pengalaman kolonial Belanda juga dengan
kepentingannya untuk mempertahankan kekuasaannya. Identitas ke-Papua-an pada
pengalaman masa kolonial inilah yang dikonstruksi sebagai antitesis
nasionalisme ke-Indonesia-an oleh rakyat Papua.
Nasionalisme ke-Indonesia-an yang diterapkan di Papua sudah
tentu bernafaskan militeristik. Ini diterjemahkan melalui DOM (Daerah Operasi
Militer) maupun rangkaian panjang kekerasan dan kebiadaban yang menimpa rakyat
Papua sebagai bentuk dehumanisasi, tidak menganggap rakyat Papua sebagai
manusia. Nasionalisme Indonesia menyatakan harga mati untuk NKRI. Tapi, dibalik
politik nasionalime NKRI terkandung nafas militerisme yang kemudian direspon
dengan protes rakyat Papua terhadap kebijakan negara yang memarginalalkan
mereka, yang membuat kitorang tra maju-maju (kita rakyat Papua tidak
maju-maju) dengan pendekatan keamanan. Kekerasan politik dengan pendekatan
keamanan ini justru sering diklaim oleh pihak militer sebagai usaha mulia untuk
mempertahankan keutuhan NKRI melawan kelompok separatis yang ingin keluar dari
NKRI. Historiografi Papua secara resmi pada akhirnya menjadi legitimasi negara
Indonesia plus narasi heroik dan patriotik dari militer.
Seiring dengan pentas gugatan “historiografi sang kuasa”, di
Papua-pun pun kini telah tumbuh subur dengan hadirnya sejarah lokal, sejarah
kekerasan, dan ekspresi nasionalisme ke-Papua-an yang tumbuh subur. Berbagai
aspek terkait dengan kekerasan dan kejahatan HAM, eksploitasi sumber daya alam,
gerakan perempuan, otonomi khusus, pemekaran wilayah menjadi tema-tema kajian
sosial dan sejarah Papua.
Intelektual gunung dan pantai di Papua pun berkiprah untuk
menuliskan sejarah tentang tanah kelahiran mereka sendiri. Karya-karya
intelektual Phil Erari, Sendius Woonda, Socratez Sofyan Yoman, Sem Kroba, Decki
Natalis Pigay,Dr. Nales Tebay, Dr. Beny Giay, dan Dr. Johszua R. Mansoeben
hingga Andreas Goo dan Ibrahim Peyon untuk menyebut beberapa nama menjadikan
pergolakan intelektual dan aktivisme di tanah Papua semakin menyegarkan. Dengan
karya-karya mereka, seakan menjawab bahwa “historiografi kambing hitam” yang
dibuat nasionalis Indonesia sungguh menyesatkan. Ada sesuatu yang rakyat Papua
inginkan terhadap legitimasi ke-Indonesia-an yang selama ini dilekatkan pada
mereka secara sepihak oleh nasionalisme Indonesia. Historiografi akan menjadi
lebih demokratis, beragam, dan kritis jika kita menyimak kisah-kisah pengalaman
rakyat Papua terhadap “kehadiran” Indonesia, ekspresi protes mereka, dan
kepedihan rakyat Papua karena kejahatan negara (Indonesia di tanah kelahiran
mereka sendiri.
Universitas Sanata Dharma, 30 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar