Label

Selasa, 10 Juli 2012

Komunis, Separatis, Teroris




Oleh I Ngurah Suryawan
Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA)
Manokwari, Papua Barat


Saat saya memulai studi tentang Tragedi 1965 di Bali tahun 2002, saya masih ingat sekali dua cerita berbeda yang saya temukakan saat ngerembug, ngobrol-ngobrol di sebuah warung di sebuah desa di ujung barat Pulau Bali. Cerita pertama adalah ocehan seorang tetua desa, yang saya kira adalah salah satu orang terpandang di desa, tentang sebuah keluarga yang juga tetangga sebelah rumahnya. Keluarga ini kini menjadi salah satu keluarga yang ”maju”, disegani karena hampir sebagian besar anggota keluarganya ”sukses”. Ada yang menjadi dokter, dosen, pengusaha property sukses bahkan ada diantaranya yang menjadi arsitek yang bekerja di sebuah negara bagian di Amerika.


Si bapak tetua desa ini bercerita, ”Sing ngaden kene dadine jani panak-panakne. Bapane pidan kene garis, jemake peteng-peteng dadi jatah,” ujarnya dengan nada sinis. (Saya tidak mengira seperti ini sekarang (kesuksesan) anak-anaknya. Bapaknya dulu kene garis (tersangkut PKI), diambil malam-malam sebagai jatah (salah satu korban yang dibunuh). Selidik punya selidik, si tetua desa dulunya adalah lawan politik dari almarhum bapak yang keluarganya “sukes”.

Cerita kedua adalah pengalaman yang saya dapatkan saat nongkrong di banjar (balai desa) bersama pemuda-pemuda desa selesai olahraga. Saat itu pada suatu hari di bulan Desember 2005, selesai Bom Bali Oktober 2005. Saat membeli bakso, para pemuda desa itu mengerubungi si pedagang dan salah seorangnya berujar, “Mas, ingat ya, di Bali jual bakso saja, jangan bawa bom ke sini,” ujar si pemuda sambil memandangi si penjual bakso. Beberapa pemuda lainnya memukul-mukul rombong si penjual dengan nada tinggi berujar, “Macem-macem linggebang rombongne nyanan.” (Kalau macam-macam nanti tak balik rombongnya (bakso).   

Refleksi dua cerita itu menunjukkan kita masih belum lepas dari jerat-jerat stigma, atau dalam bahasa James T. Siegel (2000) “penjahat” dan “antek-antek komunis” untuk meraba-raba siapa kiranya “hantu” yang perlu diwaspadai. Tragedi 1965 menjadi momentum luluh lantaknya solidaritas sosial dan relasi kemanusiaan manusia Indonesia. Pelan tapi pasti, penyakit itu menjalar dan menggugat rasa kemanusiaan, menggerogoti identitas manusia Indonesia, dan terlebih penting memakan serta menghilangkan kemanusiaan antar sesamanya.

Historiografi Kambing Hitam

Historiografi sebelum dan saat Orde Baru, jika kita cermati mengandaikan bahwa penulisan sejarah di Indonesia selalu membangunan ingatan massa dengan saling membenturkan dua elemen ideologi yang berbeda untuk merangkai “kuasa sejarahnya” masing-masing.

Historiografi nasionalisme sebelum Orde Baru membenturkan antara kolonialisme dan imperialisme dengan semangat nasionalisme, sedangkan historiografi Orde Baru membangun kuasa historiografinya dengan melihat siapa yang menjadi “pahlawan” dan “pengkhianat” ideologi Pancasila. Penulisan sejarah dibangun secara hitam putih untuk menunjukkan siapa pendukung dan penentang serta pelaku subversif dalam sejarah. Orde Baru menempatkan militer dan elite kekuasaan pendukungnya sebagai “pahlawan” dan sentral penulisan sejarah serta menempatkan komunisme dan islam ekstrimis sebagai kambing hitam (Purwanto via McGreror, 2008).

Rangkaian historiografi tersebut disusun dengan embel-embel “sejarah resmi” dan wujud keberpihakan negara yang berhasil menanggulangi instabilitas dan ancaman untuk keutuhan bangsa. Propaganda tersebut kencang didengungkan saat Orde Baru berkuasa dan dijabarkan dalam program penataran P4 di banjar-banjar (desa), universitas, dan lembaga-lembaga pemerintahan. Buku pengajaran sejarah dan pendidikan moral pancasila di sekolah dasar dan menengah akhirnya hidup menjadi “ingatan kolektif” tentang historiografi yang benar dan tunggal dalam perjalanan sejarah. Tidak ada yang berani menggugat apalagi menuliskan sejarah yang beragam.

Dalam merancang propaganda historiografi tersebut, peranan para elite politik, intelektual, militer, dan elite rakyat serta jejaring kekuasaan menjadi penentu bagaimana format historiografi yang “baik dan benar” untuk ditulis dan dipropagandakan pada rakyat. Elite menjadi salah satu titik sentral dalam historiografi Indonesia, baik sebagai “pahlawan” yang dipuja-puja maupun sebagai “pengkhinat” yang melekat dalam perjalanan panjang pentas sejarah di Indonesia. Bahkan, jika dilihat dalam konteks sejarah kebudayaan dan mentalitas, posisi elite dalam historiografi Indonsia selalu sebagai “mentalitas dan budaya pengkhianat” (Purwanto, 2008: xxvii). Sejarah penjajahan yang terjadi hingga kini di Indonesia dengan jelas menunjukkan langgengnya mental “penjajah dan pengkhianat” yang melekat pada elite kekuasaan di negeri ini.

Historiografi elite pernah menjadi jamur di musin hujan saat rezim otoritarian Orde Baru berkuasa. Para elite politik, militer, birokrasi, berlomba-lomba membuat sejarahnya sendiri-sendiri. Yang mereka lakukan adalah mempertontonkan kepada rakyat bagaimana heroiknya mereka menjadi pahlawan nasionalisme dengan cerita-cerita peran sertanya dalam kesuksesan pembangunan, berjabat tangan dengan presiden dan mendapatkan beranekaragam penghargaan. Sayangnya, historiografi elite ini berjalan diatas kisah pedih penjajahan, kekerasan, dan pelenyapan sesama manusia Indonesia. Nasionalisme bagi para elite kekuasaan adalah soal perang melawan penjajah kolonial  bukan pada pertanggunggugatan mereka (baca: elite kekuasaan) di negeri ini terhadap sejarah pelanggaran HAM yang mereka otaki dan dalangi. Maka tidaklah heran jika elite kekuasaan masih manis mengumandangkan kidung nasionalisme meskipun tangannya berlumuran darah.    

Hasrat kekuasaan dalam historiografi Indonesia yang ditunjukkan oleh para elite kekuasaan dan proyek “sejarah nasional” yang “resmi” dari negara telah meluluhlantakkan pondasi identitas ke-Indonesia-an yang mulai dibayangkan pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bayangan untuk melakukan historigrafi yang beragam dalam membentuk identitas sejarah yang plural di negeri ini terkubur beriringan dengan sejarah kekerasan yang berlarut-larut menyimpan ingatan kesaksian, kepedihan, sekaligus dendam.

Dengan hasrat kuasa historiografi nasionalisme, berbagai ekspresi sejarah lokal menjadi terkubur. Yang terjadi kemudian adalah historiografi seragam yang diwariskan turun-temurun menjadi historiografi resmi yang diterima tanpa gugatan, bantahan, dan kritik. Budiawan dalam Mematahkan Pewarisan Ingatan (2004) mengungkapkan bahwa sebesar apapun kuasa historiografi tersebut selalu ada ruang untuk menggugatnya, tidak ada kisah yang sama sekali tidak terbantah. Menggugat kuasa historiografi itulah yang menjadikan sejarah lebih demokratis, beragam, dan kritis. 

Pasca reformasi 1998, pentas gugatan dan kritik “historiografi sang kuasa” menjadi wajah segar sejarah Indonesia sekaligus juga menghentakkan sejarawan akademik Indonesia dari tidur panjangnya. Sejarawan akademik di universitas yang selain menjadi “tukang catat sejarah negara” juga selalu digugat kontribusinya sosialnya dan pada pengembangan ilmu sejarah sendiri menjadi lebih beragam dan kritis. Universitas dan sejarawan akademik yang kaku dengan sumber sejarah dan relasinya dengan pusat-pusat kekuasaan hanya menghasilkan karya-karya akademik yang tidak membumi dan tidak memberikan perspektif baru dalam historiografi Indonesia.        

Roosa dkk (2004) dengan mengajukan metode sejarah lisan (oral history) menganggap telah terjadi perluasan dan pengayaan pada ilmu sejarah sendiri. Data-data dibangun dari bawah, bukan sekadar pada arsip dan dokumen-dokumen. Dengan demikian sejarawan menjadi membumi, tidak hanya berkutat dengan dokumen semata. Sejarawan pada akhirnya merujuk pada masalah sosial yang terjadi lingkungannya. Dengan demikian, melakukan historiografi bagi sejarawan bukan hanya sekadar melaksanakan proyek penelitian, menulis tesis atau desertasi, namun ada keharusan untuk terlibat penuh dalam masalah moral, kultural dan politik ketika hendak menulis sejarah.     

Historiografi Papua dan Separatis

Sejarah integrasi Irian Jaya (kini menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat) menjadi salah satu contoh bagaimana “manipulasi” sejarah yang dilakukan negara dalam memompa nasionalisme yang memadamkan sejarah lokal yang penuh dengan dinamika. Negara memaksakan nasionalisme yang menyatakan bahwa Papua adalah bagian dari wilayah NKRI dengan berbagai macam perbedaan-perbedaannya. Namun, nasionalisme Papua tumbuh selain karena sejarah panjang kekerasan dan pelenyapan yang dilakukan negara Indonesia, juga disebabkan perbedaan ras Melayu (Indonesia) dan Melanesia (Papua) yang diikuti dengan protes terhadap sejarah Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969 yang dimanipulasi Indonesia yang kemudian menjadi titik tolak bergabungnya Papua ke pangkuan NKRI.

Nasionalisme Papua yang menjadi pokok historiografi Papua kini dibentuk oleh beberapa faktor. Pertama, kekecewaan sejarah terhadap proses integrasi ke Indonesia. Kedua, elite Papua yang merasakan persaingan dengan pejabat-pejabat Indonesia sejak penjajahan Belanda. Ketiga, pembangunan ekonomi dan pemerintahan yang timpang dan semakin menunjukkan perasaan berbeda (sense of difference). Keempat, banyaknya pendatang ke Papua yang mendominasi kehidupan ekonomi politik yang semakin memperbesar perasaan termarginalisasi orang Papua di daerah sendiri (Chauvel 2005; Widjojo dkk, 2009: 9). 

Oleh negara (baca: pemerintah Indonesia), historiografi Papua selalu dilekatkan menjadi sebuah kata yang begitu sakti yaitu: separatis. Segala macam ekspresi identitas ke-Papua-an selalu dikambinghitamkan menjadi gerakan ekstrimis, pro-merdeka dan dikaitkan dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Padahal dibalik historiografi kambing hitam terhadap Papua, sebaiknyalah kita menengok sejarah panjang Papua masuk menjadi bagian NKRI. Di dalamnya penuh pergolakan antara Belanda dan Indonesia. Nasionalisme dan historiografi Papua pada akhirnya adalah pentas ketegangan antara Indonesia dan Belanda yang tidak melibatkan sama sekali rakyat Papua. Penulisan historiografi Papua seperti diungkapkan Widjojo dkk (2009) juga didominasi para nasionalisme Indonesia yang menyingkirkan nasionalisme ke-Papua-an yang merupakan identitas politik yang dibentuk oleh pengalaman kolonial Belanda juga dengan kepentingannya untuk mempertahankan kekuasaannya. Identitas ke-Papua-an pada pengalaman masa kolonial inilah yang dikonstruksi sebagai antitesis nasionalisme ke-Indonesia-an oleh rakyat Papua. 

Nasionalisme ke-Indonesia-an yang diterapkan di Papua sudah tentu bernafaskan militeristik. Ini diterjemahkan melalui DOM (Daerah Operasi Militer) maupun rangkaian panjang kekerasan dan kebiadaban yang menimpa rakyat Papua sebagai bentuk dehumanisasi, tidak menganggap rakyat Papua sebagai manusia. Nasionalisme Indonesia menyatakan harga mati untuk NKRI. Tapi, dibalik politik nasionalime NKRI terkandung nafas militerisme yang kemudian direspon dengan protes rakyat Papua terhadap kebijakan negara yang memarginalalkan mereka, yang membuat kitorang tra maju-maju (kita rakyat Papua tidak maju-maju) dengan pendekatan keamanan. Kekerasan politik dengan pendekatan keamanan ini justru sering diklaim oleh pihak militer sebagai usaha mulia untuk mempertahankan keutuhan NKRI melawan kelompok separatis yang ingin keluar dari NKRI. Historiografi Papua secara resmi pada akhirnya menjadi legitimasi negara Indonesia plus narasi heroik dan patriotik dari militer.   

Seiring dengan pentas gugatan “historiografi sang kuasa”, di Papua-pun pun kini telah tumbuh subur dengan hadirnya sejarah lokal, sejarah kekerasan, dan ekspresi nasionalisme ke-Papua-an yang tumbuh subur. Berbagai aspek terkait dengan kekerasan dan kejahatan HAM, eksploitasi sumber daya alam, gerakan perempuan, otonomi khusus, pemekaran wilayah menjadi tema-tema kajian sosial dan sejarah Papua.

Intelektual gunung dan pantai di Papua pun berkiprah untuk menuliskan sejarah tentang tanah kelahiran mereka sendiri. Karya-karya intelektual Phil Erari, Sendius Woonda, Socratez Sofyan Yoman, Sem Kroba, Decki Natalis Pigay,Dr. Nales Tebay, Dr. Beny Giay, dan Dr. Johszua R. Mansoeben hingga Andreas Goo dan Ibrahim Peyon untuk menyebut beberapa nama menjadikan pergolakan intelektual dan aktivisme di tanah Papua semakin menyegarkan. Dengan karya-karya mereka, seakan menjawab bahwa “historiografi kambing hitam” yang dibuat nasionalis Indonesia sungguh menyesatkan. Ada sesuatu yang rakyat Papua inginkan terhadap legitimasi ke-Indonesia-an yang selama ini dilekatkan pada mereka secara sepihak oleh nasionalisme Indonesia. Historiografi akan menjadi lebih demokratis, beragam, dan kritis jika kita menyimak kisah-kisah pengalaman rakyat Papua terhadap “kehadiran” Indonesia, ekspresi protes mereka, dan kepedihan rakyat Papua karena kejahatan negara (Indonesia di tanah kelahiran mereka sendiri.


Universitas Sanata Dharma, 30 Oktober 2010 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar