(SEBUAH REFLEKSI PEMIKIRAN WACANA
POST-SPIRITUAL YANG DIWARNAI DENGAN MISTISISME,
OKULTISME, DAN TAKHAYUL)
oleh Bram Setiawan (mahasiswa Antropologi Udayana, angkatan 2008)
Mungkin
Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang
selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Ebiet
G. Ade (Berita Kepada Kawan)
Roda zaman menggilas kita
Terseret tertatih-tatih
Sungguh hidup terus diburu berpacu dengan waktu
Tak ada yang dapat menolong selain yang di sana
Tak ada tempat yang membantu selain yang di sana
Dialah Tuhan…
Tak ada tempat yang membantu selain yang di sana
Dialah Tuhan…
Ebiet
G. Ade (Menjaring Matahari)
Untaian
lirik lagu di atas bisa menjadi sebuah perenungan tentang realitas keseharian
masyarakat modern, ketika dunia dikuasai oleh citra, gagasan dan objek yang
merupakan refleksi hasrat manusia dengan bagaimana kapitalisme sebagai sebuah
sistem ekonomi mempunyai berbagai dampak klinis, khususnya dalam menciptakan
berbagai problem psikopatologis dan kejiwaan pada individu-individu yang terlibat
di dalamnya, telah banyak dilakukan studi mengenai hal tersebut. Dalam hal ini,
perbincangan mengenai kegilaan dalam konteks perkembangan kapitalisme, lebih
pada wacana budayanya meskipun berbagai terminologi klinis digunakan di sini
sebagai landasan perbincangan. Kegilaan, dalam hal ini, tidak dilihat sebagai
fenomena individu, tetapi sebagai fenomena yang inhern di dalam sistem
kapitalisme itu sendiri. Kegilaan di sini lebih dipandang sebagai sebuah
“metafora kultural”, untuk menjelaskan berbagai kondisi kegilaan masyarakat
(kapitalis) dan kebudayaan (kapitalisme), dengan berbagai dimensi, bentuk, dan
karakteristiknya.
Dalam
masyarakat modern telah terjadi semacam “ketidaksadaran massal” dan “pembunuhan
akal sehat secara besar-besaran” akan terjadinya transformasi, akan
berlangsungnya “pembentukan kembali diri” dan perumusan kembali “makna
kehidupan” sebagai akibat menjelmanya dunia “realitas semu”. Sadarkah kita,
bahwa dalam keseharian kita tidak sedikit kita temukan dalam media, yakni dari
koran, televisi, internet, dan sebagainya tentang praktek jual beli jin. Salah
satu contoh yang sangat sering kita temukan adalah, hanya dengan membuka
internet masuk ke google dengan mudahnya kita temukan iklan-iklan tentang
praktek jual beli jin dengan sebuah janji iklan yang mengatakan bahwa jin-jin
yang dibeli itu mampu menolong dan memberi petunjuk dan keuntungan bagi manusia
yang membelinya. Ini adalah sebuah bukti bahwa masyarakat modern tengah
memasuki pintu gerbang dunia “realitas semu” ini.
Penjelmaan
dunia “realitas semu” ini, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan kapitalisme dalam ekonomi pada tingkatnya yang mutakhir.
Perkembangan mutakhir teknologi informasi, komoditas, dan tontonan sebagai
tiang-tiang penopang dalam wacana kapitalisme telah memungkinkan manusia masa
kini “melihat dirinya sendiri” sebagai refleksi dari citra-citra yang
ditaburkan oleh cermin-cermin komoditas dan tontonan-tontonan ini. Ideologi
kapitalisme mutakhir yang menyerakkan benih-benih komoditas dan tontonan-tontonan,
dan memanen keuntungan dari “nilai tukarnya”, tidak saja mengharuskan arus
produksi dan konsumsi yang konstan, akan tetapi konstan dalam “kecepatan yang
bersaing”.
Post-modernisme merupakan gerakan pemikiran, seni, sosial , agama dan
budaya yang menjadi titik balik dari modernisme. Peradaban modern dibangun atas
narasi-narasi besar (grand naratif) ex-emiprisme, komunisme, fasisme, logos, spirit
dan lain-lain. Peradaban tersebut dibangun berdasarkan klaim-klaim universalitas, rasionalitas, sentralisme,
ketunggalan yang terstruktur kuat dalam oposisi biner (binary opposition) yakni
benar/salah, baik/buruk, kaya/miskin moral/amoral. Post-modernisme menolak
segala bentuk grand narasi yang menjadi tumpuan peradaban modernisme. Post-modern
mengembangkan anti-fondational, anti-ideologi, anti-unversalisme, anti-teori, anti-kemutlakan,
anti-sentralisme, anti-epistemologi, anti-struktur, anti-rasionalisme.
Penolakan post-modern terhadap narasi besar dalam agama-agama
telah mendorong ke arah pembangkitan kembali (revivalisme) kepercayaan-kepercayaan
klenik kuno (primordial).
Uraian di atas sesuai dengan kutipan dari buku Dunia Yang Dilipat:
Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan:
“Postmodernisme, lebih cenderung menggali dimensi-dimensi
emosional, irasional, mistis, dan magis, yang digali dari spirit-spirit masa
lalu. Reinkarnasi, revitalisasi, restorasi, menjadi konsep-konsep yang sangat
penting dalam menemukan apa yang disebut spiritualitas postmodern;
dimensi-dimensi supranatural dan occultism menjadi wacana yang semakin populer;
paganisme dan panteisme muncul kembali sebagai agam postmodern; konsep-konsep
kosmis dan mistis menemukan tempatnya lagi; kebijaksanaan-kebijaksanaan kuno
dan primordial digali kembali. Pesona-pesona Dewi Kegelapan, indera keenam, dunia
rahasia, astrologi, UFO, ziarah kosmologis, horoskop, tarot, aura, tenaga dalam
tongkat sakti, ESP, garis tangan, vampire, manusia serigala, mumi yang hidup,
Ratu Pantai Selatan, pengobatan alternatif, pengobatan jarak jauh, petunjuk
arwah, pertolongan jin, secara bersama-sama membentuk apa yang disebut
spiritualitas postmodernisme. Teknik-teknik baru spiritualitas , seperti
penyaluran energi atau penyucian digunakan kembali untuk meningkatkan kekuatan,
menyeimbangkan dan meluruskan energi fisik. Meditasi, I Ching, Yoga,
perbintangan agama-agama mistik timur, dan upacara-upacara magis, adalah contoh
lain jalan spiritual postmodernisme. Begitu juga, ada upaya penggalian yang tak
henti-hentinya terhadap ilmu hitam, racun, sihir, hantu, iblis. Meledaknya novel
J.K Rowling Harry Potter and the Sorcerers Stone, dan buku-buku sejenis
mengenai tenaga dalam, kekuatan alternatif, ESP, Yoga, mistisime merupakan
gambaran obsesi masyarakat post modern terhadap spiritualitas (Piliang, 2010:
192-193).
Melihat uraian ini dapat disimpulkan bahwa praktek jual beli jin
ini disebabkan wacana ekonomi dan industrialisasi gagal memberikan iklim yang
sehat bagi berkembangnya rasionalisme di kalangan masyarakat, maka dunia mistik
dan irasionalitas pun mendapat tempat kembali di hati masyarakat. Masyarakat
semakin antusias terhadap sensasi dunia
supranatural. Hingga betapa banyak masyarakat kita lebih mempercayai
ramalan mistik ketimbang analisis rasional dan argumentasi sehat dari para ulama
dan agama. Bahkan dunia politik pun memerlukan analisis mistik (paranormal).
Begitu juga dunia bisnis, yang menjadikan sektor mistik ini begitu laris,
sehingga memungkinkan mereka membuka office di perkantoran modern, dengan
fasilitas internet dan handphone. Para eksekutif rela mengeluarkan beberapa
juta untuk membeli ramalan, jimat atau jin.
Disinilah
dapat kita lihat bahwa masyarakat ditengah-tengah arus post-modern pada
akhirnya kembali kepada kepercayaannya (beliefs) yang dahulu dikatakan sebagai
tahap yang paling primitif dari perkembangan pemikiran manusia. Dalam hal ini
banyak masyarakat yang kemudian berasumsi bahwa modernisasi yang terjadi saat
ini tidaklah dapat sepenuhnya memberikan jawaban atas segala problematika hidup
yang dihadapi manusia terlebih jika problematika yang dihadapi cenderung tidak
dapat dicarikan jawabanya secara ilmiah dan rasional. Maka dari itulah akhirnya
banyak masyarakat yang berbondong-bondong mencari alternatif lainnya, khususnya
yang berkaitan dengan ketenangan jiwanya dalam menghadapi realita kehidupan salah
satunya, yaitu praktek jual beli jin.
Hal-hal
inilah yang merujuk pada sebuah histeria ekonomi dalam masyarakat skizofrenik.
Perbincangan tentang “kegilaan” dalam konteks
perkembangan kapitalisme, khususnya persoalan yang menyangkut
batas-batas pengetahuan, mengenai apa yang disebut “gila” (mad) atau “kegilaan”
(madness) manakah kita harus merujuk (Piliang, 2004: 310).
Disinilah
tantangan zaman yang berbicara terhadap kehidupan sehari-hari kita, masyarakat
dituntut untuk cerdas dalam bersikap dan bertindak dalam menghadapi
realitas-realitas semu di era sekarang ini di
tengah-tengah kebisingan globalisasi informasi dan ekonomi pasar, realitas
inilah yang menunjukkan orientasi nilai yang muncul dalam keseharian masyarakat
di zaman modern ini.
Daftar Pustaka
BASIS,
2003, Kritik Terhadap Neo-Liberalisme (edisi khusus Pierre Bourdieu),
Yogyakarta: Yayasan BP Basis.
Eco,
Umberto, 2009, Tamasya Dalam Hiperealitas (terjemahan: Iskandar Zulkarnaen),
Yogyakarta: Jalasutra
Ibrahim,
Idi Subandy (Ed), 1997, Lifestyle Ectasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat
Komoditas Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang,
Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna,
Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang,
Yasraf Amir, 2004, Dunia Yang Berlari (Mencari Tuhan-Tuhan Digital), Jakarta:
PT Grasindo.
Piliang,
Yasraf Amir, 2010, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melalui Batas-Batas Kebudayaan,
Bandung: Matahari.
Suseno,
Franz Magnis, 2003, Pemikiran Karl Marx (Dari Sosialisme Utopiske Perselisihan
Revolusionisme), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar