Label

Senin, 09 Juli 2012

PRAKTEK JUAL BELI JIN: REALITAS-REALITAS SEMU MASYARAKAT KONSUMER


 
(SEBUAH REFLEKSI PEMIKIRAN WACANA POST-SPIRITUAL YANG DIWARNAI DENGAN MISTISISME, OKULTISME, DAN TAKHAYUL)



oleh Bram Setiawan (mahasiswa Antropologi Udayana, angkatan 2008)


Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita                 
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa                  

Ebiet G. Ade (Berita Kepada Kawan)

                                   
Roda zaman menggilas kita
Terseret tertatih-tatih
Sungguh hidup terus diburu berpacu dengan waktu
Tak ada yang dapat menolong selain yang di sana
Tak ada tempat yang membantu selain yang di sana
Dialah Tuhan…

Ebiet G. Ade (Menjaring Matahari)


Untaian lirik lagu di atas bisa menjadi sebuah perenungan tentang realitas keseharian masyarakat modern, ketika dunia dikuasai oleh citra, gagasan dan objek yang merupakan refleksi hasrat manusia dengan bagaimana kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi mempunyai berbagai dampak klinis, khususnya dalam menciptakan berbagai problem psikopatologis dan kejiwaan pada individu-individu yang terlibat di dalamnya, telah banyak dilakukan studi mengenai hal tersebut. Dalam hal ini, perbincangan mengenai kegilaan dalam konteks perkembangan kapitalisme, lebih pada wacana budayanya meskipun berbagai terminologi klinis digunakan di sini sebagai landasan perbincangan. Kegilaan, dalam hal ini, tidak dilihat sebagai fenomena individu, tetapi sebagai fenomena yang inhern di dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Kegilaan di sini lebih dipandang sebagai sebuah “metafora kultural”, untuk menjelaskan berbagai kondisi kegilaan masyarakat (kapitalis) dan kebudayaan (kapitalisme), dengan berbagai dimensi, bentuk, dan karakteristiknya.

Dalam masyarakat modern telah terjadi semacam “ketidaksadaran massal” dan “pembunuhan akal sehat secara besar-besaran” akan terjadinya transformasi, akan berlangsungnya “pembentukan kembali diri” dan perumusan kembali “makna kehidupan” sebagai akibat menjelmanya dunia “realitas semu”. Sadarkah kita, bahwa dalam keseharian kita tidak sedikit kita temukan dalam media, yakni dari koran, televisi, internet, dan sebagainya tentang praktek jual beli jin. Salah satu contoh yang sangat sering kita temukan adalah, hanya dengan membuka internet masuk ke google dengan mudahnya kita temukan iklan-iklan tentang praktek jual beli jin dengan sebuah janji iklan yang mengatakan bahwa jin-jin yang dibeli itu mampu menolong dan memberi petunjuk dan keuntungan bagi manusia yang membelinya. Ini adalah sebuah bukti bahwa masyarakat modern tengah memasuki pintu gerbang dunia “realitas semu” ini.

Penjelmaan dunia “realitas semu” ini, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kapitalisme dalam ekonomi pada tingkatnya yang mutakhir. Perkembangan mutakhir teknologi informasi, komoditas, dan tontonan sebagai tiang-tiang penopang dalam wacana kapitalisme telah memungkinkan manusia masa kini “melihat dirinya sendiri” sebagai refleksi dari citra-citra yang ditaburkan oleh cermin-cermin komoditas dan tontonan-tontonan ini. Ideologi kapitalisme mutakhir yang menyerakkan benih-benih komoditas dan tontonan-tontonan, dan memanen keuntungan dari “nilai tukarnya”, tidak saja mengharuskan arus produksi dan konsumsi yang konstan, akan tetapi konstan dalam “kecepatan yang bersaing”.

Post-modernisme merupakan gerakan pemikiran, seni, sosial , agama dan budaya yang menjadi titik balik dari modernisme. Peradaban modern dibangun atas narasi-narasi besar (grand naratif) ex-emiprisme, komunisme, fasisme, logos, spirit dan lain-lain. Peradaban tersebut dibangun berdasarkan klaim-klaim  universalitas, rasionalitas, sentralisme, ketunggalan yang terstruktur kuat dalam oposisi biner (binary opposition) yakni benar/salah, baik/buruk, kaya/miskin moral/amoral. Post-modernisme menolak segala bentuk grand narasi yang menjadi tumpuan peradaban modernisme. Post-modern mengembangkan anti-fondational, anti-ideologi, anti-unversalisme, anti-teori, anti-kemutlakan, anti-sentralisme, anti-epistemologi, anti-struktur, anti-rasionalisme.

Penolakan post-modern terhadap narasi besar dalam agama-agama telah mendorong ke arah pembangkitan kembali (revivalisme) kepercayaan-kepercayaan klenik kuno (primordial).
Uraian di atas sesuai dengan kutipan dari buku Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan:

“Postmodernisme, lebih cenderung menggali dimensi-dimensi emosional, irasional, mistis, dan magis, yang digali dari spirit-spirit masa lalu. Reinkarnasi, revitalisasi, restorasi, menjadi konsep-konsep yang sangat penting dalam menemukan apa yang disebut spiritualitas postmodern; dimensi-dimensi supranatural dan occultism menjadi wacana yang semakin populer; paganisme dan panteisme muncul kembali sebagai agam postmodern; konsep-konsep kosmis dan mistis menemukan tempatnya lagi; kebijaksanaan-kebijaksanaan kuno dan primordial digali kembali. Pesona-pesona Dewi Kegelapan, indera keenam, dunia rahasia, astrologi, UFO, ziarah kosmologis, horoskop, tarot, aura, tenaga dalam tongkat sakti, ESP, garis tangan, vampire, manusia serigala, mumi yang hidup, Ratu Pantai Selatan, pengobatan alternatif, pengobatan jarak jauh, petunjuk arwah, pertolongan jin, secara bersama-sama membentuk apa yang disebut spiritualitas postmodernisme. Teknik-teknik baru spiritualitas , seperti penyaluran energi atau penyucian digunakan kembali untuk meningkatkan kekuatan, menyeimbangkan dan meluruskan energi fisik. Meditasi, I Ching, Yoga, perbintangan agama-agama mistik timur, dan upacara-upacara magis, adalah contoh lain jalan spiritual postmodernisme. Begitu juga, ada upaya penggalian yang tak henti-hentinya terhadap ilmu hitam, racun, sihir, hantu, iblis. Meledaknya novel J.K Rowling Harry Potter and the Sorcerers Stone, dan buku-buku sejenis mengenai tenaga dalam, kekuatan alternatif, ESP, Yoga, mistisime merupakan gambaran obsesi masyarakat post modern terhadap spiritualitas (Piliang, 2010: 192-193).

Melihat uraian ini dapat disimpulkan bahwa praktek jual beli jin ini disebabkan wacana ekonomi dan industrialisasi gagal memberikan iklim yang sehat bagi berkembangnya rasionalisme di kalangan masyarakat, maka dunia mistik dan irasionalitas pun mendapat tempat kembali di hati masyarakat. Masyarakat semakin antusias terhadap sensasi dunia  supranatural. Hingga betapa banyak masyarakat kita lebih mempercayai ramalan mistik ketimbang analisis rasional dan argumentasi sehat dari para ulama dan agama. Bahkan dunia politik pun memerlukan analisis mistik (paranormal). Begitu juga dunia bisnis, yang menjadikan sektor mistik ini begitu laris, sehingga memungkinkan mereka membuka office di perkantoran modern, dengan fasilitas internet dan handphone. Para eksekutif rela mengeluarkan beberapa juta untuk membeli ramalan, jimat atau jin.

Disinilah dapat kita lihat bahwa masyarakat ditengah-tengah arus post-modern pada akhirnya kembali kepada kepercayaannya (beliefs) yang dahulu dikatakan sebagai tahap yang paling primitif dari perkembangan pemikiran manusia. Dalam hal ini banyak masyarakat yang kemudian berasumsi bahwa modernisasi yang terjadi saat ini tidaklah dapat sepenuhnya memberikan jawaban atas segala problematika hidup yang dihadapi manusia terlebih jika problematika yang dihadapi cenderung tidak dapat dicarikan jawabanya secara ilmiah dan rasional. Maka dari itulah akhirnya banyak masyarakat yang berbondong-bondong mencari alternatif lainnya, khususnya yang berkaitan dengan ketenangan jiwanya dalam menghadapi realita kehidupan salah satunya, yaitu praktek jual beli jin.

Hal-hal inilah yang merujuk pada sebuah histeria ekonomi dalam masyarakat skizofrenik. Perbincangan tentang “kegilaan” dalam konteks  perkembangan kapitalisme, khususnya persoalan yang menyangkut batas-batas pengetahuan, mengenai apa yang disebut “gila” (mad) atau “kegilaan” (madness) manakah kita harus merujuk (Piliang, 2004: 310).   

Disinilah tantangan zaman yang berbicara terhadap kehidupan sehari-hari kita, masyarakat dituntut untuk cerdas dalam bersikap dan bertindak dalam menghadapi realitas-realitas semu di era sekarang ini di tengah-tengah kebisingan globalisasi informasi dan ekonomi pasar, realitas inilah yang menunjukkan orientasi nilai yang muncul dalam keseharian masyarakat di zaman modern ini.
             


Daftar Pustaka



BASIS, 2003, Kritik Terhadap Neo-Liberalisme (edisi khusus Pierre Bourdieu), Yogyakarta: Yayasan BP Basis.

Eco, Umberto, 2009, Tamasya Dalam Hiperealitas (terjemahan: Iskandar Zulkarnaen), Yogyakarta: Jalasutra

Ibrahim, Idi Subandy (Ed), 1997, Lifestyle Ectasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra.

Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Yogyakarta: Jalasutra.

Piliang, Yasraf Amir, 2004, Dunia Yang Berlari (Mencari Tuhan-Tuhan Digital), Jakarta: PT Grasindo.

Piliang, Yasraf Amir, 2010, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melalui Batas-Batas Kebudayaan, Bandung: Matahari.

Suseno, Franz Magnis, 2003, Pemikiran Karl Marx (Dari Sosialisme Utopiske Perselisihan Revolusionisme), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar