Label

Selasa, 10 Juli 2012

Pamarisudha Karipubhaya dan Atma Papa: Ritual dan (Politik) Kematian



Oleh I Ngurah Suryawan

Pergolakan Bali pasca bom 2002 dan 2005 menyita berbagai macam persoalan. Selain keterpurukan secara ekonomi pasca bom 2002, “bom sosial” berupa ketegangan sosial antara masyarakat (Hindu) Bali dengan para pendatang. Namun dalam catatan Darma Putra (2003), sehari setelah ledakan bom di Legian, tepatnya mulai pukul 07.00 wita, tokoh masyarakat dan pimpinan dari berbagai agama dan lembaga swadaya masyarakat, seperti tanpa dikomando berkumpul di Kantor Gubernur Bali. Dari pertemuan itu, mereka mengeluarkan imbauan sejuk agar masyarakat menjaga kedamaian, tidak terpancing provokasi. Mereka juga mengutuk pengeboman tetapi meminta masyarakat agar waspada dan menjauhi tindakan anarkhis.


Paca bom 2002, juga terdapat solidaritas kemanusiaan yang ditunjukkan masyarakat Bali yang menyumbang peranan penting untuk mencegah konflik dan kekerasan. Kegiatan-kegiatan ritual lintas etnis dan doa-doa bersama yang merupakan rekayasa sosial, juga berperan penting untuk mencegah meletupkan konflik dan tindak kekerasan di Bali. Sejak ledakan bom 12 Oktober 2002 sampai dengan 15 November 2002, saat dilaksanakannya ritual Pamarisudha Karipubhaya secara Hindu, telah dilaksanakan banyak kegiatan doa bersama. Doa-doa juga dilaksanakan di sekolah-sekolah. Kegiatan doa bersama atau khusus secara masing-masing agama, tidak saja dapat mencegah terjadinya konflik tetapi juga mempertebal keyakinan umat untuk mempercayai bahwa Tuhan pada akhirnya akan memberikan hukuman pada mereka yang berbuat jahat. Salah satu ritual secara Hindu yang dirancang oleh pemerintah bersama elemen masyarakat Bali adalah ritual Pamarisduha Karipubhaya (Sulistyo 2002; Darma Putra, 2003; Cotteau, 2003; Sujaya, 2004).

Sementara itu, nun jauh di utara Bali, di catus pata (perempatan) Kota Singaraja, Kabupaten Buleleng, pada 7 September 2004, di depan ratusan orang yang memangku adegan/sawa (personifikasi simbol manusia yang telah mati, dengan wujud janur dan kain putih kuning), terpampang spanduk upacara ritual tersebut, “Upacara Atma Papa Kabupaten Buleleng, 7 September 2004, Catus Pata Singaraja. Majelis Desa Pakraman Buleleng dan Pemda Buleleng”. Spanduk itulah yang melatarbelakangi kerumunan orang yang duduk berpanasan di tenda atau yang mengelilingi tempat tersebut. Sampai sirine polisi terdengar mengiringi mobil-mobil mewah para pejabat mendekati tempat upacara.

Dari sambutan ketua panitia, keluarlah maksud dari pemerintah daerah Kabupaten Buleleng melaksanakan ritual Atma Papa ini. “Atma Papa maka piranti lan usaha ri sajeroning ngajegang adat, budaya lan agama druwene, miwah sane pinih utama prasidha nginkinang paridabdab pamargin karman atma papa nincap ke pamargin miwih linggih sane becik. Sewos ring punika, ring swadharma agama lan swadharmaning negara marupa utsaha nincapang kasukerthan jagat mangda prasidha jagat druwene manggeh ajeg rawuh riwekas” (atma papa sebagai sarana dan usaha untuk ngajegang (mempertahankan, menjaga) adat, budaya dan agama kita dan yang paling utama bisa mempersiapkan perjalanan atma dan statusnya yang lebih baik. Maka dari itu, usaha dari kewajiban agama dan negara merupakan usaha mewujudkan kedamaian dunia agar dunia kita bisa ajeg ( kokoh, kuat) sampai nanti).

Sebanyak 166 desa adat/desa pakraman di kabupaten Buleleng ikut serta dalam upacara ini. Setiap desa pakraman diwakili oleh 2 adegan/sawa, sehingga jumlah adegan/sawa seluruhnya menjadi 332. Ratusan sawa/adegan inilah setelah duduk berpanas-panas mendengar sambutan para pejabat, menghaturkan sembah, kemudian mengelilingi catus pata, kemudian bersama-sama menuju setra (kuburan) desa adat Buleleng. Adegan/sawa inilah yang kemudian dibakar sebagai simbolisasi pengabenan dari roh yang belum diupacarai. Para pimpinan umat datang untuk menyaksikan upacara ini dan menghaturkan sesaji. Setelah dibakar, dilanjutkan dengan membuang abunya ke laut.

Pamarisudha Karipubhaya dan Atma Papa: Ritual dan Politik Harmoni
Nama ritual Pamarisudha Karipubhaya sebenarnya berarti pembersihan, penyucian (Pamarisudha) dan Karipubhaya berarti bahaya (bhaya), biota (kekerasan) atau bencana (Sujaya, 2004; Lodra, 2004). Pamarisduha terkait dengan caru (sesaji korban suci) karena di tempat terjadinya ledakan bom di Jalan Legian, Kuta mempergunakan sebutan ritual Tawur Pamarisduha Karipubhaya. Tawur dalam hal ini berarti caru yang termasuk dalam golongan ritual Bhuta Yadnya (persembahan kepada para bhuta kala, mahluk-mahluk dibawah manusia yang membuat ketidakharmonisan alam).

Lodra (2004) melakukan studi mendasar tentang bentuk, fungsi, dan makna dari ritual Pamarisudha Karipubhaya ini. Pelaksanaan ritual ini didasarkan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan akibat terjadinya ledakan bom 12 Oktober 2002 di Desa Legian, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Biota (musibah) ini mengakibatkan kerusakan alam dan merenggut nyawa manusia. Telah terjadi bhaya (dalam keadaan terancam keseimbangannya). Telah terjadi ketidakseimbangan yang dalam ajaran Hindu Bali sering disebut dengan Tri Hita Karana, keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan manusia (pawongan), manusia dengan alam (palemahan), dan manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan (parahyangan).

Apabila terjadi gangguan pada keharmonisan ketiga hubungan tersebut, baik disebabkan oleh kejadian, bencana alam maupun karena ulah manusia, maka dapat dilakukan ritual untuk menyeimbangkannya. Ritual dalam bentuk yadnya (persembahan suci tulus ikhlas) ini dilakukan untuk menjaga keharmonisan, keseimbangan ketiga hubungan tersebut, baik yang menyangkut bhuana agung (jagad raya) maupun bhuana alit (diri manusia). Esensi ritual Pamarisudha Karipubhaya terletak dalam konteks ini.

Sujaya (2004) juga melihat ritual Pamarisudha Karipubhaya sebagai bentuk “obat” dan penyucian tanah Bali yang telah leteh (kotor) akibat ledakan bom 12 Oktober 2002. Dengan melakukan ritual untuk pembersihan, diharapkan tanah Bali kembali bersih dan harmonis, terhindar dari segala macam bencana yang dapat merusak keseimbangan Bali. Salah satu bentuk ritual yang dilakukan adalah melaksanakan tawur (korban suci) dengan persembahan korban suci (yadnya) berupa bintang-binatang yang disembahkan kepada Bhatara Kala untuk kembali menyeimbangkan alam setelah diberi korban, persembahan tulus ikhlas.

Tiap upacara tawur dimaksudkan untuk mengembalikan atau mengharmoniskan (nyomia) unsur Panca Mahabhuta dan unsur Panca Tanmatra. Yang termasuk unsur Panca Mahabhuta yakni pertiwi, apah, teja, bayu dan akasa. Sementara unsur-unsur Panca Tanmatra meliputi gandha, rasa, sparsa, rupa dan sabda. Jadi, semua upacara tawur dalam skala apa pun tujuannya untuk mengharmoniskan unsur-unsur Panca Mahabhuta dan unsur Panca Tanmatra. Dengan digetarkannya pertiwi, apah, bayu dan akasa oleh ledakan bom, telah terjadi suatu instabilitas atau durmanggala. Apalagi, tragedi itu sampai menewaskan ratusan orang dan secara psikologis dalam citta masyarakat Bali ada persoalan, bayangan dan seterusnya. Kondisi ini harus dikembalikan dengan upacara penyucian (Pamarisudha) agar kembali mengalami stabilitas atau keharmonisan.

Sementara ngaben Atma Papa adalah ngaben massal bagi jenazah yang belum diupacarai atau tidak diketahui jasadnya yang meninggal tidak wajar, tidak dikenal atau tidak diperlakukan sebagai mestinya menurut ajarah agama Hindu. Karena kematiannya yang tidak wajar, maka arwahnya menjadi tidak tenang, sengsara, dan tidak mendapat tempat untuk menuju Tuhan. Sebab kematiannya diantaranya karena tragedi politik dan bencana alam sering disebut sebagai mati salah pati (kecelakaan dll) dan ulah pati (bunuh diri). Ngaben Atma Papa termasuk ngaben massal dengan tingkatan nistaning utama dari tiga tingkatan yaitu nista, madya, utama. Sementara selain ngaben massal, terdapat juga ngaben sarat, ngaben sederhana, ngaben ngerit, ngaben ngegalung.

Ngaben Atma Papa bertujuan untuk penyucian atma yaitu untuk melepaskan Sang Hyang Atma dari ikatan jasmani. Tujuan lainnya adalah sebagai upacara persembahan dimana orang yang masih hidup melakukan ritual untuk mensucikan atma yang telah meninggal sehingga terlepas dari ikatan duniawi dengan ngaben. Upacara ngaben dilakukan agar roh dapat bersatu dengan Tuhan. Ritual Atma Papa juga berfungsi untuk mengharmoniskan alam Bali secara keseluruhan dari berbagai bencana yang menimpa. Dari rangkaian tragedi kemanusiaan tersebut, banyak roh yang sengsara (papa) yang tidak terurus sebagai mestinya oleh keluarga masing-masing sesuai dengan ajaran Hindu karena berbagai hal. Roh-roh yang papa yang belum diupacarai tersebut menjadi buta cuil (setan) yang bergentayangan yang mengganggu ketentraman manusia. Ngaben Atma Papa juga merupakan bagian ritual untuk menetralisir sejarah kelam pembantain 1965 di Bali (Sutama, 2005).

Politik Ritual, Kematian, dan Representasi Kekerasan
Sambutan Gubernur Bali ketika itu, Dewa Made Beratha dalam ritual Pamarisudha Karipubhaya adalah, “Ledakan bom tidak akan menggoyahkan sendi kehidupan masyarakat Bali sebagai komunitas yang hidup dalam suatu alam yang keindahannya telah dikenal di berbagai belahan dunia. Bali dengan tradisionalitasnya, bukan hanya telah dikenal tetapi menjadi milik dunia. Mereka menuntun dan memberi semangat agar Bali jangan menangis. Mereka merasakan tangisnya Bali adalah kesedihan dunia. Mereka menyatakan kehidupan masyarakat Bali dan getaran alam Bali menjadi pendorong yang luar biasa untuk bangkitnya Bali, seperti juga dunia mengagumi dan menyanyanginya. Dari pulau yang kecil ini kita gemakan semangat perdamaian, kita wujudkan harmoni dan keindahan hidup”.

Sambutan itu memberikan citra bahwa rakyat Bali adalah cinta damai dan menolak kekerasan. Dengan menyinggung konsep tat twam asi, bahwa saya adalah dia dan dia adalah saya. Menyakiti dia adalah menyakiti diri sendiri, mencintai dia adalah mencintai diri saya memberikan kesan keharmonisan dan kedamaian menyatu dalam masyarakat Bali. Pelaksanaan ritual Pamarisudha Karipubhaya menjadi salah satu program pemulihan pariwisata Bali bertajuk “Seribu Langkah Menuju Bali” dilaksanakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Program recovery pariwisata seakan nyaring terdengar untuk “mensahkan” kembali proyek kolonisasi pencitraan terhadap Bali yang terbentuk sejak zaman kolonial. Warisan budaya “adiluhung” dan Pulau Damai dengan etalase pariwisata menempatkan bagaimana citra “pulau sorga” yang “berbudaya tinggi” menjadi prioritas penting. Reproduksi citra ini terus dipompa oleh semua elemen masyarakat Bali untuk mengembalikan citra Bali demi pariwisata. Mengkritisi fenomena recovery citra Bali ini, Santikarma (2003) menuliskan bahwa meskipun Bali tertimpa bom, namun Bali tidaklah berubah, keindahan alam masih dimiliki oleh Bali dan yang terpenting adalah orang Bali masih ramah untuk menerima kunjungan wisatawan. Citra yang menganggap bawah Bali aman-aman saja setelah bom yang terlalu jauh dari realitas sebenarnya justru akan memperkeruh Bali. Di sinilah image Bali dipertaruhkan.

Ritual Pamarisudha Karipubhaya pada bom 2002 begitu hiruk pikuk disaksikan oleh ribuan pasang mata dan liputan media massa. Tetapi, hajatan ini bukan hanya karya akar rumput. Keterlibatan negara dalam ritus tragedi bisa dibandingkan dengan kasus para korban kekerasan 1965 yang tidur pulas dalam kuburan massal tanpa pernah tersentuh oleh sesajen dan percikan air suci sang pendeta, apalgi iringan panjang prosesi disertai gamelan dan riuh suara pengusung mayat. Korban bom Kuta bukan hanya mendapat upacara kematian yang megah, tetapi perhatian dari dunia internasional, seperti keterlibatan Interpol, para ahli tim forensik, tim medis internasional, lembaga swadaya lokal, dan organisasi internasional yang merebut memberikan bantuan. Mereka yang dibantai dalam kekerasan 1965, jangankan upacara, menyebut nama korban saja orang sudah menjauh. Keluarga yang ditinggalkan terpaksa melakukan upacara kematian tanpa mayat, dengan sembunyi dan perasaan penuh ketakutan (Santikarma, 2003).

Ritual Pamarisudha Karipubhaya menjadi salah satu nilai ketradisian dan “keharmonisan” yang bisa menjadi solusi dari berbagai musibah, bhaya yang terjadi di Bali. Bom Bali 2002 menyentak karena menyinggung payuk jakan (sumber penghidupan) manusia Bali. Beragam respon muncul, namun “pengawas”, panopticon bernama pariwisata membuat Bali kembali menunjukkan dirinya tampak manis dan religius dibalik kepentingan industri citra eksotika Bali yang dikonsumsi dalam ideologi pariwisata budaya. Kembali ke nilai-nilai tradisi dan mengunakan ritual Pamarisudha Karipubhaya sebagai topeng untuk mengembalikan kembali citra eksotika dan religius Bali.

Dalam konteks Bali, relasi politik dan ritual disimbolkan dalam pentas “Negara Bali” yang terjadi di desa-desa pakraman di Bali. Dalam pentas politik negara itulah berbagai teater-teater dipertunjukkan oleh manusia Bali yang berelasi dengan politik, kebudayaan, ritual dan kekuasaan. Geertz (2000) menunjukkan bahwa dalam konteks ritual dan kekuasaan keduanya saling berhubungan, dan manusia Bali menjadi pemain penting untuk mendukung status dan kuasa. Ini dikuatkan dengan pemetaan terbentuknya Bali sangat dijiwai oleh budaya kolonial—budaya penjajah dan jajahan yang begitu kuat terekam di bangsa penjajah—atau apa yang disebutnya dengan gambaran politik kerajaan (kingship). Bagi budaya kerajaan ini, kedudukan, status sosial adalah segala-galanya. Linggih, harfiahnya “kursi”, umumnya derajat, kedudukan, posisi, tempat, “kasta”, (Di mana tuan duduk adalah pertanyaan standar untuk identifikasi status), adalah poros pusat perputaran kehidupan umum masyarakat yang terdapat di kerajaan dan status tersebut.

Dalam ritual Atma Papa, negara (baca: Pemkab Buleleng) memainkan teater politik untuk meunjukkan “kepedulian dan permintaan maafnya” kepada masyarakat. Selain menunjukkan kepedulian tersebut, Pemkab Buleleng menggunakan ritual untuk melegitimasi kekuasaannya. Teater politik ritual itu ditunjukkan dengan “tanggungjawab” negara membiayai seluruh proses ritual dan mengatur seluruh rangkaian ritual.

Para roh-roh yang papa dalam upacara atma papa ini disamaratakan oleh pemerintah, dianggap semua desa di Buleleng pasti ada roh yang papa dan gentayangan. Sehingga untuk mengenerasilisasi, setiap desa diwakili oleh dua adegan/sawa laki-laki dan perempuan. Diantar oleh ratusan warga desa, berduyun-duyunlah mereka untuk datang menghadiri upacara atma papa di perempatan kota Buleleng. Suasana meriahnya upacara ini tentu sangat berbeda ketika para keluarga korban kekerasan’65 yang harus datang sembunyi-sembunyi ke setra (kuburan) desa untuk memanggil roh keluarga mereka yang hilang ketika itu. Para warga lainnya bahkan tidak mau tahu. Ya, karena ketika itu upacara ngeteg (memanggil roh korban) dianggap hanya dilakukan keluarga yang anggotanya mati karena masuk komunis. PKI.

Ketika tahun 1965, upacara mengantar kepergian roh korban yang tidak ditemukan mayatnya berlangsung hanya diantara keluarga. Ketika suami, ayah atau sanak keluarga mereka dikabarkan telah luas ke Jawa (pergi ke Jawa), istilah untuk memberikan kesan tidak ada harapan lagi pada keluarga dan bisa dipastikan anggota keluarga mereka telah terbunuh, entah dimana. Sejak mendengar kabar itulah, para keluarga korban berinisiatif menanyakan dimana tempat anggota keluarga mereka dibunuh. Itupun kalau diketahui. Kalau tidak, pihak keluarga akan mencari informasi dan mendatangi kuburan-kuburan desa terdekat untuk memanggil roh korban untuk diaben tanpa mayat, hanya dengan simbol adegan/sawa seperti yang dilakukan saat upacara atma papa.

Tapi, yang berbeda, ketika para keluarga melakukan upacara pengabenan tanpa mayat itu, pemerintah, negara belum sepenuhnya mendukung. Pedih dan derita tentu tidak bisa dihapuskan dari para keluarga korban. Sikap pasrah juga mengundang tanya akan dimana jenazah anggota keluarga kami?, Dimana ia dikuburkan?, Dimana dan siapa yang membunuh? Atau pertanyaan lain yang tidak akan mungkin dijawab oleh negara. Yang bisa dilakukan negera belasan tahun kemudian setelah ’65 adalah menutup rapi cerita pedih itu dengan serangkaian upacara pembersihan bumi Bali dengan ritual megah dan mewah. Ini untuk menunjukkan tanggung jawab negara terhadap masyarakatnya. Sementara negara melakukan upacara pembersihan megah, seperti juga upacara atma papa di Buleleng ini, saksi-saksi bisu pembantaian massal di Bali masih terus menyimpan kepedihan dari ingatan sosial masyarakat tentang pristiwa kekerasan dan pembantaian massal di Bali. Kuburan-kuburan massal hadir berdampingan dengan kemegahan upacara untuk melakukan pembersihan terhadap bumi Bali. Politik upacara telah menenggelamkan dan menutup rapi ingatan akan kekerasan para korban. Semuanya telah dinormalisasi kembali dengan upacara, ritual megah dan berwibawa untuk menutup kebenaran atas nama Tuhan, Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Negara dalam kasus ritual Atma Papa berusaha merebut simpati dengan melakukan ritual pembersihan terhadap roh-roh yang “papa” tersebut melalui ritual ngaben massal. Namun, tetap saja ritual tersebut hanya terhenti pada persoalan bagaimana menetralisir sejarah kelam dan membuat harmonis dan keseimbangan berlangsung. Ritual Atma Papa menunjukkan bagaimana teater politik ritual dilakukan dengan sangat halus dan manis oleh negara untuk menarik simpati rakyat. Negara melakukan semacam “permintaan maaf” atas tragedi konflik sosial—kekerasan politik dan pembantaian massal 1965—yang terjadi di masyarakat dimana negara memainkan peranan yang sangat penting. Selain sebagai permintaan maaf, negara juga menempatkan ritual sebagai alat legitimasi kekuasaannya dengan mendukung secara finansial dan mengatur semua rangkaian ritual Atma Papa ini.

Melihat semua uraian di atas, serangkain ritual kematian tidak bisa steril dari relasi kekuasaan. Meskipun mencerminkan “agama tindakan” menuju salvation (keselamatan), ritual-ritual yang berhubungan dengan kematian selalu penuh dengan kompleksitas, tegangan, relasi kuasa, dan transformasi terus-menerus. Di dalamnya, pentas ritual ibarat teater yang selain mensimbolkan hubungan transenden juga penuh dengan praktik pentas kekuasaan. Relasi ritual dengan lingkungan sosial politik seharusnya menjadi refleksi yang mendalam. Berbagai ritual-ritual yang berlangsung dengan tujuan untuk mencari keselamatan (salvation), harmonisasi serta keseimbangan alam justru melahirkan situasi yang ironis dan ambigu. Ritual berlangsung gemuruh sementara rentetan bencana seolah tak henti mendera kehidupan manusia. Dharma Palguna (2006) mengungkapkan bagaimana “ritual-ritual agama” di Bali dulunya dijaga dengan mantra-mantra kini justru dijaga oleh sepasukan pecalang (barisan pengamanan adat di Bali) dan pemeriksaan metal detector (saat ritual Pamarisudha Karipubhaya Bom Bali 2002 dan 2005). Orang-orang Bali kini gencar dan bersemangat melakukan berbagai macam ritual dengan megah dan spektakulaer. Tapi justru saat itu pula rangkaian bencana sambung menyambung tanpa henti mendera Bali. Bukan hanya bencana yang datang dari luar, namun juga bencana dari dalam masyarakat Bali sendiri.

Ritual salah satunya mempunyai sifat yang rahasia (rahasya), jauh dari keramaian, bunyi-bunyian dan bau-bau yang tidak relevan. Jumlah orang yang ada dalam lokasi ritual juga terbatas dan lingkungan ritual juga telah dijaga secara mistis (sengker). Tujuannya agar pikiran buruk tidak masuk dalam lingkaran mistis (sesengkeran) sehingga tujuan ritual menjadi berhasil (tepet). Namun, orang-orang Bali kini tidak menghiraukan kerahasiaan, sekaralan ritual tersebut. Ritual dibuat menjadi event keramaian. Semakin ramai semakin membanggakan. Maka ada pertunjukan, ada jamuan, ada undangan untuk pejabat pemerintah yang menyerahkan sumbangan dan membuka ritual. Para pejabat ini biasanya akan didaulat untuk peletakan batu pertama jika ada ritual pembangunan pura, mendem pedagingan (meletakkan sesaji di bawah tanah) saat ritual peresmian pura berlangsung yang semestinya dilakukan oleh pendeta atau pemangku. Ritual tambah megah dan tinggi statusnya jika ada pemberitaan di media massa dan elektronik, dimuat dalam durasi 30 menit oleh stasiun TV lokal dalam program Nangun Yadnya.




Mahasiswa Program Doktor Antropologi UGM. Peneliti tamu di PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar