Label

Rabu, 11 Juli 2012

Tanah Terjepit, Manusia Bali Menjerit



Oleh I Ngurah Suryawan

Meski bukan hal baru, kisah ironi tanah-tanah Bali yang dilalap investor terasa sangat menyesakkan. Kali ini dengan “menjual mimpi” megahnya pariwisata, 80% tanah di pesisir pantai di Kabupaten Tabanan dikuasai investor (Bali Post, 1 Juli 2009). Terbuai dengan mimpi-mimpi glamour pariwisata, rakyat dan pejabat menjual tanahnya dengan harapan bisa mendapatkan tetesan madu pariwisata. Tapi apa lacur, tanah sudah terjual, mimpi mendapatkan kesejahteraan dari pariwisata hanyalah isapan jempol.
Paradoks pariwisata Bali hingga kini adalah jargon “pariwisata budaya” sebagai strategi dan praktik “pariwisata investor” yang banyak menjual tanah-tanah di Bali dengan alasan pengembangan kawasan dan infrastruktur pariwisata. Oleh rezim Orde Baru, jargon “pariwisata budaya” memang diarahkan untuk menempatkan budaya dan pariwisata sebagai dua sisi mata uang yang sungguh-sungguh tipis bedanya. Membicarakan pariwisata berarti harus mengkaitkannya dengan budaya dan jika membicarakan budaya, “diarahkan” agar bisa menjadi aset atau daya tarik pariwisata. Budaya telah dibekukan menjadi modal dan taruhan untuk “dijual” dalam paket pariwisata.

Mendebatkan “pariwisata budaya” yang penuh dengan tendensi kekuasaan ini pasti tidak akan ada habisnya. Artikel ini bukan bermaksud membahas hal tersebut, namun menguraikan bagaimana kisah terjepitnya sisa tanah Bali dari incaran investor dan bagaimana praktik resistensi manusia Bali menghadapi dilema ini.


Kisah Ketut Pugeg dan Ironi Kawasan Investasi Baru
Ketut Pugeg (65) berjalan menepi saat mobil BMW biru tepat berada dibelakangnya. Si pengendara mobil membuka kaca pintu. Seorang lelaki bule berkacamata hitam menengok dan memandangi Pugeg dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Tidak ada senyum dari si bule, begitu juga dengan Pugeg. Hanya sepintas, mata mereka saling pandang, kemudian mobil melaju meninggalkan Pugeg. Badan Pugeg yang mulai ringkih kembali berjalan menyusuri sebuah jalan besar di pinggiran sebuah desa di sebuah daerah pariwisata baru di Kabupaten Badung. Hanya diselimuti kaos putih polos kusam, menyelipkan sebuah arit di punggungnya, Pugeg berhenti di sebuah lahan penuh rumbut. “Dumun nike tanah tiang pak, mangkin sampun beli bule. Mangkin kanggeang tiang ngerereh maman sampi driki” ujarnya sambil menunjuk bangunan villa mewah di sebelah lahan penuh rumput (Dulu itu tanah saya, tapi sekarang sudah dibeli oleh bule. Sekarang saya hanya di tanah ini mencari rumpun untuk makan sapi).

Kini, yang tersisa hanyalah tanahnya ini. Itupun sudah dicari-cari makelar dan dibujuk beberapa saudaranya untuk dijual saja. Memang tanah Pugeg berada di tepi jalan raya, sementara di sisi kanan dan kirinya sudah terbangun villa-villa mewah. Pugeg terjepit. Pernah ia berniat menjual tanah itu, tapi setalah itu tidurnya tidak tenang dan selalu bermimpi buruk. Dalam mimpinya, leluhur Pugeg sangat marah kalau ia sampai menjual tanah warisan ini. Oleh karena itulah hingga saat ini ia bertekad sampai akhir hayatnya tidak akan pernah menjual sisa terakhir tanah warisan leluhurnya ini.

Pugeg dan beberapa warga lainnya terdesak ke pinggiran. Tanah-tanah mereka di pinggir jalan atau bahkan di pinggir pantai telah terjual oleh investor ataupun bule. Banyak krama desa yang masih memilih mencari rumput untuk memelihara sapi seperti yang dilakoni Pugeg. Sebagian lainnya berdagang di pantai atau memilih menjadi buruh-buruh bangunan di proyek-proyek villa dan ruko-ruko di tanah kelahiran mereka.

Banyak wilayah-wilayah baru investasi di Bali. Salah satunya adalah wilayah Kerobokan dan Canggu di Kabupaten Badung yang kini memang menjadi primadona kalangan ekspatriat dan kelas menengah Indonesia untuk berinvestasi. Berjejer-jejer villa megah dibangun hingga ke bibir-bibir pantai. Selain villa, sarana hiburan seperti café, diskotik serta ruko-ruko, salon, spa, pusat perbelanjaan, butik-butik dan restoran berbagai jenis makanan tanpa jenuh selalu hadir silih berganti di kawasan Kerobokan. Maka tidaklah heran jika sampai pagi buta, geliat kehidupan di Kerobokan tidak pernah terhenti. Semua sarana kebutuhan para ekspatriat telah terpenuhi di Kerobokan. Hanya dengan 10 menit bersepeda motor, mereka bisa menikmati dentum musik para DJ di diskotik-diskotik di wilayah Kuta.

Siapa yang membayangkan daerah Kerobokan akan seramai seperti sekarang? Seperti juga siapa yang menyangka Kuta akan menjadi “kampung internasional”. Saat tahun 1986, jalan-jalan di Kuta dan Kerobokan seperti seperti kubangan kerbau. Malam hari gelap gulita tanpa adanya penerangan (Setia, 1986; Sujaya, 2002). Seolah tanpa henti, pembangunan infrastruktur pariwisata melalap setiap jengkal tanah di seluruh wilayah Kuta. Saat pariwisata Kuta jenuh, yang menjadi incaran adalah daerah-daerah di sekitarnya yang masih “perawan” dari tangan-tangan investasi. Dan wilayah Kerobokan menjadi sasaran berikutnya pasca 1998, ketika kelompok kelas menengah kaya mencari lahan baru yang aman berinvestasi. Petani-petani Desa Kerobokan menjadi gagap, seolah tak percaya ketika para tukang kapling tanah membujuk mereka menjual tanah dengan harga yang menggiurkan ketika itu. Tak kuat menahan bayangan rupiah yang melimpah, tanah leluhur di Kerobokan perlahan-lahan namun pasti ludes terjual. Meski desa pakraman melarang warganya menjual tanah, banyak cara yang dilakukan untuk mensiasatinya. Salah satunya adalah meminjam Kartu Tanda Penduduk (KTP) krama desa pakraman, mengawini gadis Bali atau “kerjasama” dengan krama desa pakraman untuk berusaha (Kompas, 22 Februari 2008).

Manusia Bali Menjerit dan Melawan
Di sebuah daerah pariwisata di Kabupaten Gianyar, sekelompok petani subak melakukan protes terhadap pemilik hotel megah di atas hamparan sawah berundak-undak mereka. Kelompok petani subak ini protes karena pihak hotel tidak memberikan mereka bayaran atas pemandangan sawah yang dinikmati gratis oleh para wisatawan. Cara petani subak ini protes tidak dengan merusak fasilitas atau menyegel hotel, namun membentangkan seng di sepanjang sawah saat para wisatawan makan siang dan menikmati pemandangan. Namun sayang, bukan pemandangan hamparan sawah berundak-undak yang didapat para wisatawan, namun suasana tidak menyenangkan karena di tengah terik matahari, sinar terpantul seng menjadi silau. Rakyat bersiasat, melawan yang membuat rakyat menjadi momok yang sangat menakutkan bagi kekuasaan. Meski tampak manis di depan kekuasaan, rakyat bisa melakukan siasat perlawanan pada kebijakan kekuasaan yang membelenggunya dengan cara-cara keseharian mereka seperti yang ditunjukan petani di Desa Tegalalang (Susanto, 1993).

Mahluk bernama pariwisatalah yang merubah total Bali hingga sekarang. Saat Orde Baru berkuasa, rakyat Bali dibungkam dengan jargon manis “pariwisata budaya”. Namun dibalik itu, yang senyatanya terjadi adalah “pariwisata resot” (Picard, 2006; Vickers, 1989) yang mengeruk tanah-tanah Bali untuk dibangun infrastruktur pariwisata megah. Karena pembangunan (pariwisata) jugalah, apa yang oleh Laksono (2000) disebutkan tumbuhnya komunalisme, kesadaran berkomunitas di kalangan masyakarat menjadi diragukan. Suara masyakarat telah dikooptasi dan diseragamkan oleh negara, sehingga siasat berkomunitas untuk mengontrol hasrat kekuasaan telah dikuasai dan dikendalikan oleh negara (baca: Orde Baru).

Dilema hidup Pugeg dan masyarakat Bali pada umumnya tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap pariwisata. Kebiasaan keseharian yang telah membadan menjadi ide dan citra Bali adalah budaya dan pariwisata seperti juga yang coba dipropagandakan oleh jargon “pariwista budaya”. Tanah-tanah di Desa Kerobokan perlahan ludes terjual karena struktur kekuasaan pariwisata dan pembangunan yang membentuk Bali. Manusia-manusia Bali yang sisa tanahnya tersisa terjepit dan menjerit. Oleh karena itulah, gerakan-gerakan resistensi rakyat kecil dengan cara-cara keseharian sering lahir akibat respon terhadap struktur kekuasaan dan upaya pembongkaran struktur budaya yang menyebar dalam relasi masyarakatnya sendiri.

Melihat siasat manusia Bali yang menjerit karena tanahnya tergadaikan, resistensi terhadap pariwisata dan pembangunan akan terus terjadi. Massifnya industri pariwisata dan pembangunan di Bali akan mengundang jeritan-jeritan resistensi rakyat Bali yang dipraktikkan dalam keseharian hidup mereka dengan berbagai cara. Dalam praktik sehari-hari kebiasaan dan resistensi rakyat Bali terhadap pariwisata dan pembangunan itulah politik kebudayaan Bali dibangun.


Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar