Label

Selasa, 10 Juli 2012

Antropologi, Sejarah, dan Suara-suara Senyap



oleh I Ngurah Suryawan


Wayan Marda, seorang lelaki setengah baya, di sebuah desa utara Bali sungguh terpukul. Bergetar dan pilu ia menyaksikan mayat ayahnya, lelaki renta yang dekat di hatinya, terbaring di jalan. Sementara ratusan masyarakat, yang tidak lain adalah krama (warga), saudaranya, berteriak penuh caci maki menghujat ayahnya. Kerumunan warga tersebut “menghukum” ayah Wayan Marda karena dianggap egois, tidak ikut menunaikan kewajiban menjadi krama desa pakraman (warga desa adat). Ia biasa mendongkel keputusan rapat desa, melakukan aksi perlawanan terhadap keputusan tersebut dengan membangkang dan memilih jalan “lain”, daripada suara mayoritas.


Di ujung akhir hayatnya, saat menuju pembakaran mayat ke kuburan, Ayah Wayan Marda menerima hukuman dari perbuatannya. Setelah sekian lama kasepekang (dikucilkan, dimusuhi) oleh warga desa, Ayah Marda yang telah tiada dan juga keluarganya juga harus menerima hukuman. Marda tertunduk pasarah, “Masak orang yang sudah jadi mayat harus dihukum, diperlakukan seperti ini. Sama sekali tidak ada toleransi,” ungkapnya.

Kisah keluarga Wayan Marda menjadi fenomena dalam studi-studi ilmu sosial, bagaimana menempatkan suara kelompok masyarakat tersisihkan ini, para subaltern yang menjadi “korban” dari kontestasi politik kebudayaan dan kekerasan. Suara dan pergolakan hidup mereka dalam marginalitas politik dan kebudayaan, sering tersapu arus utopia “objektifitas” dalam studi-studi ilmu sosial. Studi-studi ilmu sosial, misalkan antropologi, sejarah dan juga tentunya cultural studies menekankan bagaimana ilmu social dalam praktiknya memberikan ruang pembebasan, medium bertutur kepada kelompok masyarakat yang tertindas oleh struktur kekuasaan. Oleh karena itu, studi-studi ilmu social jelas sangat subjektif dengan ketajaman analisis yang didukung oleh detail catatan lapangan, suara-suara kesaksian subjek riset social mereka.

Urvashi Butalia dalam Sisi Balik Senyap (2003) dan Anna Tsing dalam Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan (2001) memberikan kita gambaran bagaimana pergumulan ilmu sosial untuk tidak bertendensi untuk objektif, tapi sedari awal menyadari bahwa mereka harus berpihak menentukan sikap terhadap fenomena social yang terjadi. Tsing juga melihat bahwa marginalitas Dayak meratus mengundang Tanya bagaimana pandangan orientalisme negara (Orde Baru) dalam mengakui keberadaan etnis tertentu. Dari studi mereka, setidaknya tergambar bahwa tangan-tangan kekuasaan tidak monolitik, tapi kuasa telah menyentuh ruang-ruang ingatan, kepedihan suara-suara perempuan korban pemisahan India dan Pakistan (pada studi Butalia), dan pergolakan hidup masyarakat Dayak Meratus di tengah arus besar modernisasi negara (pada studi Tsing).

Khusunya Urvashi Butalia memberikan sebuah poin penting bagaimana ketajaman, sensitifitas dan keberpihakan seorang peneliti dan penulis untuk melihat dan menggali suara-suara terbungkam, kisah pedih manusia dalam sebuah pentas sosial politik bernama pemisahan sebuah bangsa. Di dalamnya terdapat segudang narasi bagaimana penuturan ingatan manusia, sebuah kisah yang “kecil” yang diberikan ruang untuk bertutur dan berbagi. Urvashi dengan tegas dan jujur menyatakan dirinya tidak bisa bernaung dibawah jargon karya “objektif” dalam pakem akademik yang kaku. Urvashi tidak memilih untuk berkutat dalam bahasa-bahasa “tinggi” konflik politik pemisahan. Ia lebih tertarik untuk menggambarkan semuanya tidak dengan bahasa-bahasa sulit yang sering digunakan kalangan akademik, ataupun kerangka teoritik yang rumit tapi tidak menjejakkan kakinya. Ia menuliskan dengan detail bagaimana cerita-cerita rakyat biasa yang menjadi korban dari peristiwa Pemisahan itu. Ia meminjam suara lirih dan pedih rakyat kecil untuk menjelaskan bagaimana konflik Pemisahan bisa berakibat pada perubahan kehidupan, rasa kehilangan dan kepedihan rakyat biasa.

Sebuah sikap yang mengagumkan adalah argumentasinya untuk berpihak pada “suara-suara yang lama dicampakkan”. Suara pedih itu mungkin tidak akan dihiraukan oleh kalangan elite, dianggap sebagai cerita biasa, yang kalah dari cerita elite politik dan masyarakat. Suara-suara dan penuturan rakyat yang “dikalahkan” inilah yang menjadi kekuatan dan fokus penulisan Urvashi. Dari penuturan kisah-kisah itu, semua data dan catatan lapangan yang diperolehnya tentu sangat subyektif. Ia mengakui itu semuanya dan mencoba lepas dari hantu bernama objektifitas.

Ingatan yang terpelihara di masyarakat terhadap suatu peristiwa akan diturunkan terus-menerus pada generasi berikutnya. Karena itulah, menelisik ingatan-ingatan itu, sampai pada keengganan manusia mengingatnya, sampai pada kesenyapan dibalik ingatan manusia, menggugah para peneliti, akademisi, dan para aktivis kemanusiaan untuk bersama-sama belajar menyentuh alas dan dasar setiap persoalan sosial kemanusiaan yang terjadi. Bagi saya, semuanya didapat bukan dengan kerumitan bahasa akademisi yang melangit dan melakukan penelitian dibelakang meja, tapi dengan mendengar penuturan dan membuat rakyat kecil “bersuara” dengan penulisan hasil penelitian yang telah dilakukan. Memang tugas terberat intelektual dan akademisi adalah bagaimana suaranya bisa dimengerti rakyat kecil. Mungkin kata “merubah” terlalu utopis, tapi sangat mungkin terjadi jika para intelektual dan akademisi ini bisa menjejakkan kakinya bersama rakyat, membuat apa yang disampaikannya dimengerti rakyat kecil, berempati, dan bersikap membela rakyat yang “dikalahkan”.

Tapi sebagian besar intelektual dan akademisi, khususnya para antropolog yang fokus kajiannya pada pergulatan manusia dan kebudayaannya, seakan lepas dari “bumi” yang menjadi pijakannya—kisah-kisah manusia dengan problematikanya. Bahkan sangat banyak para antropolog yang menjadi tim ahli pemerintah daerah untuk membangun hotel megah di tengah perkampungan kumuh. Karena itu, rakyat kecil harus digusur dan mengalah pada gerakan pembangunan infrastruktur pariwisata untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Di Bali, para antropolog dan intelektual beramai-ramai berebut proyek pemerintah untuk “memberdayakan rakyat” dengan program-programnya. Wacana pemberdayakan rakyat itu terbangun dalam sebuah ideologi pembangunan, yang menggunakan tenaga-tenaga para antropolog dalam pelaksanaannya. Tahun 1980-an, saat pariwisata di Bali menemukan kemapanannya, studi antropologi pembangunan dan pariwisata begitu trendy. Perguruan tinggi memberikan porsi besar pada fokus studi ini. Antropologi pada akhirnya berelasi kuat dengan kekuasaan, ketika pariwisata dan pembangunan menjadi urat nadi kajian para antropolog. Yang menjadi “jualan” mereka adalah sebuah hak milik bernama “kebudayaan” (Bali). Maka terciptalah sebuah kurikulum pendidikan dan paradigma antropologi, dengan bagaimana mencari-cari “nilai-nilai luhur kebudayaan” yang bisa disumbangkan untuk pembangunan dan pariwisata.

Lapisan elite para antropolog ini mengais rezeki dari proyek-proyek penelitian pembangunan dan pariwisata, dimana mereka bertugas melakukan survei kelayakan masyarakat menerima produk-produk industri, atau dibangunnya sebuah pabrik dan hotel. Akar ilmu antropologi kembali pada awal perkembangannya, saat kolonisasi antar bangsa berlangsung. Antropologi menjadi panopticon dan sekaligus mengkonstruksi karakter masyarakat yang dikoloni. Hal yang sama dilakukan sebagian besar para antropolog kini di Bali dan juga di Indonesia dengan mendikte” masyarakat yang sedang ditelitinya, dijadikan sebagai sebuah “harta sosial dan budaya” untuk mendukung pembangunan pariwisata, khususnya di Bali.

Tidak jarang para antropolog yang hingga kini berkubang dalam “proyek-proyek pelacuran” ini. Mereka turun ke lapangan, sementara kepala mereka telah terkonstruksi bagaimana “memanfaatkan” masyarakat, kalau perlu “diberdayakan” dengan digusur, disediakan RSS (Rumah Sangat Sederhana), sementara di tanah mereka berdiri menjulang tinggi mall atau kompleks pertokoan dan perumahan. Atau para antropolog di Bali, tahun 1980-1990-an yang keranjingan mendapatkan proyek respon masyarakat Bali terhadap pembangunan pariwisata budaya. Isi kajian tersebut adalah puja-puji keberhasilan pembangunan pariwisata meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali. Dan terakhir, saat para “antropolog 2 P” (Pariwisata dan Pembangunan) ini mengikuti survei respon dampak bom Bali Oktober 2002 pada kehidupan masyarakat kecil di Bali. Hasil akhirnya sudah pasti recovery pembangunan pariwisata yang “memberdayakan” masyarakat kecil. Disinilah pengkhianatan antropologi pembangunan dan pariwisata terjadi, bukan menggunakan suara rakyat, tapi memanipulasinya.

Paradigma antropolgi yang “elite” dan berjarak adalah warisan dari perspektif antropologi kolonial. Sementara massa rakyat yang “dikorbankan” dari pembangunan dan pariwisata, sebuah sebuah kuasa struktur sosial terabaikan. Inilah cermin pergulatan antropologi orde baru, di tengah para antropolog sibuk dengan proyek-proyek konsultan-konsultan pembangunan.

Saya lebih sepakat—dan ini terus menjadi perdebatan para antropolog—, bahwa antropologi, sejarah dan cultural studies bukanlah ajang pemetaan teoritik yang melambung tinggi, pergulatan wacana otonomi daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan manusia dengan grafik dan hitungan keberhasilan. Yang diperlukan antropologi dan para antropolog adalah sikap berpihak pada rakyat yang “dikorbankan” oleh struktur kekuasaan. Karena itulah, sensitifitas dan kepekaan untuk menangkap suara-suara senyap dan bungkam ini menjadi kekuatan bertutur serta sekaligus empati bagi para antropolog. Tentu ini dengan sebuah kesadaran bahwa suara-suara yang terpinggirkan dari rakyat kecil juga mempunyai hirarkhi dan struktur kuasa sendiri. Justru operasi kuasa inilah yang ingin dibongkar ole antropolog, dan kemudian menuliskannya menjadi sebuah karya yang menggugah dan inspiratif. Paling tidak ini bisa menjadi alternatif untuk menjawab bagaimana antropologi menjelaskan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

Dan juga sebuah etika bahwa antropologi adalah ruang bertutur bagi rakyat kecil. Karena itulah dengan empati dan etika, para antropolog tidak akan terbuai dengan kontes-kontes konferensi yang megah dan produksi publikasi serta ketenaran dengan melupakan rakyat kecil yang ditelitinya. Dengan tindakan etis dan humanis, selayaknya antropologi menjadi sebuah ruang kesaksian dan bertutur bagi rakyat kecil, yang tidak kemudian dilupakan, tapi dijadikan ruang dan relasi pemihakan bagi para antropolog. Karena dengan menentukan sikap akan menunjukkan pemihakan atau pengkhianatan antropologi di Indonesia.

.

I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor Antropologi UGM. Penulis buku, Bali Pascakolonial: Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya (2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar