Label

Selasa, 10 Juli 2012

Bara di Bali Utara



oleh I Ngurah Suryawan

Kabupaten Buleleng di utara Pulau Bali dikenal dengan “bumi panas” karena kekerasan dan keberingasan menjadi keakrabanan sehari-hari. Pasca reformasi 1998, tensi politik di Buleleng meningkat tajam dengan rentetan tragedi kekerasan hingga menelan korban tewas. Ketegangan dan kekerasan politik lokal tersebut melibatkan pendukung partai politik dari PDIP dan Partai Golkar.


Gejolak tersebut terjadi setelah pengekangan selama rezim otoritarian Orde Baru hampir 33 tahun. Rezim Orde Baru mengkonsolidasikan kekuasaannya pasca pembantaian massal 1965 dan tragedi peng-Golkar-an yang terjadi di seluruh Bali termasuk di Buleleng tahun 1970-an. Saat itulah PNI yang berhasil di-Golkar-kan kemudian menjelma menjadi PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan selanjutnya berubah menjadi PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Selama kekuasaan Orde Baru, Golkar—yang kemudian pasca 1998 menjadi Partai Golkar—melakukan pengekangan politik dan melakukan cara-cara teror dan penyumbatan aspirasi politik selama Orde Baru berkuasa. Salah satu yang menjadi korban dari unsur partai politik tentunya adalah PDI/PDIP.

Kekerasan politik yang berlangsung di Kabupaten Buleleng terait erat dengan sejarah panjang kekerasan politik sebelumnya tadi, dari mulai pembantaian massal Tragedi 1965 dalam peralihan kekuasaan menuju rezim Orde Baru, konsolidasi kekuasaan Golkar dalam tragedi peng-Golkar-an yang secara khusus berlangsung di Kabupaten Buleleng dan dengan cara-cara lain di daerah lain di Indonesia, hingga kekerasan politik pasca reformasi 1998 yang berbentuk aksi balas dendam berbagai kekuatan politik dan massa yang dikekang kebebasannya saat rezim otoritarian Orde Baru berkuasa.

Tragedi “Sabtu Kelabu Sukasada” pada 10 Oktober 1998 menjadi awal ketegangan politik lokal zaman reformasi di Kabupaten Buleleng dan hampir di beberapa daerah di Bali. Berikutnya adalah apa yang dikenal dengan “Tragedi Banjar” yang melibatkan dua kubu yaitu PDIP dan Golkar di daerah Kecamatan Banjar yaitu Desa Tegeha, Desa Sekar, Desa Dencarik, Dusun Corot, Desa Cempaga, Desa Sidetapa dan Desa Pedawa. “Tragedi Banjar” berlangsung cukup lama sejak minggu pertama bulan November 1998, tepatnya 7 November 1998 hingga pertengahan bulan Desember, tepatnya 14 Desember 1998. Dalam rentetan “Tragedi Banjar” tersebut, enam orang meninggal, 17 orang luka-luka dan beberapa rumah dan sepeda motor dirusak dan dibakar (Bali Post, 13 Desember 1998 dalam Sudariya, 2005: 136).

Kasus pertama yang menghebohkan Kabupaten Buleleng dikenal dengan rentetan “Tragedi Banjar”. Di daerah ini sejarah kekerasan berlangsung panjang. Ketegangan politik yang kemudian diikuti dengan pembantaian massal juga terjadi di Kecamatan Banjar, yang kemudian dikenal menjadi “daerah panas” karena kekerasan politik pertama di Kabupaten Buleleng pasca reformasi 1998 terjadi di daerah ini. Pada tahun 1960an, seperti umumnya di daerah-daerah lain di Bali, dua partai besar PNI dan PKI bersaing memperebutkan pengaruh, termasuk yang terjadi di Kecamatan Banjar. Kedua partai ini memiliki pengikut yang hampir seimbang, namun tidak sedikit pula kelompok yang netral.

Di Kecamatan Banjar pada era reformasi sebenarnya berkembang banyak partai, selain Partai Golkar dan PDIP ada Partai Republik, Partai Keadilan dan Persatuan, Partai Amanat Nasional, PNI-Front Marhaenisme. Namun yang paling dominan adalah PDIP dan Partai Golkar, dimana Partai Golkar yang masih ingin mempertahankan kedudukan, tidak ingin adanya perubahan di Kecamatan Banjar, sehingga konflik tidak dapat dihindarkan. Menurut Ida Komang Banjar (dalam Jondra, 2004: 79-80), di daerah desa-desa Bali Aga (Bali asli)—seperti di Desa Cempaga, Pedawa, Tigawasa—zaman Orde Baru hampir 100% Golkart, sehingga pada zaman reformasi tokoh-tokoh PDIP sangat sulit menyebarkan pengaruhnya di desa-desa Bali Aga itu, terlebih lebih pada saat itu sebagian besar tokoh masyarakat menjadi kepala desa yang dengan sendirinya secara otomatis menjadi Komdes Golkar. Untuk menyiasati hal itu warga PDIP yang loyal, menggunakan berbagai kesempatan informal untuk menyebarkan pengaruh, seperti misalnya mengunjungi rekan separtai dengan menggunakan atribut partai, termasuk bendera partai politik juga dipasang di mobil. Kondisi tersebut menjadi pemicu terjadinya insiden di Dusun Corot, Cempaga, dimana pada peristiwa tresebut empat nyawa melayang, puluhan korban luka-luka dan dua mobil rusak berat.

Tidak hanya di Kecamatan Banjar sejarah kekerasan berlangsung. Genealogi kekerasan hampir terjadi di setiap desa dan dusun di Kabupaten Buleleng, salah satunya adalah di Desa Padangbulia. Sudariya (2005) melukiskan bahwa terjadi pemisahan garis massa yang tegas antara delod pura (sebelah utara Pura Desa Padangbulia yang merupakan basis PKI dan selanjutnya Golkar) dan dajan pura (sebelah selatan Pura Desa Padangbulia yang merupakan basis PNI dan selanjutnya PDIP). Rebutan pengaruh terjadi di Desa Padangbulia antara IRMI (Ikatan Rakyat Murba Indonesia) dan GERPINDO (Gerakan Pemuda Indonesia). Organisasi IRMI yang kemudian menjadi PKI dipimpin oleh Gusti Nyoman Oka, sedangkan GERPINDO yang berubah menjadi PNI dipimpin oleh Ketut Srinaka. Pada saat G30S, pembantaian massal berlangsung, 15 warga Desa Padangbulia “diamankan” di kantor sosial dan hilang entah kemana (Sudariya, 2005: 126-127).

Pada masa kampanye menjelang Pemilu 1999, Desa Padangbulia juga bergolak. Setelah serangan pada PNI pada massa “peng-Golkar-an” 1971, teror dan kekerasan berlanjut yang melibatkan partai PDIP, yang merupakan reinkarnasi dari PNI dan tentu saja Golkar. Dua hari sebelum pemungutan suara Pemilu 1999, dua warga PDIP, Gusti Ambara dan Made sila terkena taji, sejenis panah dan busur yang sering disebut bentetan ter. Kedua warga PDIP tersebut terkena taji di bagian punggung hingga mengeluarkan darah. Peristiwa ini adalah serangkaian tragedi kekerasan yang terjadi sebelumnya di Kabupaten Buleleng. Diantaranya adalah pencabutan bendera, pelemparan, perusakan serta pembakaran antara para pendukung partai politik, terutama antara PDIP yang basis massanya berada di delod pura desa (sebelah utara Pura Desa) dengan Golkar yang basis massanya di wilayah dajan pura desa (sebelah selatan Pura Desa). Kejadiannya pada sore hari 18.30 wita persis di depan atau di sebelah timur Pura Desa Padangbulia yang dikenal sebagai perbatasan dua basis politik kekuatan PDIP dan Golkar. Bangkitnya perlawanan massa PDIP di Desa Padangbulia disamping disebabkan akumulasi kekecewaan terhadap sikap politik penguasa (rezim Orde Baru) yang diskriminatif dan represif.

Kejadian bentrok massa di Buleleng antara PDI-P dan Golkar juga terjadi pada Minggu, 26 Oktober 2003. Dua orang tewas mengenaskan, kantor DPD Partai Golkar di Jalan Ngurah Rai Buleleng hancur, lima kendaraan dibakar, dan satu posko Golkar hancur. Dua desa di Buleleng yaitu Desa Petandakan, Kecamatan Buleleng dan Desa Pedawa, Kecamatan Banjar mulai Sabtu 25 Oktober 2003 sudah tegang dan mencekam dan pada minggu pagi kembali terjadi bentrok fisik antara kedua pendukung partai politik tersebut. Yang mengenaskan terjadi di Desa Petandakan, Kecamatan Buleleng. Dua warga yang juga pengurus Partai Golkar tewas mengenaskan, masing-masing Putu Antara (40) dan adiknya Ketut Agustana (25), akibat tebasan senjata tajam maupun panah dan benda tumpul lainnya. Kedua mayat itu terbujur kaku di depan pintu rumah kelihan (ketua) desa setempat, Made Gelgel. Kepala kedua korban terus mengeluarkan darah segar hingga menggenangi tanah sekitar jenazah. Selain dua orang tewas, di tempat yang sama satu unit sepeda motor juga ikut dibakar massa. Tewasnya Putu Negara akibat tebasan senjata tajam, berupa pedang maupun panah. Setelah dibantai, mayat Putu sempat diseret massa beratribut PDI-P sampai ke jalan raya. Sementara adik kandung Putu, Ketut Agustana, yang mengejar massa yang membantai kakaknya juga tidak lepas dari amukan massa. Di tangan kiri jenazah ada dua busur panah yang masih tertancap kuat.

I Made Gelgel, mantan kelian (ketua) adat Desa Petandakan mengaku heran di desanya seolah tanpa henti memanas terutama menjelang momen-momen hajatan politik seperti pemilu. Saat Indonesia mengenal partai politik masa Orde Lama, mayoritas warga di Desa Petandakan menganut paham PNI (Partai Nasionalis Indonesia), begitu juga yang terjadi di Bali secara umum. PNI mendapatkan pengaruh yang kuat di masyakarat Bali karena ketokohan Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama yang berdarah Buleleng.

Tahun 1971, terjadi tragedi peng-Golkar-an yang sangat hebat di Buleleng yang sering juga disebut dengan pem-Buleleng-an. Ketika itu partai “dirancang dan ditentukan” oleh kekuasaan negara, sehingga anggota-anggota PNI digiring untuk masuk ke Golkar. Karena tidak semua tokoh PNI bersedia bergabung ke Golkar, maka ketegangan dan konflik tidak terhindarkan. Seorang tokoh PNI Desa Petandakan, Ketut Langgeng, yang kukuh tidak bersedia bergabung ke Golkar menjadi TO (Target Operasi) peng-Golkar-an melalui gerakan Sekber (Sekretariat Bersama) Golkar. Karena kukuh dengan prinsipnya tak mau beralih ke partai lain, Ketut Langgeng pun berkorban nyawa setelah dikeroyok orang tak dikenal ke rumahnya. “Waktu itu saya sudah SMA, kematian Pak Langgeng itu sama seperti kematian Putu Negara dan Agustana ini,“ kenang Gelgel yang guru SD setempat (Nusa, 1 November 2003).

Ketut Gelgel mengaku tak mengerti dengan peristiwa yang menelan krama (warga) Desa Petandakan karena ikut berpartai. Sebab setelah peristiwa peng-Golkar-an tahun 1971 yang mencekam dan merenggut nyawa Ketut Langgeng, menjelang Pemilu 1999 juga terjadi peristiwa perusakan rumah milik Putu Negara (keluarga Nyoman Dangin) dan Ketut Dapet di Desa Petandakan. Namun dalam tragedi tersebut tidak sampai menelan korban nyawa.

Ketut Gelgel menuturkan, terkait dengan tragedi peng-Golkar-an di Desa Petandakan pada tahun 1971 sudah terkubur dan tidak ada dendam dari pihak keluarga korban, keluarga almarhum Ketut Langgeng. Putu Widnyana, putra (alm) Ketut Langgeng menyatakan tak perlu ada dendam di Desa Petandakan, karena lahir, mati, hidup, dan segala perbuatan manusia diatur dan diatur oleh Tuhan. Karena itu, Widnyana teguh dengan prinsip yang lalu biarlah berlalu (Nusa, 1 November 2003).

Namun yang lalu ternyata berulang. Ternyata, tragedi kekerasan tidak terhenti dengan kesejukan pikiran dari keluarga almarhum Ketut Langgeng di Desa Petandakan. Selanjutnya, tragedi kekerasan berlangsung terus, mulai dari Pemilu 1999 hingga menjelang Pemilu 2003, bahkan kembali terulang dengan melayangnya nyawa Putu Negara dan Ketut Agustana. Ingatan Ketut Gelgel bahwa kejadian tragis yang menimpa Putu Negara mengingatkannya dengan pembantaian yang menimpa Ketut Langgeng. Ternyata sejarah kekerasan tidak terhenti, bahkan bertambah beringas.

Tragedi peng-Golkar-an yang terjadi pada tahun 1971 menjadi salah satu momen penting akar dendam dan kekerasan di Buleleng, disamping tragedi pembantaian massal 1965 yang menyebabkan terbunuhnya enam warga Desa Petandakan yaitu Ketut Nadi, Ketut Diarsa, Putu Mataram, Nyoman Ginadja, Ketut Renadja dan Ketut Kandi. Imbas dari tragedi tersebut, khususnya di Desa Petandakan adalah masuknya sebagaian warga yang sebelumnya beragama Hindu ke agama Budha. Alasan mereka adalah stigma “keturunan PKI” yang terus melekat pada diri mereka, sehingga sangat menggangu ketenangan hidup mereka. Juga perbedaan orientasi pada pemaknaan ritual yang mendominasi dalam praktik keagamaan pada agama Hindu-Bali (Margi, 2001).

Lingkaran kekerasan dalam genealogi politik (kekerasan) di Kabupaten Buleleng menunjukkan masih kentalnya “sentimen politik” dengan menggunakan praktik-praktik kekerasan dalam pentas perebutan kekuasaan lokal. Dari genealogi di atas, “balas dendam politik” berlabel partai hanya sebagai penipu atau topeng semata. Yang terjadi adalah subjektifitas politik dari para agen-agen politik lokal dengan berbagai macam kepentingan. Subjektifitas kekerasan inilah yang memegang peranan kuat dalam lingkaran kekerasan yang dipicu oleh politik mepapas (berbeda) dalam bendera partai-partai politik. Partai politik hanya sebagai “kambing hitam” untuk melampiaskan subjektifitas dan sentimen kekerasan tersebut. Para agen-agen kekerasan lokal yang bertarung juga bersiasat, mempunyai kepentingannya sendiri dalam setiap pentas perebutan kekeuasaan lokal.


I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Non Reguler Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar