oleh I Ngurah Suryawan *)
(dimuat di Bali Post Minggu, 2 Januari 2011)
Interkoneksi global membentangkan wilayah-wilayah yang
praktis hampir semuanya terjamah oleh kuasa modal global. Dalam konteks itulah
kearifan lokal kebudayaan yang dibayangkan mungkin hanya sekadar romantisasi
semata. Seluruh wilayah kini telah tersambung dalam interkoneksi global yang
mempertemukan masyarakat tempatan dengan jejaring eksploitasi sumber daya alam
dan sumber daya manusia tepat di depan mata. Dalam kondisi itulah terdapat
fragmen-fragmen kisah manusia untuk mementaskan siasat, resistensi,
memanfaatkan peluang ekonomi politik sekaligus bernegosiasi.
Penetrasi investasi global bernama industri pariwisata
tersebut menggugat nilai-nilai budaya masyakarat tempatan (Bali). Melahirkan
juga beragam siasat-siasat perjuangan manusia Bali menegakkan identitas budaya
di atas tanahnya sendiri. Alih fungsi lahan dan “hilangnya” tanah-tanah Bali
dari ikatan relasi historis dengan manusianya terus terjadi. Tanah-tanah
tersebut telah dikuasai oleh investor pariwisata yang sebelumnya sama sekali
tidak punya relasi historis dengan tanah tersebut.
Namun, justru di daerah frontier (garis depan)
bertemunya kekuatan kuasa modal global dengan masyarakat tempatan inilah ilmu
antropologi mati suri kehilangan spiritnya. Eksploitasi menderu kencang dan
ilmu antropologi menjadi alat legitimasi dehumanisasi rakyat dengan pembenaran
“obyektif” dan “akademis”. Kita mungkin tahu sama tahu bagaimana perdebatan
yang melelahkan tentang kebudayaan Bali hingga kini berkutat pada persoalan
pelestarian kebudayaan dan pencarian otentisitas sebagai bentuk komoditas
kultural baru. Budaya menjadi modal yang bisa “diuangkan” dalam pentas yang
melibatkan kalangan akademisi, budayawan, seniman hingga tokoh masyarakat.
Lalu, bagaimana dengan kritik kebudayaan?
Manusia Friksi di Garis Depan
Kritik kebudayaan dan refleksi identitas diri manusia Bali
berhutang kepada kisah-kisah ketegangan manusia Bali kehilangan (sejarah)
tanahnya. Beragam ingatan tentang tanah dengan segudang kisah-kisahnya kini
mulai berubah drastis. Tanah-tanah yang dulunya melekat dalam kehidupan manusia
Bali kini telah terampas oleh penetrasi investasi global bernama pariwisata.
Tebing-tebing disulap menjadi villa-villa, hamparan tanah di pesisir pantai
telah menjadi resort-resort mewah. Bahkan lahan-lahan penuh dengan batu karang
dan tebing curam bisa menjadi diskotik atau kafe-kafe.
Kondisi rakyat tempatan di garis depan pertemuan
kekuatan-kekuatan global inilah yang oleh Anna Lowenhaupt Tsing (2005) disebut
dengan friksi. Di dalamnya terdapat fragmen-fragmen kisah manusia untuk
mementaskan siasat, resistensi, memanfaatkan peluang sekaligus bernegosiasi.
Rakyat tempatan berada di daerah “hampa makna”, dimana relasi historis akan
tanah dan budaya mereka terdesak oleh situasi friksi. Dalam kondisi friksi ini,
apa saja akan menjadi komiditas yang dilahap oleh kekuatan modal dan politik
global untuk melipatgandakan keuntungan. Rakyat tempatan dalam kondisi friksi
tersebut harus berjuang menegakkan identitas dan eksistensi mereka. Yang
terjadi kemudian adalah rakyat tempatan menjadi manusia antah berantah, yang
tidak lagi peduli dengan asal-usul historis mereka terhadap tanah, tradisi dan
budaya. Rakyat tempatan berada dalam lingkaran setan “hukum rimba” saling
melenyapan.
Kompleksitas rakyat tempatan menghadapi penetrasi kuasa
politik globalisasi menyebabkan identitas dan kebudayaan lokal terus-menerus
direproduksi tanpa henti. Apa saja akan menjadi komoditi, barang dagangan,
direproduksi terus-menerus. Identitas budaya bagi masyarakat tempatan pada
dunia friksi ini menjadi sangat problematik karena akan direproduksi
terus-menerus dalam interkoneksinya dengan kekuatan global dan siasat
(berpolitik) yang tiada henti.
Antropologi Reflektif
Dalam kondisi tersebut, antropologi menawarkan perspektif
untuk memberi ruang rekognisi kepada masyarakat tempatan untuk menegakkan
identitas diri dan budayanya. Antropolog sepatutnya menggunakan perspektif
wacana mata orang kecil. Pedekatannya adalah dengan dengan melihat proses
kognitif, yaitu pada proses kesadaran pembentukan makna dan menemukan
penafsiran-penafsiran dibalik ekspresi-ekspresi budaya rakyat tempatan. Untuk
menangkap itu, antropolog bersama-sama rakyat tempatan berpolitik untuk
membangun sejarah baru. Antropologi terlibat dalam proses-proses sosial yang
terjadi. Oleh karena itulah antropologi adalah refleksi dari gerakan sosial
untuk mengungkap relasi-relasi kekuasaan yang meminggirkan rakyat tempatan.
Praksis yang bisa dilakukan adalah antropolog bersama-sama rakyat tempatan
berbagi pengalaman untuk mengungkap relasi-relasi ketidakadilan yang terjadi.
Dua kata penting dalam pendekatan ini adalah pengalaman dan
refleksi. Dengan membangun kenyataan yang partisipatif, maka menjadi sangat
penting untuk mengapresiasi narasi-narasi, pengalaman, dan refleksi masyarakat
tempatan yang menjadi jantungnya proses pemaknaan. Dengan demikian, melihat
interkoneksi masyarakat tempatan dengan kekuatan-kekuatan global kapital,
identitas budaya--termasuk di dalamnya subjek (identitas masyarakat tempatan)
adalah merupakan ruang penafsiran persoalan resistensi (siasat), perlawanan,
dan boleh dikatakan sebagai gerakan sosial. Maka, penafsiran yang akan
dihasilkan tidak berhenti pada usaha menghasilkan nilai-nilai,
kebijakan-kebijakan, atau kebudayaan lain semata, tetapi lebih pada usaha-usaha
reflektif, yaitu proses pemaknaan dan interaksi antara antropolog dengan dan liyan-nya
(pribadi-pribadi lain). (Laksono, 2009: 8)
Antropologi, dengan pendekatan reflektif memang tidak akan
pernah bebas nilai. Antropologi reflektif lahir bersama-sama rakyat untuk
berpolitik dalam membangun sejarah baru. Oleh karena itulah, antropologi
reflektif yang mendasarkan dirinya pada gerakan sosial, bekerja bersama-sama
untuk menemukan “diri masayakarat” dan juga “diri si antropolog”. Kerja
antropologi yang hanya “mengatasnamakan rakyat” akan tercerabut dari refleksi
masyarakat tempatan yang ditelitinya. Penafsiran yang dihasilkannya hanya akan
memantik relasi kekuasaan dan kekerasan.
Secara diskursif, Santikarma (2004) menunjukkan secara
genealogis relasi antropologi dan kekuasaan yang menjalar di dunia antropologi
di Indonesia. Rezim antropologi yang masih berkutat menemukan “karakter
mentalitas budaya bangsa” terpaku pada pencarian struktur sosial dan rumusan
tatanan stablilitas masyarakat. Padahal, dibalik tatanan dan strutkur sosial
serta stablitas yang dibayangkan oleh sang antropolog, bekerja secara
terselebung kekuasaan dan kekerasan yang bekerja secara massif. Oleh karena
itulah, menjadi penting bagi antropologi untuk melakukan terobosan “praktik cara
mendengar”, yang nantinya akan menjadi senjata untuk memberikan “suara” pada
kelompok masyarakat yang dibungkam, tersisihkan (subaltern).
Dengan demikian, antropologi bisa menjadi senjata bagi
rakyat yang dikalahkan untuk melantunkan identitas diri dan budayanya. Pada
titik itulah saya kira antropologi akan memberikan sumbangan nyata bagi usaha
penegakan identitas, menyemaikan gerakan-gerakan sosial, dan bersama-sama
masyarakat tempatan membangun sejarah (baru).
*) I Ngurah Suryawan, Putra
Bali Dosen di Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua
Barat.*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar