Label

Selasa, 10 Juli 2012

Manusia Bali Antah Berantah, Sebuah Refleksi




oleh I Ngurah Suryawan

Ketut Pugeg (65) berjalan menepi saat mobil BMW biru tepat berada dibelakangnya. Si pengendara mobil membuka kaca pintu. Seorang lelaki bule berkacamata hitam menengok dan memandangi Pugeg dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Tidak ada senyum dari si bule, begitu juga dengan Pugeg. Hanya sepintas, mata mereka saling pandang, kemudian mobil melaju meninggalkan Pugeg. Badan Pugeg yang mulai ringkih kembali berjalan menyusuri sebuah jalan di kawasan Kelurahan Kerobokan, Kabupaten Badung. Hanya diselimuti kaos putih polos kusam, menyelipkan sebuah arit di punggungnya, Pugeg berhenti di sebuah lahan penuh rumbut. “Dumun nike tanah tiange gus, mangkin sampun beli bule. Mangkin kanggeang tiang ngerereh maman sampi driki” ujarnya sambil menunjuk bangunan villa mewah di sebelah lahan penuh rumput (Dulu itu tanah saya, tapi sekarang sudah dibeli oleh bule. Sekarang saya hanya di tanah ini mencari rumpun untuk makan sapi).


Kini, yang tersisa hanyalah tanahnya ini. Itupun sudah diincar makeler tanah dan dibujuk beberapa saudaranya untuk dijual saja. Memang tanah Pugeg berada di tepi jalan, sementara di sisi kanan dan kirinya sudah terbangun villa-villa mewah. Pugeg terjepit. Pernah ia berniat menjual tanah itu, tapi setalah itu tidurnya tidak tenang dan selalu bermimpi buruk. Dalam mimpinya, leluhur Pugeg sangat marah kalau ia sampai menjual tanah warisan ini. Oleh karena itulah hingga saat ini ia bertekad sampai akhir hayatnya tidak akan pernah menjual sisa terakhir tanah warisan leluhurnya ini.

Wilayah Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, kini memang menjadi primadona kalangan ekspatriat dan kelas menengah Indonesia untuk berinvestasi. Berjejer-jejer villa megah dibangun hingga ke bibir-bibir pantai. Selain villa, sarana hiburan seperti café, diskotik serta ruko-ruko, salon, spa, pusat perbelanjaan, butik-butik dan restoran berbagai jenis makanan tanpa jenuh selalu hadir silih berganti di kawasan Kerobokan. Maka tidaklah heran jika sampai pagi buta, geliat kehidupan di Kerobokan tidak pernah terhenti. Semua sarana kebutuhan para ekspatriat telah terpenuhi di Kerobokan. Hanya dengan 10 menit bersepeda motor, mereka bisa menikmati dentum musik para DJ di diskotik-diskotik di wilayah Kuta.

Siapa yang membayangkan daerah Kerobokan akan seramai seperti sekarang? Seperti juga siapa yang menyangka Kuta akan menjadi “kampung internasional”. Saat tahun 1986, jalan-jalan di Kuta dan Kerobokan seperti dicatat Setia (1986; Sujaya, 2002) seperti kubangan kerbau. Malam hari gelap gulita tanpa adanya penerangan. Pantai Kuta, Seminyak, dan Loloan Yeh Poh, tiga pantai di kawasan Kuta-Kerobokan sangat kotor. Perahu-perahu nelayan berjejer menunggu melaut. Kuta kemudian lebih dulu berkembang berkat ide dari Dokter Made Mandara yang membenahi rumahnya untuk dijadikan penginapan temannya seorang bule. Langkahnya kemudian diikuti warga lainnya yang menyulap sebagian rumahnya untuk penginapan murah. Deburan ombak pantai Kuta untuk berselancar menjadi daya tarik tersendiri para para turis anak muda.

Maka, mulailah industri pariwisata menerjang Kuta. Seolah tanpa henti, pembangunan infrastruktur pariwisata melalap setiap jengkal tanah di seluruh wilayah Kuta. Saat pariwisata Kuta jenuh, yang menjadi incaran adalah daerah-daerah di sekitarnya yang masih “perawan” dari tangan-tangan investasi. Dan wilayah Kerobokan menjadi sasaran berikutnya pasca 1998, ketika kelompok kelas menengah kaya mencari lahan baru yang aman berinvestasi. Petani-petani Desa Kerobokan menjadi gagap, seolah tak percaya ketika para tukang kapling tanah membujuk mereka menjual tanah dengan harga yang menggiurkan ketika itu. Tak kuat menahan bayangan rupiah yang melimpah, tanah leluhur di Kerobokan perlahan-lahan namun pasti ludes terjual. Meski desa pakraman melarang warganya menjual tanah, banyak cara yang dilakukan untuk mensiasatinya. Salah satunya adalah meminjam Kartu Tanda Penduduk (KTP) krama desa pakraman, mengawini gadis Bali atau “kerjasama” dengan krama desa pakraman untuk berusaha (Kompas, 22 Februari 2008).

Kisah tersebut paling tidak bisa merefleksikan bagaimana manusia Bali memang benar-benar berada di wilayah frontier (garis depan). Ruang-ruang di garis depan bertemunya kekuatan-kekuatan global dalam rangka mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di Bali. Penetrasi global melalui investasi pariwisata menjadi pemantik perubahan sosial budaya paling nyata di Bali selama lebih dari 100 tahun.

Essay ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana masuknya investasi global bernama industri pariwisata tersebut menggugat nilai-nilai budaya masyakarat tempatan (Bali). Melahirkan juga beragam siasat-siasat perjuangan manusia Bali menegakkan identitas budaya di atas tanahnya sendiri. Dalam kondisi seperti inilah, ketika setiap jengkal nafas manusia Bali tergantung kucuran dollar industri pariwisata, terjadi ketegangan relasi historis manusia Bali dengan tanahnya. Tanah-tanah manusia Bali telah lama tergerus oleh rakusnya industri pariwisata untuk pembangunan infrastruktur. Alih fungsi lahan dan “hilangnya” tanah-tanah Bali dari ikatan relasi historis dengan manusianya terus terjadi. Tanah-tanah tersebut telah dikuasai oleh investor pariwisata yang sebelumnya sama sekali tidak punya relasi historis dengan tanah tersebut. Tulisan sederhana ini berusaha merefleksikan bagaimana sebenarnya implikasi pariwisata dalam mengkonstruksi identitas budaya Bali? Bagaimana fragmen-fragmen perjuangan manusia Bali dalam menegakkan identitas budaya di tengah tengah arus globalisasi pariwisatas yang semakin deras?

Tanpa Tanah Tanpa Sejarah: Siasat Manusia Bali di Garis Depan
Saya kembali teringat bagaimana kisah ketegangan manusia Bali kehilangan (sejarah) tanahnya. Beragam ingatan tentang tanah dengan segudang kisah-kisahnya kini mulai berubah drastis. Tanah-tanah yang dulunya melekat dalam kehidupan manusia Bali kini telah terampas oleh penetrasi investasi global bernama pariwisata. Tebing-tebing disulap menjadi villa-villa, hamparan tanah di pesisir pantai telah menjadi resort-resort mewah. Bahkan lahan-lahan penuh dengan batu karang dan tebing curam bisa menjadi diskotik atau kafe-kafe.

Kisah di Desa Pakraman Kerobokan menunjukkan investor menyasar daerah-daerah pantai yang sering digunakan oleh warga untuk melakukan ritual keagamaan setelah ritual ngaben dan yang lainnya. Pada April 2007, daerah pinggir Pantai Loloan Yeh Poh dilakukan penyendaran oleh investor PT Bali Unicorn dalam rangka proyek besar membuat resort tepi pantai dengan nama proyek “penataan” Pantai Loloan. Masyakarat Desa Pakraman Kerobokan tanpa tahu menahu saban hari mendengar deru truk-truk membawa material untuk penyenderan dan pengurukan bibir Pantai Loloan Yeh Poh. Bukan hanya proyek penyenderan saja ternyata, bangunan-bangunan permanen dan gazebo-gazebo berjejer sepanjang pantai. Sementara alat-alat berat untuk penyenderan pantai terus bekerja siang dan malam. Meski ada keluhan dan protes warga, gunjingan di bale banjar, tetap saja proyek tersebut jalan terus. Truk-truk dengan angkuh menderu-deru menurunkan batu-batu untuk menguruk Pantai Loloan Yeh Poh.
Warga Desa Kerobokan pun marah dan melawan. Pada 11 April 2007, krama (warga) adat Desa Pakraman Kerobokan dengan berpakaian adat membunyikan kulkul bulus (bunyi kentungan bertalu-talu tanda bahaya) memanggil seluruh warga keluar rumah. Warga kemudian berkelompok menghadang truk pengangkut material yang dikawal patroli polisi. Warga memblokir jalan menuju Pantai Loloan Yeh Poh. Warga menuntut penghentian pengurukan pantai sekarang juga. Dalam proses investor masuk ke Pantai Loloan Yeh Poh, krama adat Desa Pakraman Kerobokan sama sekali tidak mendengar apalagi dilibatkan dalam rencana proyek ini. Para pejabat birokrasi dan Bupati Badunglah yang menandatangai izin penataan Loloan kepada PT Bali Unicorn (Bali Post, 12 April 2007).

Saya juga teringat kisah di wilayah Desa Pakraman Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Sekelompok petani subak melakukan protes terhadap pemilik hotel megah di depan hamparan sawah berundak-undak milik para petani. Kelompok petani subak ini protes karena pihak hotel tidak memberikan mereka bayaran atas pemandangan sawah yang dinikmati gratis oleh para wisatawan. Cara petani subak ini protes tidak dengan merusak fasilitas atau menyegel hotel, namun membentangkan seng di sepanjang pemandangan hamparan sawah saat para wisatawan makan siang dan menikmati pemandangan. Namun sayang, bukan pemandangan hamparan sawah berundak-undak yang didapat para wisatawan, namun suasana tidak menyenangkan karena di tengah terik matahari, sinar terpantul seng menjadi silau.

Dalam carut marut industri dan ketegangan pariwisata, rakyat mempunyai siasatnya sendiri. De Certeau (1984) menunjukkan bagaimana praktik kehidupan sehari-hari dilakukan oleh rakyat kebanyakan dalam tempat dan ruang tertentu. Dalam ruang yang terhimpun praktik-praktik kegiatan manusia tersebut, terdapat budaya-budaya yang sangat biasa, yaitu praktik hidup keseharian manusia. Wujud dari praktik keseharian itu diterjemahkan melalui budi bahasa yang juga sangat biasa, jauh dari kesan elite dan “berwibawa”. Berpijak pada teoretisi Bourdieu tentang habitus dan Foucault tentang struktur kekuasaan, de Certeau menunjukkan bahwa dalam sebuah kebiasaan hidup masyarakat (habitus), praktik-praktik manusia sangat dipengaruhi oleh struktur kekuasaan (aparatus pejabat pemerintah, ideologi, prosedur birokrasi, teknik) dan habitus itu sendiri tentunya.

Dilema hidup Pugeg dan masyarakat Bali pada umumnya tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap pariwisata. Habitus terhadap Bali adalah budaya dan pariwisata. Tanah-tanah di Desa Kerobokan perlahan ludes terjual karena struktur kekuasaan pariwisata dan pembangunan yang membentuk Bali. Rakyat bersiasat, melawan yang membuat rakyat menjadi momok yang sangat menakutkan bagi kekuasaan. Meski tampak manis di depan kekuasaan, rakyat bisa melakukan siasat perlawanan pada kebijakan kekuasaan yang membelenggunya dengan cara-cara keseharian mereka seperti yang ditunjukan petani di Desa Tegalalang Oleh karena itulah, gerakan-gerakan resistensi sering lahir akibat respon terhadap struktur kekuasaan dan upaya pembongkaran habitus masyarakat sendiri. Seperti potret dari krama Desa Kerobokan dan petani subak Desa Tegalalang.

Praktik, taktik manusia inilah yang sering disebut dengan siasat. Dalam siasat, manusia dihadapkan langsung dengan kenyataan di lapangan, fakta di depan mata yang membutuhkan cara, taktik untuk menghadapinya. Berbeda dengan strategi yang masih di atas meja atau kertas yang berupa rancangan untuk menghadapi kenyataan. Dalam siasat inilah, praktik keseharian manusia mengandung beragam makna dan pergolakan manusia dan kebudayaan yang sering dilupakan.

Melihat siasat manusia Bali yang menjerit karena tanahnya tergadaikan, resistensi terhadap pariwisata dan pembangunan akan terus terjadi. Massifnya industri pariwisata dan pembangunan di Bali akan mengundang jeritan-jeritan resistensi rakyat Bali yang dipraktikkan dalam keseharian hidup mereka dengan berbagai cara. Dalam praktik sehari-hari kebiasaan dan resistensi rakyat Bali terhadap pariwisata dan pembangunan itulah politik kebudayaan Bali dibangun.

Manusia Bali Hampa Makna (Antah Berantah): Sebuah Refleksi
Mengikuti kisah fragmen-fragmen keseharian manusia Bali berelasi dengan dunia global bernama pariwisata, saya jadi teringat lukisan yang tajam Y.B. Mangunwijaya dalam Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1987) yang merefelksikan relasi sosial yang terjadi di negeri ini. Hampir semua masyarakatnya terjebak dalam lingkaran saling melenyapkan satu dengan yang lainnya. Perumpamaan Ikan Hiu menggambarkan kekuatan kapital (kuasa modal). Ikan Ido mencitrakan ketamakan penguasa lokal (baca: negara) yang dengan semena-mena memakan Ikan Homa, yang tidak lain adalah rakyatnya sendiri. Pada akhirnya, Ikan Ido juga termakan oleh keganasan Ikan Hiu. Semuanya pasrah, tergantung, dan menyerahkan kehidupannya kepada kekuatan lain diluar kuasa bahkan bayangan kita.

Globalisasi pariwisata memang benar telah mensejahterakan segelintir rakyat, tapi menggerus tanah dan mengeksploitasi sebagian besar rakyat. Komunitas rakyat tempatan juga harus berjuang menegakkan identitasnya ditengah gempuran modal industri pariwisata. Semuanya menjadi komoditas, barang dagangan produksi kapitalis dan sebagai obyek hasrat konsumen, termasuk budaya dan kesenian rakyat Bali untuk tampak eksotik di depan pariwisata.

Tentu sangat banyak manusia Bali yang berada di tepi “sukses pariwisata” yang selalu diulang-ulang ceritanya. Mereka selalu dikalahkan, termakan oleh Ikan Hiu dan Ikan Hido yang haus kekuasaan. Rakyat Bali dengan tanahnya telah lama menjadi incaran para investor dan kekuatan investasi global dengan dalih “mengembangkan pariwisata”. Rakyat kecil ini berada di garis depan (frontier) perebutan sumber daya untuk kepentingan kekuasaan politik (kapital) global. Kondisi terjepit itu diperparah dengan kuasa politik lokal yang bukannya melindungi rakyat tempatan, tapi malahan berkolaborasi dengan kekuatan modal untuk menindas rakyatnya sendiri. Kasus-kasus perambahan lingkungan untuk industri pariwisata tidak jarang terjadi di Bali.

Terlalu banyak contoh yang menunjukkan bagaimana pongahnya penetrasi kuasa politik (globalisasi) merasuk mengobrak-abrik sejarah rakyat tempatan terhadap tanah kelahirannya. Di Papua Barat misalnya, pembukaan perkebunan kelapa sawit, investasi besar perusahaan pertambangan, pembalakan hutan, hingga penetrasi modal melalui pendirian mall-mall hingga hotel berbintang menyisakan kompleksitas persoalan terhadap posisi rakyat tempatan. Tanah mereka habis terjual, akses ekonomi yang semakin sulit, relasi historis terhadap tanah mereka yang terputus membuat mereka terhimpit.

Kondisi rakyat tempatan di garis depan pertemuan kekuatan-kekuatan global inilah yang oleh Anna Lowenhaupt Tsing (2005) disebut dengan friksi. Di dalamnya terdapat fragmen-fragmen kisah manusia untuk mementaskan siasat, resistensi, memanfaatkan peluang sekaligus bernegosiasi. Rakyat tempatan berada di daerah “hampa makna”, dimana relasi historis akan tanah dan budaya mereka terdesak oleh situasi friksi. Dalam kondisi friksi ini, apa saja akan menjadi komiditas yang dilahap oleh kekuatan modal dan politik global untuk melipatgandakan keuntungan (Laksono, 2009a). Rakyat tempatan dalam kondisi friksi tersebut harus berjuang menegakkan identitas dan eksistensi mereka. Yang terjadi kemudian adalah rakyat tempatan menjadi manusia antah berantah, yang tidak lagi peduli dengan asal-usul historis mereka terhadap tanah, tradisi dan budaya. Rakyat tempatan berada dalam lingkaran setan “hukum rimba” saling melenyapan.

Antropolog P.M. Laksono (2009b) mengungkapkan, kompleksitas rakyat tempatan menghadapi penetrasi kuasa politik globalisasi menyebabkan identitas dan kebudayaan lokal terus-menerus direproduksi tanpa henti. Apa saja akan menjadi komoditi, barang dagangan, direproduksi terus-menerus. Identitas budaya bagi masyarakat tempatan pada dunia friksi ini menjadi sangat problematik karena akan direproduksi terus-menerus dalam interkoneksinya dengan kekuatan global dan siasat (berpolitik) yang tiada henti.

Untuk menangkap dinamika inilah antropolog sepatutnya menggunakan perspektif wacana mata orang kecil. Pedekatannya adalah dengan dengan melihat proses kognitif, yaitu pada proses kesadaran pembentukan makna dan menemukan penafsiran-penafsiran dibalik ekspresi-ekspresi budaya rakyat tempatan. Untuk menangkap itu, antropolog bersama-sama rakyat tempatan berpolitik untuk membangun sejarah baru. Antropologi terlibat dalam proses-proses sosial yang terjadi. Oleh karena itulah antropologi adalah refleksi dari gerakan sosial untuk mengungkap relasi-relasi kekuasaan yang meminggirkan rakyat tempatan (Laksono, 2009a). Praksis yang bisa dilakukan adalah antropolog bersama-sama rakyat tempatan berbagi pengalaman untuk mengungkap relasi-relasi ketidakadilan yang terjadi.


I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor (S3) Antropologi UGM, Yogyakarta. Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.

1 komentar:

  1. tulisan yang bagus ditengah banyaknya tulisan positivisme pariwisata, tetapi Bali sebenarnya ditipu oleh orang Bali sendiri

    BalasHapus