Label

Rabu, 11 Juli 2012

Gemuruh Politik dan Suara-Suara Tersisih di Desa Pakraman




oleh I Ngurah Suryawan


Wayan Marda, seorang lelaki setengah baya, di sebuah desa utara Pulau Bali sungguh terpukul. Bergetar dan pilu ia menyaksikan mayat ayahnya, lelaki renta yang dekat di hatinya, terbaring di jalan dua tahun lalu pada suatu hari di pertengahan bulan Agustus. Sementara ratusan masyarakat, yang tidak lain adalah krama (warga), saudaranya, berteriak penuh caci maki menghujat ayahnya. Kerumunan warga tersebut “menghukum” ayah Wayan Marda karena dianggap egois, tidak ikut menunaikan kewajiban menjadi krama desa pakraman. Ia biasa mendongkel keputusan rapat desa, melakukan aksi perlawanan terhadap keputusan tersebut dengan membangkang dan memilih jalan “lain” dari suara mayoritas.


Di ujung akhir hayatnya, saat menuju pembakaran mayat ke kuburan, ayah Wayan Marda menerima hukuman dari perbuatannya. Setelah sekian lama kasepekang (dikucilkan, dimusuhi) oleh krama desa, ayah Wayan Marda yang telah tiada dan juga keluarganya harus menerima hukuman. Wayan Marda tertunduk pasrah, “Masak orang yang sudah jadi mayat harus dihukum, diperlakukan seperti ini. Sama sekali tidak ada toleransi, Sungguh tidak manusiawi,” ungkapnya. 

Jika Marda hatinya luluh lantak melihat ayahnya “dihukum” oleh krama satu desanya, cara “menghukum” warga yang dianggap membangkang lainnya adalah dengan jalan kekerasan. Kejadian ini dialami oleh Nyoman Katur di sebuah desa ujung timur Bali. Akibat ketegangan perebutan tapal batas wilayah dan tanah pelaba pura, ditambah sentimen pribadi akibat persaingan politik, rumah sederhana Katur menjadai sasaran massa. Aksi beringas massa dengan berteriak histeris melempari rumahnya dari setiap sisi. Nyoman Katur mendengar sendiri teriakan suara orang-orang desa yang dikenalnya untuk menghancurkan rumahnya. “Benyahin, benyahin…!” (Hancurkan, hancurkan…!). 

Belum lama ini, melalui media online saya membaca sebuah berita mengejutkan. Pada minggu, 15 Maret 2009 dini hari pukul 02.30 wita, empat orang Satgas Rajawali dari Partai Demokrat ditebas pedang dan diserbu oleh 20 orang di wilayah Marga, Kabupaten Tabanan yang kemudian diketahui adalah anggota BMI (Banteng Muda Indonesia), organisasi syap pemuda PDI Perjuangan. Kasusnya kini masih belum menemui titik terang, namun berita yang mengejutkan adalah keluhan beberapa krama desa pakraman yang mengeluhkan patroli Satgas Rajawali yang mengelilingi wilayah di lingkungan Marga di Kabupaten Tabanan. Para satgas ini melakukan patroli malam hari menggunakan motor dan mobil jeep yang mengganggu ketenangan warga yang sedang istirahat. Yang mengejutkan saya juga adalah yang ditetapkan menjadi tersangka kasus penebasan itu adalah anggota barisan pecalang— satuan pengaman tradisional di desa pakraman—yang diperlukan tenaganya untuk mengamankan hari raya Galungan, Nyepi dan Kuningan. Sehingga prajuru (pengurus) desa pakraman datang selain mengajukan keluhan atas patrol satgas rajawali juga memohon penangguhan penahanan empat pecalang yang juga menjadi tersangka kasus penebasan tersebut (Radar Bali, 16 dan 18 Maret 2009). 

Beranjak dari tiga narasi tersebut, desa pakraman dengan prajuru dan krama-nya menjadi aktor penting sekaligus objek dari berbagai kasus bernuansa politik di satu sisi dan nuansa dirinya sendiri (baca: adat) di sisi lain. Kasus Wayan Marda menunjukkan api dalam sekam di dalam tubuh desa pakraman itu sendiri. Sementara pentas-pentas perebutan kekuasaan lewat Pemilu dan Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) pada kasus penebasan Satgas Rajawali Partai Demokrat menunjukkan posisi sentral desa pakraman dalam pertarungan politik.

Gemuruh Politik di Desa Pakraman
Desa pakraman adalah kelompok masyakarat desa yang membawahi beberapa banjar-banjar (dusun). Pada banjar inilah terdapat basis massa yang sesungguhnya dalam komunitas adat di Bali. Karena posisinya yang penting itulah desa pakraman sering menjadi rebutan dari kepentingan politik dan sudah tentu kepentingan negara untuk “memberdayakannya” (meminjam istilah Orde Baru) dalam bentuk program-program lomba desa, lomba sekaa teruna (karang taruna), bahkan lomba setra (kuburan).

Tapi marilah mencoba melihat jejak desa pakraman yang selalu menjadi “objek” dan “komoditas” politik dalam setiap zamannya. Proyek Balinisasi (Baliseering) dan kolonisasi Belanda pada 1920-1930-an menempatkan desa pakraman sebagai “percontohan” dari mentradisikan budaya Bali dan membuatnya menjadi otentik dan tampak asli. Proyek bentukan inilah yang menjadi awal nilai-nilai desa pakraman yang diadopsi hingga kini. Praktik pariwisata budaya juga menempatkan desa pakraman sebagai sasaran dengan mengeksploitasi tanah desa pakraman untuk pembangunan infrastruktur pariwisata (Nordholt, 2004; Robinson, 2006; Picard, 2006).

Pada tahun 1965, desa pakraman menjadi media transit lalu lalang manusia dalam tragedi pembantaian massal sesama manusia Bali. Dari cerita para survivor Tragedi 1965 banyak desa di Bali menggunakan salah satunya adalah bale banjar (balai desa) sebagai tempat mengumpulkan manusia, mencatatnya, untuk kemudian dikirim dengan truk menuju tempat pembantaian. Para satuan tameng, milisi sipil pembantaian, juga sering menggunakan bale banjar sebagai tempat berkoordinasi. Ini tentunya dapat dipahami karena krama (warga) di dalam desa pakraman adalah pelaku dan korban sekaligus dalam tragedi pembantaian tersebut (Santikarma, 2005). 

Setelah Tragedi 1965 “hilang tertelan angin”, tersimpan dalam memori personal manusia Bali yang menjadi korbannya, berdirinya Orde Baru juga ditandai dengan aksi teror dan kekerasan berbungkus “peng-Golkar-an”di tahun 1970-an. Khususnya yang terjadi di Kabupaten Buleleng dikenal dengan nama “Bulelengisasi”, sebuah gerakan untuk men-Golkar-kan Buleleng dari pengaruh partai-partai lain. Beberapa tokoh PNI yang tidak bergabung ke Golkar diteror, rumahnya dibakar dan dilempari. Kelanjutan dari gerakan ini, khususnya di Kabupaten Buleleng adalah di-Golkar-kannya desa pakraman yang dulunya adalah basis pendukung PNI. Semenjak itulah Golkar mendominasi desa pakraman dengan berbagai aksi-aksi. Menjelang Pemilu rekayasa yang selalu dimenangkan Golkar, desa-desa pakraman di Bali akan meriah, menguning dengan bendera-bendera Golkar atau aksi “Gebyar Golkar“ untuk kebulatan tekad seluruh krama desa pakraman mendukung partai berlambang pohon beringin ini. 

Meski Orde Baru runtuh dan posisi Golkar mulai goyah, desa pakraman bukannya sunyi dengan berbagai aktivitas politik. PDIP hadir dengan slogan partai wong cilik yang selalu tertindas saat rezim Orde Baru berkuasa. Masyarkat Bali terbius dengan sentimen identitas darah Bali pada diri Soekarno yang mempunyai ibu seorang perempuan Bali dari Buleleng dan tentunya Megawati sebagai ikon PDIP. Posko-posko PDIP berjamuran berdiri, benderanya dengan ukuran super besar diarak dan di-pasupati (disakralkan) di jalan lalu dipasang menghiasi setiap sudut kota. Bali saat itu benar-benar memerah menjelang Pemilu 1999. Hasilnya mencengangkan, Golkar yang selalu mendominasi terpuruk oleh partai moncong putih PDIP di Bali maupun di nasional. Namun pada Pemilu 2004, meski PDIP tetap mendominasi di Bali, namun secara keseluruhan Golkar menang secara nasional. 

Kini, wilayah nasionalis yang menjadi julukan Bali (Kompas, Maret 2009) belumlah luntur benar. Saat menuju Bali dengan perjalanan darat yang melelahkan pada akhir Maret 2009, saat memasuki kawasan Pelabuhan Gilimanuk di Kabupaten Jembrana, pandangan saya sudah dikejutkan dengan dua baliho besar berwarna merah dan biru. Selain baliho besar permanen ucapan selamat datang dari Bupati Jembrana, Prof. Dr I Gde Winasa dengan berbagai program kerjanya, baliho caleg (calon legislatif) mulai dari tingkat kota, provinsi maupun DPR Pusat bertebaran di mana-mana. 

Baliho pertama yang saya lihat dalam bis yang membawa saya menuju Denpasar adalah baliho PDI Perjuangan. Seorang berbusana adat Bali, jas putih berlogo kecil banteng gemuk dalam lingkaran merah, menggunakan udeng (destar) putih membawahi gambar Megawati Soekarnoputri dan Soekarno. Tangannya dicakupkan di dada yang oleh kepercayaan Hindu disebut dengan panganjali, salam umat yang akan diikuti oleh “Om Swastyastu” yang berarti salam damai untuk kita semua (Wilasa, 2009). Tidak lupa logo PDIP besar dan tulisan,”Pilih Saya” lengkap dengan daerah pemilihan dan nomor urut caleg.

Memang tidak semua foto caleg menggunakan gambar pakaian adat dan mengucapkan panganjali umat Hindu. Ada juga yang menggunakan jas tanpa embel-embel pakaian adat Bali. Namun ada beberapa partai politik yang menerapkan aturan standar atau saran-saran jika membuat baliho atau spanduk. Seorang satgas partai politik mengakui partainya menyarankan untuk membuat baliho yang berpaket, artinya merangkul calon-calon dari mulai tingkat kota,provinsi hingga DPR pusat. Dengan paket ini tentu akan meringankan biaya para caleg tersebut. Himbuan lainnya dari pimpinan pusat partainya adalah dalam membuat baliho hendaknya memperhatikan adat dan budaya Bali. “Tidak harus menggunakan pakaian adat dan “Om Swastyastu” memang, tapi ya kalau bilang memperhatikan adat dan budaya Bali simbol itu yang paling kena,” ujarnya.

Komang adalah salah satu tim sukses caleg di desanya di pinggiran Kota Denpasar. Ia bersama 30 Satgas caleg tersebut memasang hampir 20 baliho di tempat-tempat strategis, mulai dari perempatan desa, pasar desa, sekolah, balai desa hingga di depan kuburan. Sebagai seorang sarjana lulusan manajemen universitas terkemuka di Bali, Komang menjadi kader muda dan koordinator satgas partai politik. Ia juga yang mempunyai ide untuk mengumpulkan tokoh desa, pemuda, perempuan, dan masyarakat satu desa pakraman tempat “sang bos” berasal. “Pak Yan (caleg partai tersebut yang didukungnya bernama lengkap Drs. I Wayan Supartha) saya sarankan mengumpulkan tokoh masyarakat dan memberikan sumbangan 4 juta pada masing-masing banjar. Ternyata usul saya disetujui.” Satu desa pakraman tempat “bos-nya” Komang berasal terdiri dari 5 dusun sehingga total biaya yang dikeluarkan adalah 20 juta. “Itu belum apa-apa sih menurut saya kalau dibandingkan caleg yang lain. Ada caleg yang sampai biaya publikasi termasuk buat baliho, spanduk, stiker dan bayar koran bisa sampai 300-an juta hingga pemilu selesai,” ungkap Komang.
Komang yang ikut serta dalam rapat-rapat tim sukses menuturkan memilih lambang umbul-umbul Bali dan kegiatan ritual sebagai latar belakang foto caleg dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya yang paling mendasar adalah menunjukkan citra religius dan berpihak kepada umat Hindu Bali. Oleh sebab itulah, “bos-nya” selalu memperjuangkan bantuan-bantuan dari desa pakraman untuk membangun setra (kuburan), pura atau kegiatan-kegiatan ritual ke pemerintahan, khususnya ke Kota Denpasar karena “bos-nya” Komang adalah anggota legislatif sebelumnya di DPRD kota. Pakaian yang dipilih juga serba putih yang menunjukkan kesucian dan identitas sebagai warga Hindu Bali. Masyarakat di empat dusun di tempatnya memang sasaran utama pemilih. Pada Pemilu 2004 lalu, PDIP hampir menguasai 98% suara di desanya sehingga “bos-nya” Komang yang menduduki caleg nomor urut 6 saat itu melenggang dengan mulus menduduki kursi dewan. Saat ini “bos-nya”Komang menduduki caleg nomor urut 8 untuk DPRD Kota Denpasar. 

Lain Komang dengan “bos-nya” lain juga I Wayan Arsana. Pemuda satu ini baru berusia 29 tahun saat ia menyelesaikan program magister-nya di universitas ternama di Bali. Ia maju menjadi caleg sebuah partai besar untuk DPRD kabupaten dengan nomor urut paling buncit yaitu 8. Ia mengakui hanya mencari pengalaman dan hanya menumpang pada caleg-caleg senior partai besar tersebut. Untuk baliho ia hanya membuat 5 buah yang hanya dipasang di sekitar lingkungan desanya. Tapi, ia banyak menyebarkan kartu nama yang berisi paketnya bersama caleg DPRD Bali dan DPR Pusat. “Saya mencetak hampir 5 ribu eksemplar. Saya bagi-bagikan saja ke teman-teman dan relasi di kawasan Badung, “ kisahnya. Untuk mencetak kartu nama tersebut ia tidak mengeluarkan satu peser uangpun karena yang menanggungnya adalah DPD. “Saya sebagai yang muda dan dari caleg kabupaten dituntut untuk menyebarkannya secara maksiman saja, tidak diminta uang kok.”

Pada kartu nama berlipat tiga itu, Arsana memilih menggunakan pakaian adat Bali dengan jas putih dan udeng (destar) dari kain prada mirip seperti emas. Dibawahnya bertuliskan, “Generasi Muda Mengabdi Untuk Budaya”. Latar belakangnya adalah tarian barong. Dia mengakui memilih menggunakan pakaian adat mengikuti senior-seniornya. “Kan kelihatan Bali-nya dan mendapat kesan memperjuangkan kepentingan Bali kan,” katanya lugas. Disamping itu Arsana juga mengakui agar kelihatan ciri khas Balinya. “Yang saya tahu, mencoblos saja di Bali menggunakan pakaian adat, masak calegnya pakai jas. Nanti dibilang tidak Ajeg Bali, tidak menggunakan adat Bali, kan jadi ruwet” selorohnya.

Mengurai Kekerasan (Adat) di Balik Suara-Suara Tersisih
Gemuruh politik tersebut mau tidak mau memang melibatkan desa pakraman baik sebagai institusi maupun agency para krama-nya. Setiap pentas perebutan kekuasaan, desa pakraman selalu menjadi tempat simakarma (beranjangsana) para caleg (calon legislative), bahkan calon bupati untuk mengais dukungan politik. Pada akhir acara biasanya selalu diwarnai dengan pernyataan para caleg atau calon bupati untuk nyerahan dewek (menyerahkan diri) kepada komunitas desa pakraman yang diakhir dengan permintaan dukungan suara atau kebulatan tekad desa pakraman untuk menyerahkan suaranya pada pemilihan nanti.
Desa pakraman memang menjadi primadona dengan banjar-banjar-nya sebagai lading suara dalam pentas perebutan kekuasaan politik. Selain sebagai “lumbung suara”, “benteng terakhir” pertahanan budaya Bali, desa pakraman dengan banjar-banjar-nya tanpa disadari menjadi monumen pengawas, bangunan panoptic yang mengatur gerak-gerik manusia Bali. Bangunan desa pakraman dibentuk dan didukung oleh manusia-manusia Bali yang telah mengalami banyak pahit getir dan pasang-surut hubungan kekuasaan dengan negara, sesama krama sendiri dan juga pembentukan pola-pola berpikir setiap zamannya.

Desa pakraman menjadi “basis” eksperimen beroperasinya kekuasaan pada setiap zaman. Pada 1965 desa pakraman menjadi wadah pencatatan manusia-manusia Bali yang akan dibantai. Di beberapa desa, bale banjar-lah yang dijadikan tempat untuk mengumpulkan orang-orang, kemudian mengangkutnya dengan truk untuk luas ke jawa, hilang tidak terdengar kabar beritanya hingga kini. Pasca 1965 desa pakraman menjadi lautan “kuningisasi” gebyar Golkar dan gemuruh janger-janger ibu PKK. Mereka mensimulasikan bagaimana mencoblos pohon beringin dalam sebuah acara kebulatan tekad. Pasca 1998, desa pakraman juga menjadi wadah bagaimana satuan pengamana penduduk pendatang berkumpul, berkoordinasi sebelum melakukan sweeping.

Dalam periodesasi pasang-pusut inilah manusia Bali dibentuk cara berpikirnya. Manusia-manusia penurut dan apolitis Orde Baru dibentuk untuk melestarikan adat dan budaya untuk pariwisata, sementara urusan politik ditangani oleh negara dan aparatusnya. “Orang Bali silahkan berbudaya sajalah,” begitulah kira-kira pikiran pejabat untuk menempatkan Bali jauh dari hiruk-pikuk ketegangan politik yang disapu bersih deru alat-alat berat yang menyulap tebing-tebing menjadi villa mewah wisatawan. 

Desa pakraman adalah warisan dari praktik kuasa tersebut. Warganya dibentuk dalam tatanan stabilitas yang menempatkan awig-awig (aturan tertulis adat), “keutuhan budaya Bali” dan benteng terakhir pertahanan Bali sebagai tameng. Oleh sebab itulah desakan globalisasi direspon dengan menguatkan identitas dan benteng tersebut. Sayangnya, benteng tersebut terbuka yang penuh dengan kontradiksi dan komodifikasi yang mempertautkan relasi reproduksi budaya, pariwisata, dan kuasa (Nordholt 2007).
Pasca reformasi, tata relasi hubungan kekuasaan yang sentralistik luluh lantak. Negara sentral (baca: Orde Baru) dengan kekuasaannya yang hampir mutlak hancur dalam tataran simbol kekuasaan sentralistik. Kekuasaan akhirnya menyebar dalam institusi-institusi negara di tingkat provinsi, kabupaten, kelurahan, dan desa. “Negara lokal” desa pakraman pun tertimpa rembesan kekuasaan ini. 

Semangat otonomi daerah menjadikan desa pakraman seolah-olah menjadi reinkarnasi dari negara baru. Namun sayangnya, runtuhnya kekuasaan sentral bukan berarti pergantian dalam tingkatan agency, para manusia-manusia Bali yang berada dalam pusaran kekuasaan tersebut. Setelah hampir 30 tahun dijejali dengan beragam cara berpikir, praktik kekuasaan dan kekerasan, para agency ini kemudian mereproduksi cara-cara tersebut untuk diterapkan pada lingkungan masyarakatnya. Maka tidaklah heran jika paktik-praktik kebudayaan dan kekerasan tidaklah jauh berbeda pada saat Orde Baru berkuasa, meskipun ruang mengungkapkan ekspresi menjadi jauh lebih terbuka.

Desa pakraman mereproduksi praktik-praktik kebudayaan dan kekerasan tersebut. Berbagai macam fenomena “kekerasan adat” berlangsung marak justru pasca reformasi. Perebutan sumber daya, ketegangan dalam hal “beradat” menjadi salah satu pemicu kekerasan. Maka, rebutan setra (kuburan), batas desa, tanah, atau penegakan aturan-aturan esensi “beradat” yang benar (seperti dalam kasus nyepekang krama sendiri atau memusuhi warga sendiri) menjadi beberapa hal penyebab “kekerasan adat” atau “kekerasan yang diadatkan” terjadi. 

Kontestasi perebutan sumber daya dan penegakan aturan beradat yang “benar” berjalan beriringan dengan harapan tinggi negara dan sebagian masyarakat Bali yang menempatkan desa pakraman sebagai benteng pertahanan terakhir budaya Bali. Beragam gerakan dan program-program melestarikan tradisi dan budaya terus dilakukan dibawah payung menjaga tradisi dari kepunahan. Namun sayangnya, gerakan “penguatan tradisi” tersebut menjadi sebuah rezim baru yang menafikkan suara-suara senyap di tepi gemerlap pelestarian tradisi tersebut. Kasus ketegangan dan kekerasan yang menimpa krama desa pakraman menjadi berlalu begitu saja. Sementara budaya, adat, dan tradisi terus digalakkan untuk menjadikan “Denpasar Kota Budaya” atau “Manusia Bali yang Berbudaya”, kekerasan sesama krama desa pakraman terus terjadi.
Kisah Wayan Marda dan Nyoman Katur diatas adalah sebagian kecil potret suara-suara terpinggirkan survivor kekerasan yang terjadi lingkungan desa pakraman. Kekerasan ternyata bukan jauh di alam niskala seperti dibayangkan manusia Bali dalam pelaksanaan ritual agama, tapi dipelupuk mata, sekala, dalam keseharian dan keakraban manusia Bali (Santikarma, 2003, 2005). Pelaku dan korbannya adalah sesama krama satu desa, atau bahkan sesama saudara, kawan karib yang sering dipinjami uang atau sering nguopin (membantu) dalam hajatan keluarga.

Suara Marda dan Katur dan masih banyak yang lainnya berada di tepi gemerlap dan elite-nya pentas kebudayaan Bali. Kisah Marda dan Katur dianggap akan mencemari dan mencoreng adiluhungnya budaya Bali dengan manusia yang ramah, sopan, dan suka menolong. Situasi ini sungguh sangat kontradiktif tapi sebuah kenyataan yang sulit dibantah. 

Suara-suara mereka menjadi sebuah “budaya tanding” untuk merepresentasikan kebudayaan Bali yang lain, yang mungkin oleh rezim Orde Baru dulu dianggap subversif, atau kini dianggap “tidak ajeg Bali”. Tapi dari suara-suara subversif dan tidak ajeg Bali itulah kebudayaan Bali sebenarnya berhutang. Merepresentasikan kebudayaan melalui megahnya Pesta Kebudayaan Bali, beragam ritual yang glamour dan mahal, atau “puncak-puncak” momen budaya yang elitis lainnya tentunya luput menangkap pergolakan dan suara-suara mereka yang tersisihkan, subaltern Bali yang berada di tepi glamournya pulau mereka yang penuh gemerlap lampu diskotik dan berjejernya villa-villa mewah. Kebudayaan Bali berhutang pada suara Marda-Marda dan Katur-Katur lainnya, hingga pada kesenyapan mereka untuk bungkam atau melawan budaya mereka sendiri. Tentunya dengan cara dan bahasa mereka sendiri.



I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar