Label

Rabu, 11 Juli 2012

Dibawah Bayang Kejora: Catatan Awal Gerakan Sosial Papua 1999-2000




oleh I Ngurah Suryawan

John Rimbiak, pembela hak-hak asasi manusia Papua dan salah satu putra terbaik yang dimiliki bangsa Papua mengistilahkan rakyat Papua mengalami jiwa yang patah untuk menggambarkan bagaimana isi hati, harkat, dan jati diri rakyat Papua untuk membebaskan dirinya telah dirampas oleh berbagai tindakan kekerasan terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan negara dan kekuasaannya (baca: Indonesia). Mereka mengalami “Jiwa yang Patah” (hilang percaya diri, frustrasi, apatis, mengendapkan dendam dan  kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita). Secara sosial rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama lain. Suatu kenyataan yang, selain berbagai faktor lainnya, juga melatar-belakangi mengapa rakyat Papua dewasa ini menuntut untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.


Dalam sebuah essaynya yang inspiratif, Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Papua Barat (Demi Persatuan Nasional dan Pembangunan, John Rumbiak menulis dengan tajam, “Penjajahan didukung oleh teori-teori kebudayaan yang rasialis. Kaum penjajah beranggapan bahwa kelompok masyarakat yang dijajah tidak berkebudayaan atau kebudayaannya rendah dan oleh karena itu berbagai kebijakan dilakukan untuk memperadabkan sekaligus menaklukkan kelompok masyarakat tersebut.” Ia mengutip tokoh Pembebasan Frantz Fanon, seorang psikiater asal Caribia yang kemudian mendukung perjuang bangsa Aljazair dari penjajahan Perancis. Hal yang sama juga dilihat John Rumbiak dalam konteks penjajahan Indonesia terhadap bangsa Papua Barat. Ia menuliskan:

Kebijakan apapun yang diambil oleh suatu pemerintah di manapun di dunia ini terhadap suatu kelompok masyarakat yang dikuasai tidak terlepas dari PERSEPSI yang ada pada si penguasa. Persepsi itu terbangun dari latar belakang kebudayaan, sejarah dan keinginan-keinginan juga  kekhawatiran-kekhawatiran bagaimana kelompok masayarakat yang ditargetkan itu mesti diatur.  Pemerintah Indonesia memandang Papua Barat adalah wilayah integral dari Indonesia yang telah direbut dengan darah melalui Komando Trikora di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, mantan presiden RI yang otoriter. Papua Barat juga dilihat sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dapur masa depan Indonesia. Dalam suatu ceramah di Aula Universitas Cenderawasih di Jayapura tahun 1983 Ali Murtopo, mantan menteri Penerangan pada waktu itu mengatakan: “Irian Jaya adalah dapur masa depan Indonesia”. Tetapi Papua Barat juga dipandang sebagai wilayah di mana berlangsung apa yang oleh Jakarta disebut sebagai ‘Gerakan Separatis’ yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Penduduk asli, bangsa Papua, di wilayah ini dipandang sebagai ‘primitif’ dan terbelakang sehingga mereka mesti diperadabkan. 

Persepsi pemerintah tersebut  mendasari lahirnya dua kebijakan utama dalam menangani Papua Barat, yaitu militerisme dan kebijakan-kebijakan pembangunan (transmigrasi, keluarga berencana, turisme, pertambangan, pertanian, dll). Semua itu dilakukan demi persatuan nasional dan pembangunan. Kebijakan-kebijakan ini selanjutnya “melegalkan” terjadinya Crime Against Humanity in West Papua dewasa ini. 

Selain kompleksitas sejarah dan perdebatan status politik, ingatan kekerasan dan penderitaan adalah persoalan akut dan paling membekas dalam sejarah kekerasan dan ingatan penderitaan rakyat Papua. Ingatan sosial kekerasan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui aparat TNI/Polri diwariskan secara turun-menurun tumbuh menjadi “ingatan penderitaan bangsa Papua” dan dasar gerakan sosial pembebasan bangsa Papua. Namun, ingatan penderitaan ini ditutupi oleh rezim otoritarian negara. Ingatan sosial kekerasan dan penderitaan rakyatnya adalah sebuah ancaman serius yang distigma “separatis”, “terkebelakang”, “barbar” dan “tidak berbudaya” untuk membenarkan tindakan kekerasan dan diskriminasi.

Memori subyektif rakyat Papua tentunya menjadi ancaman serius bagi stabilitas “keamanan dan ketertiban” yang dibangun negara. Setiap rezim otoriter/totaliter senantiasa memandang memori sebagai ancaman serius. Sebab, memori yang diartikulasikan secara publik bisa membuat segala bentuk kekerasan politik yang dilakukan rezim itu menjadi tampak telanjang. Itulah sebabnya rezim yang demikian senantiasa berusaha membungkam atau memutarbalikkan memori tentang kejahatan atas kemanusiaan. Dengan teknik pengendalian ingatan semacam ini, penguasa melakukan normalisasi kebohongan, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga kebohongan itu diterima sebagai "kebenaran” (Budiawan, 2004).

Melihat begitu maraknya pelanggaran HAM di Tanah Papua, maka hadirlah Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua yang menjadi jawaban atas situasi kekerasan kemanusiaan yang begitu massif. Konflik dan kekerasan yang terjadi di Tanah Papua, telah mendorong terjadinya rangkaian pelanggaran HAM secara sistematik dan meluas di Papua. Meningkatnya eskalasi kekerasan yang disertai dengan pelanggaran HAM, telah menimbulkan kekhawatiran terhadap eksistensi orang Papua, termasuk didalamnya upaya penyelesaian konflik secara komprehensif.

Berawal dari diskusi terbatas yang dilakukan oleh beberapa individu yang peduli dengan situasi HAM di Papua, dibentuklah Irian Jaya Working Group for Justice and Peace (IWGJP) 1995. Kehadiran IWGJP telah berhasil untuk melakukan monitoring dan investigasi terhadap serangkaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Asmat, Bade dan Tembagapura. Melalui kerja sama dengan ACFOA di Australia, Herman Muninghoff, OFM (Uskup Jayapura), mengirimkan laporan situasi pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar areal konsesi PT. Freeport Indonesia, tepatnya di kampung Arwanop dan Mbanti. Laporan tersebut menjadi langkah awal dari pengungkapan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, yang sejak tahun 1963, tidak terungkap ke publik.

Memandang pentingnya pemantauan, penyelidikan dan publikasi secara lebih efektif dan kontinyu, maka sejumlah individu bersepakat untuk membentuk lembaga independen yang secara permanen bekerja untuk melakukan advokasi yang lebih intensif terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. Akhir 1997, bertempat di Honai Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD), IWGJP memprakarsai pertemuan yang dihadiri oleh beberapa individu seperti: Pdt. Herman Saud, MTh, Uskup Herman Muninghoff. OFM, Zadrak Wamebu, Edison Giay, Barend Rumaikeuw, John Rumbiak, Aloy Renwarin, Johanes Bonay, Fien Jarangga, Yan C.H. Warinusi, Demianus Waney, Robert Mandosir, Silvester Wogan, Deny Yomaki, Yoseph Bawen dan Ferry Marisan. Pertemuan tersebut kemudian memberikan rekomendasi untuk mendirikan lembaga yang kini dikenal sebagai ELSHAM Papua (12 Tahun Penegakan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua: Catatan Refleksi 12 Tahun kehadiran ELSHAM di Tanah Papua).

Berlangsungnya kejahatan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua inilah yang mengakibatkan tumbuh suburnya gerakan nasionalisme Papua dan menyemaikan gerakan-gerakan sosial baru dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perempuan, organisasi pembebasan Papua, dan gereja di daerah-daerah perkotaan di Tanah Papua. Ruang politik kelompok masyarakat sipil ini terbuka saat reformasi 1998 membuka saluran politik dan aspirasi rakyat Papua.   

Masa-masa penting dalam pembentukan identitas ke-Indonesia-an (1945-1963) sama sekali tidak melibatkan rakyat Papua. Papua juga tidak pernah ikut (diikut-sertakan) dalam peristiwa historis seperti Sumpah Pemuda 1928.  Maka konsepsi dan wacana local Papua berkembang sendiri  untuk jangka waktu lama dan kemudian dibebani pula oleh rezim otoritarian Orde Baru dengan perilaku kekerasan dan diskriminasi terhadap orang Papua. Singkatnya, nasionalisme Papua berkembang dari kesadaran-lokal, kesadaran etnik dan menjadi kental akibat pengalaman pahit dan tragis di bawah Orde Baru.

Pendeta Dr. Benny Giay, seorang antropolog dan teolog Papua seperti dikutip  Santoso (2001) mengungkapkan pada hakekatnya nasionalisme Papua  terdiri dari tiga unsur: kesadaran etnik ke-Papua-an; protes besar terhadap Orde Baru; dan protes terhadap permainan dunia luar.  Di bawah Orde Baru, untuk pertama kali dalam sejarah, Papua  mengalami suatu kolonialisme yang bukan cuma menyerap  sumber daya alam ke wilayah lain, tapi juga memperkenalkan  pembantaian manusia oleh aparat negara. Itulah pasal pokoknya, kata orang di sini. Dalam kaitan itu, ada permainan dunia internasional terhadap  Papua. Yang terakhir ini merujuk pada peranan Belanda, Indonesia, PBB dan Amerika Serikat yang akhirnya melahirkan kompromi Perjanjian New York 1962 dan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Amerika, dengan obsesi Perang Dingin kala itu, membantu Presiden Soekarno menuntut hak atas Irian Barat. Adalah ulah jendral-jendral Orde Baru seperti Ali Moertopo yang tak pernah hormat pada demokrasi dan hak hak bangsa lain, yang kemudian memanipulasi Pepera tersebut, dengan memperdaya 1026 wakil Papua pada 1969. Sekarang, orang  Papua tidak mau dipecundangi lagi.

Sementara gerakan sosial pasca nasionalisme etnik tersebut bertransformasi menjadi gerakan-gerakan sosial berbasis pada LSM dan gereja. Adalah pada tahun 1980 ketika dilakukan diskusi di di Biara APO dan Keuskupan Jayapura. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk melihat kemungkinan bagaimana cara mengangkat permasalahan-permasalahan HAM di Papua kepermukaan, termasuk ke tingkat Internasional. Maka terbentuklah KKO (Kelompok Kerja Oikumene) yang kemudian membentuk IRJADISC yang berbasis di lembaga Antropologi Uncen sehingga sangat dekat hubungannya dengan kurator Museum Uncen yaitu Arnorld Ap maupun Ketua Lembaga Antropolodi Uncen, Dr Daniel Ajamiseba. IRJA DISC menjadi lembaga hukum yang solid dengan diberi nama Yayasan Pengembangan Masyakat Desa.(YPMD). Tahun 1984, gerakan masyarakat sipil ini dalam situasi yang rumit. Karena Arnold Ap dituduh otak dibalik eksodus 10.000. orang ke Papua New Guinea dan dituding sebagai Menteri Kebudayaan Republik Papua Merdeka dibawah Komando Brigjen Zet Rumkorem. Ia ditangkap oleh Kopasanda, dijebak dan melarikan diri dan dibunuh di Pasir 6. Ini tentu menjadi pukulan yang sangat berat bagi IRJA DISC.

Kabar dari Kampung (KdK) pun terbit yang kemudian berubah nama menjadi Kabar Dari Kampung (KDK). KDK selalu diasuh dalam bahasa Indonesia populer dan bahasa Indonesia-Papua. Waktu itu KDK merupakan majalah yang banyak dibaca oleh masyarakat desa dan masyarakat di Papua. Itulah spiritnya Arnorld Ap, termasuk yang lainnya yaitu pentingnya mengetahui struktur budaya, sistem budaya, sistem sosial masyarakat diberbagai di Papua sebagai entripoint sewaktu introduksi sosial. Tetapi ketergantungan IRJADISC pada Universitas Cenderawasih (Uncen) itu berat. Uncen mulai takut karena soal-soal kritis yang dilontarkan oleh IRJADISC dan YPMD. IRJADISC Uncen kemudian ditinggalkan dan orang-orannya masuk ke YPMD plus KDK hingga mulai dikenal di luar negeri. Pada tahun ini juga LBH didirikan di Papua. Gereja Katolik dan GKI meminta kepada YLBHI agar LBH didirikan di Papua.

Konsolidasi demokrasi bagi elit-alit lokal Papua terbuka saat jatuhnya rezim otoritarian Soeharto 1998. Alternatif yang tersedia adalah bergabung dengan perlawanan bersenjata OPM (Organisasi Papua Merdeka), membangun bentuk perlawanan lainnya atau memilih berjuang di jalur pengasingan. Namun, pada Agustus 1998, selang beberapa pecan setelah dilakukan pembungkaman demonstrasi kemerdekaan di Jayapura, Sorong, Wamena dan Biak, para intelektual, pemuka gereja dan aktivis membentuk Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (FORERI). Foreri berupaya untuk mencari peluang bagi orang Papua untuk mengelola masalah mereka sendiri, melalui otonomi, system federal atau kemerdekaan. Ada kesadaran diantara para aktivis di Jayapura khususnya bahwa mereka perlu menjauhkan diri dari  OPM setelah perstiwa penculikan Ekspedisi Lorentz pada tahun 1996.

FORERI (Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya) dengan dukungan tiga gereja terbesar (Gereja Kristen Injil, Gereja Katolik, dan gereja Kristen Injil Indonesia), pemuka intelektual dan LSM serta sejumlah pemuka adapt, muncul sebagai wahana utama bagi cita-cita orang Papua. Foreri menjadi mitra dialog dengan pemerintah Indonesia dalam serangkaian pertemuan–pertemuan informal menuju pertemuan Tim 100 Pemimpin Papua dengan Presiden Habibie pada Februari 1999. 100 anggota delegasi tersebut secara luas mewakili para elit Papua baik secara geografis maupun latarbelakang social dan agama. Pada pertemuan Tim 100 dan Presiden habibie inilah Tom Beanal sebagai pemimpin Tim 100 membacakan pernyataan sikap bahwa Irian Jaya ingin memisahkan diri dari Indonesia dan agar dibentuk pemerintahan peralihan di Irian jaya dibawah pengawasan PBB dan bila perlu PBB menjadi bagian dari dialog internasional antara Pemrintah Indonesia dengan rakyat Papua (ICG, 2001: 11-12).

Pertemuan dengan Presiden Habibie yang dilakukan Tim 100 dan terbentuknya FORERI menjadi babak baru dalam perjuangan demokrasi di Papua. Pertemuan dengan Presiden Habibie menjadi tahapan penting dalam perubahan perlawanan orang Papua dengan munculnya kepemimpinan baru pada kelas menengah urban di perkotaan. Pertemuan tersebut memberikan legitimasi kepada Tim 100 dan memungkinkan diberlakukannya strategi gerakan sosial tanpa kekerasan untuk mencapai kemerdekaan. Lahirnya FORERI juga menunjukkan konsolidasi gerakan masyarakat sipil dan gereja-gereja untuk memperjuangkan hak politik orang Papua.

FORERI sejak November 1999 melalui pemimpin-pemimpinnya (Tom Beanal, Benny Giay, Theys Eluay, dan yang lainnya) melakukan serangkaian pertemuan-pertemuan dengan tujuan utama untuk menggalang dukungan, memantapkan kepemimpinan, dan mengutarakan tuntutan-tuntutan kepada pemrintah Indonesia dan komunitas internasional. Berbagai pertemuan-pertemuan politik dilakukan untuk memobilisasi massa dan melakukan konsolidasi gerakan social. Ujung dari transformasi gerakan sosial yang dilakukan oleh FORERI adalah terlaksananya MUBES (Musywarah Besar) Papua 2000 pada 23-26 Februari 200 dan Kongres Papua II pada Mei-Juni 2000. Pada MUBES Papua inilah didirikan PDP (Presidium Dewan Papua) yang menjadi organisasi politik utama dalam perjuangan kemerdekaan Papua.

PDP terdiri dari 22 anggota dengan dua ketua umum dan dua moderator. Sebagai badan eksekutif anggota dewan bertanggungjawab kepada sebuah panel yaitu sebuah badan legislative terdiri dari 200 wakil dari kabupaten-kabupaten dan masyarakat-masyarakat Papua di luar negeri. PDP mendirikan dirinya sebagai sebuah kepemimpinan kolektif. Presidium memberikan struktur kepemimpinan bagi semua kekuatan yang berlainan yang menghendaki kemerdekaan, selain memberi legitimasi bagi dialog yang tengah berjalan dengan pemerintah Indonesia. Akhir dari gerakan PDP adalah ketika pemimpinnya Theys Hiyo Eluay ditemukan terbunuh pada 2001 dan Tom Beanal direkrut menjadi komisaris PT Freeport Indonesia.                  

Mulai berkembangnya gerakan masyarakat sipil pada 1999-2000 dengan dukungan gereja direspon dengan dingin dan hati-hati oleh pemerintah Indonesia. Catatan yang menarik dilakukan oleh SKP (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian) Jayapura (2001). Gaya penanganan pemerintah sejak 1998 hingga 2000 boleh disebut kebijakan menebar jala. Mula-mula segala ungkapan hati, kejengkelan, demo-demo, reaksi anti militer/ polisi, teriakan M(erdeka) dibiarkan tanpa ada pelarangan apalagi penangkapan. Seluruh lapisan masyarakat Papua seakan-akan mendapat ruang hidup seluas-luasnya. Tim 100 boleh bertemu dengan Presiden BJ. Habibie. Boleh diadakan Mubes dan Kongres. Boleh dikibarkan bendera Papua dan dinyanyikan lagu "Hai, Tanahku Papua". Boleh dididirikan Satgas Papua berikut posko-poskonya. Jala ditebarkan dalam-dalam hingga akhirnya ikan masuk dan jala ditarik. Inilah yang terjadi dengan instruksi penurunan bendera Papua tgl. 29 September 2000 dari Kapolri yang menjadi gebrakan awal untuk melakukan langkah represi luar biasa.

Terhadap gerakan massa, represi dilakukan dengan begitu mudahnya masyarakat dianiaya, ditangkap, disiksa, dan ditembak mati sedangkan pemimpin-pemimpin rakyat ditahan. Represi ini mendatangkan dampak yang tidak  sederhana: [1] kekerasan antar kelompok masyarakat seperti telah terbukti di Wamena (6 Oktober), Merauke (2 Desember); [2] pengungsian baik warga Papua maupun non-Papua; [3] ketakutan yang bersifat sistemik di tingkat masyarakat; [4] kecurigaan antar berbagai kelompok dalam masyarakat; [5] kebingungan karena kehilangan kepemimpinan; [6] makin menipisnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah di segala tingkat. Nada dasar dari semua ini adalah diciptakannya suasana konflik dan kekerasan yang pelan-pelan diidentikkan sebagai ciri perjuangan orang Papua. Semua tindakan ini sangat tidak proporsional mengingat bahwa seluruh perjuangan rakyat Papua dijalankan secara damai; maka sangat sinis bahwa aparat negara hanya tahu menjawab dengan menahan "tokoh-tokoh perjuangan damai", dan hanya tahu turut mengubah suatu iklim damai menjadi suatu iklim kekerasan.

Dalam konteks budaya, masyarakat dorang juga menjadi korban dengan pemaksaan nilai “keberadaban” yang dilakukan dalam program-program pemerintah. Salah satunya adalah operasi koteka. Identitas kolektif orang asli Papua sebagai sebuah masyarakat yang modern dan beradab dipaksakan melalui program pemerintah tersebut. Tahun 1971-1973, pemerintah Indonesia melaksanakan Operasi Koteka (penutup penis dari sejenis labu, sebagai pakaian tradisional di dataran tinggi di Papua) yang terdiri atas elemen-elemen Angkatan Bersenjata dan Pemerintah Sipil. TNI/Polri dan aparat birokrasi bergabung dalam kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk membuat masyarakat-masyarakat pedalaman Papua beradab dan untuk mengembangkan serta menciptakan kondisi-kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik, yang akan digunakan untuk pengembangan Papua lebih lanjut, dengan tujuan utamanya menciptakan ide-ide nasional (dalam perspektif Indonesia) yaitu, masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Operasi Koteka adalah kampanye militer Indonesia yang bertujuan untuk mempengaruhi orang asli Papua di pegunungan untuk meninggalkan aspek-aspek dari kebudayaan asli mereka, bersekolah, menjadi modern secara ekonomi, dan mengadaptasi identitas Indonesia yang lebih umum. Para pejabat berusaha untuk memaksa masyarakat suku Dani sebagai orang Pegunungan Papua untuk menukar Koteka mereka dengan pakaian bergaya Indonesia. Dengan demikian, strategi mempermalukan (humiliation strategy) digunakan dalam proses pembangunan di kalangan masyarakat Dani untuk membuat mereka lebih terlibat dalam perubahan sosial. Ketidakberimbangan kekuasaan tercermin dalam persepsi terhadap penduduk asli melalui pelecehan terhadap budaya-budaya tradisional lokal dan melabel budaya tersebut sebagai “terbelakang” dan “tidak beradab”. Atas nama pembangunan modern dan kemajuan, strategi mempermalukan yang meyakinkan masyarakat atas ketidakberhargaan diri dan budaya mereka tidak berharga sehingga mereka merasakan inferiority complex dan dipaksa untuk terlibat dalam perubahan sosial.

Akumulasi keputusasaan penduduk asli Papua dilanjutkan dengan pengabaian hak-hak budaya sebagai cerminan martabat kolektif mereka. Masyarakat asli Papua merasa martabat dan identitas mereka tidak diakui (contoh: proses yang tidak melibatkan mereka dalam kebijakan seperti program transmigrasi, penolakan pengakuan terhadap tanah ulayat atau wilayah nenek moyang, eksploitasi sumber daya alam, kurangnya kesempatan bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam administrasi negara, dll). Masyarakat asli Papua mengekspresikan kefrustasian mereka yang sudah terakumulasi sejak lama melalui pelbagai demonstrasi damai (Sugandi, 2008:5-6).



I Ngurah Suryawan, Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Provinsi Papua Barat. Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora (Antropologi) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Research Fellow Indonesian Young Leaders Program di Faculty of Humanities Universitiet Leiden, The Netherlands 2012. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar