oleh I Ngurah Suryawan
John Rimbiak, pembela hak-hak asasi manusia Papua dan salah
satu putra terbaik yang dimiliki bangsa Papua mengistilahkan rakyat Papua
mengalami jiwa yang patah untuk menggambarkan bagaimana isi hati, harkat, dan
jati diri rakyat Papua untuk membebaskan dirinya telah dirampas oleh berbagai
tindakan kekerasan terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan negara dan
kekuasaannya (baca: Indonesia). Mereka mengalami “Jiwa yang Patah” (hilang
percaya diri, frustrasi, apatis, mengendapkan dendam dan kebencian yang
mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita). Secara sosial rakyat
terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama lain. Suatu kenyataan yang,
selain berbagai faktor lainnya, juga melatar-belakangi mengapa rakyat Papua
dewasa ini menuntut untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai bangsa yang merdeka.
Dalam sebuah essaynya yang inspiratif, Kejahatan terhadap
Kemanusiaan di Papua Barat (Demi Persatuan Nasional dan Pembangunan, John
Rumbiak menulis dengan tajam, “Penjajahan didukung oleh teori-teori kebudayaan
yang rasialis. Kaum penjajah beranggapan bahwa kelompok masyarakat yang dijajah
tidak berkebudayaan atau kebudayaannya rendah dan oleh karena itu berbagai
kebijakan dilakukan untuk memperadabkan sekaligus menaklukkan kelompok
masyarakat tersebut.” Ia mengutip tokoh Pembebasan Frantz Fanon, seorang
psikiater asal Caribia yang kemudian mendukung perjuang bangsa Aljazair dari
penjajahan Perancis. Hal yang sama juga dilihat John Rumbiak dalam konteks
penjajahan Indonesia terhadap bangsa Papua Barat. Ia menuliskan:
Kebijakan apapun yang diambil oleh suatu pemerintah di
manapun di dunia ini terhadap suatu kelompok masyarakat yang dikuasai tidak
terlepas dari PERSEPSI yang ada pada si penguasa. Persepsi itu terbangun dari
latar belakang kebudayaan, sejarah dan keinginan-keinginan juga
kekhawatiran-kekhawatiran bagaimana kelompok masayarakat yang ditargetkan itu
mesti diatur. Pemerintah Indonesia memandang Papua Barat adalah wilayah
integral dari Indonesia yang telah direbut dengan darah melalui Komando Trikora
di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, mantan presiden RI yang otoriter. Papua
Barat juga dilihat sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dapur masa
depan Indonesia. Dalam suatu ceramah di Aula Universitas Cenderawasih di
Jayapura tahun 1983 Ali Murtopo, mantan menteri Penerangan pada waktu itu
mengatakan: “Irian Jaya adalah dapur masa depan Indonesia”. Tetapi Papua Barat
juga dipandang sebagai wilayah di mana berlangsung apa yang oleh Jakarta
disebut sebagai ‘Gerakan Separatis’ yang dapat membahayakan persatuan bangsa.
Penduduk asli, bangsa Papua, di wilayah ini dipandang sebagai ‘primitif’ dan
terbelakang sehingga mereka mesti diperadabkan.
Persepsi pemerintah tersebut mendasari lahirnya dua
kebijakan utama dalam menangani Papua Barat, yaitu militerisme dan kebijakan-kebijakan
pembangunan (transmigrasi, keluarga berencana, turisme, pertambangan,
pertanian, dll). Semua itu dilakukan demi persatuan nasional dan pembangunan.
Kebijakan-kebijakan ini selanjutnya “melegalkan” terjadinya Crime Against
Humanity in West Papua dewasa ini.
Selain kompleksitas sejarah dan perdebatan status politik,
ingatan kekerasan dan penderitaan adalah persoalan akut dan paling membekas
dalam sejarah kekerasan dan ingatan penderitaan rakyat Papua. Ingatan sosial
kekerasan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui aparat
TNI/Polri diwariskan secara turun-menurun tumbuh menjadi “ingatan penderitaan
bangsa Papua” dan dasar gerakan sosial pembebasan bangsa Papua. Namun, ingatan
penderitaan ini ditutupi oleh rezim otoritarian negara. Ingatan sosial
kekerasan dan penderitaan rakyatnya adalah sebuah ancaman serius yang distigma
“separatis”, “terkebelakang”, “barbar” dan “tidak berbudaya” untuk membenarkan
tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Memori subyektif rakyat Papua tentunya menjadi ancaman
serius bagi stabilitas “keamanan dan ketertiban” yang dibangun negara. Setiap
rezim otoriter/totaliter senantiasa memandang memori sebagai ancaman serius.
Sebab, memori yang diartikulasikan secara publik bisa membuat segala bentuk kekerasan
politik yang dilakukan rezim itu menjadi tampak telanjang. Itulah sebabnya
rezim yang demikian senantiasa berusaha membungkam atau memutarbalikkan memori
tentang kejahatan atas kemanusiaan. Dengan teknik pengendalian ingatan semacam
ini, penguasa melakukan normalisasi kebohongan, yang dilakukan sedemikian rupa
sehingga kebohongan itu diterima sebagai "kebenaran” (Budiawan, 2004).
Melihat begitu maraknya pelanggaran HAM di Tanah Papua, maka
hadirlah Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua yang
menjadi jawaban atas situasi kekerasan kemanusiaan yang begitu massif. Konflik
dan kekerasan yang terjadi di Tanah Papua, telah mendorong terjadinya rangkaian
pelanggaran HAM secara sistematik dan meluas di Papua. Meningkatnya eskalasi
kekerasan yang disertai dengan pelanggaran HAM, telah menimbulkan kekhawatiran
terhadap eksistensi orang Papua, termasuk didalamnya upaya penyelesaian konflik
secara komprehensif.
Berawal dari diskusi terbatas yang dilakukan oleh beberapa
individu yang peduli dengan situasi HAM di Papua, dibentuklah Irian Jaya
Working Group for Justice and Peace (IWGJP) 1995. Kehadiran IWGJP telah
berhasil untuk melakukan monitoring dan investigasi terhadap serangkaian kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Asmat, Bade dan Tembagapura. Melalui
kerja sama dengan ACFOA di Australia, Herman Muninghoff, OFM (Uskup Jayapura),
mengirimkan laporan situasi pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar areal
konsesi PT. Freeport Indonesia, tepatnya di kampung Arwanop dan Mbanti. Laporan
tersebut menjadi langkah awal dari pengungkapan sejumlah kasus pelanggaran HAM
yang terjadi di Papua, yang sejak tahun 1963, tidak terungkap ke publik.
Memandang pentingnya pemantauan, penyelidikan dan publikasi
secara lebih efektif dan kontinyu, maka sejumlah individu bersepakat untuk
membentuk lembaga independen yang secara permanen bekerja untuk melakukan
advokasi yang lebih intensif terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
Akhir 1997, bertempat di Honai Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD),
IWGJP memprakarsai pertemuan yang dihadiri oleh beberapa individu seperti: Pdt.
Herman Saud, MTh, Uskup Herman Muninghoff. OFM, Zadrak Wamebu, Edison Giay,
Barend Rumaikeuw, John Rumbiak, Aloy Renwarin, Johanes Bonay, Fien Jarangga,
Yan C.H. Warinusi, Demianus Waney, Robert Mandosir, Silvester Wogan, Deny
Yomaki, Yoseph Bawen dan Ferry Marisan. Pertemuan tersebut kemudian memberikan
rekomendasi untuk mendirikan lembaga yang kini dikenal sebagai ELSHAM Papua (12
Tahun Penegakan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua: Catatan Refleksi 12 Tahun
kehadiran ELSHAM di Tanah Papua).
Berlangsungnya kejahatan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua
inilah yang mengakibatkan tumbuh suburnya gerakan nasionalisme Papua dan
menyemaikan gerakan-gerakan sosial baru dari kalangan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), perempuan, organisasi pembebasan Papua, dan gereja di
daerah-daerah perkotaan di Tanah Papua. Ruang politik kelompok masyarakat sipil
ini terbuka saat reformasi 1998 membuka saluran politik dan aspirasi rakyat
Papua.
Masa-masa penting dalam pembentukan identitas
ke-Indonesia-an (1945-1963) sama sekali tidak melibatkan rakyat Papua. Papua
juga tidak pernah ikut (diikut-sertakan) dalam peristiwa historis seperti
Sumpah Pemuda 1928. Maka konsepsi dan wacana local Papua berkembang
sendiri untuk jangka waktu lama dan kemudian dibebani pula oleh rezim
otoritarian Orde Baru dengan perilaku kekerasan dan diskriminasi terhadap orang
Papua. Singkatnya, nasionalisme Papua berkembang dari kesadaran-lokal,
kesadaran etnik dan menjadi kental akibat pengalaman pahit dan tragis di bawah
Orde Baru.
Pendeta Dr. Benny Giay, seorang antropolog dan teolog Papua
seperti dikutip Santoso (2001) mengungkapkan pada hakekatnya nasionalisme
Papua terdiri dari tiga unsur: kesadaran etnik ke-Papua-an; protes besar
terhadap Orde Baru; dan protes terhadap permainan dunia luar. Di bawah
Orde Baru, untuk pertama kali dalam sejarah, Papua mengalami suatu
kolonialisme yang bukan cuma menyerap sumber daya alam ke wilayah lain, tapi
juga memperkenalkan pembantaian manusia oleh aparat negara. Itulah pasal
pokoknya, kata orang di sini. Dalam kaitan itu, ada permainan dunia
internasional terhadap Papua. Yang terakhir ini merujuk pada peranan
Belanda, Indonesia, PBB dan Amerika Serikat yang akhirnya melahirkan kompromi
Perjanjian New York 1962 dan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Amerika,
dengan obsesi Perang Dingin kala itu, membantu Presiden Soekarno menuntut hak
atas Irian Barat. Adalah ulah jendral-jendral Orde Baru seperti Ali Moertopo yang
tak pernah hormat pada demokrasi dan hak hak bangsa lain, yang kemudian
memanipulasi Pepera tersebut, dengan memperdaya 1026 wakil Papua pada 1969.
Sekarang, orang Papua tidak mau dipecundangi lagi.
Sementara gerakan sosial pasca nasionalisme etnik tersebut
bertransformasi menjadi gerakan-gerakan sosial berbasis pada LSM dan gereja.
Adalah pada tahun 1980 ketika dilakukan diskusi di di Biara APO dan Keuskupan
Jayapura. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk melihat kemungkinan bagaimana
cara mengangkat permasalahan-permasalahan HAM di Papua kepermukaan, termasuk ke
tingkat Internasional. Maka terbentuklah KKO (Kelompok Kerja Oikumene) yang
kemudian membentuk IRJADISC yang berbasis di lembaga Antropologi Uncen sehingga
sangat dekat hubungannya dengan kurator Museum Uncen yaitu Arnorld Ap maupun
Ketua Lembaga Antropolodi Uncen, Dr Daniel Ajamiseba. IRJA DISC menjadi lembaga
hukum yang solid dengan diberi nama Yayasan Pengembangan Masyakat Desa.(YPMD).
Tahun 1984, gerakan masyarakat sipil ini dalam situasi yang rumit. Karena
Arnold Ap dituduh otak dibalik eksodus 10.000. orang ke Papua New Guinea dan
dituding sebagai Menteri Kebudayaan Republik Papua Merdeka dibawah Komando
Brigjen Zet Rumkorem. Ia ditangkap oleh Kopasanda, dijebak dan melarikan diri
dan dibunuh di Pasir 6. Ini tentu menjadi pukulan yang sangat berat bagi IRJA
DISC.
Kabar dari Kampung (KdK) pun terbit yang kemudian berubah
nama menjadi Kabar Dari Kampung (KDK). KDK selalu diasuh dalam bahasa Indonesia
populer dan bahasa Indonesia-Papua. Waktu itu KDK merupakan majalah yang banyak
dibaca oleh masyarakat desa dan masyarakat di Papua. Itulah spiritnya Arnorld
Ap, termasuk yang lainnya yaitu pentingnya mengetahui struktur budaya, sistem
budaya, sistem sosial masyarakat diberbagai di Papua sebagai entripoint
sewaktu introduksi sosial. Tetapi ketergantungan IRJADISC pada Universitas
Cenderawasih (Uncen) itu berat. Uncen mulai takut karena soal-soal kritis yang
dilontarkan oleh IRJADISC dan YPMD. IRJADISC Uncen kemudian ditinggalkan dan
orang-orannya masuk ke YPMD plus KDK hingga mulai dikenal di luar negeri. Pada
tahun ini juga LBH didirikan di Papua. Gereja Katolik dan GKI meminta kepada
YLBHI agar LBH didirikan di Papua.
Konsolidasi demokrasi bagi elit-alit lokal Papua terbuka
saat jatuhnya rezim otoritarian Soeharto 1998. Alternatif yang tersedia adalah
bergabung dengan perlawanan bersenjata OPM (Organisasi Papua Merdeka),
membangun bentuk perlawanan lainnya atau memilih berjuang di jalur pengasingan.
Namun, pada Agustus 1998, selang beberapa pecan setelah dilakukan pembungkaman
demonstrasi kemerdekaan di Jayapura, Sorong, Wamena dan Biak, para intelektual,
pemuka gereja dan aktivis membentuk Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya
(FORERI). Foreri berupaya untuk mencari peluang bagi orang Papua untuk
mengelola masalah mereka sendiri, melalui otonomi, system federal atau
kemerdekaan. Ada kesadaran diantara para aktivis di Jayapura khususnya bahwa
mereka perlu menjauhkan diri dari OPM setelah perstiwa penculikan
Ekspedisi Lorentz pada tahun 1996.
FORERI (Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya) dengan
dukungan tiga gereja terbesar (Gereja Kristen Injil, Gereja Katolik, dan gereja
Kristen Injil Indonesia), pemuka intelektual dan LSM serta sejumlah pemuka
adapt, muncul sebagai wahana utama bagi cita-cita orang Papua. Foreri menjadi
mitra dialog dengan pemerintah Indonesia dalam serangkaian pertemuan–pertemuan
informal menuju pertemuan Tim 100 Pemimpin Papua dengan Presiden Habibie pada
Februari 1999. 100 anggota delegasi tersebut secara luas mewakili para elit
Papua baik secara geografis maupun latarbelakang social dan agama. Pada
pertemuan Tim 100 dan Presiden habibie inilah Tom Beanal sebagai pemimpin Tim
100 membacakan pernyataan sikap bahwa Irian Jaya ingin memisahkan diri dari
Indonesia dan agar dibentuk pemerintahan peralihan di Irian jaya dibawah
pengawasan PBB dan bila perlu PBB menjadi bagian dari dialog internasional
antara Pemrintah Indonesia dengan rakyat Papua (ICG, 2001: 11-12).
Pertemuan dengan Presiden Habibie yang dilakukan Tim 100 dan
terbentuknya FORERI menjadi babak baru dalam perjuangan demokrasi di Papua.
Pertemuan dengan Presiden Habibie menjadi tahapan penting dalam perubahan
perlawanan orang Papua dengan munculnya kepemimpinan baru pada kelas menengah
urban di perkotaan. Pertemuan tersebut memberikan legitimasi kepada Tim 100 dan
memungkinkan diberlakukannya strategi gerakan sosial tanpa kekerasan untuk
mencapai kemerdekaan. Lahirnya FORERI juga menunjukkan konsolidasi gerakan
masyarakat sipil dan gereja-gereja untuk memperjuangkan hak politik orang
Papua.
FORERI sejak November 1999 melalui pemimpin-pemimpinnya (Tom
Beanal, Benny Giay, Theys Eluay, dan yang lainnya) melakukan serangkaian
pertemuan-pertemuan dengan tujuan utama untuk menggalang dukungan, memantapkan
kepemimpinan, dan mengutarakan tuntutan-tuntutan kepada pemrintah Indonesia dan
komunitas internasional. Berbagai pertemuan-pertemuan politik dilakukan untuk
memobilisasi massa dan melakukan konsolidasi gerakan social. Ujung dari
transformasi gerakan sosial yang dilakukan oleh FORERI adalah terlaksananya
MUBES (Musywarah Besar) Papua 2000 pada 23-26 Februari 200 dan Kongres Papua II
pada Mei-Juni 2000. Pada MUBES Papua inilah didirikan PDP (Presidium Dewan
Papua) yang menjadi organisasi politik utama dalam perjuangan kemerdekaan
Papua.
PDP terdiri dari 22 anggota dengan dua ketua umum dan dua
moderator. Sebagai badan eksekutif anggota dewan bertanggungjawab kepada sebuah
panel yaitu sebuah badan legislative terdiri dari 200 wakil dari
kabupaten-kabupaten dan masyarakat-masyarakat Papua di luar negeri. PDP
mendirikan dirinya sebagai sebuah kepemimpinan kolektif. Presidium memberikan
struktur kepemimpinan bagi semua kekuatan yang berlainan yang menghendaki
kemerdekaan, selain memberi legitimasi bagi dialog yang tengah berjalan dengan
pemerintah Indonesia. Akhir dari gerakan PDP adalah ketika pemimpinnya Theys
Hiyo Eluay ditemukan terbunuh pada 2001 dan Tom Beanal direkrut menjadi
komisaris PT Freeport
Indonesia.
Mulai berkembangnya gerakan masyarakat sipil pada 1999-2000
dengan dukungan gereja direspon dengan dingin dan hati-hati oleh pemerintah
Indonesia. Catatan yang menarik dilakukan oleh SKP (Sekretariat Keadilan dan
Perdamaian) Jayapura (2001). Gaya penanganan pemerintah sejak 1998 hingga 2000
boleh disebut kebijakan menebar jala. Mula-mula segala ungkapan hati,
kejengkelan, demo-demo, reaksi anti militer/ polisi, teriakan M(erdeka)
dibiarkan tanpa ada pelarangan apalagi penangkapan. Seluruh lapisan masyarakat
Papua seakan-akan mendapat ruang hidup seluas-luasnya. Tim 100 boleh bertemu
dengan Presiden BJ. Habibie. Boleh diadakan Mubes dan Kongres. Boleh dikibarkan
bendera Papua dan dinyanyikan lagu "Hai, Tanahku Papua". Boleh
dididirikan Satgas Papua berikut posko-poskonya. Jala ditebarkan dalam-dalam hingga
akhirnya ikan masuk dan jala ditarik. Inilah yang terjadi dengan instruksi
penurunan bendera Papua tgl. 29 September 2000 dari Kapolri yang menjadi
gebrakan awal untuk melakukan langkah represi luar biasa.
Terhadap gerakan massa, represi dilakukan dengan begitu
mudahnya masyarakat dianiaya, ditangkap, disiksa, dan ditembak mati sedangkan
pemimpin-pemimpin rakyat ditahan. Represi ini mendatangkan dampak yang
tidak sederhana: [1] kekerasan antar kelompok masyarakat seperti telah
terbukti di Wamena (6 Oktober), Merauke (2 Desember); [2] pengungsian baik
warga Papua maupun non-Papua; [3] ketakutan yang bersifat sistemik di tingkat
masyarakat; [4] kecurigaan antar berbagai kelompok dalam masyarakat; [5]
kebingungan karena kehilangan kepemimpinan; [6] makin menipisnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah di segala tingkat. Nada dasar dari semua ini
adalah diciptakannya suasana konflik dan kekerasan yang pelan-pelan
diidentikkan sebagai ciri perjuangan orang Papua. Semua tindakan ini sangat
tidak proporsional mengingat bahwa seluruh perjuangan rakyat Papua dijalankan
secara damai; maka sangat sinis bahwa aparat negara hanya tahu menjawab dengan
menahan "tokoh-tokoh perjuangan damai", dan hanya tahu turut mengubah
suatu iklim damai menjadi suatu iklim kekerasan.
Dalam konteks budaya, masyarakat dorang juga menjadi
korban dengan pemaksaan nilai “keberadaban” yang dilakukan dalam
program-program pemerintah. Salah satunya adalah operasi koteka. Identitas
kolektif orang asli Papua sebagai sebuah masyarakat yang modern dan beradab
dipaksakan melalui program pemerintah tersebut. Tahun 1971-1973, pemerintah
Indonesia melaksanakan Operasi Koteka (penutup penis dari sejenis labu, sebagai
pakaian tradisional di dataran tinggi di Papua) yang terdiri atas elemen-elemen
Angkatan Bersenjata dan Pemerintah Sipil. TNI/Polri dan aparat birokrasi
bergabung dalam kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk membuat
masyarakat-masyarakat pedalaman Papua beradab dan untuk mengembangkan serta
menciptakan kondisi-kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik, yang akan
digunakan untuk pengembangan Papua lebih lanjut, dengan tujuan utamanya
menciptakan ide-ide nasional (dalam perspektif Indonesia) yaitu, masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Operasi Koteka adalah kampanye militer Indonesia yang
bertujuan untuk mempengaruhi orang asli Papua di pegunungan untuk meninggalkan
aspek-aspek dari kebudayaan asli mereka, bersekolah, menjadi modern secara
ekonomi, dan mengadaptasi identitas Indonesia yang lebih umum. Para pejabat
berusaha untuk memaksa masyarakat suku Dani sebagai orang Pegunungan Papua
untuk menukar Koteka mereka dengan pakaian bergaya Indonesia. Dengan demikian,
strategi mempermalukan (humiliation strategy) digunakan dalam proses
pembangunan di kalangan masyarakat Dani untuk membuat mereka lebih terlibat
dalam perubahan sosial. Ketidakberimbangan kekuasaan tercermin dalam persepsi
terhadap penduduk asli melalui pelecehan terhadap budaya-budaya tradisional
lokal dan melabel budaya tersebut sebagai “terbelakang” dan “tidak beradab”.
Atas nama pembangunan modern dan kemajuan, strategi mempermalukan yang
meyakinkan masyarakat atas ketidakberhargaan diri dan budaya mereka tidak
berharga sehingga mereka merasakan inferiority complex dan dipaksa untuk
terlibat dalam perubahan sosial.
Akumulasi keputusasaan penduduk asli Papua dilanjutkan
dengan pengabaian hak-hak budaya sebagai cerminan martabat kolektif mereka.
Masyarakat asli Papua merasa martabat dan identitas mereka tidak diakui
(contoh: proses yang tidak melibatkan mereka dalam kebijakan seperti program
transmigrasi, penolakan pengakuan terhadap tanah ulayat atau wilayah nenek
moyang, eksploitasi sumber daya alam, kurangnya kesempatan bagi masyarakat
lokal untuk berpartisipasi dalam administrasi negara, dll). Masyarakat asli
Papua mengekspresikan kefrustasian mereka yang sudah terakumulasi sejak lama
melalui pelbagai demonstrasi damai (Sugandi, 2008:5-6).
I Ngurah Suryawan, Dosen
Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Provinsi Papua
Barat. Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora (Antropologi) Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Research Fellow Indonesian Young Leaders Program di
Faculty of Humanities Universitiet Leiden, The Netherlands 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar