oleh I Ngurah Suryawan
(Opini Harian Bali Tribune, 9 Mei 2012)
I Wayan Tapa, seorang lelaki setengah baya, di sebuah desa
utara Pulau Bali sungguh terpukul. Bergetar dan pilu ia menyaksikan mayat
ayahnya, lelaki renta yang dekat di hatinya, terbaring di jalan empat tahun
lalu pada suatu hari di pertengahan bulan Agustus 2008. Sementara ratusan
masyarakat, yang tidak lain adalah krama (warga), saudaranya sendiri,
berteriak penuh caci maki menghujat ayahnya. Kerumunan warga tersebut
“menghukum” ayah Wayan Tapa karena dianggap egois, tidak ikut menunaikan
kewajiban menjadi krama desa pakraman, tanah tempat kelahirannya
sendiri. Ia biasa mendongkel keputusan rapat desa, melakukan aksi perlawanan
terhadap keputusan tersebut dengan membangkang dan memilih jalan “lain” dari
suara mayoritas.
Di ujung akhir hayatnya, saat menuju pembakaran mayat ke
kuburan, ayah Wayan Tapa menerima hukuman dari perbuatannya. Setelah sekian
lama kasepekang (dikucilkan, dimusuhi) oleh krama desa, ayah
Wayan Tapa yang telah tiada dan juga keluarganya harus menerima hukuman. Wayan
Tapa tertunduk pasrah, “Masak orang yang sudah jadi mayat harus dihukum,
diperlakukan seperti ini. Sama sekali tidak ada toleransi. Sungguh tidak
manusiawi,” ungkapnya.
Jika Tapa hatinya luluh lantak melihat ayahnya “dihukum”
oleh krama satu desanya dengan membiarkan jasadnya tergelatk di jalan,
cara “menghukum” warga yang dianggap membangkang lainnya adalah dengan jalan
kekerasan. Kejadian ini juga dialami oleh Nyoman Katur di sebuah desa ujung
timur Bali. Akibat ketegangan perebutan tapal batas wilayah dan tanah pelaba
pura, ditambah sentimen pribadi akibat persaingan politik, rumah sederhana
Katur menjadai sasaran massa yang tidak lain adalah tetangga dan saudaranaya
sendiri. Aksi beringas massa dengan berteriak histeris melempari rumahnya dari
setiap sisi. Nyoman Katur mendengar sendiri teriakan suara orang-orang desa
yang dikenalnya untuk menghancurkan rumahnya. “Benyahin, benyahin…!”
(hancurkan, hancurkan…!).
Sepenggal kisah Tapa dan juga Katur setidaknya menunjukkan
bagaimana tali temali dan wacana tentang kebudayaan di Bali tidak bisa
dilepaskan dari jalinan kekerasan yang menyertainya. Namun dalam bayangan
konstruksi akan Bali, kebudayaan dianggap lepas dari kekerasan yang
menyertainya. Tipu muslihat rezim otoritarian Orde Baru dengan politik
sensor-nya semakin menempatkan Bali hanya menjadi wilayah yang luput dari
infeksi virus kekerasan. Oleh konstruksi para pengamat orientalis dan romantik,
Bali adalah rangkaian pulau sorga yang menyuguhkan pentas-pentas kebudayaan
yang adiluhung dengan ekspresi tari dan tetabuhan (gamelan) Bali dan
pentas ritual kolektif yang emosional. Namun, bagi masyarakat Bali sendiri,
kebudayaan adalah sebuah representasi dari berbagai macam penetrasi-penetrasi
sejarah, politik, dan sosial ekonomi yang dialaminya dan kemudian menghasilkan
sebuah pandangan akan kebudayaan bagi mereka yang kemudian dipraksiskan dalam
kehidupan sehari-hari.
Di dalam kompleksitas wacana representasi (baca: kuasa) atas
Bali itulah terselip kisah-kisah seperti Tapa dan Katur di atas. Kisah-kisah
seperti mereka tentu jauh dari bayangan akan “masa depan Bali” yang
diperbincangkan oleh para pengamat, impian program pemberdayaan masyarakat oleh
pemerintah daerah, bahkan bisa meracuni industri pariwisata dengan jualan
keeksotikan dan harmonisasi di Bali. Tapi, kisah-kisah mereka, dan mungkin
berbagai kisah berada di tepi representasi kita umumnya tentang Bali.
Tapa dan Katur sering dianggap sebagai kaum subaltern
yaitu mereka yang bukan elite dan kaum yang tidak bisa bicara karena tidak
diberinya bahkan konstruksi "subyek" dalam wacana kolonialisme. Kaum subaltern
juga adalah mereka yang selalu dalam posisi direpresentasikan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan, seperti politisi, birokrat, ilmuwan sosial, dan aktivis
kemasyarakatan. Mereka tidak pernah bisa merepresentasikan dirinya karena
kurang memiliki akses bicara di arena publik. Kaum subaltern adalah
kelompok yang selama ini selalu dalam posisi tidak berdaya (disempowered), tidak
pernah bisa berbicara di media publik (disenfranchised), dan bersifat
marjinal.
Historiografi berupa sejarah hidup dan pergolakan hidup kaum
subaltern penting untuk dikedepankan dalam konteks untuk penulisan
sejarahnya sendiri, khususnya dalam soal kemerdekaan bicara. Serta
historiografi yang menyubyekkan mereka sebagai penulis, pembuat sejarahnya
sendiri, bukan sejarah kolonial yang sarat dengan ideologi yang membenarkan
penaklukan dan kepentingan elite kolonial penguasa. Didalamnya akan terkandung
berbagai relasi-relasi yang bisa menunjukkan apa saja yang membuat bisu dan
diamnya kaum yang dikalahkan ini, kaum subaltern. Disamping itu akan
juga ditemukan berbagai lapis-lapis dan kompleksitas di internal kaum subaltern
tersebut. Jangan membayangkan mereka adalah kaum tunggal tanpa dinamika dan
fragmentasi. Di kalangan paria juga terdapat brahmana.
Bagaimana memposisikan kaum subaltern Bali dalam perbincangan
tentang politik kebudayaan Bali kini? Kaum subaltern Bali—meski meski
banyak ruang kita perdebatkan istilah dan konteks istilah ini—adalh duri dalam
daging dalam konstruksi kebudayaan Bali. Namun, dengan menghadirkannya dalam
konteks wacana politik kebudayaan Bali menjadikan kebudayaan Bali tidak hanya
seputar persoalan kesenian, pariwisata, ritual, dan cerita menyejukkan tentang
Bali. Di sisi lain kebudayaan Bali, terdapat perjuangan manusia Bali yang
berada di pinggiran wacana kebudayaan dominan yang selalu berjuang untuk
dirinya, kehidupan, dan harga dirinya.
Wacana tentang Bali tidaklah selalu harmonis seperti yang
dikonstruksi oleh rezim kolonial yang dilanjutkan oleh kalangan orientalis
Indonesia bahkan orang Bali sendiri dalam melihat kebudayaannya. Bali juga kini
tidak homogen seperti sebelumnya dan sudah tentu tidak statis. Bali dari dulu
seperti ungkapan Santikarma (2003:34) tempat bertandingnya berbagai penafsiran
dan berbagai cara untuk menjadi orang Bali. Bali adalah sebuah mosaik yang
senantiasa berubah bentuk sesuai dengan ide-ide dari luar dirinya. Dan Bali
juga tidak hanya berhenti pada garis perbatasan pulaunya, melainkan terus
berlanjut mencakupi orang Bali diaspora di Jakarta, Belanda, Australia dan di
belahan dunia lainnya. Bali juga adalah rumah bagi kaum minoritas Muslim,
Kristen, dan Budha yang menyebut diri mereka sebagai orang Bali meski tidak
memeluk agama Hindu Bali.
I Ngurah Suryawan, Research
Fellow di Faculty of Humanities Universiteit Leiden. Penulis buku Sisi
Dibalik Bali: Politik Identittas, Kekerasan, dan Interkoneksi Global (Denpasar:
Udayana University Press, 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar