Label

Selasa, 10 Juli 2012

Kaum Subaltern Bali



oleh I Ngurah Suryawan
(Opini Harian Bali Tribune, 9 Mei 2012)

I Wayan Tapa, seorang lelaki setengah baya, di sebuah desa utara Pulau Bali sungguh terpukul. Bergetar dan pilu ia menyaksikan mayat ayahnya, lelaki renta yang dekat di hatinya, terbaring di jalan empat tahun lalu pada suatu hari di pertengahan bulan Agustus 2008. Sementara ratusan masyarakat, yang tidak lain adalah krama (warga), saudaranya sendiri, berteriak penuh caci maki menghujat ayahnya. Kerumunan warga tersebut “menghukum” ayah Wayan Tapa karena dianggap egois, tidak ikut menunaikan kewajiban menjadi krama desa pakraman, tanah tempat kelahirannya sendiri. Ia biasa mendongkel keputusan rapat desa, melakukan aksi perlawanan terhadap keputusan tersebut dengan membangkang dan memilih jalan “lain” dari suara mayoritas.


Di ujung akhir hayatnya, saat menuju pembakaran mayat ke kuburan, ayah Wayan Tapa menerima hukuman dari perbuatannya. Setelah sekian lama kasepekang (dikucilkan, dimusuhi) oleh krama desa, ayah Wayan Tapa yang telah tiada dan juga keluarganya harus menerima hukuman. Wayan Tapa tertunduk pasrah, “Masak orang yang sudah jadi mayat harus dihukum, diperlakukan seperti ini. Sama sekali tidak ada toleransi. Sungguh tidak manusiawi,” ungkapnya.

Jika Tapa hatinya luluh lantak melihat ayahnya “dihukum” oleh krama satu desanya dengan membiarkan jasadnya tergelatk di jalan, cara “menghukum” warga yang dianggap membangkang lainnya adalah dengan jalan kekerasan. Kejadian ini juga dialami oleh Nyoman Katur di sebuah desa ujung timur Bali. Akibat ketegangan perebutan tapal batas wilayah dan tanah pelaba pura, ditambah sentimen pribadi akibat persaingan politik, rumah sederhana Katur menjadai sasaran massa yang tidak lain adalah tetangga dan saudaranaya sendiri. Aksi beringas massa dengan berteriak histeris melempari rumahnya dari setiap sisi. Nyoman Katur mendengar sendiri teriakan suara orang-orang desa yang dikenalnya untuk menghancurkan rumahnya. “Benyahin, benyahin…!” (hancurkan, hancurkan…!).

Sepenggal kisah Tapa dan juga Katur setidaknya menunjukkan bagaimana tali temali dan wacana tentang kebudayaan di Bali tidak bisa dilepaskan dari jalinan kekerasan yang menyertainya. Namun dalam bayangan konstruksi akan Bali, kebudayaan dianggap lepas dari kekerasan yang menyertainya. Tipu muslihat rezim otoritarian Orde Baru dengan politik sensor-nya semakin menempatkan Bali hanya menjadi wilayah yang luput dari infeksi virus kekerasan. Oleh konstruksi para pengamat orientalis dan romantik, Bali adalah rangkaian pulau sorga yang menyuguhkan pentas-pentas kebudayaan yang adiluhung dengan ekspresi tari dan tetabuhan (gamelan) Bali dan pentas ritual kolektif yang emosional. Namun, bagi masyarakat Bali sendiri, kebudayaan adalah sebuah representasi dari berbagai macam penetrasi-penetrasi sejarah, politik, dan sosial ekonomi yang dialaminya dan kemudian menghasilkan sebuah pandangan akan kebudayaan bagi mereka yang kemudian dipraksiskan dalam kehidupan sehari-hari.

Di dalam kompleksitas wacana representasi (baca: kuasa) atas Bali itulah terselip kisah-kisah seperti Tapa dan Katur di atas. Kisah-kisah seperti mereka tentu jauh dari bayangan akan “masa depan Bali” yang diperbincangkan oleh para pengamat, impian program pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah daerah, bahkan bisa meracuni industri pariwisata dengan jualan keeksotikan dan harmonisasi di Bali. Tapi, kisah-kisah mereka, dan mungkin berbagai kisah berada di tepi representasi kita umumnya tentang Bali.

Tapa dan Katur sering dianggap sebagai kaum subaltern yaitu mereka yang bukan elite dan kaum yang tidak bisa bicara karena tidak diberinya bahkan konstruksi "subyek" dalam wacana kolonialisme. Kaum subaltern juga adalah mereka yang selalu dalam posisi direpresentasikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti politisi, birokrat, ilmuwan sosial, dan aktivis kemasyarakatan. Mereka tidak pernah bisa merepresentasikan dirinya karena kurang memiliki akses bicara di arena publik. Kaum subaltern adalah kelompok yang selama ini selalu dalam posisi tidak berdaya (disempowered), tidak pernah bisa berbicara di media publik (disenfranchised), dan bersifat marjinal.

Historiografi berupa sejarah hidup dan pergolakan hidup kaum subaltern penting untuk dikedepankan dalam konteks untuk penulisan sejarahnya sendiri, khususnya dalam soal kemerdekaan bicara. Serta historiografi yang menyubyekkan mereka sebagai penulis, pembuat sejarahnya sendiri, bukan sejarah kolonial yang sarat dengan ideologi yang membenarkan penaklukan dan kepentingan elite kolonial penguasa. Didalamnya akan terkandung berbagai relasi-relasi yang bisa menunjukkan apa saja yang membuat bisu dan diamnya kaum yang dikalahkan ini, kaum subaltern. Disamping itu akan juga ditemukan berbagai lapis-lapis dan kompleksitas di internal kaum subaltern tersebut. Jangan membayangkan mereka adalah kaum tunggal tanpa dinamika dan fragmentasi. Di kalangan paria juga terdapat brahmana.

Bagaimana memposisikan kaum subaltern Bali dalam perbincangan tentang politik kebudayaan Bali kini?  Kaum subaltern Bali—meski meski banyak ruang kita perdebatkan istilah dan konteks istilah ini—adalh duri dalam daging dalam konstruksi kebudayaan Bali. Namun, dengan menghadirkannya dalam konteks wacana politik kebudayaan Bali menjadikan kebudayaan Bali tidak hanya seputar persoalan kesenian, pariwisata, ritual, dan cerita menyejukkan tentang Bali. Di sisi lain kebudayaan Bali, terdapat perjuangan manusia Bali yang berada di pinggiran wacana kebudayaan dominan yang selalu berjuang untuk dirinya, kehidupan, dan harga dirinya.       

Wacana tentang Bali tidaklah selalu harmonis seperti yang dikonstruksi oleh rezim kolonial yang dilanjutkan oleh kalangan orientalis Indonesia bahkan orang Bali sendiri dalam melihat kebudayaannya. Bali juga kini tidak homogen seperti sebelumnya dan sudah tentu tidak statis. Bali dari dulu seperti ungkapan Santikarma (2003:34) tempat bertandingnya berbagai penafsiran dan berbagai cara untuk menjadi orang Bali. Bali adalah sebuah mosaik yang senantiasa berubah bentuk sesuai dengan ide-ide dari luar dirinya. Dan Bali juga tidak hanya berhenti pada garis perbatasan pulaunya, melainkan terus berlanjut mencakupi orang Bali diaspora di Jakarta, Belanda, Australia dan di belahan dunia lainnya. Bali juga adalah rumah bagi kaum minoritas Muslim, Kristen, dan Budha yang menyebut diri mereka sebagai orang Bali meski tidak memeluk agama Hindu Bali.        



I Ngurah Suryawan, Research Fellow di Faculty of Humanities Universiteit Leiden. Penulis buku Sisi Dibalik Bali: Politik Identittas, Kekerasan, dan Interkoneksi Global (Denpasar: Udayana University Press, 2012).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar