oleh I Ngurah Suryawan
Lingkaran kekerasan di “tanah yang diberkati”, Tanah Papua,
mencerminkan kompleksitas persoalan yang serius di daerah timur Indonesia
ini. Tragedi kekerasan hadir silih berganti dibarengi dengan resistensi
perjuangan status sejarah politik Papua, macetnya jargon “pemberdayaan
masyarakat Papua” dari pemerintah, baku tipu akibat “gula-gula” otonomi
khusus (otsus) Papua, dan semakin terpinggirkannya masyarakat Papua di tengah
interkoneksi kuasa kapital global yang mencengkram bumi cenderawasih ini.
Dinamika keberbedaan sejarah dan politik, kompleksitas otsus
Papua, pemekaran daerah, politik lokal, dan kekerasan kemanusiaan menjadi
momen-momen penting transformasi indentitas sosial budaya dan politik di Tanah
Papua. Transformasi yang bermasalah dan berimplikasi luar biasa terhadap posisi
orang Papua hingga kini dalam menegosiasikan identitas ke-Papuannya dan proses
meng-Indonesia yang penuh problematik dan ketidakpercayaan yang akut.
Pendekatan pembangunan yang sentralistik dan diskriminatif
serta hadirnya polisi dan tentara yang melebihi guru-guru membuat Tanah Papua
berada dalam citra “daerah rawan” dan ”terbelakang” yang semestinya
“diberdayakan”. Dalam bahasa Franz Fanon, awal proses kolonisasi terjadi dalam
faham hirarki kebudayaan yang mengganggap budaya satu dengan yang lain lebih
rendah, dan dengan demikian harus “dibudayakan”.
Pembangunan dirancang dengan sadar untuk membuat
ketergantungan bukannya memfasilitasi rakyat yang bergerak dengan inisiaitf dan
proses kreatifnya sendiri. Dalam rezim pembangunan sentralistik Orde Baru
hingga saat ini, gerakan sosial di seluruh Indonesia dan di Papua dianggap
“komunis” atau “separatis”. Gerakan sosial yang berarti rakyat yang sadar dan
bergerak menyuarakan aspirasinya menjadi ancaman serius bagi negara. Dengan
cerdas negara merendahkan makna rakyat yang bergerak dengan kesadaran
perlawanan menjadi massa yang berarti bisa dikendalikan oleh kekuasaan
negara.
Essay ini mengajukan ide mendekati persoalan Papua
berbasiskan gerakan sosial (antropologi) pembebasan yang transformatif
berbasiskan pendidikan antropologi dan gerakan kebudayaan yang dinamis,
inklusif, manusiawi, dan apresiatif. Praksisnya saya kira adalah memberikan
ruang-ruang pembebasan yang emansipatoris dan partisipatif untuk menyemaikan gerakan-gerakan
sosial dimana masyarakat Papua akan merubah dirinya, mengorganisasi dirinya
menuju proses transformasi yang mereka rancang dan tentu saja terlibat sebagai
subyeknya. Pendidikan antropologi yang transformatif dan membebaskan akan
membentuk generasi muda Papua yang jauh dari pragmatism tapi mempunyai nurani
dan eksistensi untuk melibatkan diri dalam gerakan social masyarakat Papua yang
merupakan basis pengetahuan dari antropologi itu sendiri.
Pendidikan Antropologi di Papua: Sebuah Perspektif
Pembebasan
Salah satu misi etis dan moral dari ilmu antropologi adalah
merekognisi nilai-nilai kemanusiaan dalam kerja-kerja etnografinya dalam
komunitas masyarakat. Kerja ilmu antropologi pada dasarnya adalah memahami
sang liyan, the others, subyek penelitian dan proses
pembentukan kebudayaan sebuah komunitas. Namun perdebatan paradigma antropologi
sangat dinamis, seperti juga perkembangan ilmu ini yang terus-menerus tanpa
henti mencari identitasnya. Namun ada satu hal yang disepakati adalah persoalan
metodenya yaitu kerja lapangan yang panjang dengan obsesi memahami sang liyan tadi,
subyek penelitian pada komunitas masyarakat yang ditelitinya. Namun siapa
sang liyan dan apa itu kebudayaan perdebatan yang terjadi
dalam antropologi terus-menerus berlangsung silih berganti.
Geertz (1992) seperti diuraikan oleh dalam Laksono (2011:2)
mengungkapkan obyek studi antropologi adalah sejarah pembentukan pengertian (notion
formation), yang didalamnya kebudayaan dipandang sebagai suatu proses yang
kabur dan tidak selesai. Pekerjaan ini tentu saja merupakan urusan yang terus
menerus tanpa banyak mengandalkan aturan atau rencana sistematik. Kesimpulannya
pun hanyalah jeda (semau-mau) antara ketika seseorang tidak tahu lagi apa yang
harus dikatakan, dan ketika ia, secara sama semuanya, akan beralih perhatian
(pada rajutan/ budaya lain). Geertz mengatakan analisis kebudayaan adalah (atau
seharusnya) menerka makna-makna, menaksir terkaan-terkaan itu, dan menarik
kesimpulan-kesimpulan eksplanatoris dari terkaan-terkaan yang lebih baik,
bukannya menemukan benua makna dan memetakan pemandangan nya yang tak berwujud
itu. Bahkan Geertz melukiskan bahwa antropolog (etnografer) seperti
mengkonstruksi gajah misterius, agak gaib, dan tinggal jejak kakinya saja yang
ada dalam pikiran kita.
Ilmu-ilmu humaniora, khususnya dalam hal ini antropologi,
kini berada dalam silang sengkarut interkoneksi global dan industrialiasi
pendidikan yang luar biasa. Fokus ilmu humaniora yang membimbing manusia
berkembang ke arah hidup yang lebih mermartabat secara utuh dari pengalaman
terhadap oleh arus besar pragmatisasi pendidikan untuk melayani dunia kerja,
pasar global, dan sudah tentu kuasa kapital yang menggerogoti negeri ini dan
juga manusia-manusia di dalamnya.
Pendidikan antropologi itu penuh dengan lekuk liku karena
obyek dan subyek yang dipelajarinya terus bergeser, sementara pengalaman
pribadi para penelitinya atau orang yang mempelajarinya juga terus bergeser
sesuai dengan posisi historisnya. Oleh karena itu hasil dari belajar antropologi
lebih bersifat pengetahuan reflektif dan apresiatif yaitu pada penemuan
eksistensi manusia itu sendiri. Dengan demikian pendidikan antropologi berbeda
sekali hakekatnya dengan pendidikan yang pragmatis. Dalam pendidikan
antropologi sebaiknya jauh dari pendekatan-pendekatan normatif tetapi dekat
dengan proses yang kreatif saling percaya dan saling belajar antara murid
dengan guru. (Laksono, 2010: 16) Ilmu humaniora meletakkan kebenaran ada dalam
rentang sejarah sosial manusia, dalam relasi kuasa/politik, ketika manusia
harus membuat strategi dan siasat untuk mengorganisir hidupnya di dunia nyata.
Pendidikan antropologi pada hakekatnya mengarah pada
usaha-usaha pengembangan manusia ke arah sasaran-sasaran yang lebih
substansial, halus penuh apresiasi dan empati pada hidup manusia itu sendiri
daripada ke arah hidup material yang praktis. Namun, dalam dunia yang dipenuhi
dengan jargon-jargon pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus dipacu ini, konflik
internal dalam dunia pendidikan berjalan tidak seimbang. Kepentingan untuk
melayani pasar, kekuasaan, dan globalisasi cenderung menunda bahkan mengabaikan
pentingnya pendidikan antropologi yang membimbing manusia berkembang ke arah
hidup yang lebih bermartabat secara utuh.
Pendidikan antropologi itu penuh lekuk liku karena subyek
yang dipelajarinya terus bergeser, sementara pengalaman pribadi para
penelitinya atau orang yang mempelajarinya juga terus bergeser sesuai dengan
posisi historisnya. Oleh karena itu hasilnya lebih bersifat pengetahuan
reflektif dan apresiatif, yaitu pada penemuan eksistensi manusia itu sendiri.
Dengan demikian pendidikan antropologi berbeda sekali dengan pendidikan yang
pragmatis. Dalam pendidikan antropologi, para peserta didik secara total utuh
mestinya diberi kesempatan mengembangkan daya apresiasi, empati/afektif dan
kognitifnya sesuai dengan pengalaman hidupnya untuk berkenalan dan berwacana
dengan subyek yang dipelajarinya. Pendidikan antropologi sebaiknya jauh dari
pendekatan-pendekatan normatif tetapi dekat dengan proses yang kratif saling
percaya dan saling belajar antara guru dan murid. Dengan demikian, menjadi
antropolog tidak hanya cukup menjadi orang yang suka memahami orang lain,
tetapi perlu mampu bertindak/bergerak memahami realita dan mengubah dunia
bersama warga masyarakat, yaitu membangun sejarah bersama. (Laksono, 2010b:
9)
Fokus perhatian antropologi yang membimbing manusia
berkembang ke arah hidup yang lebih bermartabat secara utuh seringkali, atau
lebih tepatnya terpaksa dikompromikan dengan kepentingan sementara untuk
melayani pasar, kekuasaan dan globalisasi. Kisah sukses globalisasi di
Indonesia memproduksi kesejahteraan terlalu dekat dengan kegagalannya
meredistribusi kesejahteraan nyata bagi rakyatnya. Globalisasi dengan demikian
merupakan momen-momen perubahan yang penuh friksi yang kreatif tak terduga dan
dapat memporakporandakan lingkungan alam dan bahkan warisan sosial budaya.
Gerakan Sosial: Antropologi yang Transformatif
Sahabat saya dari Nabire yang seniman dan mengabdikan diri
menjadi guru di sebuah sekolah swasta mengungkapkan pengalaman menarik, namun
bagi saya sangat inspiratif. Di kampung-kampung yang diamatinya, ladang-ladang
perkebunan kini ditumbuhi rumput-rumput, daerah-daerah sagu juga dibiarkan
tidak terurus. “Masyarakat dong hanya menunggu bantuan beras saja yang
didrop ke pedalaman dan cairnya proposal bantuan,” kisahnya. Bahkan ia
sempat didatangi oleh tetua di kampung untuk meminta bantuan dibuatkan proposal
yang akan dibawa ke bupati. Ketergantungan terhadap bantuan bagai candu yang membius
orang Papua untuk menyandarkan hidupnya kepada bantuan. Jika bantuan tidak
datang maka jurang kematian telah menganga. Pemberi bantuan (baca: pemerintah)
seolah sebagai dewa penolong yang kemudian merasa sudah cukup berbuat dengan
menghaburkan uang-uang bantuan. Pembangunan gedung-gedung fisik, baku tikam
merebut kekuasaan lokal, dan mengeksploitasi sumber daya alam mendekati orang
Papua pada kematian inisiatif, emansipasi, dan gerakan sosial pada dirinya.
Selama ini saya kira pembangunan di Papua belum menyentuh
secara fundamental kesadaran gerakan sosial yang emansipatif dan transformatif.
Yang terjadi menurut saya adalah “kesalahan penamaan” terhadap Papua yang
digerakkan oleh rezim pembangunisme, bias kolonialisasi kebudayaan, stigma separatisme,
kekerasan HAM, dan sudah tentu gula-gula otsus papua dan pemekaran daerah.
Pendekatan yang dilakukan adalah “menilai” bahkan “menghakimi” untuk kemudian
merancang sederetan proyek-proyek “memberdayakan” orang Papua. Semuanya
dilandasi dengan semangat mensederhanakan orang Papua dalam deretan tabel,
grafik, dan kuisioner untuk bisa dibaca oleh orang luar yang kemudian melakukan
penetrasi dan eksploitasi.
Saya sangatlah yakin bahwa orang Papua akan bangkit dan
memimpin dirinya sendiri berlandaskan semangat gerakan sosial dan
mengorganisasikan dirinya secara militan. Ini tentunya dengan kesadaran bahwa
ke-Papuaan juga sebuah kompleksitas yang terus menerus akan bergerak sesuai
dengan konteks, waktu dan kepentingan subyeknya. Selama ini yang terjadi
menurut saya adalah kompleksitas heterogenitas etnik Papua tidaklah diakui
bahkan diabaikan demi percepatan pembangunan yang semu. Kini yang terjadi
adalah heterogenitas etnik Papua terfragmentasi dalam lokalitas-lokalitas
kekuasaan dalam deru kencang pemekaran daerah yang mencengangkan. Baku tikam
persaingan etnik dalam perebutan kekuasan lokal serta politik praktis dan uang
hanya semakin membuat orang Papua semakin sulit untuk membebaskan dirinya
menjadi “manusia merdeka”.
Ilmu kemanusiaan, Antropologi, berdasarkan kedekatannya
dengan subyek studinya memiliki senjata yang tajam dalam studi-studinya untuk
memfasilitasi transformasi sosial yang terjadi di masyarakat. Antropologi
berlandaskan dirinya pada belajar dari orang lain untuk merubah diri sendiri.
Dengan demikian proses reflektif yang transformasif menjadi isu utama dalam
sebuah kerja engagement antropologi melalui karya-karya etnografinya.
Antropolog terlibat dengan subyek studinya untuk bersama-sama mengorganisasi
diri, berefleksi, dan bersama-sama bergerak menuju sejarah baru dalam hidup
masing-masing. Jauh dari itu, antrpologi menjadi medium refleksi diri yang
inklusif dan apresiatif yang dalam bagi antropolog itu sendiri.
Namun, saya melihat dimana kuasa kapital global berada
mengeruk keuntungan dan memanipulasi gerakan sosial, antropologi praktis tidak
bersuara, dimandulkan, dan bungkam. Tanah Papua saya yakini sangatlah penting
menciptakan komunitas belajar dari kalangan akademik dan masyarakat biasa untuk
bersama-sama tanpa ada sekat dan parokialisme mengembangkan
pendekatan-pendekatan transformatif yang emansipatoris. Ini tercermin dalam
studi-studinyayang tidak hanya diikembangkan dalam kelas-kelas perkuliahan
namun menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan sosial bangsa Papua. Dengan demikian
antropologi di Papua akan menyumbangkan peranan yang besar untuk membuat
orang-orang Papua mempunyai kapasitas untuk memperjuangkan pembebasan pada
dirinya, harkat dan harga dirinya, dan identitas budayanya. Dengan kata lain,
antropologi akan memantik proses gerakan sosial yang massif, dimana rakyat
(Papua) bangkit dan merubah dirinya sendiri. Saya yakin inspirasi itu akan
datang dari kisah-kisah bangsa Papua berkomunitas, berkebudayaan, dan
inspirasi-inspirasi dari perjuangan hidup manusia di tanah yang diberkati ini.
Tuhan memberkati kita semua. Syalom...
Oegstgeest Leiden, awal April 2012
I Ngurah Suryawan,
Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Research
Fellow di Faculty of Humanities Universitiet Leiden, The Netherlands.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar