Label

Rabu, 11 Juli 2012

Antropologi Gerakan Sosial Bangsa Papua: Sebuah Pemikiran


oleh I Ngurah Suryawan 

Lingkaran kekerasan di “tanah yang diberkati”, Tanah Papua, mencerminkan kompleksitas persoalan yang serius di daerah timur Indonesia ini.  Tragedi kekerasan hadir silih berganti dibarengi dengan resistensi perjuangan status sejarah politik Papua, macetnya jargon “pemberdayaan masyarakat Papua” dari pemerintah, baku tipu akibat “gula-gula” otonomi khusus (otsus) Papua, dan semakin terpinggirkannya masyarakat Papua di tengah interkoneksi kuasa kapital global yang mencengkram bumi cenderawasih ini. 


Dinamika keberbedaan sejarah dan politik, kompleksitas otsus Papua, pemekaran daerah, politik lokal, dan kekerasan kemanusiaan menjadi momen-momen penting transformasi indentitas sosial budaya dan politik di Tanah Papua. Transformasi yang bermasalah dan berimplikasi luar biasa terhadap posisi orang Papua hingga kini dalam menegosiasikan identitas ke-Papuannya dan proses meng-Indonesia yang penuh problematik dan ketidakpercayaan yang akut.  

Pendekatan pembangunan yang sentralistik dan diskriminatif serta hadirnya polisi dan tentara yang melebihi guru-guru membuat Tanah Papua berada dalam citra “daerah rawan” dan ”terbelakang” yang semestinya “diberdayakan”. Dalam bahasa Franz Fanon, awal proses kolonisasi terjadi dalam faham hirarki kebudayaan yang mengganggap budaya satu dengan yang lain lebih rendah, dan dengan demikian harus “dibudayakan”.  

Pembangunan dirancang dengan sadar untuk membuat ketergantungan bukannya memfasilitasi rakyat yang bergerak dengan inisiaitf dan proses kreatifnya sendiri. Dalam rezim pembangunan sentralistik Orde Baru hingga saat ini, gerakan sosial di seluruh Indonesia dan di Papua dianggap “komunis” atau “separatis”. Gerakan sosial yang berarti rakyat yang sadar dan bergerak menyuarakan aspirasinya menjadi ancaman serius bagi negara. Dengan cerdas negara merendahkan makna rakyat yang bergerak dengan kesadaran perlawanan menjadi massa yang berarti bisa dikendalikan oleh kekuasaan negara.      

Essay ini mengajukan ide mendekati persoalan Papua berbasiskan gerakan sosial (antropologi) pembebasan yang transformatif berbasiskan pendidikan antropologi dan gerakan kebudayaan yang dinamis, inklusif, manusiawi, dan apresiatif. Praksisnya saya kira adalah memberikan ruang-ruang pembebasan yang emansipatoris dan partisipatif untuk menyemaikan gerakan-gerakan sosial dimana masyarakat Papua akan merubah dirinya, mengorganisasi dirinya menuju proses transformasi yang mereka rancang dan tentu saja terlibat sebagai subyeknya. Pendidikan antropologi yang transformatif dan membebaskan akan membentuk generasi muda Papua yang jauh dari pragmatism tapi mempunyai nurani dan eksistensi untuk melibatkan diri dalam gerakan social masyarakat Papua yang merupakan basis pengetahuan dari antropologi itu sendiri.            

Pendidikan Antropologi di Papua: Sebuah Perspektif Pembebasan 

Salah satu misi etis dan moral dari ilmu antropologi adalah merekognisi nilai-nilai kemanusiaan dalam kerja-kerja etnografinya dalam komunitas masyarakat. Kerja ilmu antropologi pada dasarnya adalah memahami sang liyanthe others, subyek penelitian dan proses pembentukan kebudayaan sebuah komunitas. Namun perdebatan paradigma antropologi sangat dinamis, seperti juga perkembangan ilmu ini yang terus-menerus tanpa henti mencari identitasnya. Namun ada satu hal yang disepakati adalah persoalan metodenya yaitu kerja lapangan yang panjang dengan obsesi memahami sang liyan tadi, subyek penelitian pada komunitas masyarakat yang ditelitinya. Namun siapa sang liyan dan apa itu kebudayaan perdebatan yang terjadi dalam antropologi terus-menerus berlangsung silih berganti.

Geertz (1992) seperti diuraikan oleh dalam Laksono (2011:2) mengungkapkan obyek studi antropologi adalah sejarah pembentukan pengertian (notion formation), yang didalamnya kebudayaan dipandang sebagai suatu proses yang kabur dan tidak selesai. Pekerjaan ini tentu saja merupakan urusan yang terus menerus tanpa banyak mengandalkan aturan atau rencana sistematik. Kesimpulannya pun hanyalah jeda (semau-mau) antara ketika seseorang tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan, dan ketika ia, secara sama semuanya, akan beralih perhatian (pada rajutan/ budaya lain). Geertz mengatakan analisis kebudayaan adalah (atau seharusnya) menerka makna-makna, menaksir terkaan-terkaan itu, dan menarik kesimpulan-kesimpulan eksplanatoris dari terkaan-terkaan yang lebih baik, bukannya menemukan benua makna dan memetakan pemandangan nya yang tak berwujud itu. Bahkan Geertz melukiskan bahwa antropolog (etnografer) seperti mengkonstruksi gajah misterius, agak gaib, dan tinggal jejak kakinya saja yang ada dalam pikiran kita.

Ilmu-ilmu humaniora, khususnya dalam hal ini antropologi, kini berada dalam silang sengkarut interkoneksi global dan industrialiasi pendidikan yang luar biasa. Fokus ilmu humaniora yang membimbing manusia berkembang ke arah hidup yang lebih mermartabat secara utuh dari pengalaman terhadap oleh arus besar pragmatisasi pendidikan untuk melayani dunia kerja, pasar global, dan sudah tentu kuasa kapital yang menggerogoti negeri ini dan juga manusia-manusia di dalamnya.

Pendidikan antropologi itu penuh dengan lekuk liku karena obyek dan subyek yang dipelajarinya terus bergeser, sementara pengalaman pribadi para penelitinya atau orang yang mempelajarinya juga terus bergeser sesuai dengan posisi historisnya. Oleh karena itu hasil dari belajar antropologi lebih bersifat pengetahuan reflektif dan apresiatif yaitu pada penemuan eksistensi manusia itu sendiri. Dengan demikian pendidikan antropologi berbeda sekali hakekatnya dengan pendidikan yang pragmatis. Dalam pendidikan antropologi sebaiknya jauh dari pendekatan-pendekatan normatif tetapi dekat dengan proses yang kreatif saling percaya dan saling belajar antara murid dengan guru. (Laksono, 2010: 16) Ilmu humaniora meletakkan kebenaran ada dalam rentang sejarah sosial manusia, dalam relasi kuasa/politik, ketika manusia harus membuat strategi dan siasat untuk mengorganisir hidupnya di dunia nyata.

Pendidikan antropologi pada hakekatnya mengarah pada usaha-usaha pengembangan manusia ke arah sasaran-sasaran yang lebih substansial, halus penuh apresiasi dan empati pada hidup manusia itu sendiri daripada ke arah hidup material yang praktis. Namun, dalam dunia yang dipenuhi dengan jargon-jargon pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus dipacu ini, konflik internal dalam dunia pendidikan berjalan tidak seimbang. Kepentingan untuk melayani pasar, kekuasaan, dan globalisasi cenderung menunda bahkan mengabaikan pentingnya pendidikan antropologi yang membimbing manusia berkembang ke arah hidup yang lebih bermartabat secara utuh.

Pendidikan antropologi itu penuh lekuk liku karena subyek yang dipelajarinya terus bergeser, sementara pengalaman pribadi para penelitinya atau orang yang mempelajarinya juga terus bergeser sesuai dengan posisi historisnya. Oleh karena itu hasilnya lebih bersifat pengetahuan reflektif dan apresiatif, yaitu pada penemuan eksistensi manusia itu sendiri. Dengan demikian pendidikan antropologi berbeda sekali dengan pendidikan yang pragmatis. Dalam pendidikan antropologi, para peserta didik secara total utuh mestinya diberi kesempatan mengembangkan daya apresiasi, empati/afektif dan kognitifnya sesuai dengan pengalaman hidupnya untuk berkenalan dan berwacana dengan subyek yang dipelajarinya. Pendidikan antropologi sebaiknya jauh dari pendekatan-pendekatan normatif tetapi dekat dengan proses yang kratif saling percaya dan saling belajar antara guru dan murid. Dengan demikian, menjadi antropolog tidak hanya cukup menjadi orang yang suka memahami orang lain, tetapi perlu mampu bertindak/bergerak memahami realita dan mengubah dunia bersama warga masyarakat, yaitu membangun sejarah bersama. (Laksono, 2010b: 9) 

Fokus perhatian antropologi yang membimbing manusia berkembang ke arah hidup yang lebih bermartabat secara utuh seringkali, atau lebih tepatnya terpaksa dikompromikan dengan kepentingan sementara untuk melayani pasar, kekuasaan dan globalisasi. Kisah sukses globalisasi di Indonesia memproduksi kesejahteraan terlalu dekat dengan kegagalannya meredistribusi kesejahteraan nyata bagi rakyatnya. Globalisasi dengan demikian merupakan momen-momen perubahan yang penuh friksi yang kreatif tak terduga dan dapat memporakporandakan lingkungan alam dan bahkan warisan sosial budaya.

Gerakan Sosial: Antropologi yang Transformatif

Sahabat saya dari Nabire yang seniman dan mengabdikan diri menjadi guru di sebuah sekolah swasta mengungkapkan pengalaman menarik, namun bagi saya sangat inspiratif. Di kampung-kampung yang diamatinya, ladang-ladang perkebunan kini ditumbuhi rumput-rumput, daerah-daerah sagu juga dibiarkan tidak terurus. “Masyarakat dong hanya menunggu bantuan beras saja yang didrop ke pedalaman dan cairnya proposal bantuan,” kisahnya. Bahkan ia sempat didatangi oleh tetua di kampung untuk meminta bantuan dibuatkan proposal yang akan dibawa ke bupati. Ketergantungan terhadap bantuan bagai candu yang membius orang Papua untuk menyandarkan hidupnya kepada bantuan. Jika bantuan tidak datang maka jurang kematian telah menganga. Pemberi bantuan (baca: pemerintah) seolah sebagai dewa penolong yang kemudian merasa sudah cukup berbuat dengan menghaburkan uang-uang bantuan. Pembangunan gedung-gedung fisik, baku tikam merebut kekuasaan lokal, dan mengeksploitasi sumber daya alam mendekati orang Papua pada kematian inisiatif, emansipasi, dan gerakan sosial pada dirinya.    

Selama ini saya kira pembangunan di Papua belum menyentuh secara fundamental kesadaran gerakan sosial yang emansipatif dan transformatif. Yang terjadi menurut saya adalah “kesalahan penamaan” terhadap Papua yang digerakkan oleh rezim pembangunisme, bias kolonialisasi kebudayaan, stigma separatisme, kekerasan HAM, dan sudah tentu gula-gula otsus papua dan pemekaran daerah. Pendekatan yang dilakukan adalah “menilai” bahkan “menghakimi” untuk kemudian merancang sederetan proyek-proyek “memberdayakan” orang Papua. Semuanya dilandasi dengan semangat mensederhanakan orang Papua dalam deretan tabel, grafik, dan kuisioner untuk bisa dibaca oleh orang luar yang kemudian melakukan penetrasi dan eksploitasi.    

Saya sangatlah yakin bahwa orang Papua akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri berlandaskan semangat gerakan sosial dan mengorganisasikan dirinya secara militan. Ini tentunya dengan kesadaran bahwa ke-Papuaan juga sebuah kompleksitas yang terus menerus akan bergerak sesuai dengan konteks, waktu dan kepentingan subyeknya. Selama ini yang terjadi menurut saya adalah kompleksitas heterogenitas etnik Papua tidaklah diakui bahkan diabaikan demi percepatan pembangunan yang semu. Kini yang terjadi adalah heterogenitas etnik Papua terfragmentasi dalam lokalitas-lokalitas kekuasaan dalam deru kencang pemekaran daerah yang mencengangkan. Baku tikam persaingan etnik dalam perebutan kekuasan lokal serta politik praktis dan uang hanya semakin membuat orang Papua semakin sulit untuk membebaskan dirinya menjadi “manusia merdeka”.

Ilmu kemanusiaan, Antropologi, berdasarkan kedekatannya dengan subyek studinya memiliki senjata yang tajam dalam studi-studinya untuk memfasilitasi transformasi sosial yang terjadi di masyarakat. Antropologi berlandaskan dirinya pada belajar dari orang lain untuk merubah diri sendiri. Dengan demikian proses reflektif yang transformasif menjadi isu utama dalam sebuah kerja engagement antropologi melalui karya-karya etnografinya. Antropolog terlibat dengan subyek studinya untuk bersama-sama mengorganisasi diri, berefleksi, dan bersama-sama bergerak menuju sejarah baru dalam hidup masing-masing. Jauh dari itu, antrpologi menjadi medium refleksi diri yang inklusif dan apresiatif yang dalam bagi antropolog itu sendiri.  

Namun, saya melihat dimana kuasa kapital global berada mengeruk keuntungan dan memanipulasi gerakan sosial, antropologi praktis tidak bersuara, dimandulkan, dan bungkam. Tanah Papua saya yakini sangatlah penting menciptakan komunitas belajar dari kalangan akademik dan masyarakat biasa untuk bersama-sama tanpa ada sekat dan parokialisme mengembangkan pendekatan-pendekatan transformatif yang emansipatoris. Ini tercermin dalam studi-studinyayang tidak hanya diikembangkan dalam kelas-kelas perkuliahan namun menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan sosial bangsa Papua. Dengan demikian antropologi di Papua akan menyumbangkan peranan yang besar untuk membuat orang-orang Papua mempunyai kapasitas untuk memperjuangkan pembebasan pada dirinya, harkat dan harga dirinya, dan identitas budayanya. Dengan kata lain, antropologi akan memantik proses gerakan sosial yang massif, dimana rakyat (Papua) bangkit dan merubah dirinya sendiri. Saya yakin inspirasi itu akan datang dari kisah-kisah bangsa Papua berkomunitas, berkebudayaan, dan inspirasi-inspirasi dari perjuangan hidup manusia di tanah yang diberkati ini.
Tuhan memberkati kita semua. Syalom...

Oegstgeest Leiden, awal April 2012   


I Ngurah Suryawan, Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Research Fellow di Faculty of Humanities Universitiet Leiden, The Netherlands.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar