Label

Senin, 09 Juli 2012

Antropologi yang “Memanusiakan Manusia”, Sebuah Refleksi



 Oleh I Ngurah Suryawan

Salah satu misi etis dan moral dari ilmu antropologi adalah merekognisi nilai-nilai kemanusiaan dalam kerja-kerja etnografinya dalam komunitas masyarakat. Kerja ilmu antropologi pada dasarnya adalah memahami sang liyan, the others, subyek penelitian dan proses pembentukan kebudayaan sebuah komunitas. Namun perdebatan paradigma antropologi sangat dinamis, seperti juga perkembangan ilmu ini yang terus-menerus tanpa henti mencari identitasnya. Namun ada satu hal yang disepakati adalah persoalan metodenya yaitu kerja lapangan yang panjang dengan obsesi memahami sang liyan tadi, subyek penelitian pada komunitas masyarakat yang ditelitinya. Namun siapa sang liyan dan apa itu kebudayaan perdebatan yang terjadi dalam antropologi terus-menerus berlangsung silih berganti.


Geertz (1992) seperti diuraikan oleh dalam Laksono (2011:2) mengungkapkan obyek studi antropologi adalah sejarah pembentukan pengertian (notion formation), yang didalamnya kebudayaan dipandang sebagai suatu proses yang kabur dan tidak selesai. Pekerjaan ini tentu saja merupakan urusan yang terus menerus tanpa banyak mengandalkan aturan atau rencana sistematik. Kesimpulannya pun hanyalah jeda (semau-mau) antara ketika seseorang tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan, dan ketika ia, secara sama semuanya, akan beralih perhatian (pada rajutan/ budaya lain). Geertz mengatakan analisis kebudayaan adalah (atau seharusnya) menerka makna-makna, menaksir terkaan-terkaan itu, dan menarik kesimpulan-kesimpulan eksplanatoris dari terkaan-terkaan yang lebih baik, bukannya menemukan benua makna dan memetakan pemandangan nya yang tak berwujud itu. Bahkan Geertz melukiskan bahwa antropolog (etnografer) seperti mengkonstruksi gajah misterius, agak gaib, dan tinggal jejak kakinya saja yang ada dalam pikiran kita.

Ilmu-ilmu humaniora, khususnya dalam hal ini antropologi, kini berada dalam silang sengkarut interkoneksi global dan industrialiasi pendidikan yang luar biasa. Fokus ilmu humaniora yang membimbing manusia berkembang ke arah hidup yang lebih mermartabat secara utuh dari pengalaman terhadap oleh arus besar pragmatisasi pendidikan untuk melayani dunia kerja, pasar global, dan sudah tentu kuasa kapital yang menggerogoti negeri ini dan juga manusia-manusia di dalamnya.

Pendidikan antropologi itu penuh dengan lekuk liku karena obyek dan subyek yang dipelajarinya terus bergeser, sementara pengalaman pribadi para penelitinya atau orang yang mempelajarinya juga terus bergeser sesuai dengan posisi historisnya. Oleh karena itu hasil dari belajar antropologi lebih bersifat pengetahuan reflektif dan apresiatif yaitu pada penemuan eksistensi manusia itu sendiri. Dengan demikian pendidikan antropologi berbeda sekali hakekatnya dengan pendidikan yang pragmatis. Dalam pendidikan antropologi sebaiknya jauh dari pendekatan-pendekatan normatif tetapi dekat dengan proses yang kreatif saling percaya dan saling belajar antara murid dengan guru. (Laksono, 2010: 16) Ilmu humaniora meletakkan kebenaran ada dalam rentang sejarah sosial manusia, dalam relasi kuasa/politik, ketika manusia harus membuat strategi dan siasat untuk mengorganisir hidupnya di dunia nyata.

Pendidikan antropologi pada hakekatnya mengarah pada usaha-usaha pengembangan manusia ke arah sasaran-sasaran yang lebih substansial, halus penuh apresiasi dan empati pada hidup manusia itu sendiri daripada ke arah hidup material yang praktis. Namun, dalam dunia yang dipenuhi dengan jargon-jargon pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus dipacu ini, konflik internal dalam dunia pendidikan berjalan tidak seimbang. Kepentingan untuk melayani pasar, kekuasaan, dan globalisasi cenderung menunda bahkan mengabaikan pentingnya pendidikan antropologi yang membimbing manusia berkembang ke arah hidup yang lebih bermartabat secara utuh.

Pendidikan antropologi itu penuh lekuk liku karena subyek yang dipelajarinya terus bergeser, sementara pengalaman pribadi para penelitinya atau orang yang mempelajarinya juga terus bergeser sesuai dengan posisi historisnya. Oleh karena itu hasilnya lebih bersifat pengetahuan reflektif dan apresiatif, yaitu pada penemuan eksistensi manusia itu sendiri. Dengan demikian pendidikan antropologi berbeda sekali dengan pendidikan yang pragmatis. Dalam pendidikan antropologi, para peserta didik secara total utuh mestinya diberi kesempatan mengembangkan daya apresiasi, empati/afektif dan kognitifnya sesuai dengan pengalaman hidupnya untuk berkenalan dan berwacana dengan subyek yang dipelajarinya. Pendidikan antropologi sebaiknya jauh dari pendekatan-pendekatan normatif tetapi dekat dengan proses yang kratif saling percaya dan saling belajar antara guru dan murid. Dengan demikian, menjadi antropolog tidak hanya cukup menjadi orang yang suka memahami orang lain, tetapi perlu mampu bertindak/bergerak memahami realita dan mengubah dunia bersama warga masyarakat, yaitu membangun sejarah bersama. (Laksono, 2010b: 9)

Fokus perhatian antropologi yang membimbing manusia berkembang ke arah hidup yang lebih bermartabat secara utuh seringkali, atau lebih tepatnya terpaksa dikompromikan dengan kepentingan sementara untuk melayani pasar, kekuasaan dan globalisasi. Kisah sukses globalisasi di Indonesia memproduksi kesejahteraan terlalu dekat dengan kegagalannya meredistribusi kesejahteraan nyata bagi rakyatnya. Globalisasi dengan demikian merupakan momen-momen perubahan yang penuh friksi yang kreatif tak terduga dan dapat memporakporandakan lingkungan alam dan bahkan warisan sosial budaya.

Gerakan sosial dan sejarah masyarakat tempatan pasti memiliki segudang kisah, narasi ditengah “kebisuannya”. Antropologi maju di depan untuk bersama-sama masyarakat mengidentifikasi masalah dan merumuskan secara bersama-sama narasi sejarah baru dari masyarakat tempatan. Ini dilakukan agar antropologi tidak kekurangan bahasa untuk menafsirkan gejolak, gerakan sosial dan sejarah masyarakat tempatan. Bersama-sama “menemukan diri” dengan masyarakat tempatan, antropologi akan jauh dari tuduhan “pengingkaran kemanusiaan” dan menggunakan wacana kebudayaan yang dipentaskannya untuk meminggirkan kaum lemah di tengah belenggu kekuasaan dan kekerasan.


Oegstgeest Leiden, akhir Februari 2012
I Ngurah Suryawan, Research Fellow Indonesian Young Leaders di Faculty of Humanities Universiteit Leiden, The Netherlands.

1 komentar:

  1. ilmu antrop justru jd perpanjangan tangan kapitalisme, tak ubah seperti fase perkembangan ilmu ini di masa kolonial. ilmu ini kerap dijadikan alat bagi kolonialisme tuk melenggangkan kekuasaanya

    BalasHapus