Label

Rabu, 11 Juli 2012

Bali 1960-an: Sebuah Catatan Ekonomi Politik Kekerasan



oleh I Ngurah Suryawan

Setelah rezim kolonial Belanda meninggalkan jejak-jejak kolonisasinya, Bali sebagai sebuah pulau kecil menggeliat menuju pergolakan penting yang menentukan perjalanan sejarahnya. Menginjak tahun 1950-an, banyaknya partai-partai yang berebut kekuasaan, ditambah dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, Bali dilanda sebuah masa kegelapan dalam sejarahnya. Kemiskinan dan tragedi alam letusan Gunung Agung menyebabkan ribuan manusia Bali jatuh kondisi terburuk. Ditengah kemiskinan dan kelaparan itu, ketegangan politik dalam perebutan kekuasaan lokal di Bali—yang paling keras antara PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia)—semakin memuncak. Perseteruan politik dan keterpurukan kondisi ekonomi Bali menjadi tema-tema penting tahun 1950-1960-an di Bali. 


Artikel ini berusaha untuk memetakan dan mencatat secara deskriptif bagaimana ekonomi politik kekerasan tersebut terjadi di Bali. Diawali dengan pergolakan yang terjadi dalam merebut simpati massa antara PKI dan PNI, tragedi salama meletusnya Gunung Agung, dan berbagai kisah-kisah seputar isu land reform yang menjadi tema penting untuk menjelaskan isu-isu ekonomi politik kekerasan.
Semenjak akhir tahun 1950-an, situasi ekonomi di Bali memburuk. Harga beras dan kebutuhan lainnya menjulang tinggi. Laporan kelaparan dan kekurang gizi semakin sering terdengar. Tahun 1963 Gunung Agung meletus dan menewaskan sekitar 1.500 orang, merusak ribuan hektar lahan, dan membuat membuat 75.000 orang menyelematkan ke daerah-daerah terdekat pulau Bali. Juga terjadi ganguan hama tikus dan penurunan panen antara tahun 1962 dan 1965.

Malapetaka letusan Gunung Agung, gunung yang tertinggi dan paling dikeramatkan pada tahun 1963 banyak dipandang sebagai akibat campur tangan Soekarno dan tokoh-tokoh sekuler lainnya dalam menetapkan waktu dan struktur upacara. Mitologi meletusnya Gunung Agung dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali dianggap sebagai pertanda buruk dari kehancuran bumi Bali. Alasan untuk melakukan pembantaian massal 1965-1966 sering menggunakan pertanda mitologi meletusanya Gunung Agung, menganggap orang-orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI, adalah sumber masalah terjadinya kelaparan dan bencana di Bali. Karena itu, pembantaian massal sah dilakukan oleh membasmi pembuat onar dan masalah di Bali, yang dilakukan oleh orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI.
Bencana letusan Gunung Agung juga menjadi satu momen semakin menguatnya keterpurukan ekonomi ketika itu. Banyak pengungsi dan rakyat yang ketinggalan tempat tinggalnya. Kelaparan dan kemiskinan menjadi keakraban, dan ini semakin menguatkan keguncangan yang terjadi di masyarakat. Selain itu keterpurukan ekonomi juga diperparah dengan silih bergantinya wabah tikus, serangan hama dan kegagalan panen antara tahun 1962 dan 1965, serta oleh letusan Gunung Agung pada awal tahun 1963. Letusan pada 17 Maret dan 16 Mei dinyatakan telah merenggut kira-kira 1.500 nyawa dan menelan lebih dari 62.000 hektar lahan produktif, mengakibatkan kekurangan gizi yang parah pada lebih dari 10.000 orang, dan eksodus sampai sebanyak 75.000 manusia ke kerajaan-kerajaan tetangga. Laporan akibat letusan Gunung Agung dibuat oleh tim Palang Merah local dan Dr. Made Jelantik bersama Kepala Gereja Protestan Bali, K. Suweca. Perkiraan dari KoGA—organiasasi pemerintah yang bertanggungjawab menangangi bencana membuat laporan yang lebih tinggi. Pada Oktober 1963 dilaporkan ada 98.792 pengungsi internal, 15.595 penderita kekurangan gizi yang parah, dan 122.743 penderita yang sudah gawat. Semuanya dilaporkan dalam harian Suara Indonesia, 21 Oktober 1963. Bahkan Gubernur Sutedja memperkirakan 25.000 hektar lahan telah hancur secara permanen, dan 100.000 hektar akan tak bisa berproduksi selama bertahun-tahun. Pada April 1963, Gubernur Sutedja mengatakan: “Kami harus memberi makan 85.000 pengungsi, dan kami semata-mata tak punya makanan untuk itu.” Yang paling serius terkena dampaknya adalah wilayah timur pulau Bali: Karangasem, Klungkung, Bangli, dan Gianyar. Pengungsi dari kawasan-kawasan ini merubung kota besar, Denpasar dan Singaraja (Robinson, 2006: 365-367). 

Krisis ekonomi berlangsung secara kompleks menyentuh kehidupan paling mendasar dari rakyat. Robinson (2006) mengemukakan, kegagalan panen yang parah pada tahun 1949-1950, paceklik bahan-bahan kebutuhan pokok impor, dan tiadanya kepercayaan pada mata uang kertas Republik selama Revolusi, telah ikut membungbungkan inflasi. Dalam kondisi semacam itu, hampir-hampir tak mengherankan jika pencurian dan kejahatan ekonomi meningkat tajam. Surat kabar Sin Po, 14 Februari 1950 menuliskan, “Dewasa ini rakyat Bali sumpek dengan tindak banditisme dan pencurian yang semakin galak. Gangguan ketentraman ini terutama berkaitan dengan naiknya harga pangan. Bukan saja beras, tapi juga makanan lain semua naik harganya. Paceklik terburuk terjadi di Buleleng—yang secara tradisional sangat mengandalkan pasokan beras dari Tabanan—dan di Buleleng itulah perampokan dan banditisme paling ganas. Kesulitan ekonomi juga memacu mobilisasi politik di Buleleng, yang sudah punya lembaga buruh tani migran yang relatif besar dan militan—terutama dipekerjakan di perkebunan kopi—dan kaum pekerja urban yang berserikat. 

Harian Suara Indonesia di Denpasar menuliskan berita, “Harga beras semakin menggila” pada 22 Oktober 1963 mengungkapkan, di desa-desa, rakyat makin sering mencampur nasinya dengan pisang dan kelapa serta daun pepaya, dengan perbandingan 1:3 atau 1:4.Sesungguhnya, banyak yang sampai makan pisang dan daun-daunan saja, tanpa nasi sama sekali. Di desa-desa yang menghasilkan surplus beras pun, petani miskin hanya sedikit makan nasi atau tidak sama sekali. Laporan mengenai kematian akibat kelaparan dan merajalelanya kekurangan gizi semakin lazim di pers local selepas tahun 1963, walaupun laporan semacam itu di media nasional dibatasi oleh keinginan melestarikan citra tentang Bali yang “subur” dan “harmonis.” (Robinson, 2006: 356).

Krisis ekonomi yang serentak dengan perubahan social sesudah tahun 1963 berpengaruh dalam kehidupan politik. Inilah yang mengakibatkan begitu populernya partai-partai kiri yang mempunyai program untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Partai-partai seperti PKI, partindo, IRMI (Ikatan Rakyat Murba Indonesia) dan Partai Buruh semakin mendapatkan tempat di hati rakyat yang tertindas. Di Denpasar dan Singaraja adalah dua tempat yang memiliki populasi kaum migran dan pekerja yang cukup besar.
Sudah menjadi partai terpopuler ketiga di Bali pada 1955, PKI dan berbagai organisasi massanya, kabarnya mengalami gelombang ekspansi besar-besaran yang kedua di Bali selepas tahun 1963. Mereka yang tercerabut dan terhempas—atau lebih tepatnya kaum upahan, migran dan penganguran, baik di kota maupun di daerah pedesaan, membentuk bagian yang signifikan dari penduduk Bali menjelang penghujung tahun 1963, dan menyediakan lahan yang subur bagi ormas yang kala itu juga kian militan. 

Salah satu sumber ketegangan di antara masyarakat saat tahun 1950-an hingga awal 1960-an adalah land reform yang memungkinkan terbaginya tanah secara merata pada rakyat miskin, tidak hanya didominasi oleh golongan bangsawan kerajaan atau kelas penduduk kaya. Istilah land reform biasanya digunakan dalam arti perombakan dalam penguasaan dan pemilikan tanah, khususnya redistribusi tanah yang bertujuan untuk mencapai pemerataan dalam pembangunan pertanian. Redistribusi tanah dalam rangka land reform diharapkan dapat mengurangi kemiskinan (Hadiwijana, 1992: 5; Robinson, 2006). 

Pelaksanaan land reform di Bali pada fase pertama dimulai 1 Januari 1961 ditandai dengan pendaftaran tanah dari orang-orang atau anggota keluarganya atau kepala keluarganya yang memiliki tanah lebih dari jumlah luas maksimum. Sedangkan fase penutupan pendaftaran tanah yang melebihi batas maksimum sampai tanggal 31 Maret 1961, melalui kantor distrik setempat, dengan peraturan pemerintah nomor 10 tentang pendaftaran tanah. Pada saat keluar pengumuman tentang pelaksanaan pendaftaran tanah yang sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1961, banyak masyarakat Bali yang merasa gelisah. 

Kegelisahan ini terutama melanda para pemilik tanah yang terkena ketentuan lebih serta tanah-tanah yang terkena larangan absentee. Selain itu kegelisahan juga muncul karena adanya batas waktu yang diberikan oleh pemerintah untuk mendaftarkan tanah kelebihannya dalam jangka waktu enam bulan, jangka waktu itu dirasakan terlalu singkat oleh pemilik tanah. Kegelisahan yang timbul di masyarakat itu dimanfaatkan dengan baik oleh partai-partai politik yang ada di Bali untuk mencari massa pendukung, terutama oleh PKI beserta organisasi massanya yaitu BTI (Barisan Tani Indonesia). Hal ini dilaksanakan oleh PKI dengan slogan tanah untuk petani penggarap di pedesaan. Dengan demikian land reform yang dilaksanakan 1 Januari 1961 telah dijadikan alat oleh PKI untuk mencari massa pendukung. Akibatnya terjadi keresahan social di pedesaan yang mengarah pada konflik yang semakin tajam. 

Pernyataan tentang isu land reform sebagai titik sentral dukungan rakyat pada PKI memang sering diuraikan dalam studi-studi tentang Tragedi 1965. Geoffry juga mengungkapkan bahwa polarisasi dan militansi politik di tingkat nasional didukung dengan nasionalisasi perkebunan Belanda yang dimulai pada 1957 dan land reform pada awal dasawarsa 1960-an. Penguasaan militer atas perkebunan sesudah tahun 1957 mempertajam pertikaian perkara upah dan kondisi kerja, dan menyediakan landasan bagi konflik politik antara militer dan buruh tani. Namun demikian, yang lebih signifikan untuk Bali adalah perundangan nasional yang memerintahkan redistribusi tanah dan mengamanatkan perubahan dramatis dalam sistem bagi hasil panen. 

Akses terhadap tanah pertanian inilah yang menjadi salah satu isu yang memancing upaya lokal untuk perombakan tanah (land reform). Ketika krisis ekonomi kian terasa pada sepanjang awal decade 1960-an dan inflasi semakin pesat, tanah—yang sudah langka dan selalu jadi objek pertikaian—kiranya menjadi satu-satunya jaminan mata pencaharian, sehingga pembaruan agraria menjadi prioritas yang lebih mendesak lagi. Karena itu, implementasi perundangan land reform nasional pada awal dasawarsa 1960-an memiliki signifikasi yang menonjol untuk politik Bali. Tidak seperti kampanye “konfrontasi” melawan Malaysia atau perjuangan merebut Irian barat, land reform berdampak langsung pada praktis semua orang Bali, kebanyakan dari mereka jelas diuntungkan atau dirugikan ketika perundangan ini memasuki babak pengejawantahan. Land reform berada di jantung ekspansi mendadak PKI dan BTI pada awal dasawarsa 1960-an, dan memicu penyekutuan kembali yang signifikan dari berbagai kekuatan politik. Jika gerakan revolusioner dan mobilisasi partai politik pada tahun-tahun permulaan pascakemerdekaan dilandasi koalisi beragam kelas dan di sejumlah kasus, bergantung pada sumber daya dan otonomielemen-elemen yang lebih berkecukupan dalam koalisi itu, politik tanah mendorong pola perpecahan yang lebih jelas berlandasakan pada kelas. 

Bukti yang ada menunjukkan bahwa petani yang paling lapar-tanah dan buruh tanilah yang menjadi anggota BTI di Bali selepas tahun 1963. Pola ini masuk akal dan lebih sesuai dengan fakta militansi BTI ketimbang berbagai penggambaran tentang PKI dan organisasi BTI di Bali sebagai kedok pengelompokan social “tradisional”. Lagipula, inilah pola yang sengaja dibina lewat taktik-taktik BTI, yang mencakup pembagian pakaian, makanan dan janji-janji tanah untuk pihak yang paling papa dan paling lemah. Keanggotaan di organisasi petani PNI, Petani, lebih heterogen dalam hal kelas, yang barangkali mencerminkan berlanjutnya penggunaan strategi mobilisasi vertical oleh PNI. Anggota Petani termasuk kaum tani pemilik tanah yang relatif makmur, tapi juga para petani penggarap yang lebih miskin dan tetap bergantung secara social dan ekonomi pada para tuan tanah yang berafiliasi dengan PNI. Perbedaan antara BTI dan Petani di Bali jadi menajam selama berlangsungnya kampanye land reform. Meski Petani dan BTI secara resmi sama-sama mendukung land reform, ada perbedaan yang jelas dalam keseriusan dan militansi upaya mereka serta dalam kelas social yang mereka didik. Petani menekankan kemakmuran, keamanan, kesatuan, dan menjungjung Pancasila. Sejumlah contoh dari berbagai belahan pulau menunjukkan perbedaan pola keanggotaan dan mobilisasi BTI dan Petani selama kanmpanye land reform(Robinson, 2006: 397-398).

Di Desa Tejakula Kabupaten Buleleng, sebuah distrik miskin yang tingkat sewa-garap tanahnya tinggi dan banyak sekali buruh migran dari kawasan tetangga, Karangasem, PKI dan BTI menjadi sangat popular di kalangan “rakyat kecil” pada awal dasawarsa 1960-an. Menurut punggawa pada masa itu, yang orang PNI, Pni di sana dipandang sebagai partai tuan tanah dan menderita kekalahan serius dari PKI dalam hal keanggotaan sesudah tahun 1963. Kemunduran PNI membuka kesempatan bagi sejumlah petani yang berafiliasi dengan PNI untuk hijrah ke PKI dan BTI. Namun demikian, para petani yang lebih mkmur cenderung tetap di Petani. Demikian pula di Karangasem, kepopuleran PKI dan BTI di kalangan buruh migran dan petani penggarap kecil dilaporkan meningkat tajam menyusul penjarahan tanah di bawah kampanye aksi sepihak pada tahun 1963.

Perebutan pengaruh ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk-bentuk kegiatan dan program-program kerja masing-masing partai. Selain dua partai besar ini, terdapat partai Islam yang dalam konteks Bali dan juga nasional berada dibawah bayang-bayang persaingan PKI dan PNI. Termasuk juga di Jembrana, meskipun memiliki penduduk muslim yang besar—karena pengaruh daerah pesisir dan berbatasan dengan Pulau Jawa—dukungan masyakarakatnya tetap pada dua partai besar ini, ditambah lagi dengan warga muslim yang benci dengan komunis yang dalam pandangan mereka atheis, murtad.

Persaingan dan ketegangan ini juga berimbas pada pilihan politik masyarakat yang akhirnya harus memilih antara PKI atau PNI. Pilihan yang hitam putih ini menyebabkan tensi ketegangan menjadi tinggi dengan pilihan antara PKI atau PNI. Kondisi ini jugalah—selain sentimen pribadi, persaingan kedudukan, perebutan tanah, persaingan status dan ritual—yang menyebabkan korban pembantaian di Bali sangat mencengangkan, antara 80.000 hingga 100.000 “manusia merah” di Bali tewas mengenaskan ditangan saudaranya sendiri (Gie, 1995; Cribb, 2003; Robinson, 2006). 

Di tingkat massa akar rumput, persaingan juga terlihat dari pelantikan-pelantikan pengurus kedua partai yang berlangsung silih berganti. Situasi ketegangan dan persaingan antara kedua partai ini tidak terlepas dari situasi dan kegairahan melanjutkan revolusi seperti apa yang disampaikan Bung Karno.

Suasana bergairah revolusi ini tidak menolong laju kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang melaju kencang. Seperti juga yang terjadi di Jembrana, meskipun suasana keamanan di bidang pemerintahan dan ekonomi di Jembrana berlangsung aman-aman saja dari tahun 1959 hingga 1963, tidak menghalangi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok rakyat akibat inflasi rupiah dan rapuhnya ekonomi saat itu. Harga beras terus melonjak dari Rp. 650 per kg menjadi Rp. 900 per kg. perubahan harga beras ini terjadi setiap hari secara terus menerus. Akibat kepanikan masyarakat dengan naiknya harga kebutuhan pokok, terutama beras, memancing keinginan untuk menimbun beras dan minyak tanah oleh para pedagang-pedagang. (Alm)Wayan Reken dalam catatannya bahkan langsung menuding penimbunan-penimbunan beras dan minyak tanah itu dilakukan oleh pedagang-pedagang yang berafiliasi dan bersimpati pada PKI. (Reken, tt; Suryawan 2006, 2007). Setelah peristiwa itu, terajadilah berturut-turut pembakaran tempat-tempat penyimpanan beras di jineng-jineng (lumbung-lumbung padi) milik para pedagang simpatisan dari PKI ataupun pedagang dari etnis Tionghuoa yang berafiliasi ke PKI. 

Di Kabupaten Jembrana, Presiden Soekarno pada awal tahun 1962 ke kota Negara dengan helikopter untuk mengadakan rapat raksasa di alun-alun kota. Kedatangan ini disambut meriah oleh pejabat pemerintah, polisi dan militer, segenap veteran pejuang 45, segala lapisan masyarakat bahkan rakyat dari pedesaan-pedesaan dan pegunungan ikut membanjiri tanah lapang ini. Dalam pidatonya terhadap rakyat Jembrana ditekankan betapa perlunya menggalang persatuan untuk terciptanya cita-cita revolusi. Musuh revolusi Indonesia yang terutama adalah ialah kaum imperialis, iblis yang tidak senang atas kedatangan revolusi kita dan selalu menghantam republik Indonesia dengan segala macam jalan dan cara. Mereka itu kadang-kadang menjalankan aksi-aksi subversif seperti membantu pemberontakan PRRI dan Permesta, mengacau ekonomi Indonesia, melancarkan kabar bohong. Usaha mereka yang sekarang ini sedang mengepung Indonesia dengan mendirikan negara boneka Malaysia.

Selain itu termasuk musuh-musuh revolusi Indonesia ialah golongan “Blandis”, yaitu orang-orang Indonesia yang masih berfikir secara kolonialis Belanda, golongan-golongan kontra revolosioner, yaitu orang-orang yang tidak senang akan adanya revolusi kita serta cita-cita membentuk masyarakat adil dan makmur. Golongan kontra revolusi ini menjalankan bermacam daya untuk merongrong revolusi dari dalam, juga golongan bunglon dan tengkulak termasuk musuh revolusi kita (Reken, tt).

Puncak dari ketegangan ekonomi politik kekerasan di tahun 1960-an adalah apa yang dikenal oleh rakyat Bali sebagai Gestok (Gerakan 1 Oktober) mengikuti ucapan dari Bung Karno, atau G30S (Gerakan 30 September) yang pada rezim Orde Baru ditulis “G30S/PKI”, untuk menunjukkan bahwa bahwa G30S didalangi oleh PKI. Kontestasi sejarah kemudian menandingi versi tunggal Orde Baru terhadap sejarah G30S yang menyebutkan bahwa masih perdebatan siapa yang menjadi dalang G30S tersebut.

I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar