Label

Minggu, 08 Juli 2012

(Esai) Gemerlap Ritual: Ambiguitas dan Kekuasaan

oleh I Ngurah Suryawan


Ritual ngaben bagi keluarga yang ditinggalkan belum tentu berlangsung lancar. Banyak orang-orang Bali yang terkena musibah kematian harus tertimpa tangga bersitegang untuk mendapatkan setra (kuburan) untuk ngaben. Tidak tanggung-tanggung kemarahan warga ditunjukkan dengan menggeletakkan jasad di tengah jalan atau bahkan menghadang warga yang “bermasalah” untuk menguburkan atau meng-ngaben-kan jasad di setra. Lemparan batu dan umpatan pada sesama krama (warga) satu desa tidak sulit dilakukan karena dianggap telah melanggar awig-awig dan tidak memenuhi kewajiban sebagai krama adat. Saya sempat berada di tengah-tengah sebuah keluarga di sebuah desa kecil di Bali yang disepekang (dikucilkan) dan mempunyai musibah kematian tapi dihadang penguburannya oleh krama (warga) adat. Setra (kuburan) dipagari dengan batang-batang pohon dan puluhan krama melempari rumah warga yang dikucilkan. Setelah dikepung beberapa jam dan aparat kepolisian dating, akhirnya keluarga ini memilih untuk menguburkan jasad salah satu anggota keluarganya di setra desa tetangga. Proses itupun berlangsung selama berhari-hari dan dalam suasana yang menegangkan.


Ritus, ritual, upacara adalah agama dalam tindakan untuk mencari jalan keselamatan (salvation). Keselamatan adalah tujuan dari kehidupan beragama dan juga dari serangkain ritual yang dilakukan oleh agama-agama. Agama praksis yang terdapat dalam ritual menjadi cermin dari serangkaian aktivitas pendukung ritus tersebut. Ritual, upacara, dan ritus-ritus yang dilakukan pemeluk agama pasti mempunyai mitos tertentu. Selain itu, dalam ritual terdapat hubungan erat antara mitos, suatu dongeng suci dari suatu bangsa dengan aktivitas ritual, tingkah laku moral, organisasi sosial, bahkan aktivitas politik suatu masyarakat (Dhafamony, 1995;  Suhardi, 2009: 12).

Relasi ritual dengan lingkungan sosial politik seharusnya menjadi refleksi yang mendalam. Berbagai ritual-ritual yang berlangsung dengan tujuan untuk mencari keselamatan (salvation), harmonisasi serta keseimbangan alam justru melahirkan situasi yang ironis dan ambigu. Ritual berlangsung gemuruh sementara rentetan bencana seolah tak henti mendera kehidupan manusia. Dharma Palguna (2006) mengungkapkan bagaimana “ritual-ritual agama” di Bali dulunya dijaga dengan mantra-mantra kini justru dijaga oleh sepasukan pecalang (barisan pengamanan adat di Bali) dan pemeriksaan metal detector (saat ritual Pamarisudha Karipubhaya Bom Bali 2002 dan 2005). Orang-orang Bali kini gencar dan bersemangat melakukan berbagai macam ritual dengan megah dan spektakulaer. Tapi justru saat itu pula rangkaian bencana sambung menyambung tanpa henti mendera Bali. Bukan hanya bencana yang datang dari luar, namun juga bencana dari dalam masyarakat Bali sendiri.

Ritual salah satunya mempunyai sifat yang rahasia (rahasya), jauh dari keramaian , bunyi-bunyian dan bau-bau yang tidak relevan. Jumlah orang yang ada dalam lokasi ritual juga terbatas dan lingkungan ritual juga telah dijaga secara mistis (sengker). Tujuannya agar pikiran buruk tidak masuk dalam lingkaran mistis (sesengkeran) sehingga tujuan ritual menjadi berhasil (tepet). Namun, orang-orang Bali kini tidak menghiraukan kerahasiaan, sekaralan ritual tersebut. Ritual dibuat menjadi event keramaian. Semakin ramai semakin membanggakan (Dharma Palguna, 2006: 150-151). Maka ada pertunjukan, ada jamuan, ada undangan untuk pejabat pemerintah yang menyerahkan sumbangan dan membuka ritual. Para pejabat ini biasanya akan didaulat untuk peletakan batu pertama jika ada ritual pembangunan pura, mendem pedagingan (meletakkan sesaji di bawah tanah) saat ritual peresmian pura berlangsung yang semestinya dilakukan oleh pendeta atau pemangku. Ritual tambah megah dan tinggi statusnya jika ada pemberitaan di media massa dan elektronik, dimuat dalam durasi hampir 1 jam oleh sebuah stasiun televise lokal dalam sebuah program acara Nangun Yadnya.

Konteks “teologi ritual” sering melupakan relasi ritual dengan kehidupan sosial politik dalam konteks ritual tersebut. Ritual kematian di Bali misalnya bukan hanya persoalan lepasnya “badan kasar” dari “badan halus” serta bersatunya jasad manusia ke alam pertiwi, paramaatman (menyatunya atma dengan paramataman, Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa), namun seperti dipertanyakan oleh Santikarma (2004) berakhirnya hidup di Bali juga persoalan sosial yang berhubungan dengan soal status. Upacara kematian memunculkan argumentasi seperti, sejauh mana besar skala upacara? Siapa yang memimpin upacara, pendeta brahmana atau bukan? Berapa tinggi usungan jenazah? Bagi mereka yang anggota keluarganya raib akibat pembantain massal 1965 kekisruhan muncul dalam menentukan status kematian: apa kematian mereka dianggap sebagai salahpati (bunuh diri) atau ulahpati (kecelakaan)? Keputusan ini nanti berpengaruh terhadap rangkaian sarana sesajen atau banten yang akan dipakai.

Berbagai jenis ritual di Bali sering dikaitkan dengan ide tentang “keharmonisan alam” atau dalam bahasa lainnya untuk menjaga keseimbangan kosmis. Dalam terminologi lainnya yang serupa, rwa bhineda (baik dan buruk) dalam alam pikiran orang Bali adalah menyatu dan diperlukan mediasi-mediasi ritual untuk menyeimbangkan dua kekuatan tersebut. Namun praktik keagamaan di Bali, meminjam istilah Hildred Geertz (dalam Santikarma, 2004) menyangkut persoalan negosiasi dan komunikasi dengan kekuatan dunia atas dan dunia bawah yang abstrak, penuh ambiguitas dan intrik kekuasaan. Dalam praktik-praktik ritual dan keagamaan yang penuh dengan ambiguitas dan intrik kekuasaan itulah relasi-relasi ritual dimainkan oleh agency-agengy orang Bali dan diakomodasi penuh oleh negara dan kekuasaan untuk berbagai macam kepentingan.  


( sumber: Harian Bali Tribune, 2 Juni 2012)


I Ngurah Suryawan, Menulis buku Sisi Dibalik Bali: Politik Identitas, Kekerasan, dan Interkoneksi Global (Denpasar: Udayana University Press, 2012). Research Fellow Indonesian Young Leaders di Faculty of Humanities Universiteit Leiden, The Netherlands.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar