oleh I Ngurah Suryawan
Ritual ngaben
bagi keluarga yang ditinggalkan belum tentu berlangsung lancar. Banyak
orang-orang Bali yang terkena musibah kematian harus tertimpa tangga
bersitegang untuk mendapatkan setra (kuburan) untuk ngaben.
Tidak tanggung-tanggung kemarahan warga ditunjukkan dengan
menggeletakkan jasad di tengah jalan atau bahkan menghadang warga yang
“bermasalah” untuk menguburkan atau meng-ngaben-kan jasad di setra. Lemparan batu dan umpatan pada sesama krama (warga) satu desa tidak sulit dilakukan karena dianggap telah melanggar awig-awig dan
tidak memenuhi kewajiban sebagai krama adat. Saya sempat berada di
tengah-tengah sebuah keluarga di sebuah desa kecil di Bali yang disepekang (dikucilkan) dan mempunyai musibah kematian tapi dihadang penguburannya oleh krama (warga) adat. Setra (kuburan) dipagari dengan batang-batang pohon dan puluhan krama
melempari rumah warga yang dikucilkan. Setelah dikepung beberapa jam
dan aparat kepolisian dating, akhirnya keluarga ini memilih untuk
menguburkan jasad salah satu anggota keluarganya di setra desa tetangga. Proses itupun berlangsung selama berhari-hari dan dalam suasana yang menegangkan.
Ritus, ritual, upacara adalah agama dalam tindakan untuk mencari jalan keselamatan (salvation).
Keselamatan adalah tujuan dari kehidupan beragama dan juga dari
serangkain ritual yang dilakukan oleh agama-agama. Agama praksis yang
terdapat dalam ritual menjadi cermin dari serangkaian aktivitas
pendukung ritus tersebut. Ritual, upacara, dan ritus-ritus yang
dilakukan pemeluk agama pasti mempunyai mitos tertentu. Selain itu,
dalam ritual terdapat hubungan erat antara mitos, suatu dongeng suci
dari suatu bangsa dengan aktivitas ritual, tingkah laku moral,
organisasi sosial, bahkan aktivitas politik suatu masyarakat (Dhafamony,
1995; Suhardi, 2009: 12).
Relasi ritual dengan
lingkungan sosial politik seharusnya menjadi refleksi yang mendalam.
Berbagai ritual-ritual yang berlangsung dengan tujuan untuk mencari
keselamatan (salvation), harmonisasi serta keseimbangan alam
justru melahirkan situasi yang ironis dan ambigu. Ritual berlangsung
gemuruh sementara rentetan bencana seolah tak henti mendera kehidupan
manusia. Dharma Palguna (2006) mengungkapkan bagaimana “ritual-ritual
agama” di Bali dulunya dijaga dengan mantra-mantra kini justru dijaga
oleh sepasukan pecalang (barisan pengamanan adat di Bali) dan pemeriksaan metal detector (saat ritual Pamarisudha Karipubhaya
Bom Bali 2002 dan 2005). Orang-orang Bali kini gencar dan bersemangat
melakukan berbagai macam ritual dengan megah dan spektakulaer. Tapi
justru saat itu pula rangkaian bencana sambung menyambung tanpa henti
mendera Bali. Bukan hanya bencana yang datang dari luar, namun juga
bencana dari dalam masyarakat Bali sendiri.
Ritual salah satunya mempunyai sifat yang rahasia (rahasya),
jauh dari keramaian , bunyi-bunyian dan bau-bau yang tidak relevan.
Jumlah orang yang ada dalam lokasi ritual juga terbatas dan lingkungan
ritual juga telah dijaga secara mistis (sengker). Tujuannya agar pikiran buruk tidak masuk dalam lingkaran mistis (sesengkeran) sehingga tujuan ritual menjadi berhasil (tepet).
Namun, orang-orang Bali kini tidak menghiraukan kerahasiaan, sekaralan
ritual tersebut. Ritual dibuat menjadi event keramaian. Semakin ramai
semakin membanggakan (Dharma Palguna, 2006: 150-151). Maka ada
pertunjukan, ada jamuan, ada undangan untuk pejabat pemerintah yang
menyerahkan sumbangan dan membuka ritual. Para pejabat ini biasanya akan
didaulat untuk peletakan batu pertama jika ada ritual pembangunan pura,
mendem pedagingan (meletakkan sesaji di bawah tanah) saat ritual peresmian pura berlangsung yang semestinya dilakukan oleh pendeta atau pemangku.
Ritual tambah megah dan tinggi statusnya jika ada pemberitaan di media
massa dan elektronik, dimuat dalam durasi hampir 1 jam oleh sebuah
stasiun televise lokal dalam sebuah program acara Nangun Yadnya.
Konteks
“teologi ritual” sering melupakan relasi ritual dengan kehidupan sosial
politik dalam konteks ritual tersebut. Ritual kematian di Bali misalnya
bukan hanya persoalan lepasnya “badan kasar” dari “badan halus” serta
bersatunya jasad manusia ke alam pertiwi, paramaatman (menyatunya atma dengan paramataman, Ida Sanghyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa), namun seperti dipertanyakan oleh Santikarma
(2004) berakhirnya hidup di Bali juga persoalan sosial yang berhubungan
dengan soal status. Upacara kematian memunculkan argumentasi seperti,
sejauh mana besar skala upacara? Siapa yang memimpin upacara, pendeta
brahmana atau bukan? Berapa tinggi usungan jenazah? Bagi mereka yang
anggota keluarganya raib akibat pembantain massal 1965 kekisruhan muncul
dalam menentukan status kematian: apa kematian mereka dianggap sebagai salahpati (bunuh diri) atau ulahpati (kecelakaan)? Keputusan ini nanti berpengaruh terhadap rangkaian sarana sesajen atau banten yang akan dipakai.
Berbagai
jenis ritual di Bali sering dikaitkan dengan ide tentang “keharmonisan
alam” atau dalam bahasa lainnya untuk menjaga keseimbangan kosmis. Dalam
terminologi lainnya yang serupa, rwa bhineda (baik dan buruk)
dalam alam pikiran orang Bali adalah menyatu dan diperlukan
mediasi-mediasi ritual untuk menyeimbangkan dua kekuatan tersebut. Namun
praktik keagamaan di Bali, meminjam istilah Hildred Geertz (dalam
Santikarma, 2004) menyangkut persoalan negosiasi dan komunikasi dengan
kekuatan dunia atas dan dunia bawah yang abstrak, penuh ambiguitas dan
intrik kekuasaan. Dalam praktik-praktik ritual dan keagamaan yang penuh
dengan ambiguitas dan intrik kekuasaan itulah relasi-relasi ritual
dimainkan oleh agency-agengy orang Bali dan diakomodasi penuh oleh
negara dan kekuasaan untuk berbagai macam kepentingan.
( sumber: Harian Bali Tribune, 2 Juni 2012)
I Ngurah Suryawan, Menulis buku Sisi Dibalik Bali: Politik Identitas, Kekerasan, dan Interkoneksi Global
(Denpasar: Udayana University Press, 2012). Research Fellow Indonesian
Young Leaders di Faculty of Humanities Universiteit Leiden, The
Netherlands.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar