Label

Rabu, 11 Juli 2012

Apa Kabar Intelektual (Hindu) Bali?




oleh I Ngurah Suryawan


Jauh dari bernas saya kira peran intelektual Bali di kancah nasional selama ini. Kegundahan ini saya pendam dari dulu. Terus terang, saya kadang-kadng iri melihat begitu lihai dan dinamisnya “dunia persilatan” intelektual di negeri ini, dan hanya minim sekali—untuk tidak mengatakan tidak sama sekali—melibatkan warna dan pikiran dari intelektual Bali, atau lebih tepatnya intelektual Hindu Bali. Segudang pertanyaan muncul, tapi yang membuat saya penasaran adalah kenapa bisa demikian adanya?


Pertanyaan itulah yang kemudian menambah keinginan saya untuk mencoba melakukan penelitian kecil tentang intelektual dan kekuasaan di Bali. Saya rasa ada situasi yang membuat mandeg dan “mati suri”nya pergulatan intelektualita di Bali. Apakah saya salah?

Intelektual, Pariwisata, Pembangunan, dan Kekuasaan

Mandeg dan senyapnya suara intelektual Bali di kancah nasional banyak dipengaruhi dari kondisi yang membentuk Bali di zaman Orde Baru. Dari tahun 1970-an, saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru pasca pembantaian massal 1965, terjadi manipulasi luar biasa dalam pembentukan pola pikir manusia Bali. Orde Baru melakukan pembentukan “industri manusia Orde Baru” dengan sangat canggih. Manusia Bali dibentuk menjadi sangat penurut dan apolitis. Ini tentunya seiring dengan gemuruhnya industri pariwisata yang membutuhkan “pelayan-pelayan” yang tampak manis, sopan, dan baik hati di mata wisatawan.

Intelektual yang bermukim di institusi pendidikan “dibonsai”, “dikandangkan”, dibuatkan panggung untuk mendukung proyek pembangunanisme dan pariwisata. Perguruan tinggi menyediakan “argumentasi akademik” untuk mendukung pembangunan pariwisata. Lalu, intelektual membuat berbagai studi-studi yang menghubungkan bagaimana pariwisata mendukung pembangunan, pariwisata menumbuhkan budaya, dan segala hal yang “membaik-baikkan” pariwisata dan pembangunan. Maka tidak heran jika saat itu, antara tahun 1980-1990-an banyak intelektual Bali yang merasa bangga mendapatkan proyek penelitian pariwisata atau para profesornya yang menjadi tim ahli. Jargon “intelektual pariwisata” atau “intelektual pembangunisme” adalah julukan yang pantas untuk masa ini.

Dhakidae (2003) secara jernih dan tajam menunjukkan bagaimana potret intelektual pada masa rezim otoritarian Orde Baru dalam tiga macam: intelektual tukang yang benar-benar menjadi “buruh kekuasaan”, yang mengabdikan diri sepenuhnya dan berani mati pada kekuasaan (baca: rezim Orde Baru), intelektual yang mencoba untuk melakukan “langkah subversif” dengan masuk ke lingkaran kekuasaan dan mencoba merubah kekusaan dari dalam, dan intelektual idealis yang tetap memegang teguh nilai-nilai intelektual dan berada di luar jalur kekuasaan (Dhakidae via Amagola, 2003).

Praktik dari pernyataan itu di Bali salah satunya adalah pada bidang institusional pendidikan di perguruan tinggi. Iklim akademik dan suasana perkuliahan—khususnya di Universitas Udayana—mempunyai tanggungjawab moral terhadap pembusukan intelektual Bali pada masa itu. Suasana perkulihan yang stagnan memandulkan daya kritis mahasiswa. Maka tidaklah heran jika muncul kelompok-kelompok studi di kalangan mahasiswa Bali yang tidak puas dengan iklim akademik di kampus yang normatif dan berada di menara gading.

Kelompok-kelompok studi seperti Forum Merah Putih, personal dosen-dosen, kalangan LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat yang kritis mempunyai andil besar dalam dinamika intelektual di Bali. Kehadirannya mendorong munculnya lingkaran mahasiswa dan intelektual Bali yang gundah dengan eksploitasi besar-besaran pariwisata yang menimpa tanah Bali. Rangkaian diskusi berlangsung dan beragam organisasi mahasiswa merespon proyek pembangunan industri pariwisata yang meminggirkan manusia dan menjual tanah Bali. Diantaranya yang mencuat adalah perlawanan terhadap pembangunan proyek Bali Nirwana Resort (Mudana, 2005; Picard, 2006) dan mulai tumbuh suburnya iklim akademik yang kritis dan relasi yang penting dengan beragam kelompok masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan turunnya kelompok-kelompok LSM dan mahasiswa untuk melakukan advokasi terhadap beberapa kelompok masyarakat yang menjadi korban struktur kekuasaan pemerintah, pembangunan dan pariwisata.


Intelektual Kapling dan Saling Sikut 
 
Sebenarnya ada hal yang potensial untuk menggairahkan dunia intelektualisme di Bali. Hal yang potensial itu adalah para orang Bali yang memilih untuk keluar merantau dan menjadi tenaga pengajar, peneliti atau bekerja di luar Bali bahkan di luar negeri. Ilmuwan ini bukan hanya pada bidang ilmu-ilmu sosial tapi berbaagai bidang lainnya. Sumbang saran dan peran serta mereka tentu sangat penting untuk Bali, memberikan ide-ide perbaikan untuk membangun Bali.

Tapi coba simak apa yang yang dikeluhkan seorang ilmuwan sosial dan politik dari Bali yang menjadi dosen di sebuah universitas bergengsi di Jawa, “Mekejang be mekapling, sing nyak ngawag nyemak lahanne.” (Semua sudah dikapling, tidak mau sembarangan mengambil lahan mereka). Siapakah yang dimaksud?

Dalam dunia ilmuwan, para intelektual ini ternyata juga “saling sikut”, merasa punya “wilayah kekuasaan” masing-masing yang tidak bisa dimasuki. Kok seperti preman ya? Kalau wilayah integritas dan keahlian bidang keilmuan, saya kira sudah sepantasnyalah saling kapling dan menekuni bidangnya masing-masing. Tapi saya kira yang disampaikan Bli ini adalah soal kapling proyek penelitian atau yang lainnya.

Ada kesan—semoga saya salah—“lahan Bali” telah dikusai oleh intelektual-intelektual yang berdomisili Bali, dan dosen-dosen atau peneliti di universitas-universitas di Bali adalah salah salah satunya. Ini menyebabkan ruang gerak intelektual asal Bali yang berkiprah di luar untuk memberikan sumbangsih pemikirannya dianggap merongrong kekuasaan intelektual lokal Bali yang telah menguasai lahan tersebut. Pernyataan ini memang agak tendensius, tapi sebenarnya inilah yang terjadi. Secara tanpa sengaja, ruang bagi intelektual Bali di luar Bali untuk memberikan sumbangan terhadap apa yang terjadi di Bali menjadi terbatas karena proyek kapling lahan-lahan proyek tersebut.

Grup-grup atau kelompok-kelompok intelektual juga menjadi persoalan lain. Ini tentu sah pada dunia akademik yang penuh subjektifitas dan beragam kepentingan tumbuh berkembang. Namun yang disayangkan, pengkotakan dan rivalitas tersebut justru mengkerdilkan Bali, bukan mengembangkan Bali dengan pikiran-pikiran dan studi mereka.

Mengambil Tanggungjawab dan Tidak Balisentris

Buktinya adalah apa yang sudah dilakukan intelektual Bali dalam menyikapi fenomena bangsa ini? Praktis sangat minim kalau tidak dikatakan nol besar. Saya jadi iri dengan beragam potret intelektual atau lembaga riset yang mempunyai perhatian soal ini. Jaringan Katolik dan Kristen memiliki jaringan Kompas, Kanisius, STF Driyarkara, Sanata Dharma, Atmajaya, CSIS atau yang lainnya. Jaringan muslim memiliki Paramadina, Muhamadiyah, intelektual UIN, Jaringan Islam Liberal dan banyak lagi yang lain.

Argumen “minoritas” yang diajukan adalah bukti kekalahan, keterpinggiran. Memang ada relasi kuasa dalam jaringan intelektual, namun jika mengedepankan Hindu adalah minoritas sungguhlah argumentasi yang naif dan kekalahan sebelum bertanding.

Sepantasnyalah sekarang intelektual Hindu Bali mengambil tanggungjawab moral untuk menyumbangkan pikirannya terhadap fenomena bangsa hari ini. Ruang-ruang publik untuk hal itu harus direbut, seperti merebut media massa untuk menulis opini atau berbagai cara lain. Ini tentunya dengan bidang keahlian masing-masing. Sudah pasti hal itu kini telah terjadi dan banyak intelektual Hindu Bali yang berintegritas dalam bidangnya dan mewarnai perdebatan fenomena kebangsaan kita. Agar jangan intelektual Bali selalu lekat dengan “Menteri Pariwisata dan Kebudayaan” atau bidang-bidang yang berada dalam ruang lingkupnya.

Selain mengambil tanggungjawab moral tersebut, menjadi tidak Balisentris juga sangat penting. Artinya adalah jangan mengganggap persoalan Bali selalu penting, atau jika ada yang menyinggung Bali, pastilah intelektual Bali atau komponen masyarakat Bali akan meresponnya. Sementara jika ada persoalan di daerah lain, suara dari Bali praktis tidak ada. Inilah sikap Balisentris yang memandang daerahnyalah yang paling penting untuk direspon, ditanggapi. Kesan itu muncul dari jarangnya intelektual Bali untuk “memandang keluar” dan belajar dari kebudayaan lain, jangan hanya melihat dan mempelajari kebudayaan sendiri saja.

Rahajeng...

1 komentar: