Label

Rabu, 11 Juli 2012

Politik Ruang dan Siasat Kebudayaan



Oleh I Ngurah Suryawan

”Kami selama ini tidak main-main mengembangkan pariwisata di daerah kami. Dasarnya tetap pariwisata budaya dan agama. Jika itu hilang, apa yang akan kami jual,” kata Bupati Karangasem, Wayan Geredeg saat ditanya pengembangan pariwisata di wilayahnya (Kompas, 1 April 2009). Konteks yang diungkapkan oleh Wayan Geredeg adalah respon daerahnya terhadap kajian RTRW (Rancangan Tata Ruang dan Wilayah) yang berusaha untuk memetakan, salah satunya adalah daerah mana saja yang bisa dimasuki dan diubah melalui investasi pariwisata. Pengembangan “daerah-daerah baru” pariwisata melalui investasi di kabupaten-kabupaten sebisanya mengacu pada pariwisata kerakyatan. Dasarnya tentu saja pariwisata berbasis budaya dan agama di satu sisi, dan mengundang investasi untuk menggerakkan pariwisata dan kesejahteraan rakyat di sisi lain.


Satu perspektif lainnya adalah ditengah dilema investasi dan pariwisata kerakyatan tersebut, pemetaan akan eksploitasi dalam investasi seakan hilang tertelan bumi. Seolah-olah Bali sebagai pulau kecil “aman-aman saja” menghadapi gemuruh industrialisasi, investasi, persoalan kependudukan, dan kekayaan alam yang terus menghimpit dari segala penjuru. Selama industri pariwisata menjamah Bali secara besar-besaran di awal tahun 1970-an, suara-suara dan kritik akan kehancuran alam Bali dan ludesnya tanah Bali tercaplok investor dianggap igauan di siang bolong dan karakter mental yang “menghambat pembangunan”. Jargon Bali menjadi Bakal Amblas Lantaran Investor yang diteriakkan aktivis dan pengkritik pembangunan Bali hanya sebatas membadan pada kaos-kaos yang digunakan aktivis dan pajangan poster-poster di kantor LSM.

Kini, di tengah silang sengkarut pembahasan RTRW, arah dan strategi kebijakan pembangunan disusun dalam 20 tahun mendatang. Strategi pembangunan dan politik kebudayaan Bali itu masih menyisakan kontroversi. Sebagaimana layaknya Perda (Peraturan Daerah)—yang dibuat oleh elite birokrasi dan disetujui oleh DPRD—kondisi terkini tentang realitas pembangunan Bali, soal potret kerusakan serta potensi ancaman kerusakan dan daya dukung Bali selama 20 tahun ke depan praktis tak terjamah.
Tentu, perjuangan untuk menggagalkan pembahasan tergesa-gesa Ranperda RTRW yang akan mengeksploitasi alam Bali dengan dalih investasi, menguntungkan elit birokrasi harus terus dilakukan. Namun, lebih dari itu, di balik perdebatan Ranperda RTRW, terungkap bagaimana strategi dan kebijakan pembangunan ternyata menyederhanakan bahkan meniadakan keterlibatan masyarakat di dalamnya. Suara-suara rakyat disederhanakan dalam jejeran angka-angka statistik untuk menunjukkan tingkat partisipasi dan keberhasilan pembangunan. Ilmuwan sosial luput menangkap pergolakan dan siasat rakyat yang tidak hanya dalam barisan angka-angka dari Biro Pusat Statistik, tapi pergolakan dan “perlawanan” keseharian dalam praktik kehidupan mereka yang biasa-biasa saja namun tanpa henti.

Artikel ini memfokuskan pada bagaimana secara teoretik siasat rakyat Bali hingga kini menghadapi ruangnya, natahnya dalam terjangan investasi dan industrialiasi pariwisata. Strategi perencanaan RTRW bisa jadi hanyalah rumusan di atas meja, tapi dari dulu praktik keseharian rakyat Bali dalam bersisat menghadapi investor atas ruang hidupnya menjadi the practice of everyday life yang terlupakan. Dalam praktik hidup keseharian rakyat Bali, kita sering luput menangkap pergolakan (politik) kebudayaan mereka, yang sering kita sederhanakan dalam (sekali lagi) statistik dan strategi-strategi besar “puncak-puncak” politik kebudayaan.

Politik Ruang: Strategi dan Siasat
De Certeau (1984) menunjukkan bagaimana praktik kehidupan sehari-hari dilakukan oleh rakyat kebanyakan dalam tempat dan ruang tertentu. Dalam ruang yang terhimpun praktik-praktik kegiatan manusia tersebut, terdapat budaya-budaya yang sangat biasa, yaitu praktik hidup keseharian manusia. Wujud dari praktik keseharian itu diterjemahkan melalui budi bahasa yang juga sangat biasa, jauh dari kesan elite dan “berwibawa”. Berpijak pada teoretisi Bourdieu tentang habitus dan Foucault tentang struktur kekuasaan, de Certeau menunjukkan bahwa dalam sebuah kebiasaan hidup masyarakat (habitus), praktik-praktik manusia sangat dipengaruhi oleh struktur kekuasaan (aparatus pejabat pemerintah, ideologi, prosedur birokrasi, teknik) dan habitus itu sendiri tentunya. Oleh karena itulah, gerakan-gerakan resistensi sering lahir akibat respon terhadap struktur kekuasaan dan upaya pembongkaran habitus masyarakat sendiri.

Praktik, taktik manusia inilah yang sering disebut dengan siasat. Dalam siasat, manusia dihadapkan langsung dengan kenyataan di lapangan, fakta di depan mata yang membutuhkan cara, taktik untuk menghadapinya. Berbeda dengan strategi yang masih di atas meja atau kertas yang berupa rancangan untuk menghadapi kenyataan. Dalam siasat inilah, de Certau melihat bahkan praktik keseharian manusia mengandung beragam makna dan pergolakan manusia dan kebudayaan yang sering dilupakan dengan strategi yang menipu. Dalam siasat, manusia langsung berhadapan dengan jejaring relasi kuasa yang dibentuk oleh ruang yang memberikan kontes persoalan tertentu.

Dalam pembahasan Ranperda RTRW secara jelas menunjukkan bagaimana ruang, tempat yang bersejarah dalam konteks politik dan kebudayaan Bali, coba dibekukan dalam persoalan peraturan daerah dalam pasal-pasal dan permaian politik investasi yang mengeksploitasi Bali untuk kepentingan pariwisata. Kajian “akademik kampus” dan “kampung” tentang daya dukung Bali, pemetaan potensi ancaman ruang sosial budaya dan sumber daya alam Bali, selayaknya menaruh perhatian pada siasat manusia Bali dalam melihat persoalan ruangnya sendiri. Oleh de Certau (1984), dalam praktik sehari-hari kebiasaan manusia bersiasat itulah kebudayaan dibangun. Yang biasa-biasa menentukan kehidupan sehari-hari.

Politik ruang manusia Bali adalah siasat mereka menghadapi jerat-jerat turisme dan industrialisasi pariwisata yang massif menyentuh ruang-ruang privat kehidupan mereka. Terjangan pembangunan infrastruktur pariwisata menelan mentah-mentah tanah mereka untuk dijual pada investor, mengeruk sumber daya alam, bahkan menjamah kawasan-kawasan suci pura dan segara. Tanpa sadar, dalam praktik sehari-hari kita telah “menjual” Bali dalam berbagai cara.

Kini, budaya dan agama adalah sebuah modal, “barang”, “hak milik kebudayaan” yang dimiliki orang Bali untuk dijual dalam bungkus pariwisata. Dalam kemasan investasi, pembangunan infrastruktur dan industrialisasi, pariwisata ditampilkan “manis dan manusiawi” untuk kesejahteraan masyarakatnya. Jika modal itu lenyap, tidak ada lagi yang bisa dijual. Pernyataan Bupati Wayan Geredeg di awal artikel ini menunjukkan semuanya.



I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar