Cerpen: Wayan
Sunarta
Berita
tentang pementasan joged bumbung telah tersebar ke seluruh pelosok Desa
Wanagiri. Begitu cepat seperti hembusan angin. Masyarakat di Wanagiri memang
selalu haus dengan hiburan. Mereka tidak sabar menunggu pementasan itu. Apalagi
sekehe atau grup joged yang pentas
berasal dari Desa Tiyingbuluh yang memang terkenal dengan para penarinya yang
berani mempertontonkan gerakan-gerakan erotis. Gerakan-gerakan sensual itulah
yang sangat digemari para penonton, terutama kaum lelakinya.
Senja
itu, seperti biasa aku singgah di warung tuak milik Pak Langkir. Beberapa
pemuda sudah berkumpul di sana, duduk melingkar beralaskan tikar pandan.
Beberapa botol tuak nampak siaga di tengah-tengah mereka.
“Mau ikut nonton joged?” tanya Mura,
brandal desa yang telah menjadi sahabatku sejak aku menetap di Wanasari untuk
suatu keperluan penelitian sosial budaya.
“Kapan?”
“Sebentar malam.”
Sudah lama aku tidak menonton tari
joged. Agaknya sangat menyenangkan menonton joged di sebuah desa pedalaman di
Bali timur. Tentu sangat eksotis, pikirku.
Mura menyilakan aku duduk dan
langsung menyodorkan segelas tuak padaku. Aku menyambut gelasnya dan langsung
meneguk tuak.
“Jogednya dari Tiyingbuluh. Pasti
seru! Rugi kalau tidak nonton,” ujar Mura.
“Aku pasti nonton. Dimana lokasi pentasnya?”
“Di Dusun Anyar, tak jauh dari sini.
Pentas mulai jam delapan malam. Jadi kita bisa minum dulu. Habis minum baru kita
ramai-ramai ke sana.” Mura nampak bersemangat.
Aku pun kembali hanyut dalam tegukan
demi tegukan tuak. Senja makin lesap ke bebalik pepohonan dan malam mulai
menampakkan parasnya yang kelam.
Begitulah kebiasaan para pemuda di Wanasari.
Mereka minum tuak sepuasnya sebelum menonton pentas joged. Seringkali ajang
pentas joged dipakai tempat pamer kekuatan sehingga perkelahian tidak bisa
dihindari. Apalagi kalau ketemu musuh bebuyutannya. Seperti sudah ditakdirkan,
pementasan joged memang sangat dekat dengan ajang mabuk-mabukan dan keributan.
Sudah bukan berita baru lagi kalau
sebuah pertunjukan joged bubar karena terjadi perkelahian antar pemuda. Bahkan
perkelahian yang hanya karena persoalan sepele antar pemuda bisa merambat ke
perkelahian yang melibatkan warga dusun yang tidak terima karena pemudanya jadi
bulan-bulanan pemuda dusun sebelah.
“Biasanya pementasan joged di sini
aman, nggak?”
“Amanlah. Kami tidak mau bikin
keributan di tempat-tempat seperti itu,” sahut Mura meyakinkan aku. Jujur saja
aku cemas jika di arena joged nanti terjadi keributan. Aku tidak mau mati
konyol di dusun yang tak kukenal.
Mura meneguk tuaknya. Wajahnya merah
karena aliran darahnya dipenuhi alkohol yang menyesakkan.
“Kecuali kalau kami dilecehkan
duluan, jelas kami tidak akan tinggal diam,” ujar Mura.
Aku manggut-manggut.
“Jam berapa kita berangkat,”
tanyaku.
“Ya sebentar lagi. Habiskan dulu
tuaknya.”
Masih ada dua botol tuak lagi. Aku
telah meneguk lima gelas tuak. Kepala agak pusing. Beberapa putaran lagi, tuak
tandas. Kami bersiap-siap berangkat menuju Dusun Anyar. Aku menaiki motor
sendiri. Para pemuda itu yang berjumlah empat orang saling berboncengan.
Jalan ke Dusun Anyar sangat jelek.
Aspalnya telah hancur dan berlubang-lubang karena sering dilewati truk yang
mengangkut galian C. Dusun Anyar memang dikenal sebagai penghasil batu paras
hitam berkualitas bagus. Tentu sumur sangat sulit dibuat di sana karena tanah
mengandung batu-batu lahar bekas muntahan Gunung Agung. Namun begitu, anehnya,
pohon-pohon tumbuh dengan subur.
Karena agak mabuk, aku memacu motor asal-asalan.
Jalan-jalan berlubang aku terabas dan di setiap tikungan tajam aku hampir
terjatuh. Bersyukur aku masih mampu mengendalikan motor. Pemuda-pemuda itu
cukup cemas melihat kegilaanku naik motor. Mereka terus mengawalku. Sepanjang
jalan tidak ada lampu penerangan. Jalan gelap gulita dengan pepohonan dan
semak-semak lebat di kiri kanan jalan.
“Pelan-pelan aja,” seru Mura dari
atas sepeda motornya.
“Tenang aja. Aku belum mabuk kok,”
jawabku.
Tak berapa lama terdengar
lamat-lamat musik rindik dari bambu mengalun merdu. Itulah musik pengiring tari
joged. Kami tiba di tempat pertunjukan dengan selamat.
“Gila betul kau naik motor,” ujar
Mura yang sedari tadi nampak cemas.
Aku hanya tertawa nyengir. Kepalaku
agak pening karena pengaruh tuak.
Kami menuju tempat pertunjukan.
Suasana sangat ramai dan meriah. Beberapa warung dibuka ala kadarnya. Atapnya
dari terpal bekas. Sebuah meja berada di bawah terpal untuk memajang dagangan.
Aku duduk di sebuah warung yang agak sepi. Warung-warung lain sudah penuh
dikerumuni anak-anak muda. Biasanya penjaga warungnya gadis-gadis dusun yang
cantik dan manis. Tentu mereka sengaja dipajang oleh para orang tua mereka untuk
memikat pembeli yang mampir ke warungnya. Warung dengan pedagang paling cantik pasti
ramai dikunjungi. Para pemuda desa biasanya berlama-lama nongkrong di warung
itu. Mereka berfoya-foya menghamburkan uangnya untuk membeli bir dan menraktir
teman-temannya. Mereka malu kalau hanya memesan kopi, tapi duduk berlama-lama.
Dan, tentu saja para penjaga warung yang manis dan cantik itu sudah lihai untuk
menguras isi kantong mereka.
Aku memesan kopi pahit untuk
mengurangi pengaruh tuak dalam darahku. Penjaga warungnya cukup manis.
“Tidak pesan bir, Bli?” tawar
penjaga warung itu.
Aku menatapnya. Dia tersenyum manis.
“Sebentar ya. Saya mau minum kopi dulu,”
kataku.
Dia menyeduh kopi dan
menghidangkannya di depanku. Mura menghampiriku.
“Kemana
kawan-kawan yang lain?” tanyaku, sebab aku tidak melihat mereka bersama Mura.
“Mereka
lagi asyik nonton dan menunggu giliran ngibing,” kata Mura. “Kau tidak ingin
ngibing?”
“Tidak
ah. Aku malu.”
Pementasan
joged menjadi lebih semarak karena ada
pengibing yang menari asal-asalan. Pengibing itu berusaha memeluk dan mencium
penari joged. Para penonton tertawa-tawa ketika pengibing itu menari dengan
gerakan-gerakan lucu. Biasanya penari joged dibekali dengan gerakan-gerakan
tangkisan dari kipas yang dipegang untuk menghindari atau menghalau pengibing
yang berusaha menciumnya. Tapi beberapa pengibing yang bandel akan terus
menyerbu si penari dengan gerakan-gerakan tubuh yang kadang jorok dan porno.
Pada saat itu pecalang, tenaga
keamanan adat, akan mengambil tindakan, menggiring pengibing keluar dari arena
pementasan. Tentu saja pengibing tidak puas. Untuk berani ngibing, mental harus
kuat. Biasanya sebelum ngibing mereka menenggak arak dulu untuk menumbuhkan
kepercayaan dirinya.
Arena
pentas penuh disesaki penonton. Aku naik ke pagar batu di belakang warung untuk
menyaksikan pertunjukan joged itu. Samar-samar aku melihat seorang pengibing menggerak-gerakkan
badannya yang gemuk. Lucu sekali. Penonton tertawa terpingkal-pingkal. Penari
joged itu berusaha menahan ketawa, sehingga yang merekah di bibirnya hanya
senyum manisnya. Cantik sekali penari joged itu, pikirku.
“Kau
tidak ikut ngibing?” seruku pada Mura yang duduk di warung tidak jauh dariku
berdiri.
“Tidak
ada kupon.”
“Kupon?
Maksudmu?” Aku agak kaget.
“Kita
harus beli kupon dulu baru bisa ngibing.”
Mura
kemudian menjelaskan, kalau ingin ngibing mesti membeli kupon seharga sepuluh
ribu rupiah. Dan dana penjualan kupon itu dipakai untuk membayar grup joged itu
dan untuk memperbaiki balai dusun yang atapnya sudah lama jebol. Pementasan
joged ini dipakai sebagai ajang penggalian dana oleh warga setempat.
Ehm...menarik juga. Banyak cara orang dusun menggali dana. Pagelaran tajen juga
biasa dipakai untuk menggali dana guna memperbaiki sebuah pura atau wantilan.
“Kenapa
kau tidak beli kupon? Apa sudah habis?”
“Belum
habis. Aku tidak ada uang.”
Aku
merogoh saku celanaku. Aku tempelkan sepuluh ribuan ke telapak tangan Mura. “Kau
beli kuponlah. Aku ingin lihat kau ngibing,” kataku.
Dengan
wajah berseri, Mura bergegas pergi ke meja panitia membeli kupon untuk ngibing.
Tak berapa lama dia kembali ke warung tempatku nongkrong.
“Dapat
nomer 20. Masih lama,” katanya.
Aku
ketawa dalam hati. Jadi untuk mengibing saja mesti antre. Seperti mengantre
minyak tanah saja.
“Tunggu
saja yang sabar. Minum bir dululah.”
Aku
memasan dua botol bir. Penjaga warung yang manis itu dengan riang menghidangkan
dua botol bir di meja kami.
“Gila.
Banyak uang juga kau. Minumnya bir lagi,” kata Mura.
“Ah,
tidak juga. Kebetulan ada. Ayo minum!”
Malam
itu ada lima penari joged yang dipersiapkan untuk pentas. Masing-masing penari
mendapat jatah meladeni sepuluh pengibing. Luar biasa stamina penari itu.
Panitia menetapkan setiap pengibing mendapat jatah waktu lima menit. Kalau
waktunya tidak diatur, para pengibing bisa seenak udelnya menari di pentas
tanpa memedulikan giliran pengibing lainnya. Kalau ada pengibing yang melanggar
aturan dan membandel akan langsung disoraki atau disuruh berhenti menari oleh
penonton. Kalau tetap membandel, maka pecalang
mengambil tindakan tegas. Bila perlu menyeret pengibing ke luar arena. Itulah
yang menyebabkan pertunjukan joged sangat semarak dan sering rawan keributan.
Melalui
pengeras suara panitia memanggil nomer undi 18. Tiga kali dipanggil
berturut-turut tidak ada reaksi, maka nomer itu dianggap gugur. Kemudian
panitia memanggil nomer berikutnya. Mura sudah bersiap-siap di dekat panggung
untuk menunggu giliran dipanggil. Pengibing nomer 19 telah keluar arena. Dia
hanya menari sebentar, dan karena malu, dia buru-buru keluar arena. Penonton
tertawa-tawa melihat tingkahnya.
Ketika
nomer Mura dipanggil, dia langsung menyerbu panggung dengan gerakan-gerakan
tarinya yang ngawur dan cenderung kasar. Lama kelamaan penonton gerah melihat
tingkah Mura dipanggung. Penari joged nampak mampu mengendalikan dirinya ketika
tangan nakal Mura berusaha menggerayangi bagian-bagian sensitif tubuhnya.
Dengan gerakan-gerakan kipas yang cekatan layaknya pemain silat, tangan Mura
seakan tak berarti apa-apanya, selalu dapat ditepis dengan mudah.
“Berhenti!
Berhenti! Berhenti!” penonton berteriak-teriak di luar arena. Bahkan ada yang
melempar gelas plastik ke arah Mura. Tentu saja Mura tersinggung. Dia berbalik
menantang penonton yang melempar gelas plastik itu.
“Siapa
yang melempar gelas ke arahku!? Tunjukkan dirimu! Belum tahu siapa aku, ya?!”
Mura petantang-petenteng di tengah arena.
Penonton
yang sebagain besar anak-anak muda semakin panas. Aku cemas sekali. Aku
berusaha mencari kawan-kawan lainnya untuk mengajak Mura pergi secepatnya dari
arena. Tapi begitu susah mencari mereka di antara ratusan penonton itu.
Tiga
pecalang masuk ke arena membujuk Mura keluar dari arena. Penari joged sudah
dari tadi menyelinap ke balik panggung.
“Mau
apa kau?” tantang Mura ke arah tiga pecalang itu.
Para
pecalang nampak berang, namun berusaha mengendalikan dirinya. Karena terus
membandel, Mura yang badannya kalah besar dengan para pecalang itu, diseret
keluar arena. Mura meronta-ronta dan mengamuk.
Aku
bergegas mendatangi pecalang itu. “Pak, maaf, ini teman saya, Pak.”
“Kau
dari mana? Jangan buat onar di dusun kami. Bisa mati kalian di sini!” bentak
seorang pecalang.
“Dari
Wanasari, Pak,” kataku berusaha tenang.
“Segera
ajak kawanmu pulang!”
Aku
merangkul Mura, mengajaknya menjauh dari tempat pementasan. Dia sudah tidak
meronta lagi. Tapi tiba-tiba dia muntah-muntah. Sejak tadi sore dia terlalu
banyak minum tuak. Mabuk berat rupanya dia.
Karena
kejadian itu, seketika mabukku hilang, berganti kecemasan. Aku membonceng Mura
pulang ke rumahnya. Tangan kiriku memegang kedua tangannya yang memeluk
pinggangku, sedangkan tangan kananku mengendalikan setang motor. Sepanjang
jalan beberapa kali Mura hampir jatuh. Setelah perjuangan panjang, tiba juga
kami di rumah Mura. Dengan agak sempoyongan aku memapah Mura memasuki kamarnya.
Malam itu aku terpaksa menginap di rumah Mura.
Dan,
tentu saja aku tidak mau lagi nonton joged bersama Mura.
Karangasem,
2008/2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar